Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Sabtu, 05 November 2011

Tatkala Tuhan Memerintah* Beberapa Pemikiran Al-Razi

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Perintah Tuhan tidaklah sesuatu yang sederhana. Di dalamnya ada dimensi-dimensi semantis dan kebahasaan yang rumit. Kenapa hal ini terjadi? Saya kira alasannya adalah karena perintah Tuhan disampaikan melalui medium bahasa manusia yang mengandung elemen ambiguitas di dalamnya. Saat Tuhan memakai bahasa manusia, tidak dengan sendirinya watak bahasa itu berubah total hanya gara-gara Dia telah memakainya. Bahasa manusia tetaplah bahasa manusia seperti apa adanya. Pesan Tuhan, dalam bentuk “bayan” seperti dikatakan Al-Shafii, terpaksa harus tunduk pada hukum-hukum kebahasaan yang terkandung dalam bahasa manusia itu. Usaha para sarjana ushul fiqh untuk memahami firman Tuhan dalam bentuk perintah seperti saya sebutkan di atas, hanyalah cerminan dari usaha manusia untuk menjadikan firman itu bisa masuk akal, dapat dipahami, dalam konteks konvensi kebahasaan yang sudah ada pada bahasa manusia itu sendiri.

Di sini berlangsung apa yang pernah disebut oleh Prof. Hamid Abu Zayd sebagai dialektika antara teks dan konteks (jadaliyyat al-nass wa al-waqi’). Atau, kita bisa mengatakan: dialektika antara kehendak Tuhan dan realitas empiris dalam sejarah manusia; dialektika antara yang transenden dan immanen.

Apakah Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia? Menurut keyakinan orang-orang beriman, tentu jawabannya jelas: Ya. Dalam konsepsi umat beriman, Tuhan terlibat aktif dalam mengarahkan kehidupan manusia, memberikan panduan moral dan etis untuknya, serta memberikan ancaman-ancaman agar manusia tidak berjalan melenceng, walau seincipun, dari panduan itu. Ini berbeda, misalnya, dengan Tuhan kaum deis: Tuhan yang istirahat total setelah menciptakan alam dan segala isinya, sebab alam, termasuk manusia di dalamnya, bisa berjalan dengan sendirinya (bak sebuah otomaton) sesuai dengan hukum-hukum tertentu yang sudah pasti – kerap disebut dengan hukum alam atau hukum kodrat.

Bagaimana Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia? Sebagaimana diyakini oleh umat-umat agama lain, umat Islam memiliki kepercayaan, Tuhan adalah Mutakallim, Zat Yang Mengujar – speech producing God. Tuhan berbicara kepada manusia. Secara teologis, ini menimbulkan soalan yang menjadi bahan perdebatan panjang dalam khazanah ilmu kalam atau teologi Islam. Jika Tuhan berbicara, maka dalam bahasa apakah Dia berbicara? Jika jawabannya, Tuhan berbicara dalam bahasa A, taruhlah bahasa Arab, pertanyaan yang segera menunggu di belokan gang adalah: Apakah Tuhan mempunyai bahasa? Pertanyaan berikutnya lagi: bukankah bahasa apapun yang dipakai Tuhan adalah bahasa manusia? Jika Tuhan memakai bahasa itu, bukankah Tuhan terperangkap dalam suatu “wadah duniawi” yang serba terbatas? Bukankah Tuhan adalah Maha Tak Terbatas? Dengan memakai bahasa tertentu, bukankah Tuhan akan terjebak dalam suatu finitude, keterbatasan?

Ini perdebatan teologis yang pada suatu zaman di masa lampau menimbulkan heboh bahkan gejolak politik yang disebut dengan mihnah atau inkwisisi – yakni pengadilan atas keyakinan. Kita tak usah terseret terlalu jauh dalam labirin perdebatan ini, toh tak terlalu banyak manfaatnya. Yang lebih menarik adalah melihat bagaimana sarjana dan ulama Islam meletakkan dasar-dasar dalam memahami ujaran atau firman Tuhan. Dalam disipilin pengetahuan yang disebut ushul fiqh (teori hukum Islam), firman Tuhan biasa disebut dengan khithab atau wacana. Persisnya, khithab adalah proses suatu pesan disampaikan dari satu ujung (yaitu pengujar) kepada ujung yang lain (pendengar atau lawan bicara – interlocutor).

Usaha pertama untuk membuat teoretisasi atas khithab atau firman Tuhan dilakukan oleh Al-Shafii (w. 820), pendiri mazhab Shafii yang terkenal itu. Al-Shafii berangkat dari pertanyaan dasar: kenapa Tuhan berbicara kepada manusia? Apa tujuan pokoknya? Jawabannya adalah karena Tuhan ingin menjelaskan suatu pesan tertentu kepada manusia. Istilah “menjelaskan” menjadi kata kunci di sini. Dia menciptakan istilah yang ia pinjam dari Quran, yaitu bayan. Kata itu secara harafiah artinya adalah keterangan, atau menerangkan, atau bisa juga membuat sesuatu yang semula remang-remang menjadi terang, alias klarifikasi.

Kita simak bagaimana Al-Shafii menjelaskan pengertian bayan dalam traktatnya yang terkenal, Al-Risalah. Kata Al-Shafii, bayan adalah istilah yang mencakup pengertian yang begitu bermacam-macam, meskipun bisa dirangkum dalam konsep-konsep kunci tertentu (ism jami’ li ma’an mujtami’at al-ushul, mutasha’’ibat al-furu’). Penjelasan Al-Shafii ini sangat menarik karena mengandung embrio yang belakangan akan dikembangkan oleh para pengikutnya menjadi suatu arsitekur teori yang canggih tentang bagaimana memahami ujaran Tuhan. Dalam khithab Tuhan, terdapat keragaman, tetapi juga ada buhul-buhul yang mempersatukannya. Ada pokok, ada cabang. Ada ushul, ada furu’. Inilah pesan pokok yang dapat kita tangkap dari penjelasan Al-Shafii tersebut. Dengan kata lain, Tuhan berbicara kepada manusia dengan sebuah perantara linguistis yang disebut bahasa. Tuhan berbicara kepada manusia dengan bahasa karena hendak menyampaikan suatu keterangan, bayan. Bagaimana bayan itu terselenggara melalui medium bahasa, bisa bermacam-macam (mutasha’’ib). Tetapi manusia bisa menemukan pokok-pokok (ushul mujtami’a) yang dengannya ia bisa memahami firman Tuhan itu dengan masuk akal.

Kata “masuk akal” di atas sangat penting. Kata itu saya pakai di sini sebagai padanan untuk istilah yang biasa dipakai dalam bahasa Inggris: intellegibility – kenyataan bahwa suatu ujaran bisa dipahami. Jika Tuhan hendak menyampaikan suatu bayan kepada manusia, maka asumsi dasar yang harus diterima adalah bahwa khithab atau ujaran Tuhan itu bisa dipahami oleh manusia. Jika firman gelap total seperti kaca yang tak tembus pandang, maka apa gunanya ia diujarkan kepada manusia. Di sini juga terkandung suatu asumsi lain bahwa Tuhan bertindak karena suatu alasan yang masuk akal. Tuhan menyampaikan ujaran kepada manusia karena ada alasan yang masuk akal—bahwa firman itu mengandung potensi untuk bisa dipahami, tentu oleh manusia.

Ushul fiqh sebetulnya adalah upaya manusia, dalam hal ini para sarjana fikih, untuk melakukan konseptualisasi atas cara-cara yang mungkin dan sistematis guna memahami bayan atau keterangan Tuhan. Sejak awal, para fukaha’ sadar bahwa dalam firman Tuhan terkandung keragaman, tetapi juga sekaligus kesatuan. Keragaman itu bisa kita lihat dalam berbagai segi; yang paling utama adalah segi tematik. Ada banyak hal yang dibicarakan dalam kanon yang menghimpun firman Tuhan, yaitu Kitab Suci atau Quran. Ada ayat-ayat yang berbicara tentang fenomena alam, sejarah masa lampau, eskatologi atau akhir zaman; tetapi ada juga ayat tentang petunjuk moral bagi manusia agar bisa bertindak secara benar dan tepat. Keragaman juga bisa ditinjau dari segi yang lain, yaitu segi literer: secara kebahasaan, sejumlah tema-tema di atas disamapaikan dengan strategi kebahasaan yang bermacam-macam. Keragaman ini tentu akan membingungkan kalau tak diikat dengan pengikat tertentu yang bisa menyatukan keseluruhannya. Di sinilah ushul fiqh masuk.

Sejauh menyangkut firman Tuhan yang berkaitan dengan tuntutan moral, ada dua jenis khithab Tuhan: firman yang menuntut, dan firman yang membiarkan. Yang pertama biasa disebut dengan iqtidha’, yang kedua takhyir. Ada firman yang menuntut untuk bertindak (ini melahirkan konsep tentang wajib), atau menuntut untuk menjauhi sesuatu (ini melahirkan konsep tentang haram). Ada juga firman yang tak muntuntut apa-apa, tetapi membiarkan suatu tindakan dalam keadaan primitifnya, keadaan asalnya: yakni netral, boleh dijalankan atau diabaikan (dari sini lahir konsep tentang mubah [netralitas total], makruh [netralitas yang mendekati pendulum haram] dan mandub [netralitas yang mendekati pendulum wajib]).

Fokus utama para juris Islam adalah pada jenis firman yang pertama itu – firman yang memuat kandungan etis dan moral yang tinggi, firman yang menuntut (khithab al-iqtidha’). Jika firman Tuhan menuntut sesuatu dari kita, entah secara positif (perintah) atau negatif (larangan), maka bagaimana firman itu harus dipahami? Apa hakikat dari suatu perintah? Bagaimana perintah itu diungkapkan? Apa jenis-jenis perintah itu? Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut saya, merupakan salah satu bagian yang paling menarik dalam disiplin ushul fiqh. Ini dijelaskan dalam bab tentang amr dan nahy, tentang perintah dan larangan. Al-Razi (w. 1209) mengulas masalah ini dalam jilid kedua dari Al-Mahsul (dalam edisi Taha Jabir ‘Alwani) dengan judul: Al-Kalam fi al-Awamir wa al-Nawahi (pembahasan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan).

Isu pertama yang langsung menyergap kita dalam pembahasan ini adalah karakter dari perintah: apakah perintah itu harus diujarkan, atau bisa sekedar dicontohkan dalam tindakan. Pertanyaan ini tampak seolah-olah sepele, tapi baru terlihat penting saat kita berhadapan dengan contoh yang empirik. Jika Nabi melakukan sesuatu, misalnya makan dan minum, apakah itu sebuah perintah, dan karena itu harus dicontoh, atau bukan. Pendapat sebagian besar sarjana Sunni, termasuk Al-Razi, adalah bahwa perintah pada dasarnya adalah suatu kategori ujaran. Oleh karena itu, pengertian tahap pertama (makna konototatif/haqiqat) dari suatu perintah adalah bahwa ia haruslah sebuah ujaran, bukan tindakan. Tindakan bisa dipahami sebagai sebuah perintah, tapi dalam pengertiannya yang metaforik (makna kelas dua, majazi).

Tuhan bisa disebut sebagai “menuntut sesuatu” jika itu diselenggarakan dalam suatu kerangka linguistis, dalam bentuk ujaran. Nabi, sebagai otoritas kedua setelah Tuhan dalam konteks meletakkan dasar-dasar moral dan etis bagi tindakan seorang beriman, bisa pula disebut “menuntut sesuatu” secara moral jika tuntutannya itu dikemukakan dalam suatu ujaran. Di sini, kita melihat suatu konstruksi ontologis yang menarik tentang ujaran dan tindakan. Dalam konstruski ini, ujaran mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada tindakan. Karena itu, dari sudut hirarki moral, ujaran berada satu tingkat di atas tindakan. Ini tentu nyaris serupa dengan hirarki epistemologis dalam filsafat Yunani, di mana teori diletakkan dalam level yang lebih tinggi daripada praksis.

Konstruksi semacam ini sebetulnya tidak terlalu mengejutkan, sebab bisa kita pahami dalam konteks kehidupan sehari-hari yang kongkret. Kalau saya berkata kepada seseorang, “Ambilkan buku!” dengan nada tertentu yang dapat dipahami sebagai suatu perintah, maka ujaran itu memiliki kandungan “moral” yang jelas: yakni perintah mengambil buku kepada orang tersebut. Akan tetapi, jika di hadapan orang itu saya menulis suatu pesan pendek di telpon genggam, maka tindakan saya itu tak punya kandungan moral apa-apa, alias kosong: bukan suatu perintah, bukan pula suatu larangan. Paling jauh, jika ada suatu kandungan tertentu yang bisa dikeluarkan dari tindakan saya itu, ialah bahwa menulis pesan pendek di telpon genggam adalah tindakan yang boleh-boleh saja. Ini pun masih harus dikaitkan dengan konteks yang ada di sekitar. Jika di samping saya ada tanda “Dilarang menulis sms di ruangan ini”, maka tindakan saya itu memang mengandung kandungan moral, tetapi dalam pengertian yang negatif, yakni saya melanggar larangan untuk menulis pesan pendek di sebuah tempat.

Tetapi apakah sesungguhnya perintah itu? Tatkala kita mendengar ucapan “Bacalah”, tanpa kita ketahui siapa pengujar kalimat itu, apakah itu bisa disebut perintah? Jika saya berkata kepada teman sejawat saya di kantor, “Ambilkan laptop itu”, bisakah ini disebut sebagai perintah, atau hanyalah permohonan biasa saja? Ternyata perkara perintah yang di permukaan kelihatan sepele dan ringan ini, menimbulkan kerumitan jika kita masuk ke dalamnya dan mencoba melakukan konseptualisasi teoritis. Dan, aha!, memang segala hal yang nampak sepele di permukaan tidak selalu demikian dalam kenyataannya.

Al-Razi menyebut dua versi definisi tentang perintah, pertama dari tokoh penting dalam sekte Ashariyyah, yaitu Al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani (w. 1013). Al-Baqillani mengatakan: Perintah ialah ujaran yang menuntut seseorang yang di-perintah untuk menaatinya dengan cara melakukan apa yang di-perintah-kan oleh ujaran itu (al-qawl al-muqtadli tha’at al-ma’mur bi fi’l al-ma’mur bihi).

Definisi di atas, sekilas, tentu baik-baik saja dan masuk akal, tapi tidak di mata Al-Razi. Di manakah letak persoalannya? Adalah karena ia memuat kata yang sama dengan kata yang dedefinisikan. Fungsi definisi adalah menjelaskan suatu konsep tertentu. Karena itu, jika definisi memuat kata yang sama dengan kata yang hendak didefinisikan, maka akan terjadi “lingkaran setan” atau siklus bolak-balik tanpa henti (al-dawr). Mari kita telaah definisi di atas: di sana terkandung kata perintah diulang-ulang sebanyak dua kali – “diperintah” dan “diperintahkan”. Kita sedang ingin mencari kejelasan tentang apa makna “perintah”, tetapi kata perintah dipakai untuk menjelaskan dirinya sendiri. Ini tentu tak masuk akal. Sesuatu tak bisa menjelaskan dirinya sendiri. Penjelasan harus diambil dari sumber eksternal. Begitulah aturan main yang dibuat oleh kaum logician, ahli logika Aristotelian. Karena itu, harus dicari definisi lain yang jauh lebih “cespleng”.

Muncul definisi kedua dari kalangan Mu’tazilah. Perintah, bagi mereka, ialah ucapan seseorang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah, “Lakukanlah!” atau kata lain yang pengertiannya sama. Definisi yang di permukaan tampak baik-baik saja ini, oleh Al-Razi juga dianggap mengandung soalan. Mari kita dengarkan bagaimana dia mengajukan keberatan. Pertama: taruhlah kata “Lakukanlah” itu tidak mengandung makna apa-apa dari sudut konvensi kebahasaan, kata yang kosong makna (muhmal), apakah seseorang yang mengucapkan kata itu bisa dianggap memerintah? Tentu tidak. Ini jelas. Keberatan kedua: seandainya kata “Lakukanlah” itu diucapkan oleh seseorang yang sedang tidur, dianggap perintahkah ia? Tentu tidak. Jadi, ucapan “Lakunkanlah” yang menjadi kunci dalam definisi kelompok Mu’tazilah itu tak memiliki bobot apa-apa.

Jadi, bagaimana definisi perintah yang paling baik menurut Al-Razi? Perintah, menurut dia, ialah: menuntut (seseorang) melakukan sesuatu melalui ujaran dengan cara meninggi (thalab al-qawl bi ‘l-fi’l ‘ala sabil al-isti’la’). Yang dimaksud “meninggi” di sini bukan nada ujaran, tetapi ujaran itu disampaikan dengan cara yang mengindikasikan bahwa seorang pengujar memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari lawan bicara yang diujari. Dengan kata lain, perintah mengandaikan situasi komunikasi yang hirarkis – si pembicara berada pada level yang lebih tinggi dari lawan bicara. Ada empat elemen penting dalam perintah: ujaran (qawl), tuntutan (thalab), tindakan (fi’l), hirarki (isti’la’).

Jika perintah adalah tuntutan atau thalab, apakah tuntutan itu? Apakah ia itu sesuatu yang terkandung secara intrinsik dalam sutau ujaran, ataukah ia pengertian eksternal yang bersemayam dengan damai di luarnya, sementara ujaran hanyalah ia pakai sebagai baju untuk mengungkapkan diri agar keluar dari dunia kegaiban ke dunia pencerapan yang bisa dirasakan oleh indera kita? Kita coba ikuti konseptualisasi yang dibuat Al-Razi.

Menurut dia: pengertian tuntutan yang dikandung dalam suatu ujaran (misalnya tuntutan minum dalam ujaran “Minumlah!”) bukanlah sesutau yang terdapat secara intrinsik dalam ujaran itu. Kenapa? Sebab pengertian tuntutan yang terkandung dalam satu ujaran bersifat universal dan seragam dari bahasa satu ke bahasa lain. Entah anda mengatakan “Minumlah!” (bahasa Indonesia), “Drink!” (Inggris), “Trinke!” (Jerman), “Ishrab!” (Arab) – semuanya memuat pengertian yang sama, yakni tuntutan untuk minum, meskipun diujarkan dalam bentuk luaran yang berbeda-beda. Dengan demikian, kata Al-Razi, pengertian yang terkandung dalam perintah tidak terdapat secara intrinsik dalam suatu ujaran atau bahasa, tetapi berada di luarnya. Konsepsi Al-Razi ini bisa diungkapkan dengan cara lain: Hubungan antara pengertian dan kata adalah arbitrer. Persis seperti dalam konsepsi modern yang pernah diungkapkan oleh kaum linguis-strukturalis seperti Ferdinand de Saussure.

Ada soal kecil yang menyangkut perkara perintah ini dan menjadi pertengkaran antara kaum Sunni dan Mu’tazilah. Saya ingin menyinggung sedikit di sini. Soal yang diperdebatkan mereka ialah: apakah perintah (amr) sama dengan kehendak (iradah). Jika Tuhan memerintahkan sesuatu, apakah Dia juga menghendakinya? Jika saya mengatakan kepada anak saya, “Bacalah!” apakah saya menghendaki tindakan membaca dari anak saya atau tidak?

Jawaban yang segera meloncar ke pikiran awam kita adalah: Tentu saja. Manakala seseorang memerintahkan sesuatu, sudah tentu ia menghendaki sesautu itu terjadi. Apalah gunanya ia memerintah kalau tak menghendakinya. Kalau anda berpendapat demikian, dan inilah pendapat yang paling sesuai dengan akal sehat secara selintas, maka anda, tanpa anda sadari, telah bergabung dengan kubu Mu’tazilah. Al-Razi, juga para sarjana Sunni yang lain, bersikeras menolak identifikasi antara perintah dengan kehendak. Jika Tuhan memerintahkan sesuatu, salat atau puasa, misalnya, maka itu bukan berarti Dia menghendakinya. Kenapa demikian? Marlah kita dengar penjelasan kubu Sunni di bawah ini.

Kita semua tahu, Tuhan memerintahkan orang-orang kafir untuk beriman, salat, puasa, dan sebagainya. Tetapi Tuhan tak menghendaki mereka untuk melakukan itu semua. Sebab, jika Tuhan menghendaki, maka kehendakNya sudah pasti terjadi. Karena orang-orang itu tetap saja kafir, tak salat, tak puasa, walaupun sudah menerimah perintah dari Tuhan, maka, demikian nalar yang dipakai oleh Al-Razi dan kubu Sunni, perintah dan kehendak tak identik, tetapi dua hal yang berbeda. Jika keduanya identik, maka begitu mendapatkan perintah beriman dari Tuhan, orang-orang kafir itu akan dengan sendirinya langsung berubah sikap, dari kekafiran menuju kepada keimanan. Tapi yang terjadi toh tidaklah demikian. Ini memperlihatkan bahwa kehendak dan perintah bukanlah dua hal yang sama.

Perbedaan ini sebetulnya bersumber dari wawasan teologis yang berbeda yang memandu pandangan kaum Sunni dan Mu’tazilah, tentang status tindakan manusia. Apakah manusia menciptakan tindakan mereka sendiri, memiliki kehendak sendiri yang bebas, atau tindakan dan kehendak mereka seluruhnya diciptakan oleh Tuhan? Dengan kata lain, perbedaan pandangan mengenai status perintah dan kehendak itu berkaitan dengan wawasan teologis soal kehendak bebas (hurriyyat al-iradah, free will).

Kubu Mu’tazilah, sebagaimana kita tahu, menganut pandangan bahwa manusia punya kehendak bebas. Jika Tuhan memerintahkan sesuatu, maka Dia juga sekaligus menghendakinya. Tetapi karena manusia memiliki kehendak sendiri yang terpisah dari kehendak Tuhan, maka ia bisa menolak perintah itu. Dalam pandangan semacam ini, tidak ada masalah untuk menyamakan antara kehendak dan perintah. Dalam pandangan kubu Sunni, kehendak seluruhnya berada pada tangan Tuhan. Manusia tak mampu menciptakan atau menimbulkan kehendak dari dirinya sendiri. Karena itu, identifikasi antara kehendak dan perintah, jika dilihat dari sudut pandang teologis seperti ini, menjadi bermasalah. Itulah sebabnya, para sarjana Sunni seperti Al-Razi memisahkan antara perintah dan kehendak. Dalam hampir semua literatur klasik ushul fiqh, kita akan menjumpai pembahasan soal perintah dan kehendak ini. Di permukaan, isu ini tampak abstrak serta tak mengandung konsekwensi praktis apapun. Tetapi, isu ini menjadi bahan debat yang sengit, karena menyangkut –meminjam istilah yang kerap kita dengar akhir-akhir ini—“pokok keyakinan” yang mendasar mengenai status kehendak bebas manusia.

Jika kita mengejar lebih jauh lagi dengan sebuah pertanyaan: kenapa soal kehendak bebas ini menjadi isu yang penting? Apakah konsekwensi praktis dari sana? Tentu saja sudah jelas dengan sendirinya bahwa tak ada konsekwensi praktis dari pertanyaan-pertanyaan abstrak semacam ini. Namun, di sana, soal yang lebih mendasar dipertengkarkan, yakni soal konsepsi ketuhanan. Pandangan dunia Sunni disusun begitu rupa sehingga menempatkan Tuhan sebagai Agen Kehendak yang sepenuhnya bebas, bahkan Tuhan sendiri tak bisa diatur dan diikat oleh hukum alam yang Ia ciptakan sendiri. Hanya dengan konsepsi tentang Tuhan Yang Maha Bebas seperti inilah, kaum Sunni bisa menjelaskan kenapa ada mukjizat yang menjadi fondasi kebenaran fenomena kenabian (nubuwwah). Menghilangkan konsep tentang Kehendak Bebas pada Tuhan sama saja menghancurkan seluruh bangunan keyakinan Islam itu sendiri.

Perdebatan-perdebatan semacam ini jelas menunjukkan bahwa disiplin ushul fiqh seperti dikerjakan oleh para sarjana seperti Al-Razi dan umumnya para ulama di lingkungan mazhab Syafii, mencampuradukkan antara isu hukum dan teologi. Praksis intelektual semacam ini jauh berbeda dengan apa yang kita lihat pada sarjana ushul fiqh di lingkungan mazhab Hanafi yang cenderung meminimalisir diskusi isu-isu teologis dalam ushul fiqh. Ini yang menjelaskan adanya dua pendekatan dalam disiplin ushul fiqh: pendekatan para mutakallimun atau teolog, seperti pada kasus Al-Razi dan lain-lain, dan pendekatan para fuqaha’ seperti yang kita lihat pada karya ushul fiqh yang dikarang oleh sarjana mazhab Hanafi Al-Dabbusi (w. 1039) berjudul Taqwim al-Adillah fi Ushul al-Fiqh.

****


Fondasi utama dalam hukum Islam, sekali lagi, adalah tuntutan, baik secara positif dalam bentuk perintah, atau negatif dalam bentuk larangan. Entah perintah atau larangan hanya bisa diketahui melalui petanda kebahasaan (signifier) yang disebut perintah. Tetapi di sini, muncul pertanyaan: jika suatu ujaran “Minumlah!” diucapkan oleh seseorang yang derajatnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah, apakah ia dengan sendirinya bermakna perintah yang mengharuskan? Ataukah ada makna-makan lain yang dikandungnya?

Menurut Al-Razi, sekurang-kurangnya tiga pendapat utama: pendapat pertama, ujaran “Lakukanlah” atau semacamnya, jika dilepaskan dari konteks apapun, maka ia mengandung makna keharusan (wujub); kedua, ia mengandung makna anjuran saja (nadb); ketiga, kandungan maknanya tak jelas, dan karena itu kita tak bisa memastikannya.Yang paling banyak diikuti oleh para sarjana ushul fiqh adalah pendapat yang pertama. Pandangan yang ketiga memang nampak nihilistis, karena tak memberikan isyarat yang jelas tentang kandungan semantis dari ujaran perintah. Tetapi, kelompok ketiga ini tentu tak hanya berhenti pada sikap “nihil” yang total. Mereka berpendapat bahwa kandungan semantis suatu perintah hanya bisa diketahui melalui konteksnya. Ia bisa mengandung makna keharusan, atau sekedar anjuran saja, tergantung konteks yang spesifik.

Dengan kata lain, perintah Tuhan tidaklah sesuatu yang sederhana. Di dalamnya ada dimensi-dimensi semantis dan kebahasaan yang rumit. Kenapa hal ini terjadi? Saya kira alasannya adalah karena perintah Tuhan disampaikan melalui medium bahasa manusia yang mengandung elemen ambiguitas di dalamnya. Saat Tuhan memakai bahasa manusia, tidak dengan sendirinya watak bahasa itu berubah total hanya gara-gara Dia telah memakainya. Bahasa manusia tetaplah bahasa manusia seperti apa adanya. Pesan Tuhan, dalam bentuk “bayan” seperti dikatakan Al-Shafii, terpaksa harus tunduk pada hukum-hukum kebahasaan yang terkandung dalam bahasa manusia itu. Usaha para sarjana ushul fiqh untuk memahami firman Tuhan dalam bentuk perintah seperti saya sebutkan di atas, hanyalah cerminan dari usaha manusia untuk menjadikan firman itu bisa masuk akal, dapat dipahami, dalam konteks konvensi kebahasaan yang sudah ada pada bahasa manusia itu sendiri.

Di sini berlangsung apa yang pernah disebut oleh Prof. Hamid Abu Zayd sebagai dialektika antara teks dan konteks (jadaliyyat al-nass wa al-waqi’). Atau, kita bisa mengatakan: dialektika antara kehendak Tuhan dan realitas empiris dalam sejarah manusia; dialektika antara yang transenden dan immanen.

Saya hanya mengambil sampel kecil saja dari sejumlah tema yang dibahas dalam ushul fiqh, yaitu tema tentang perintah. Sebab inilah fondasi hukum agama sebagaimana kita kenal dalam fikih Islam selama ini. Sampel kecil ini memperlihatkan suatu watak penting dalam teks Kitab Suci. Kaum fundamentalis agama, pada umumnya, memandang teks agama sebagai sesuatu yang transparan, tembus pandang, tanpa mengandung ambiguitas dan keremang-remangan sedikitpun. Prinsip yang kerap dipakai oleh kelompok fundamentalis dalam agama apapun adalah apa yang disebut “perspicuitas”: bahwa Kitab Suci sudah terang-benderang maknanya. Prinsip ini pertama kali dikenalkan oleh para kaum reformis Protestan pada abad ke-16. Prinsip ini, meskipun dikemukakan pertama-partama oleh kalangan Protestan, tetapi ia ada sebagai tendensi yang dominan dalam hampir semua gejalan keagamaan yang fundamentalistis dalam agama manapun.

Asumsi yang terkandung di balik prinsip perspikuitas ialah bahwa teks agama tak bisa ditafsirkan dengan cara yang beragam. Makna teks agama sudah jelas, seperti kaca tembus pandang, hanya satu saja. Keragaman pemahaman harus diusir jauh-jauh. Kesatuan makna dalam sebuah teks dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk menjamin kesatuan sosiologis-empiris, yakni kesatuan umat Islam. Keragaman pemahaman akan mengancam kesatuan semacam itu.

Sebagaimana kita lihat dalam pembahasan mengenai tema perintah dalam ushul fiqh, kita melihat sautu petualangan hermeneutis yang dilakukan oleh sarjana ushul fiqh untuk memahami kandungan semantis dari ujaran yang sederhana, “Lakukanlah!”, ujaran yang mengandung pengertian perintah atau tuntutan (thalab). Hasil petualangan mereka ini menghasilkan khazanah intelektual yang sangat menarik sekali, serta membawa pesan yang sangat sederhana: betapa tak sederhananya perkara perintah Tuhan itu. Ini terjadi karena perintah Tuhan “terperangkap” dalam formula kebahasaan yang bersumber dari konvensi masyarakat manusia, dengan seluruh kerumitan di dalamnya, juga evolusi di dalamnya yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

Dengan kata lain, Tuhan memerintah manusia, melalui medium bahasa, dengan cara yang ternyata tak sederhana. Manusia harus merumuskan skema tertentu agar perintah itu bisa dipahami dengan masuk akal. Apa yang berasal dari Tuhan kemudian juga harus dioleh melalui suatu medium historis yang bernama “human agency”, keagenan manusia. Yang transenden dan immanen bertaut-berkelindan dalam cara yang unik: absolut dan relatif sekaligus.[]

*Makalah ini disampaikan dalam diskusi bulan Ramadan di Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang Fakhr al-Din al-Razi pada Jumat, 12 Agustus 2011 di Utan Kayu.

Menyortir Aspek Lokalitas, Mengambil Aspek Universalitas Islam

Oleh Muzayyin Ahyar*



“Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya yang sangat kontroversial beberapa tahun lalu di harian Kompas, menyatakan bahwa umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan, tegas Ulil, adalah nilai yang sejalan dengan Islam, bukan berlawanan dengan Islam.
Islam dengan pandangannya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin mendskripsikan keuniversalan Islam tersebut. Allah bukan hanya Tuhan yang diperuntukkan bagi etnis Arab saja, tetapi semua etnis dan suku yang mengakui dzat-Nya dan menjalankan nilai universal yang merupakan the greatest goal dari sebuah praktek yang telah di buat oleh-Nya.”

Dewasa ini cukup banyak orang yang memandang bahwa Islam harus dikembangkan dan dijalankan sesuai dengan apa yang telah rasulullah terapkan semasa hidup beliau di Makah maupun Madinah. Pandangan semacam ini bisa membuat kita lupa akan nilai dan aspek universal dari Islam. Aspek universal Islam inilah yang membuatnya relevan dengan bentuk-bentuk perubahan waktu dan tempat.

Untuk dapat menangkap aspek universal Islam, diperlukan pemaknaan dan penafsiran atas doktrin-doktrin Islam. Dari pemaknaan ini diharapkan kita dapat memisahkan mana yang di dalamnya terdapat unsur produk budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai doktriner- fundamental Islam. Kita harus bisa membedakan antara ajaran Islam yang merupakan pengaruh budaya Arab dan mana yang tidak.

Ada beberapa aspek ajaran Islam yang sebenarnya merupakan pengaruh dari letak geografis maupun budaya bangsa Arab. Aspek demikian ini tidak harus sepenuhnya kita anggap sebagai kewajiban yang mesti kita ikuti. Contoh: memelihara jenggot, mengenakan jilbab panjang, menaikkan celana di atas mata kaki, dan sebagainya. Ini semua hanya merupakan ekpresi lokal dari situasi dan kondisi budaya Arab. Yang harus kita anggap sebagai kewajiban dan patut kita ikuti adalah nilai-nilai yang melandasi praktek-praktek tersebut. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian penutup yang memiliki public decency atau kepantasan umum. Situasi Makah dan Madinah pada saat itulah yang membuat rasulullah menyatakan pantasnya mengenkan jilbab atau jubah panjang. Aspek historis dari Islam seperti itu bisa saja berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia.

Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya yang sangat kontroversial beberapa tahun lalu di harian Kompas, menyatakan bahwa umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan, tegas Ulil, adalah nilai yang sejalan dengan Islam, bukan berlawanan dengan Islam.
Islam dengan pandangannya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin mendskripsikan keuniversalan Islam tersebut. Allah bukan hanya Tuhan yang diperuntukkan bagi etnis Arab saja, tetapi semua etnis dan suku yang mengakui dzat-Nya dan menjalankan nilai universal yang merupakan the greatest goal dari sebuah praktek yang telah di buat oleh-Nya.

Sebagai umat Islam yang bijak, tidak seharusnya meyakini bahwa Islam oleh golongan tertentu adalah Islam yang paling benar dan mutlak. Kita harus bisa menerima kebenaran dari mana saja, meskipun itu datangnya dari luar Islam. Dan sebaliknya kita harus menerima kritikan apa saja yang masuk ke dalam ranah ritualisasi keagamaan yang kita pegang. Setiap golongan seharusnya menghargai hak golongan lainnya dalam penafsiran Islam, selama tidak mengganggu dan memaksa umat yang lain untuk mengikuti penafsirannya. Jangan sampai kita menjadi golongan Islam yang tidak islamiy. Dari sinilah, jika kita berfikir lebih mendalam lagi, kita menjadi sadar fakta mengapa terdapat kebenaran ajaran Islam pada negara kafir dan hilangnya kebenaran ajaran Islam pada negara muslim.

Lalu apakah Islam yang universal ini diterapkan pula oleh rasulullah? Kita bisa melihat dari perilaku rasul terhadap umatnya. Sejak diutusnya Muhammad melalui bangsa Arab, di sana terlihat jelas nilai universalitas yang ditanamkan Muhammad kepada umatnya. Beliau tidak pernah membedakan mana yang dari bangsa Arab, Persia, Eropa, Afrika, dan sebagainya. Sikap toleransi yang pernah dicontohkan oleh rasul menjadi bukti bahwa Islam seharusnya di kembangkan dengan sikap perilaku yang islamiy, bukan hanya sekedar dengan membacakan ayat- ayat keimanan kepada mereka yang belum beriman.

Dengan demikian dapat dikatakan, al-Qur’an belum tentu menjadi pijakan yang pas dan mutlak untuk sebuah penyebaran Islam secara universal. Kita tidak harus selalu membawa segi normativitas dalam al-Quran, tetapi juga membawa segi historis serta nilai universalitas yang terkandung dalam al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh rasul.

Penting diingat olah kita semua, banyak sejarah yang membuktikan bahwa penduduk Makah masuk ke dalam agama Islam karena melihat perilaku Muhammad yang “berbeda” dengan perilaku bangsa Arab masa jahiliyah pada umumnya. Perilaku beliau yang sopan, sangat toleran terhadap sesama bahkan kepada orang yang berbeda keyakinan dengan beliau sekalipun, membuat orang lain merasa terluluhkan hatinya. Beliau merupakan figur yang disegani, bukan ditakuti.

Nilai universal juga dicontohkan Muhammad dengan tindakan beliau yang tidak mengambil keputusan sepihak. Banyak tradisi-tradisi jahiliyah yang berkembang dalam Islam dan tidak mendapat tentangan dari beliau. Dalam hal ini Muhammad juga melihat kondisi sosial bangsa Arab pada masa itu. Tidak serta-merta langsung memvonis mereka dan memerintahkan memerangi mereka.

Mari kita kembangkan Islam yang shalihun likulli zaman wa makan, yang kongruen dengan perubahan waktu dan tempat; dan menyingkirkan Islam yang ghairu qabilin li al-taghyir, yang beku tidak dapat berubah. Pembekuan Islam hanya akan menindas kemaslahatan umat itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab.



*Mahasiswa Jurusan Ushuluddin IAIN Surakarta

Minggu, 30 Oktober 2011

Dalam Malam Ku Merenung

Adakah cinta tanpa pertemuan.........
Adakah cinta tanpa sentuhan.............
Adakah cinta tanpa cumbuan......

Dimana hati bergetar hanya dengan mendengar namanya saja
Hati terasa damai ketika mulut ini merapalkan namanya
Mungkin......................

Apakah itu cinta atau Hanya Khayalan semata???
Tapi yang pasti NamaMu adalah mantra bagiku...
Mantra diatas mantra,
Mantra penyembuh segala penyakit

Hanya dengan merapalkan namaMu saja,
Jiwa ini terasa hidup
Jiwa ini terasa diangkat dari Dukha,
Kesengsaraan yang lebih menyakitkan daripada kematian jasad

Apakah itu cinta atau hanya khayalan semata????
Yang pasti rasa ini adalah rasa tanpa syarat,
Rasa yang tidak memerlukan pembuktian apapun
Untuk sekedar membuatku percaya akan adanya rasa ini

Adakah cinta yang demikian tulusnya???
Entahlah...................
Aku tak tahu dan tak mau tahu...
Yang ku tahu ada rasa itu di dalam hatiku
Yang takkan pernah padam untukmu...


Untuk cinta yang tak berbalas..........
Slatri, 10 Agustus 2011

Aziz Hoesla Al-Faqir

Jumat, 05 Maret 2010

Pidato Kebudayaan Ulil Abshar-Abdalla

Forum Pluralisme Indonesia berinisiatif menggelar sejumlah pertemuan ilmiah untuk melakukan formulasi gerakan pembaharuan Islam yang lebih sesuai dengan tantangan zaman. Sebagai langkah awal, tahun ini, Forum Pluralisme Indonesia akan menggelar Orasi Pembaharuan Islam yang kali ini akan disampaikan Ulil Abshar-Abdalla.Kegiatan ini akan dilaksanakan pada: Selasa, 2 Maret 2010, Pukul 19.00 – 21.00 WIB di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta

Tahun 1970an, Islam di Indonesia menghadapi dua fenomena besar. Pertama, represi politik Islam yang dilakukan oleh Orde Baru. Kedua, peningkatan gairah keislaman yang tampak pada penggunaan simbol-simbol Islam dalam kehidupan. Fenomena ini direspon secara luas dan beragam oleh banyak aktivis dan pemikir muda secara bergairah. Gairah pemikiran itu kemudian muncul dalam bentuk gerakan pembaharuan Islam Indonesia.

Di Jakarta, Nurcholish Madjid mencanangkan gerakan pembaharuan Islam melalui pidato berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat di Taman Ismail Marzuki, 3 Januari 1970. Di Yogyakarta, muncul sejumlah pemikir muda yang tergabung dalam Limited Group. Kelompok yang terdiri dari Ahmad Wahib, Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, dan Kuntowijoyo itu aktif berdiskusi dan mempublikasikan tulisan-tulisan kritis mengenai realitas sosial dan pemikiran ummat Islam. Dari kalangan NU tradisional muncul sang fenomenal Abdurrahman Wahid yang memperkenalkan pemikiran pluralisme di Indonesia.

Realitas masyarakat Islam yang dihadapi para pembaharu Islam awal pada masa itu adalah Islam yang sedang berkembang pesat tetapi pada saat yang sama masih sangat terbelakang dalam hal akses ekonomi dan pendidikan. Di ranah politik, “aspirasi” masyarakat Islam juga tampak marginal menyusul kebijakan Orde Baru yang secara sistematis meminggirkan peran politik Islam.

Kondisi semacam ini menjadikan Islam sebagai agama sangat tidak bergengsi. Bagi Cak Nur dan Gus Dur, peminggiran, dan perasaan terpinggirkan, sangat berbahaya apalagi menimpa kelompok mayoritas. Inferioritas bisa memunculkan eksklusifitas. Pada kondisi yang akut, eksklusifitas bisa muncul dalam bentuk agresif dan anarkis. Terorisme dan radikalisme agama yang marak belakangan ini adalah bentuk agresif dari eksklusifitas dan inferioritas.

Realitas sosio-politik yang dihadapi Cak Nur dan kawan-kawan cukup berbeda dengan realitas kita saat ini. Transisi demokrasi telah membuka peluang ekspresi bagi apa dan siapapun. Struktur kesempatan politik yang terbuka ini tidak hanya menguntungkan gerakan pro-demokrasi, tetapi juga memberi peluang gerak bagi kelompok-kelompok radikal yang selama bertahun-tahun ikut terepresi dalam era otoritarianisme. Tantangan yang dihadapi oleh para pembaharu Islam menjadi lebih kompleks.

Dalam kondisi dan seting sosial baru ini, dibutuhkan formulasi pemikiran Islam baru yang bisa menjawab tantangan baru. Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas Forum Pluralisme Indonesia berinisiatif menggelar sejumlah pertemuan ilmiah untuk melakukan formulasi gerakan pembaharuan Islam yang lebih sesuai dengan tantangan zaman. Sebagai langkah awal, tahun ini, Forum Pluralisme Indonesia akan menggelar Orasi Pembaharuan Islam yang kali ini akan disampaikan Ulil Abshar-Abdalla.

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada:

Hari, tanggal : Selasa, 2 Maret 2010
Waktu : Pukul 19.00 – 21.00 WIB
Tempat : Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta

Forum Pluralisme Indonesia adalah forum yang dibentuk untuk mendukung dan menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaharuan agama. Forum ini terdiri dari pelbagai lembaga, di antaranya adalah Jaringan Islam Liberal (JIL), Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Indonesian Center for Islam and Pluralism (ICIP), The Wahid Institute, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Masyarakat Dialog Antar-Agama (MADIA), Moderat Muslim Society (MMS), Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Persekutuan Gereja-Geraja di Indonesia (PGI), Komisi Hak Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Gereja Kristen Indonesia (GKI).

Rabu, 16 Desember 2009

NU Harus Dipimpin Anak Muda

oleh : Saidiman

ULIL Abshar Abdala tentu bukan nama baru dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia yang penuh kontroversi. Karena itu menantu KH A Mustofa Bisri yang pernah difatwa mati oleh umat Islam lain ini bukanlah tanda seru. Namun namanya mencuat dan menjadi tanda tanya besar lagi ketika ia mencalonkan diri sebagai sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU).

Ada agenda besar apa yang hendak ia lakukan? Ia ingin mengobrak-abrik lembaga sakral ini atau justru membangun dengan sepenuh hati? Berikut perbincangan dengan Koordinator Jaringan Islam Liberal yang juga Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Jakarta) itu, belum lama ini.

Banyak yang bilang Anda mencari sensasi saat mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PB NU. Apa komentar Anda?
Terus terang beberapa saat lalu setelah empat tahun belajar di Amerika, saya tidak punya keinginan menjadi pimpinan NU. Jujur saja setelah mendengar kabar Yuddy Chrisnandi yang masih muda juga berjuang menjadi Ketua Umum Partai Golkar, saya terinspirasi mencoba hal sama di NU. Meskipun demikian, di NU sudah ada teladan yang bisa dicontoh. Dulu Gus Dur pada saat menjadi Ketua Umum PB NU berusia 44 tahun dan KH Wahid Hasyim juga masih sangat muda.
Sejak kecil saya juga hidup, tumbuh, dan berkiprah di lingkungan NU sehingga saya merasa tidak salah jika mencalonkan diri menjadi pimpinan NU.
Yang jelas setelah bertemu dan berem­buk dengan teman-teman muda, memang ada kerinduan sebagian besar dari mereka untuk kembali kepada era Gus Dur. Era Gus Dur ini ditandai oleh kepemimpinan ide. Tentu saja Gus Dur tidak bekerja dan berpikir sendiri. Ia didukung oleh para pinisepuh.
Pada waktu NU dipimpin oleh Gus Dur, ia memang menjadi organisasi massa (ormas) yang semula dianggap se­bagai kaum sarungan yang tertinggal di pe­desaan menjadi ormas yang memiliki power di pentas nasional. Nah harga diri se­macam itu sekarang ini dirasakan hi­lang karena NU terlalu terlibat dalam di­namika politik.
Tentu saja saya tidak antipartai atau po­litik kepartaian. Boleh saja NU terjun da­lam dunia politik. Akan tetapi harus ada keseimbangan dengan wataknya yang sebagai ormas yang mengurus umat, yakni mengurus pendidikan dan ke­maslahatan umat.
Keinginan saya menjadi Ketua Umum PB NU juga didorong oleh hasrat saya mengkritik teman-teman yang telah mencitrakan lembaga ini sebagai ormas pedesaan. Ini cara memandang NU yang keliru atau tidak sepenuhnya benar. Anak-anak keluarga NU yang menempuh pendidikan di kota atau keluarga NU yang urbanisasi makin banyak. Sayang, mereka ini tidak pernah diperhitungkan. Karena itu ketika mendesain program-program apa pun yang disasar adalah warga NU yang berada di pedesaan. Warga-warga NU yang berada di perkotaan tidak pernah disapa. Akhirnya, me­reka diambil alih, direkrut, atau ”dibajak” oleh kelompok lain. Ini yang sekarang menjadi keluhan. Prinsipnya saya dan kawan-kawan muda rindu NU kembali menjadi civil society organization. Karena itu, NU harus menjadi ormas mo­derat yang membawa pemikiran segar.
Mengapa harus kembali ke era Gus Dur? Saya sendiri mendefinisikan diri sebagai orang yang lahir karena Gus Dur. Waktu NU kembali ke kittah pada 1984, saya adalah santri di Kajen yang mengikuti peristiwa itu dengan penuh perhatian. Komentar-komentar, ucapan-ucapan, dan apa pun tindakan Gus Dur saya perhatikan. Karena itu figur Gus Dur benar-benar membentuk segala tindak-tanduk saya.
Apa reaksi awal kalangan NU saat Anda mencalonkan diri?
Ada yang menyambut positif. Saya memang belum terjun di kalangan bawah tapi saya telah keliling sowan ke kiai-kiai. Selama dua bulan saya menjumpai tokoh-tokoh dan PB NU di Jawa dan luar Jawa. Saya akan silaturahim, kula nuwun kepada mereka. Saya kira saya tidak perlu mengotot menerangkan keinginan-keinginan saya. Yang penting silaturahim dulu. Nanti pada saatnya saya baru mengutarakan gagasan-gagasan atau apa yang saya pikirkan mengenai NU.
Ada juga yang keras sekali merespons tindakan saya. Namun jumlahnya sangat sedikit. Saya kaget. Saya membayangkan yang mengkritik gagasan saya akan banyak. Selama ini kan saya dianggap sebagai momok bagi pemikiran-pemikiran Islam konvensional.
Apakah keliberalisan Anda tidak menjadi persoalan?
Sudah pasti hal itu menjadi persoalan. Akan tetapi ini akan mudah dijelaskan. Selama ini pemikiran-pemikiran Islam liberal saya telah disalahpahami. Jika dicermati, seluruh pemikiran saya se­sungguhnya merupakan kritik saya terha­dap Islam radikal. Tradisi pemikiran dan tindakan mereka jauh dari segala hal yang saya kenal di NU. Perdebatan pun terjadi. Mereka memelintir ayat-ayat Allah untuk memberhalakan keradikalan dan meng­anggap salah segala yang saya pikirkan. Parahnya setelah itu mereka memprovo­kasi dan melaporkan saya kepada para kiai mana pun betapa saya telah menyimpang dari Islam dan NU. Situasi ini menajam karena saya dan anak-anak muda lain yang liberal kurang sowan dan menjelas­kan persoalan-persoalan itu kepada para kiai.
Saya yakin persoalan ini bisa terselesaikan karena saya memang sama sekali tidak mengkritik doktrin aswaja, tradisi atau ritual NU. Kritik saya, sekali lagi, tertuju pada kelompok-kelompok yang memperjuangan negara Islam atau syariat Islam di Indonesia. NU, kita tahu, secara organisatoris, tidak pernah mendukung pemberlakuan syariat Islam yang formalistik. Semangat saya dan NU sama. Pemikiran saya selama ini justru menerjemahkan semangat NU kembali ke kittah. Indonesia, kata para sesepuh NU, bukanlah negara yang harus dipertentangkan dengan Islam. Pancasila, ungkap Gus Dur, tidak harus dipersaing­kan dengan Islam. Islam dan Pancasila itu komplementer. Pemikiran-pemikiran para pinisepuh NU semacam itu sangat men­darah daging dalam diri saya. Jadi, saat saya mengkritik ide-ide pendirian ne­gara Islam, sesungguhnya merupakan ke­lanjutan dari pemikiran-pemikiran NU.
Karena itu tidak ada alasan para kiai mengkritik keliberalisan pemikiran-pemikiran saya. Kemarahan kiai terjadi karena mereka mendapatkan informasi sepihak mengenai diri saya. Saya difitnah menghalalkan minum, percaya pada Syeh Siti Jenar, dan menganjurkan tidak memberikan salam kepada umat Islam. Wah, fokus perhatian saya tidak ke hal-hal semacam itu.
Apakah tradisi NU yang meletakkan kiai sepuh sebagai segala-galanya juga tak menghambat keinginan Anda? Ba­gai­mana jika Anda tidak direstui para kiai?
Tentu saja restu kiai masih sangat perlu. Dulu Gus Dur selain memiliki ke­kuatan ide, di belakang dia ada kiai-kiai besar yang mendukung. Antara lain ada Kiai Ali Maksum dan Kiai Ahmad Syamsul Arifin. Inilah dua naga dalam NU yang mendukung mereka.
Kini memang tidak ada kiai yang memiliki reputasi semacam itu. Sekarang harus diakui ada kemerosotan kualitas kiai karena selain mereka banyak yang terjun ke politik, kualitas pendidikan di pesantren juga merosot. Waktu pendidikan di pesantren makin pendek. Tidak ada yang sampai setingkat perguruan tinggi. Generasi Kiai Ali Maksum atau Kiai Bisri Mustofa, misalnya, adalah sosok yang mondok hingga level strata tiga (S3). Sekarang segalanya sangat pragmatis.
Bukan berarti saat saya sowan ke para kiai, lantas kami tidak memiliki pandang­an yang berbeda. Akan tetapi dengan memberikan penjelasan yang detail mengenai gagasan-gagasan saya, mereka tidak akan mempermasalahkan pen­calon­an diri saya sebagai Ketua PB NU.
Bagaimana Anda ”mengatasi” atau ”berhadapan” dengan calon lain?
Saya merasa akan bisa berkompetisi dengan mereka. Saya merasa bisa fas­tabiqul khairat dengan mereka. Masing-masing punya keunggulan dan kelemah­an. Saya akan bertarung all out. An­dalannya: saya ingin meremajakan NU dari mulai PB NU. Realitasnya yang bekerja itu anak muda, tetapi mereka tidak dianggap. Kaderisasi di NU nol. Ka­de­risasinya murni alamiah. Ini harus di­ubah. Ini berbeda dari Partai Keadilan Se­jahtera (PKS) yang kaderisasinya sistematik menggunakan cara-cara metode yang canggih dan modern. Modernisasi organisasi di NU, dengan demikian tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hanya dengan begitu NU bisa ber-fastabiqul khairat dengan ormas-ormas yang lain. Dan yang bisa merasakan sense of crisis semacam ini anak-anak muda. Bukan berarti orang tua tidak diperlukan. Akan tetapi anak-anak mudalah yang bisa bergerak me­ngatasi persoalan ini.
Gus Mus tertawa saat saya bertanya mengenai pencalonan Anda. Apa makna tawa mertua Anda ini?
Ya…memang mustahil…saya menjadi Ketua Umum PB NU karena selama ini saya lebih banyak di luar negeri. Selain itu saya tidak punya modal, tak punya duit banyak. Saya juga tidak punya jaringan sebagai mana teman-teman yang kini duduk di PB NU. Semua orang akan skeptis pada saya sebagaimana Susilo Bambang Yudhoyono dulu dianggap tak mungkin mengalahkan Megawati.
Apa komentar Gus Mus pada pen­calonan Anda?
Beliau senang. Gus Mus mengatakan, ”Memang yang harus memimpin NU anak-anak muda.” Mungkin saja yang dianggap anak muda itu bukan anak muda seperti saya. Mungkin ada anak muda lain yang lebih ideal. Hanya sejauh ini tidak ada anak muda yang berani maju. Jika ada anak muda yang maju, saya tak perlu maju.
Mengapa tak ada?
Memang berat menjadi Ketua Umum PB NU. Jalan untuk menjadi pemimpin NU itu memang panjang. Itu sama dengan Anda ingin menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Anda harus punya modal dan jaringan besar dan anak-anak muda tak punya keduanya. Jadi pencalonan saya ini memang gelap dari segi apa pun. Ini seperti sebuah mimpi. Saya sangat sadar saya tengah bermimpi. Saya seperti menabrak tembok tebal. Jadi memang susah menjadi Ketua PB NU. Saya ingin mencoba sampai sejauh mana saya bisa menembus tembok. Jika Gus Dur bisa memimpin NU pada usia 44 tahun, mengapa anak muda NU sekarang tak bisa?
Tentu Gus Dur tidak bisa dibanding­kan dengan siapa pun. Namun bukankah segala sesuatu akan menjadi kenyataan yang jika dicoba.
Ada variabel lain yang membuat Anda yakin mencalonkan diri?
Kepemimpinan yang sekarang ini tidak memuaskan karena telah membawa NU ke ceruk politik terlalu jauh. Ke­tidakpuasan ini bisa menjadi jalan masuk saya untuk mengubah pola kepemim­pinan di NU. Suasana reformasi juga mem­bawa tren peremajaan yang luma­yan bergelora.
Ini membuat anak muda punya kesempatan memimpin. Yang jelas saya punya modal pendidikan (Is­lam, Barat, dan Timur) yang akan berguna untuk membawa NU menghadapi tantangan ke depan yang beranjak berperan di ranah global. Ini modal yang tak dimiliki kandidat lain. Ini modal yang harus dikapi­talisasi. (35)

Profil:

Ulil Abshar Abdala: Pati, 11 Januari 1967.

Pendidikan: Pondok Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen (Pati), Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang (Rembang), Sarjana Fakultas Syari’ah Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab (Jakarta, 1993), Master Perbandingan Agama (Boston, 2007), Kandidat Doktor Near Eastern Languages and Civilations Harvard University (AS).

Pekerjaan: Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Jakarta), Direktur Program Indonesian Conference of Religion and Peace, dan Koordinator Jaringan Islam Liberal, serta Direktur Freedom Institute (Jakarta). (35)

(Triyanto Triwikromo/)

Jumat, 31 Juli 2009

KORELASI ANTARA MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA PELAJARAN AKIDAH AKHLAK SISWA KELAS VIII MTs. NURUL ISLAM DESA SLATRI KEC. LARANGAN KAB.

KORELASI ANTARA MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA PELAJARAN AKIDAH AKHLAK SISWA KELAS VIII MTs. NURUL ISLAM DESA SLATRI KEC. LARANGAN KAB. BREBES


A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran seorang siswa akan berhasil sangat ditentukan oleh belajar. Dan dalam belajarpun motivasi yang kuat sangat diperlukan. Jika tidak ada motivasi untuk belajar maka akan sulit untuk mencapai prestasi yang baik. “ motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga makin besar motivasinya makin besar kesuksesan belajarnya”. (Abu Ahmadi, 2004:3)
Motivasi belajar yang ada pada siswa merupakan bakal yang sangat pokok untuk keberhasilan belajar. Sebab belajar yang didasarei oleh keinginan atau dorongan untuk belajar itu akan membangkitkan gairah dan semangat dalam belajar. Kehadiran motivasi belajar ini akan memberikan andil yang cukup penting dan senantiasa memberikan landasan dan kemudahan dalam upaya mencapaiutujuan belajar secara optimal. Pencapaian tujuan belajar ini dapat dilihat dari pemahaman siswa akan materi bahan ajar yang disampaikan. Pemahaman akan bahan ajar dpat disimpulkan dari hasil-hasil kuis, proses belajar mengajar sehari – hari dan tes semester. Terutama hasil dari tes semester inilah yang digunakan sebagai ukuran yang terkuat atas prestasi siswa terhadap bahan ajar.
Motivasi belajar dikatakan memberikan andil yang cukup penting itu, dapat dipandang sebagai cara-cara berfungsinya pikiran siswa dalam hubungan dengan pemahaman bahan ajar, sehingga penguasaan terhadap bahan yang disajikan lebih mudah dan efektif. Dengan demikian proses belajar mengajar itu akan berhasil baik, kalau didukung oleh faktor motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa.
Sebaliknya, tanpa adanya faktor motivasi belajar dalam diri siswa akan memperlambat proses belajar bahkan dapat pula menembah kesulitan belajar. Sebab lemahnya motivasi belajar bisa berakibat tidak bergairah dan kurang minat siswa dalam belajar, karena itu dalam otak pelajar pun tidak pernah terjadi proses berpikir sehingga timbul kesulitan belajar.
Di era sekarang, dimana batas minimal nilai Ujian Akhir Nasional meningkat tiap tahunnya, yang secara otomatis akan memberikan beban yang lebih berat kepada para siswa dan para pengajar. Terutama para siswa dituntut untuk lebih bisa menguasai dan memahami semua bahan ajar yang disampaikan, yang dalam jangka pendek diharapkan bisa memenuhi target batas minimal nilai Ujian Akhir Nasional. Dan tujuan-tujuan ini tidak akan tercapai jika di dalam diri siswa tidak ada minat belajar yang besar.
Minat atau motivasi ini tidak semata-mata tumbuh dalam diri siswa secara alami, tetapi juga dapat didorong oleh faktor – faktor dari pribadi siswa tersebut. Faktor – faktor dari luar ini bisa bisa berupa; dorongan orang tua, guru dan lingkungan. Dikarenakan dalam belajar, siswa lebih banyak berinteraksi dengan guru, maka peranan guru untuk menumbuhkan motivasi dan meningkatkan prestasi siswa sangat diperlukan.
Upaya guru dalam meningkatkan motivasi belajar dan prestasi siswa, adalah dngan cara guru dapat mengarahkan orientasi berpikir siswa kepada hal – hal yang rasional dan obyektif, menyusun teknik, metode, dan kurikulum yang bervariatifdan menarik bagi siswa. Penerapan teknik dan metode yang bervariatif ini dapat dilakukan melalui pengaitan materi – materi pelajaran dengan kehidupan sehari – hari siswa. Sehingga siswa akan tertarik dan tidak bosan dalam mengikuti proses belajar mengajar di kelas.
Meskipun telah banyak dilakukan penelitian – penelitian tentang motivasi, tetapi seperti yang disebutkan oleh Carole Ames dan Jennifer Archer (1988:1) bahwa, “Penelitian tentang motivasi lebih di fokuskan pada mengidentifikasi perbedaan jenis – jenis tujuan atau orientasi siswa, proses – proses motivasi yang berhubungan dengan perbedaan – perbedaan tujuan ini dan kondisi yang vmempengaruhinya”. Sedangkan, sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang pengaruh motivasi terhadap prestasi belajar siswa pada pelajaran Akidah Akhlak, belum pernah dilakukan. Pemilihan Akidah Akhlak sebagai fokus penelitian dikarenakan akidah akhlak adalah salah satu pelajaran wajib di sekolah – sekolah di bawah naungan departemen agama, terutama sekolah yang berbasis islam.
Dari uraian diatas maka ditemukan indikasi akan adanya hubungan antara motivasi belajar siswa dengan prestasi siswa terhadap bahan ajar dalam hal ini mata pelajaran Akidah Akhlak. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian yaqng berjudul “Korelasi Antara Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Akidah Akhlak Siswa Kelas IX di MTs Nurul Islam Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes”. Dengan harapan akan memberikan pembaca, terutama para pengajar, dorongan untuk lebih memotivasi dan menumbuhkan motivasi dalam diri siswa, untuk lebih aktif dan kreatif dalam menanggapi pelajaran dan dapat meningkatkan minat dan prestasi, khususnya pada mata pelajaran Akidah Akhlak.

B. Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Identifikasi Masalah
a. Wilayah penelitian dalam skripsi ini adalah Psikologi pendidikan
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan empirik atau studi lapangan dengan lokasi penelitian MTs Nurul Islam Slatri Larangan Brebes.
c. Jenis Masalah
Jenis masalah dalam penelitian ini adalah korelasi sejajar, yaitu penulis berusaha untuk mencari korelasi antara dua fenomena dengan menyajikan data – data yang valid untuk menunjukan ada tidaknya hubungan antara motivasi belajar siswa pada mata pelajaran Akidah Akhlak dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran yang sama.
2. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permasalahan dan memudahkan penulis dalam melakukan penelitian maka penulis akan membatasi obyek penlitian pada siswa – siswa kelas 2 saja, hal ini dikarenakan menurut pandangan penulis, siswa – siswa kelas 2 telah cukup memiliki pengetahuan tentang pelajaran Akidah Akhlak. Disamping pemilihan terhadap obyek penelitian, yang tidak kalah penting ada lah materi penelitian, karena di dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui tentang motivasi, maka yang dimaksud dalam motivasi di dalam penelitian ini adalah motivasi dalam mempalajari pelajaran Akidah Akhlak.
Untuk menghindari adanya kesalahpahamandalam pembahasan ini, maka penulis kemukakan batasan – batasan istilah sebagai berikut :
a. Korelasi : hubungan timbal balik atau sebab akibat (KBBI 2007:595)
b. Motivasi : suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan / tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan / keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan. (Arianto Sam 2008:1)
c. Belajar: berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. (KBBI 2007:15)
d. Prestasi Belajar: penguasaan pengetahuan atau ketramnpilan yang dihubungkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan dan sebagainya). (Depdikbud:895)
Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk menggambarkan hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Akidah Akhlak. Besar – kecilnya hubungan ini ditunjukan dengan angka – angka yang diperoleh melalui perhitungan dengan rumus korelasi produk momen.
3. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana motivasi belajar terhadap pelajaran Akidah Akhlak pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
b. Bagaimana Prestasi pelajaran Akidah Akhlak pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
c. Bagaimana hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi pelajaran Akidah Akhlak pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis mengadakan penelitian mengenai korelasi antara motivasi belajar dengan prestasi pelajaran Akidah Akhlak Pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes adalah :
1. Untuk mengetahui seberapa besar minat atau motivasi siswa dalam belajar pelajaran Akidah Akhlak pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
2. Untuk mengetahui prestasi belajar mata pelajaran Akidah Akhlak Pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
3. Untuk Mengetahui ada tidaknya hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar mata pelajaran Akidah Akhlak Pada siswa Kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes.



D. Kerangka Pemikiran
Seorang siswa itu akan berhasil dalam belajar kalau pada dirinya ada keinginan untuk belajar. Ini adalah prinsip dan hukum pertama dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran. Keingianan atau dorongan belajar inilah yang disebut dengan motivasi. (Sardiman, 1994 : 39)
“Motivasi bisa tumbuh dari siswa itu sendiri (motivasi intrinsik) ataupun dari luar seperti, guru, orang tua, lingkungan. Pada umumnya motivasi intrinsik lebih kuat atau lebih baik daripada motivasi ekstrinsik”. (Purwanto, 2004 : 820) Karena itulah motivasi yang tumbuh dalam diri siswa akan sangat mempengaruhi tingkat penguasaan materi dan presatasi siswa terhadap bahan ajar, dalam hal ini pelajaran Akidah Akhlak.
Menurut Arianto Sam (2008:3) dilihat dari sumber – sumbernya, motivasi belajar siswa dapat di bagi menjadi : 1). Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang bersumber pada faktor – faktor dari dalam, tersirat baik dari dalam tugas itu sendiri maupun pada diri siswa yang didorong oleh keinginan untuk mengetahui tanpa ada paksaan atau dorongan dari orang lain, misalnya keinginan untuk mendapat ketrampilan tertentu, memperoleh informasi dan pemahaman, mengembangkan sikap untuk berhasil, menikmati kehidupan, secara sadar memberikan sumbangan kepada kelompok, dan sebagainya.
2) Motivasi Ekstrinsik, yaitu motivasi yang bersumber akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain, sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar. Pelajar dimotivasi dengan angka, ijazah, tingkatan, hadiah, medali, pertentangan, persaingan.
Pentingnya peranan motivasi dan proses pembelajaran perlu dipahami oeh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor dari dalam maupun dari luar siswa untuk mencapai tujuan tertentu gna memenuhi atau memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pendidikan, maka kebutuhan tersebut berhubungan dengan prestasi belajar siswa.
Peranan motivasi dalam proses pembelajaran, motivasi belajar siswa dapat dianalogikan sebagai bahan bakar untuk menggerakan mesin, motivasi belajar yang memadai akan mendorong siswa berperilaku aktifuntuk berprestasi dalam kelas, tetapi motivasi yang terlalu kuat justru dapat berpengaruh negatif terhadap keefektifan uasaha belajar siswa.
Untuk lebih jelasnya, fungsi motivasi alam pembelajaran dapat dikategorikan sebagai berikut :a) Mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan, tanpa motivasi tidak akan timbul suatu perbuatan, misalnya, belajar. b) Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. c) Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya menggerakkan tingkah laku seseorang. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.
Motivasi belajar sangat berpengaruh pada prestasi siswa, hal ini dapat disimpulkan karena siswa yang memiliki motivasi dalam belajar suatu pelajaran, contohnya Akidah Akhlak, akan memperoleh prestasi yang tinggi dan juga dapat memperbaiki sikapterhadap tugas mata pelajaran yang bersangkutan. Dengan kata lain motivasi dapat membangkitkan rasa puas dan menaikan prestasi sehingga prestasinya melebihi siswa yang kurang memiliki motivasi dalam belajar.
Menurut Jeremy Harmer, motivasi bisa saja terkikis dan membutuhkan syarat – syarat tertentu sebelum motivasi tersebut bisa menjadi efekitif. Syarat – syarat ini berupa:
a) Sikap mengajar yang sesuai dan baiknya hubungan antara guru dan siswa. b) Suasana kelas yang mendukung dan menyenangkan. c) Kelopmpok belajar yang kohesif, yangf ditandai dengan norma – norma kelompok yang sesuai. Bahkan menurut Dornyei, “Keahlian pengajar dalam memotivasi pelajar adalah penyebab utama dalam kegiatan pengajaran yang efektif”. Dengan katra lain, keahlian guru dalam memotivasi siswa adalah lebih penting daripada perlengkapan proses pembelajara yang dimiliki oleh guru, seperti, Metode pengajaran, media pengajaran, bahkan kurikulum.
Prestasi belajar adalah hasil final dari aktifitas belajar mengajaryang kemudian diukur dengan norma tertentu sebagai standar untuk melihat sejauh mana penguasaan atau pemahaman siswa akan bahan ajar.
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu motivasi belajar pada mata pelajaran Akidah Akhlak, sebagai variabel independen (bebas), dan prestasi siswa pada mata pelajaran yang sama, sebagai variabel dependen (variabel terikat).
Variabel bebas adalah masalah yang menjadi fokus penelitian yang keberadaannya secara bebas dan kualitas serta ferkuensinya tidak tergantung pada variabel yang lain. Sedangkan variabel terikat kualitas dasn frekuensinya banyak dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam kasus penelitian ini, bahw motivasi belajar pada pelajaran Akidah Akhlak akan mempengaruhi peningkatan prestasi siswa pada mata pelajaran yang sama. Berdasarkan atas dua variabel ini, maka dapat dirumuskan dalam bentuk prosisi, artinya apabila motivasi belajar siswa pada pelajaran Akidah Akhlak adalah X, maka prestasi siswa pada pelajaran Akidah Akhlak dapat dirumuskan sebagai Y. Dengan menggunakan prosisi ini akan lebih mudah untuk menentukan perhitungan dan analia penelitian.
Kerangka pemikiran dapat diterangkan dalam skema:

E. Langkah – langkah Penelitian
1. Sumber Data
a. Data Teoritik
Data teoritik merupakan data yang diperoleh dari sejumlah buku bacaan yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang diteliti
b. Data Empirik
Data yang diambil dari lokasi penelitian unsur – unsur personil sekolah, yaitu Kepala Madrasah, Guru, Tata Usaha dan Siswa.


2. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi penelitian ini adalah siswa – siswi kelas 2 MTs Nurul Islam Slatri yang seluruhnya berjumlah 107 siswa. Terdiri dari 35 Siswa kelas 8 A dan 35 siswa kelas 8 B dan 37 siswa kelas 8 C.
b. Sampel
untuk mengurangi nilai kesalahan dalam pengambilan sample (sample error) maka penulis mengambil sampel sebanyak 50% dari jumlah populasi yang ada, yaitu 53 siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Gary Klass yang menyebutkan bahwa semakin tinggi atau banyak sample yang diambil maka semakin kecil pula kemungkinan kesalahan dalam pengambilan sample (sample error).
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a. Metode Angket
Yaitu penulis melakukan komunikasi secara tidak langsung, berupa pertanyaan – pertanyaan tertulis kepada responden, teknik ini diharapkan memperolehdata untuk bahan analisis dalam menjawab perumusan permasalahan yang telah ditentukan.
b. Metode Dokumentasi
Yaitu pengambilan data tertulis baik catatan, data statistik dan grafik yang berkaitan dengan obyek penelitian, dalam hal ini nilai raport siswa kelas 2 pada mata pelajaran Akidah Akhlak.
c. Study Kepustakaan
Metode ini sering digunakan penulis untuk memperoleh data yang sifatnya teoritis dari buku, majalah, surat kabar, kamus dan media tulis lainnya.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, penulis melakukan analisis data. Metode analisa yang digunakan penulis adalah dengan analisa statistikyang merupakan cara untuk memperoleh data dxan kesimpulan yang teliti dan mengambil kesimpulan dengan berbagai rumus kesimpilan yang ada.
Untuk menganalisa data ini ada beberapa tahap penganalisaan, yaitu dalam analisa awal ini penulis mengelompokkan data – data berupa jawaban angket yang ada ke dalam tabel distribusi.
Sebagaimana bentuk pertanyaan yang penulis tuangkan dalam daftar angket jawaban terdisri atas empat alternatif, yaitu a, b, c dan d :
1. untuk jawaban a, dengan jawaban ya atau selalu
2. untuk jawaban b, dengan jawaban sering
3. untuk jawaban c, dengan jawaban kadang – kadang
4. untuk jawaban d, dengan jawaban tidak pernah
Dikarenakan sifat jawaban di atas masih berupa data kualitatif, maka data – data yang bersifat kualitatif tadi harus diubah menjadi data yang bersifat kuantitatif atau data yang berbentuk angka. Dalam menganalisis data yang berasal dari angket bergradasi atau bertingkat 1 sampai dengan 4 memiliki makna setiap alternatif sebagai berikut :
1. selalu / sangat setuju, dan lain – lain menunjukan gradasi paling tinggi diberi nilai 4
2. banyak, sering, setuju dan lain – lain menunjukan peringkat yang lebih rendah dibanding kata “sangat”, oleh karena itu diberi nilai 3
3. sedikit, jarang, kadang – kadang, dan lain – lain, karena di bawah kata setuju dan sebagainya, maka diberi nilai 2
4. sangat sedikit atau sangat jarang, yang berada di gradasi paling bawah diberi nilai 1. (Suharsimi Arikunto : 215)
Dengan berpedoman pada ketentuan di atas, maka untuk jawaban ya / selalu, sering, kadang – kadang dan tidaki pernah diberi nilai angka 4, 3, 2 dan 1, jadi untuk alternatif jawaban :
a. disertakan dengan angka 4
b. disertakan dengan angka 3
c. disertakan dengan angka 2; dan
d. disertakan dengan angka 1
Untuk memperoleh jawaban dari penelitian maka penulis kemukakan analisis data sekaligus untuk mencapai tujuanpenelitian yang diinginkan. Analisa yang dimaksud adalah suatu bentuk analisa dengan memasukan nilai hasil kerja koefisien antara variabel Motivasi belajar pelajaran Akidah Akhlak (X) dengan Prestasi siswa pad pelajaran yang sama (Y) ke dalam rumus korelasi product moment untuk mendapat nilai koefisien korelasi (r) dengan tujuan pembuktian dalam penelitian untuk mendapatkan kesimpulan.
Adapun rumus yang penulis pergunakan adalah rumus korelasi product moment, yaitu,:

Keterangan : = koefisien korelasi antara variabel x dan y
N = jumlah obyek
x = nilai dari motivasi belajar siswa
y = nilai prestasi siswa berupa nilai raport
= jumlah produk x dan y
Apabila nilai “r” terdapat diantara +1 dan -1, maka nilai “r” yang diperoleh dari hasil perhitungan, dikonsultasikan pada tabel nilai “r” sebagai berikut :

Nilai r Interpretasi
0 Tidak ada hubungan
0, 01 – 0, 20 Hubungan sangat rendah
0, 21 – 0, 40 Hubungan rendah
0, 41 – 0, 60 Hubungan agak rendah
0, 61 – 0, 80 Hubungan cukup
0, 81 – 0, 99 Hubungan tinggi
1 Hubungan sangat tinggi

Kamis, 28 Mei 2009

Kesetaraan Gender: Sebagai (Salah Satu) Akses Menuju Kemajuan Bangsa

Oleh: Muhammad Arifudin Aziz

Dalam era sekarang ini, dimana setiap individu memiliki kesmpatan yang sama dalam mengakses informasi dan berekspresi dan juga mengungkapkan pandangan-pandangan mereka dalam bidang pendidikan, seni dan kebudayaan, social, politik, ekonomi hingga agama. Karena itulah seharusnya wanita sekarang memperoleh perhatian dan kepercayaan yang lebih dari para elit negarawan baik eksekutif, legislative maupun yudikatif. Sehingga mereka dapat lebih bebas dalam berekspresi dan berkarya, tidak seperti yang baru-baru ini terjadi pada Dirut pertamina yang baru, yang pada awal kepemimpinannya harus mendapatkan cercaan dan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dari para anggota legislatif menyangkut tentang perihal kemampuan dirinya dalam memimpin dan mengelola BUMN terbesar di Indonesia tersebut. Padahal sang Dirut tersebut baru saja dilantik sehingga belum bisa berbuat banyak untuk menunjukan kemampuannya tersebut. Dalam hal ini bisa kita lihat bahkan ditngkat tinggi pemeintahan masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Dan hal inilah yang harus kita perjuangkan terutama oleh para perempuan sendiri untuk menggapai cita-cita bangsa yakni maenjadi bangsa yang besar yang menghormati hak-hak setiap warga negaranya.
Padahal bagaimana mungkin sebuah negara akan maju dan berkembang jika negara tersebut mengabaikan potensi dari setengah bahkan lebih penduduknya yaitu perempuan. Dari hal inilah, seyogyanya para pemegang kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada Dirut pertamina yang baru, untuk manunjukan kemampuannya terlebih dahulu sebelum mencercanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan seperti yang terjadi dalam rapat DPR dan Pertamina beberapa waktu yang lalu.
Karena seperti yang terjadi sekarang ini, kesempatan-kesempatan dalam porsi yang lebih luas dan terbuka belum terasakan benar oleh para perempuan di negeri ini bahkan setelah hamper satu abad dari masa perjuangan ibu Kartini. Hal ini dapat terlihat dengan belum terpenuhinya kuota minimal 30 persen perempuan dari anggota DPR yang ada. Padahal setiap parpol diwajibkan paling tidak 30 persen wakil mereka yang duduk di DPR adalah perempuan. Akan tetapi kenyataannya kuota tersebut masih sangat jauh dari terpenuhi.
Untuk itulah jika kita menginginkan negara kita maju dan berkembang, maka kita harus mengoptimalkan seluruh potensi kekuatan yang dimiliki negeri ini, baik laki-laki maupun perempuan. Khusus perempuan, kita harus memberi mereka kesempatan yang l;ebih luas untuk menunjukan kemampuan mereka. Karena hal ini sesuai dengan hadis nabi yang menyebutkan bahwa perempuan adalah tiang agama. Hal ini disebabkan apabila moral perempuan di suatu negeri bobrok maka lemahlah negeri tersebut. Hal ini dapat terlihat banyaknya para pejabat yang korup karena dipaksa oleh para istri pejabat tesebut. Sebaliknya, jika moral perempuan suatu negeri baik, maka akan kokohlah negeri tersebut.
Semoga saja dengan ini kita tidak lagi melihat seseorang dari luarnya saja, terutama gendernya tetapi dari kemampuan dan keahlian yang dimiliki orang tersebut. Dan semoga hal ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama. Walaupun kedengarannya sederhana tetapi sulit untuk dilakukan, bukan?

Malang, 4 februari 2009

sunset

sunset
waktu selalu mengejar