Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Selasa, 16 Desember 2008

Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri

Oleh Saidiman

Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.”

Reportase Diskusi Bulanan JIL
“Kanibalisasi Partai-partai Politik Islam”
Teater Utan Kayu, 30 Oktober 2008

Fenomena partai-partai Islam memicu perbincangan menarik belakangan ini menyusul kemenangan koalisi yang melibatkan partai Islam di beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Media memberitakan kemenangan-kemenangan itu dengan perspektif seolah partai Islam memang sedang menanjak dan akan menjadi kekuatan dominan pada pemilihan umum 2009. Seiring dengan beberapa kemenangan yang terekspose oleh media itu, beberapa lembaga survei merilis temuan terakhir yang menunjukkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera terus mengalami peningkatan suara: dari 1,4 persen pada Pemilu 1999 (masih bernama PK) menjadi 7,3 persen pada Pemilu 2004 dan survei-survei itu menunjukkan bahwa PKS saat ini bisa mencapai 9-11 persen suara. DPP PKS bahkan menargetkan 20 persen suara pada Pemilu 2009.

Wacana yang berkembang dalam diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal (JIL), 30 Oktober 2008, tampak mengusung kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan kebanyakan media mengenai bangkitnya kekuatan partai politik Islam. Dua narasumber, Dodi Ambardi (Lembaga Survei Indonesia) dan Burhanuddin Muhtadi (Charta Politika), sepakat untuk hati-hati melihat fenomena “kebangkitan” ini. Sementara Zulkiflimansyah (Partai Keadilan Sejahtera) lebih banyak berbicara dari sudut pandang politisi partai islamis.

Di pihak yang lain, ada sejumlah kalangan, terutama politisi, yang menilai bahwa dikotomi antara kekuatan politik Islam dan nasionalis sudah kehilangan relevansi. Ini terkait dengan tidak jelasnya materi kampanye masing-masing partai. Partai yang dikenal nasionalis dengan mudah mengumbar jargon-jargon Islam, sementara partai yang dikenal berideologi islamis malah mengusung semangat nasionalisme. Dalam sebuah talkshow televisi yang diadakan oleh harian Republika, Yusuf Kalla menegaskan “Tidak ada lagi pertentangan antara Islam dan nasionalis.” Taufik Kiemas, Muhaimin Iskandar, Hidayat Nurwahid, Yusril Ihza Mahendra, Wiranto, dan Republika sendiri mengeluarkan pendapat yang senada dengan Yusuf Kalla.

Politik Aliran

Kesimpulan para tokoh di atas dibantah oleh Dodi Ambardi dan Burhanuddin. Dodi mengemukakan beberapa fakta. Pada level perdebatan institusional di lembaga legislatif, beberapa kasus yang paling sensitif menunjukkan pembelahan ideologis itu masih relevan. Perdebatan mengenai Rancangan Undang-undang Sisdiknas, Pornografi, dan Piagam Jakarja menunjukkan pembelahan ini berjalan secara konsisten. Agenda-agenda Islam yang termuat dalam sejumlah Rancangan Undang-undang itu ditolak secara konsisten oleh partai-partai nasionalis (PDIP, PDS, Golkar, dan seterusnya). Sementara partai-partai islamis hampir selalu menjadi pendukung terdepan agenda-agenda ideologis tersebut.

Pada level pemilih, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa sebetulnya masyarakat bawah mampu membedakan garis batas ideologi dalam partai-partai politik. Survei LSI, 8-20 September 2008, menunjukkan kecenderungan pemilih mengidentifikasi PKS, PKB, PPP, PAN, PNUI dan PBB sebagai partai yang islamis. Sementara Golkar, PDIP, Demokrat, dan Gerindra adalah partai nasionalis atau pancasilais.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa para pemilih sesungguhnya menolak klaim para petinggi partainya sendiri. Ada kesenjangan antara opini publik yang berkembang di kalangan elit partai dan realitas politik yang ada.

Burhanuddin memberi data yang lebih spesifik mengenai realitas politik PKS. Belakangan ini PKS begitu sibuk membangun citra nasionalis bagi partainya. Pada sejumlah materi kampanye terlihat bahwa PKS mencoba meraih simpati pemilih nasionalis dengan mengusung ide-ide mengenai toleransi dan nasionalisme. Tokoh-tokoh nasionalis semacam Soekarno bahkan tampil dalam materi-materi kampanye tersebut. Para elit PKS juga sibuk melakukan sosialisasi dalam rangka mengubah citra PKS yang Islamis menjadi nasionalis. Tetapi menurut data kuantitatif yang dikemukakan oleh Burhanuddin, mayoritas aksi kader-kader PKS dalam bentuk demonstrasi selalu berhubungan dengan agenda-agenda islamis. Pemilih PKS juga adalah pemilih yang paling kuat mendukung agenda-agenda islamis, seperti pemberlakuan hukum potong tangan, menolak presiden perempuan, dan seterusnya. Apa yang dikemukakan oleh para elit PKS ternyata tidak memiliki korelasi dengan aspirasi dasar pemilih PKS itu sendiri.

Menanggapi isu ini, Zulkiflimansyah memberi semacam klarifikasi. Dia berpendapat bahwa PKS adalah partai yang terbuka, menerima siapa saja dan dari latar belakang apa saja. Yang paling penting dari kiprah PKS sekarang ini adalah sebagai wadah bagi ummat Islam untuk melakukan reformasi diri dalam hal penyaluran aspirasi politik. “Berikan waktu kepada ummat Islam untuk melakukan reformasi diri,” ungkap Zulkifli. Bagi dia, apa yang sekarang dijalani oleh PKS adalah semacam upaya untuk menjadikan Islam sebagai instrumen perubahan sosial. Ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Recep Tayyip Erdogan dan Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) di Turki. Mereka adalah generasi Islam yang tercerahkan. Mereka akan membuat politik Islam menjadi lebih rasional dan terbuka.

Partai Politik Islam

Pada level elektabilitas, PKS memang menunjukkan tren menanjak. Tetapi, menurut Dodi, jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa partai politik Islam secara umum memang sedang mendapat momentum untuk terus menanjak. Realitas politik menunjukkan bahwa mayoritas pemilih tetap pada pendirian untuk memilih partai-partai nasionalis. Survei nasional LSI, April 2008, menunjukan bahwa 60 persen pemilih tetap memilih partai non-Islam, sementara hanya 16,6 persen yang memilih partai Islam, 24,4 persen sisanya belum menentukan pilihan. Angka ini cukup stabil sejak 2005.

Jika kemudian PKS tampak mendulang suara semakin besar, maka yang patut dipertanyakan adalah dari partai mana suara PKS itu datang. Dalam pelbagai survei ditemukan bahwa seiring dengan meningkatnya suara PKS saat itu pula suara partai-partai seideologi juga mengalami penurunan. Dua partai yang paling menderita atas peningkatan suara PKS ini adalah PAN dan PBB. Itu artinya, PKS telah masuk ke dalam praktik “ta’kula lahma akhihi” (memakan teman sendiri).

Pola ini disadari betul oleh para elit PKS. Itulah yang membuat mereka tampak bersiteguh untuk tampil lebih nasionalis. Menurut Dodi, kekuatan PKS yang islamis sesungguhnya tidak sebanyak yang dibayangkan. 7,3 persen pada Pemilu 2004 tidak bisa serta merta berisi pemilih-pemilih Islam. Materi kampanye yang diusung oleh PKS saat itu justru adalah tentang pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Sementara pada 1999, di mana PKS hanya memperoleh suara 1,4 persen suara, PK begitu kental dengan agenda-agenda politik Islam. Yang membuat PKS mendulang suara berkali lipat justru adalah kampanye di luar agenda islamis.

Tetapi, menurut Burhanuddin, PKS tetap harus berhati-hati mengambil isu-isu nasionalis dalam materi kampanyenya. Realitas pemilih PKS yang sangat kental dengan nuansa islamis akan membatasi ruang gerak PKS itu sendiri. Tantangan utama PKS dalam melebarkan sayap audiens politik kepada pemilih nasionalis akan mendapat tantangan dari kalangan internal sendiri. Sangat mungkin PKS akan ditinggalkan oleh pemilih ideologisnya jika ia terus bermain-main dengan isu-isu nasionalis, sesuatu yang tidak mendapat tempat di hati para pemilih PKS itu sendiri.

Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.”

Ulama Arab dan Ulama Indonesia

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Karya ulama Indonesia tak perlu dipandang sebelah mata. Walau hidup di “pulau terasing”, para ulama Indonesia telah menghasilkan karya monumental bahkan dengan kualitas ekspresi dan elokuensi yang tak kalah dengan ulama Timur Tengah. Dengan kualitas yang mumpuni itu, kebiasaan untuk selalu bertanya soal-soal dalam negeri ke ulama Arab tak perlu dilakukan. Bukan hanya karena yang tahu hakekat persoalan itu adalah ulama Indonesia sendiri, melainkan juga karena mutu dan kualitas ulama Indonesia ternyata setara bahkan dalam beberapa hal melebihi ulama-ulama Arab.

Keulamaan dalam Islam makin kuat beraroma Arab-Timur Tengah. Para ilmuwan dari sana menjadi kiblat dan kitab-kitabnya serta fatwa-fatwanya menjadi rujukan umat Islam yang tinggal di kawasan lain. Dahulu, Ratu Kamalat Sjah dimakzulkan sebagai Ratu Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1699), setelah ulama Mekah mengharamkan perempuan menjadi pemimpin atau ratu. Sebagian ulama nusantara pernah menolak Megawati sebagai (calon) presiden berdasar pada fatwa ulama Arab. Ketika terjadi soal atau kasus di suatu kawasan, para tokoh agama di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Timur Tengah, seperti Yusuf Qardawi, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka mentaklid pendapat-pendapat yang datang dari sana. Walhasil, Arab merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah tafsir dalam Islam. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam pun bisa efektif kalau dilakukan para ulama Arab-Timur Tengah.

Sementara para ulama non-Arab dianggap pinggiran dan karya-karyanya dipandang sebelah mata. Ini, salah satunya, karena ulama non-Arab diposisikan sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam, agama yang memang pertama kali lahir di Arab. Jika orangnya dianggap `ajam, maka kitab-kitabnya pun dianggap ghair mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam. Tak pelak lagi, kitab-kitab yang dikreasikan para ulama Indonesia kontemporer agak sulit memasuki gelanggang percaturan intelektual Timur Tengah. Karya ulama pribumi kini tak lagi memiliki wibawa di hadapan ulama Arab.

Padahal, banyak karya ulama `ajam yang brilian. Misalnya, karya gemilang KH MA Sahal Mahfudz Thariqah al-Hushul `ala Ghayah al-Ushul, KH Afifuddin Muhajir dari Situbondo Jawa Timur menulis buku al-Ahkam al-Syar`iyah bayna al-Tsabat wa al-Tathawwur. Quraish Shihab menulis buku tafsir, al-Misbah. Sejumlah kiai membuat metode baca al-Qur’an secara kilat, seperti metode Qira’ati, Iqra’, al-Bayan, dan Hattaiyah. Bahkan, kini ditemukan metode cepat membaca kitab kuning. Yaitu, metode amtsilati yang dicipta KH Taufikul Hakim, dari Jepara Jawa Tengah. Dengan metode ini, para pelajar Islam non-Arab tak perlu menghabiskan banyak waktu hanya untuk sekedar membaca kitab berbahasa Arab yang tanpa titik-koma, syakl atau harakat. Melalui metode ini, kun fayakun, setiap orang bisa dengan mudah membaca kitab kuning.

Dengan fakta ini, dua hal bisa dikatakan. Pertama, karya ulama Indonesia tak perlu dipandang sebelah mata. Walau hidup di “pulau terasing”, para ulama Indonesia telah menghasilkan karya monumental bahkan dengan kualitas ekspresi dan elokuensi yang tak kalah dengan ulama Timur Tengah. Dengan kualitas yang mumpuni itu, kebiasaan untuk selalu bertanya soal-soal dalam negeri ke ulama Arab tak perlu dilakukan. Bukan hanya karena yang tahu hakekat persoalan itu adalah ulama Indonesia sendiri, melainkan juga karena mutu dan kualitas ulama Indonesia ternyata setara bahkan dalam beberapa hal melebihi ulama-ulama Arab. Saya kira, ulama Indonesia setingkat KH Sahal Mahfuzh, Ustadz Quraish Shihab, Prof. Nurcholish Madjid, KH Husein Muhammad, KH Masdar F. Mas’udi tak kalah alim dibanding ulama kontemporer Arab.

Kedua, ini menjadi pelajaran bagi intelektual muda Islam Indonesia untuk tak canggung membuat karya-karya besar Islam. Bukankah, para ulama Indonesia itu cukup percaya diri dalam berkarya. Sebab, terus terang, inferioritas atau perasaan rendah diri di hadapan ulama Arab adalah salah satu faktor yang menghambat produktifitas intelektual ulama Indonesia selama ini. Para ulama `ajam harus terus membuktikan bahwa karya-karya kreatif Islam bisa di kelola dengan baik di luar tanah dan kawasan Arab. []

Gagalnya Ideologi Kekerasan Dalam Islam

Oleh Ulil Abshar Abdalla

Perkembangan dalam tubuh umat Islam sendiri dalam arena internasional makin mengarah pada “dialog antar peradaban”. Baru-baru ini,
misalnya, Raja Saudi menuan-rumahi suatu peristiwa yang saya anggap sangat historis dalam sejarah negeri Saudi, yaitu konferensi yang diniatkan untuk
mendorong dialog antaragama. Dilihat dari sudut pandang ideologi Wahabisme (ideologi resmi negeri Saudi) yang sangat tertutup dan eksklusif, tindakan Raja
Abdullah dari Saudi itu sangat berani dan bersifat terobosan.

Banyak kalangan yang khawatir bahwa dieksekusinya Amrozi dkk akan melambungkan status mereka sebagai seorang “syahid” atau martir di mata umat Islam. Beberapa kalangan was-was jika mereka dihukum mati, alih-alih akan memotong akar-akar ideologi kekerasan, hukuman itu justru akan membuat ideologi mereka menjadi menarik di mata umat Islam, terutama di kalangan anak-anak muda.

Menurut saya, kekhawatiran semacam ini sama sekali tak beralasan. Untuk sementara, mungkin saja kematian Amrozi dkk akan menaikkan emosi umat Islam, terutama kalangan yang sejak dari awal memiliki simpat pada ideologi para pelaku pengeboman di Bali itu, meskipun tak serta merta mesti setuju dengan tindakan mereka. Tetapi, lambat-laun, Amrozi dkk akan hilang dari memori umat Islam. Dalam beberapa tahun saja, nama Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Imron akan segera dilupakan oleh umat Islam.

Salah satu perkembangan menarik setelah peristiwa 9/11 adalah bahwa hampir terjadi penolakan serentak di semua kalangan umat Islam, terutama kalangan yang moderat yang merupakan mayoritas dalam umat Islam, terhadap ideologi Al-Qaidah. Meskipun kita menjumpai simpati terhadap figur Osama bin Ladin di sebagian kalangan Islam, tetapi secara umum kita melihat suatu penolakan yang nyaris kompak terhadap tindakan Osama itu. Ratusan ulama dari berbagai sudut dunia Islam mengeluarkan fatwa yang dengan serentak menolak dan mengutuk tindakan para pelaku terorisme yang memakai nama Islam. Di mana-mana, kita mendengar suatu penegasan yang nyaris kategoris bahwa Islam adalah anti tindakan teoriristik, apalagi jika membawa korban masarakat sipil yang sama sekali tak berdosa (al-abriya’).

Di Indonesia sendiri, setelah bom Bali, kita mendengar kutukan yang serentak dari semua tokoh-tokoh agama dan masyarakat, terutama kalangan Islam, terhadap tindakan nista itu. Memang ada banyak kalangan Islam yang secara apologetik mencari-cari alasan yang secara tak langsung hendak “memahami” dan, dengan demikian, secara implisit juga “membenarkan” tindakan pengeboman itu. Tetapi, suara dominan di kalangan Islam hampir seluruhnya menyatakan bahwa tindakan Amozi dkk itu salah secara kategoris dari sudut pandang ajaran Islam.

Dengan kata lain, kalangan Islam arus utama sama sekali tak memberikan persetujuan atas tindakan kekerasan itu. Simpati terhadap Amrozi dkk tentu ada.
Sejumlah kalangan Islam juga mencoba memahami tindakan Amrozi dkk dalam kerangka “teori konspirasi” di mana pihak Barat (dalam hal ini Amerika dan sekutunya) dipandang sebagai yang berada di balik peristiwa itu. Tetapi, “apologetisme” semacam itu sama sekali tak bisa menolak fakta bahwa kalangan arus utama dalam Islam tetap mengutuk tindakan kekerasan tersebut. Ideologi Amrozi dkk sama sekali tak didukung oleh umat Islam arus utama.

Saya kira ini yang menjelaskan, antara lain, kenapa hingga sejauh ini kelompok-kelompok kekerasan seperti Jamaah Islamiyah dan ideologi yang menyangganya sama sekali tak pernah mendapatkan tempat yang mantap di kalangan Islam arus utama.

Sementara itu, perkembangan lain juga layak mendapat perhatian kita. Pada saat reputasi kelompok-kelompok Islam radikal-pro-kekerasan mengalami kemerosotan tajam, kita melihat perkembangan lain yang justru menarik, yaitu melambungnya reputasi sejumlah partai Islam dalam kancah politik resmi. Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dilihat dari maraknya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Gejala serupa juga kita lihat di sejumlah negeri Islam yang lain.

Perkembangan ini, menurut saya menandakan satu hal: bahwa umat Islam lebih memberikan “endorsement” pada perjuangan Islam secara “damai” melalui arena politik normal, seraya mengutuk metode kekerasan yang hanya akan membawa dampak fatal bagi umat Islam sendiri.

Hukuman yang diberikan kepada tokoh FPI, Rizieq Syihab, baru-baru ini makin memperkuat kecenderungan yang kontrap-kekerasan ini. Hukuman itu boleh kita pandang sebagai paku terakhir yang ditancapkan pada peti-mati ideologi kekerasan atas nama Islam. Dengan mantap saya bisa mengatakan bahwa ideologi Osama bin Ladin, Amrozi, Rizieq Syihab dll. telah gagal memperoleh dukungan dari umat Islam arus utama. Ideologi itu telah gagal.

Dengan mengatakan demikian, bukan berarti bahwa dukungan atas ideologi kekerasan hilang sama sekali dalam tubuh umat Islam. Dukungan itu akan selalu ada, tetapi tak akan pernah menjadi pandangan dominan dalam tubuh umat Islam. Penolakan kategoris atas ideologi ini yang kita lihat hampir di semua sudut dunia Islam makin membuat posisi ideologi itu terpinggirkan. Ideologi Osama pelan-pelan akan menjadi “residu” yang lambat-laun kehilangan relevansi dan ditinggalkan sama sekali oleh kalangan umat Islam.

Sementara itu, perkembangan dalam tubuh umat Islam sendiri dalam arena internasional makin mengarah pada “dialog antar peradaban”. Baru-baru ini,
misalnya, Raja Saudi menuan-rumahi suatu peristiwa yang saya anggap sangat historis dalam sejarah negeri Saudi, yaitu konferensi yang diniatkan untuk
mendorong dialog antaragama. Dilihat dari sudut pandang ideologi Wahabisme (ideologi resmi negeri Saudi) yang sangat tertutup dan eksklusif, tindakan Raja
Abdullah dari Saudi itu sangat berani dan bersifat terobosan. Raja Saudi konon akan menyeponsori acara serupa dalam waktu yang tak terlalu lama lagi di PBB.

Momentum yang mengarah kepada dialog antarperadaban ini makin mendapatkan ruang setelah terpilihnya Presiden Barack Obama. Retorika kampanye presiden-terpilih Obama saat pemilu kemaren sangat menekankan kebijakan luar negeri yang lebih membuka dialog ketimbang memaksa pihak lain dengan laras senjata seperti kita lihat pada Presien Bush saat ini.

Dengan sedikit optimis, saya bisa mengatakan bahwa era Bush, Osama bin Ladin, Ayman Al-Zawahiri, Dr. Azahari, Amrozi, Imam Samudra, Rizieq Shihab dll.
pelan-pelan mulai memudar. Kita sedang menjelang era lain yang jauh lebih “dialogis”. Pelaku-pelaku utama dalam era ini bukanlah mereka yang menenteng
senjata AK-47 di tangan kiri dan Kitab Suci di tangan kanan lalu meneriakkan Allahu Akbar seraya membunuhi nyawa-nyawa yang tak berdosa. Pelaku utama dalam era baru ini adalah mereka yang siap berjuang di kancah resmi, di panggung politik normal, berani adu pendapat, berani melakukan kompromi, seraya secara kategoris menolak kekerasan.

Fatwa-Fatwa yang Menghebohkan

Oleh Ulil Abshar Abdalla

Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan soal agama. Dalam Islam tak dikenal lembaga terpusat yang bisa memaksakan satu pendapat kepada seluruh umat. Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa ditentang oleh fatwa lain.

KERAPKALI kita membaca fatwa-fatwa yang menghebohkan. Beberapa hari lalu, ulama di Malaysia mengharamkan yoga. Sebagian besar ulama Saudi hingga sekarang mengharamkan perempuan untuk menyetir mobil. Beberapa ulama Saudi juga melarang perempuan memakai “bra” karena hal itu bisa menipu laki-laki, seolah-olah dia memiliki payudara yang besar, padahal belum tentu demikian, dan karena itu bisa dianggap sebagai menipu.

Begitu juga perempuan diharaman memakai sepatu dengan hak tinggi, lagi-lagi dengan alasan penipuan: dengan sepatu berhak tinggi, perempuan tampak lebih
tinggi dari aslinya, dan itu menipu. Dalam hati saya berkata: kalau diterus-teruskan, perempuan juga dilarang berhias, karena bisa menipu pula—dia tampak lebih cantik dari aslinya, dan itu menipu laki-laki.

April 2007, sebuah fatwa yang menghebohkan muncul dari Mesir. Dr. Ezzat Atiyyah, kepala Jurusan Hadis di Fakultas Usuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo,
berpendapat bahwa seorang karyawan yang bekerja di ruangan tertutup dan berduaan dengan seorang karyawati lain yang bukan “mahram”, boleh menetek dari perempuan itu untuk menghindari larangan khalwat. Dengan menetek dari perempuan itu, karyawan tersebut berubah status menjadi seorang anak dari perempuan tersebut, dan dengan demikian keduanya boleh ber-khalwat.

Fatwa ini didasarkan kepada sebuah hadis yang sahih. Orang-orang terperangah mendengar fatwa itu. Akibat fatwa ini, Dr. Ezzat dipecat oleh pihak universitas
Al-Azhar, karena dalam penilaian yang terakhir itu, fatwa tersebut menyebabkan kebingungan dalam masyarakat, dan menjadikan Islam sebagai bahan olok-olok di mata orang luar Islam.

Di Indonesia sendiri, sejumlah fatwa heboh juga kerapkali kita jumpai dari waktu ke waktu. Hingga sekarang, Majlis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen.

BAGAIMANA kita, sebagai umat Islam, menghadapi fatwa-fatwa heboh seperti ini? Pertama-tama, yang harus dipahami oleh umat Islam, dan juga umat lain yang hendak memahami dinamika internal dalam umat Islam, apa yang disebut sebagai fatwa bukanlah semacam surat ensiklik dari Vatikan yang harus ditaati oleh seluruh umat.

Berbeda dengan agama Katolik, Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan soal agama. Dalam Islam tak dikenal lembaga terpusat yang bisa memaksakan satu pendapat kepada seluruh umat. Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa ditentang oleh fatwa lain.

Dalam hal ini, Islam lebih mirip dengan agama Protestan, meskipun tidak seluruhnya persis. Baik dalam Islam dan Protestan tak dikenal lembaga terpusat
yang bisa menjadi otoritas terakhir yang memutus segala hal berkenaan dengan agama dan keputusan itu mengikat umat.

Setiap tahun, ratusan, bahkan ribuan fatwa, muncul dari ulama di berbagai belahan dunia Islam. Ada fatwa yang resmi, ada fatwa “partikulir”. Ada fatwa kolektif, ada fatwa individual. Umumnya fatwa-fatwa itu tidak menarik perhatian publik karena tidak mengenai masalah yang sensitif dan tidak diliput oleh media. Ada kecenderungan dalam umat Islam untuk selalu bertanya kepada seorang ulama tentang status hukum semua hal yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Istilah fatwa tentu mempunyai batasan, sehingga tidak bisa diterapkan kepada semua jenis pendapat. Fatwa biasanya dipakai untuk menyebut sebuah pendapat yang berkenaan dengan status hukum suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Oleh karena itu, fatwa umumnya dipakai dalam konteks pendapat yang berkenaan dengan hukum Islam atau fikih. Dengan demikian, pendapat seorang sarjana filsafat Islam tentang suatu isu tertentu dalam disiplin filsafat Islam tidak bisa disebut sebagai fatwa dalam pengertian yang “teknis” dari istilah itu.

Bagaimana sebuah fatwa lahir? Prosesnya sangat sederhana, meskipun dalam praktek tentu tidak sesederhana seperti saya gambarkan ini. Fatwa lahir melalui proses berikut ini. Jika seorang ulama ditanya, apa kata hukum Islam mengenai kasus A atau B, dia akan mencari teks atau ketentuan dalam Quran atau hadis yang berkenaan dengan kasus itu. Jika terdapat jawaban dalam kedua sumber itu, maka biasanya dia akan memakai ketetapan yang ada.

Jika ada kasus yang baru sama sekali sehingga tak ada keterangan apapun mengenainya baik dalam Quran atau hadis, maka proses yang biasa dilakukan oleh seorang mufti atau ulama pembuat fatwa adalah ber-ijtihad atau menalar. Ada banyak prosedur dalam ijtihad yang tak usah saya sebutkan di sini. sebagian besar kasus yang muncul saat ini tidak ada ketentuannya dalam Quran dan sunnah, sehingga ulama harus melakukan ijtihad sendiri untuk menentukan hukumnya.

Contoh yang sangat baik adalah masalah yoga yang diharamkan oleh para ulama dari Malaysia itu. Jelas dalam Quran dan sunnah tak ada ketentuan yang eksplisit tentang haramnya yoga. Jika pada akhirnya ulama Malaysia memutuskan bahwa yoga haram dipraktekkan oleh umat Islam, maka pendapat itu adalah hasil penalaran ulama sendiri. Tentu bukan penalaran yang bergerak bebas; sudah tentu para ulama itu mendasarkan penalarannya atas ketentuan-ketentuan umum dalam Quran dan sunnah.

Tetapi ulama yang lain, dengan memakai ketentuan-ketentuan umum serupa, bisa datang dengan pendapat lain yang berbeda. Bukan saja itu, ulama yang sama bisa memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam soal yang sama. Ini bisa kita baca dalam buku-buku fikih perbandingan mazhab di mana sering kita jumpai pendapat yang berbeda-beda dari Imam Syafii (pendiri mazhab Syafii yang banyak diikuti di Asia Tenggara) atau Imam Malik (pendiri mazhab Maliki yang banyak diikuti di Afrika Utara) mengenai masalah yang sama.

Meskipun para ulama fikih mengatakan bahwa ijithad dalam Islam diikat oleh metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil ijtihad
seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor di luar pertimbangan agama. ”Mind-set”, paradigma berpikir dan kecenderungan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan hasil akhir dari suatu ijtihad. Bahkan latar belakang sosial-budaya dari ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad yang ia lakukan.

Jangan pula dilupakan, kedudukan sosial ulama juga ikut mewarnai pendapat dan fatwa seseorang. Ulama yang berada dan dekat dengan kekuasaan boleh jadi
mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan ulama yang ada di luar atau malah anti-kekuasaan.

Kelemahan praktek ijtihad yang berlangsung di kalangan ulama Islam selama ini adalah bahwa seolah-olah proses ijithad melulu dituntun dan dikendalikan oleh
metode ijtihad yang ada, tanpa adanya pengaruh eksternal; seolah-olah seorang ulama adalah subyek otonom yang berada di luar jejaring kepentingan sosial yang bekerja dalam masyarakat.

Menurut saya, asumsi seperti ini berbahaya karena mengandaikan ulama tidak mewakili kepentingan kelompok sosial tertentu; seolah-olah ulama adalah mewakili “suara Tuhan” yang berada di atas semua kepentingan sosial yang ada.

Dengan melihat proses fatwa seperti itu, saya berharap kita bisa menempatkan fatwa secara proporsional. Apa yang disebut sebagai fatwa adalah tak lebih dari
“legal opinion”, pendapat hukum. Fatwa mengenai kasus tertentu tidak berarti langsung menjadi kata pamungkas dalam kasus tersebut, sebab ulama atau sarjana lain bisa memiliki pendapat yang berbeda.

Keadaannya persis seperti saat anda datang ke dokter lalu meminta pendapatnya tentang suatu penyakit yang anda derita. Pendapat dokter tersebut tentu bukanlah kata akhir, sebab anda bisa datang ke dokter lain untuk meminta “pendapat kedua”, atau malah ketiga, keempat, dan seterusnya. Makin banyak informasi yang anda punyai tentang penyakit yang anda derita, makin baik. Meskipun anda bisa saja memutuskan untuk percaya saja pada pendapat dari dokter pertama.

ISU yang penting untuk saya tekankan di sini adalah bahwa “konsumen” juga memiliki haknya sendiri untuk menimbang-nimbang sebuah pendapat yang ia peroleh, entah dari seorang dokter atau seorang ulama. Aspek peranan “konsumen” inilah yang menurut saya kurang banyak dilihat dalam studi mengenai fatwa selama ini. Ada semacam asumsi bahwa begitu fatwa dikeluarkan oleh seorang ulama atau lembaga tertentu, maka dengan sendirinya umat akan mengikuti saja fatwa itu.Umat diandaikan sebagai obyek pasif yang harus menaati saja kata ulama, sebab apa yang dikatakan oleh ulama adalah kelanjutan saja dari “firman Tuhan”.

Ketika geraja Vatikan mengeluarkan larangan untuk memakai kondom, belum tentu larangan itu diikuti oleh umatnya, dan belum tentu juga semua umat Katolik
sepakat bahwa larangan itu masuk akal dan sesuai dengan ajaran Alkitab.

Hal serupa juga terjadi dalam tubuh umat Islam. Karena sebuah fatwa bukanlah hukum yang mengikat, dan oleh karena sebuah fatwa juga bukan merupakan kata putus dalam sebuah kasus, maka fatwa tidak bisa kita jadikan sebagai semacam indeks untuk melihat dan membaca kecenderungan prilaku umat. Umat bisa saja menanggapi fatwa tertentu secara skeptis karena dianggap tidak masuk akal.

Contoh terbaik adalah soal bunga bank. Meskipun MUI mengatakan bahwa bunga bank haram, tetapi banyak umat Islam yang tidak mengikuti fatwa itu. Mereka tidak mengikuti fatwa itu buka karena tak tahu atau tahu tetapi tak mau mengikuti. Mereka “membangkang” terhadap fatwa MUI itu sebab ada ulama lain yang berpendapat bahwa bunga bank seperti dipraktekkan oleh perbankan modern tidaklah masuk dalam kategori riba yang dilarang oleh agama.

Dengan kata lain, umat bukanlah obyek pasif yang menerima fatwa apa adanya tanpa berpikir kritis. Tantangan umat Islam ke depan adalah bagaimana terus-menerus memberdayakan umat, bukan saja secara ekonomi (itu juga penting), tetapi juga dalam aspek berpikir sehingga daya kritis mereka terus meningkat dan dengan demikian dapat menilai fatwa-fatwa ulama secara lebih jeli dan hati-hati. Pendapat ulama jelas bukan pendapat suci yang tak bisa “diinterogasi” secara kritis.

Tidak semua orang kompeten untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Tetapi setiap orang berhak menilai apakah sebuah fatwa masuk akal atau tidak, apalagi jika fatwa itu menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Keadaanya tidak beda dengan produk hukum sekuler biasa: anda tak perlu menjadi sarjana hukum untuk menilai apakah suatu produk hukum tertentu masuk akal atau tidak. Begitu juga, anda tak perlu menjadi seorang ahli hukum Islam untuk menilai apakah sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama atau lembaga ulama tertentu masuk akal atau tidak.

Jangan terkecoh dengan sebuah fatwa yang mengandung catatan kaki panjang yang memuat puluhan ayat atau hadis. Contoh yang sangat bagus adalah pendapat Ibn Taymiyah yang pernah saya tulis sebelumnya. Berdasarkan sebuah hadis tertentu yang sangat sahih, Ibn Taymiyah mengatakan bahwa dalam Islam bangsa Arab mempunyai bangsa yang lebih unggul ketimbang bangsa lain. Bagi Ibn Taymiyah, itulah doktrin Sunni. Pendapat Ibn Taymiyah itu, walaupun disokong oleh ratusan hadis sekalipun, jelas tak masuk akal, dan “counter intuitive”.

Dengan kata lain, cara terbaik yang dapat membantu orang-orang awam di bidang hukum Islam untuk menilai sebuah fatwa adalah akal sehat. Itulah modal mental paling berharga yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan akal sehat, anda bisa menilai sendiri apakah fatwa tentang haramnya mengucapkan selamat natal atau yoga masuk akal atau tidak. Sudah tentu, dengan akal sehat, orang bisa sampai pada pendapat yang berbeda-beda. Itu hal yang lumrah saja. Perbedaan adalah hal yang biasa dan tentu alamiah. Tinggal bagaimana kita mengelola perbedaan itu secara sehat.

Tetapi memberangus perbedaan dengan alasan bahwa pendapat tertentu bertentangan dengan “fatwa” dari seorang atau lembada ulama dan karena itu sesat, jelas tak masuk akal dan kontradiktif dengan hukum masyarakat.[]

Apakah Istilah “Allah” Hanya Milik Umat Islam?

Oleh Ulil Abshar Abdalla

Masalahnya adalah bahwa sebagian umat Islam sendiri melakukan sejumlah tindakan yang justru membuat citra Islam itu menjadi buruk. Menurut saya, pendapat ulama dan sikap pemerintah Malaysia itu adalah salah satu contoh tindakan semacam itu. Jika umat Islam menginginkan agar umat lain memiliki pandangan yang positif tentang agama mereka, maka langkah terbaik adalah memulai dari “dalam” tubuh umat Islam sendiri. Yaitu dengan menghindari tindakan yang tak masuk akal.

SEORANG perempuan beragama Kristen saat ini sedang menggugat pemerintah Malaysia dengan alasan telah melanggar haknya atas kebebasan beragama (baca International Herald Tribune, 29/11/2008). Mei lalu, saat balik dari kunjungan ke Jakarta, Jill Ireland, nama perempuan itu, membawa sejumlah keping DVD yang berisi bahan pengajaran Kristen dari Jakarta. Keping-keping itu disita oleh pihak imigrasi, dengan alasan yang agak janggal: sebab dalam sampulnya terdapat kata “Allah”.

Sejak tahun lalu, pemerintah Malaysia melarang penerbitan Kristen untuk memakai kata “Allah”, sebab kata itu adalah khusus milik umat Islam. Umat lain di luar Islam dilarang untuk menggunakan kata “Allah” sebagai sebutan untuk Tuhan mereka. Pemakaian kata itu oleh pihak non-Muslim dikhawatirkan bisa membingungkan dan “menipu” umat Islam (Catatan: Sedih sekali ya, umat Islam kok mudah sekali tertipu dengan hal-hal sepele seperti itu?)

Pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah kata “Allah” hanyalah milik umat Islam saja? Apakah umat lain tidak boleh menyebut Tuhan yang mereka sembah dengan kata “Allah”? Apakah pandangan semacam ini ada presedennya dalam sejarah Islam? Kenapa pendapat seperti itu muncul?

Sebagai seorang Muslim, terus terang saya tak bisa menyembunyikan rasa geli, tetapi juga sekaligus jengkel, terhadap pandangan semacam ini. Sikap pemerintah Malaysia ini jelas bukan muncul dari kekosongan. Tentu ada sejumlah ulama dan kelompok Islam di sana yang menuntut pemerintah mereka untuk memberlakukan larangan tersebut.

Di Indonesia sendiri, hal serupa juga pernah terjadi. Beberapa tahun lalu, ada seorang pendeta Kristen di Jakarta yang ingin menghapus kata “Allah” dalam terjemahan Alkitab versi bahasa Indonesia. Menurut pendeta itu, istilah “Allah” bukanlah istilah yang berasal dari tradisi Yudeo-Kristen. Nama Tuhan yang tepat dalam tradisi itu adalah Yahweh bukan Allah.

Jika usulan untuk melarang penggunaan kata Allah berasal dari dalam kalangan Kristen, tentu saya, sebagai orang luar, tak berhak untuk turut campur. Tetapi jika pendapat ini datang dari dalam kalangan Islam sendiri, maka saya, sebagai seorang Muslim dan “orang dalam”, tentu berhak mengemukakan pandangan mengenainya.

Pandangan bahwa istilah Allah hanyalah milik umat Islam saja, menurut saya, sama sekali tak pernah ada presedennya dalam sejarah Islam. Sejak masa pra-Islam, masyarakat Arab sendiri sudah memakai nama Allah sebagai sebutan untuk salah satu Tuhan yang mereka sembah. Dalam Quran sendiri, bahkan berkali-kali kita temui sejumlah ayat di mana disebutkan bahwa orang-orang Arab, bahkan sebelum kedatangan Islam, telah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka (baca QS 29:61, 31:25, 39:37, 43:87). Dengan kata lain, kata Allah sudah ada jauh sebelum Islam sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad lahir di tanah Arab.

Begitu juga, umat Kristen dan Yahudi yang tinggal di kawasan jazirah Arab dan sekitarnya memakai kata Allah sebagai sebutan untuk Tuhan. Para penulis Kristen dan Yahudi juga memakai kata yang sama sejak dulu hingga sekarang. Seorang filosof Yahudi yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd di Spanyol, yaitu Musa ibn Maimun (atau dikenal di dunia Latin sebagai Maimonides [1135-1204]) menulis risalah terkenal, Dalalat al-Ha’irin (Petunjuk Bagi Orang-Orang Yang Bingung). Kalau kita baca buku itu, kita akan jumpai bahwa kata Allah selalu ia pakai untuk menyebut Tuhan.

Semua Bibel versi Arab memakai kata Allah sebagai nama untuk Tuhan. Ayat pertama yang terkenal dalam Kitab Kejadian diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai berikut: Fi al-bad’i khalaqa Allahu al-samawati wa al-ard (baca Al-Kitab al-Muqaddas edisi The Bible Society in Lebanon). Dalam terjemahan versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), ayat itu berbunyi: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”.

Tak seorangpun sarjana Islam yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa ibu mereka, entah pada masa klasik atau modern, yang mem-beslah atau keberatan terhadap praktek yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun itu. Tak seorang pun ulama Muslim yang hidup sezaman dengan Maimonides yang memprotes penggunaan kata Allah dalam buku dia di atas.

Polemik antara Islam dan Kristen sudah berlangsung sejak masa awal Islam, dan, sejauh pengetahuan saya, tak pernah kita jumpai seorang “mutakallim” atau teolog Muslim yang terlibat perdebatan dengan teolog Kristen atau Yahudi karena memperebutkan kepemilikan atas kata Allah. (Survei terbaik tentang sejarah polemik Islam-Kristen sejak masa awal Islam hingga abad ke-4 H/10 M adalah buku karangan Abdul Majid Al-Sharafi, “Al-Fikr al-Islami fi al-Radd ‘Ala al-Nashara“, 2007).

Dalam perspektif historis, pandangan sejumlah ulama Malaysia yang kemudian diresmikan oleh pemerintah negeri jiran itu, jelas sangat aneh dan janggal sebab sama sekali tak ada presedennya. Dipandang dari luar Islam, pendapat ulama Malaysia itu juga bisa menjadi bahan olok-olok bagi Islam. Sebab, pandangan semacam itu tiada lain kecuali memperlihatkan cara berpikir yang sempit di kalangan sebagian ulama. Jika para ulama di Malaysia itu mau merunut sejarah ke belakang, kata Allah itu pun juga bukan “asli” milik umat Islam. Kata itu sudah dipakai jauh sebelum Islam datang. Dengan kata lain, umat Islam saat itu juga meminjam kata tersebut dari orang lain.

Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama yang lahir dari rahim yang sama, yaitu dari tradisi Ibrahim. Islam banyak sekali mewarisi tradisi dan ajaran dari kedua agama itu. Karena asal-usul yang sama, dengan sendirinya sudah lumrah jika terjadi proses pinjam-meminjam antara ketiga agama itu. Selama berabad-abad, ketiga agama itu juga hidup berdampingan di jazirah Arab dan sekitarnya. Tak heran jika terjadi proses saling mempengaruhi antara ketiga tradisi agama Ibrahimiah tersebut. Tradisi Kristiani, misalnya, mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pembentukan Islam, terutama dalam tradisi pietisme atau mistik (baca, misalnya, buku karangan Tarif Khalidi, “The Muslim Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature“, 2001).

Quran sendiri banyak meminjam dari tradisi lain, termasuk dalam konteks istilah-istilah yang berkaitan dengan peribadatan. Hampir semua istilah-istilah ritual yang ada dalam Islam, seperti salat (sembahyang), saum (puasa), hajj, tawaf (mengelilingi ka’bah), ruku’ (membungkuk pada saat salat) dsb., sudah dipakai jauh sebelum Islam oleh masyarakat Arab.

Dengan kata lain, proses pinjam-meminjam ini sudah berlangsung sejak awal kelahiran Islam. Pandangan ulama Malaysia itu seolah-olah mengandaikan bahwa semua hal yang ada dalam Islam, terutama istilah-istilah yang berkenaan dengan doktrin Islam, adalah “asli” milik umat Islam, bukan pinjaman dari umat lain. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, pandangan semacam itu salah sama sekali.

JIKA demikian, bagaimana kita menjelaskan pendapat yang janggal dari Malaysia itu? Saya kira, salah satu penjelasan yang sederhana adalah melihat masalah ini dari sudut dinamika internal dalam tubuh umat Islam sendiri sejak beberapa dekade terakhir. Sebagaimana kita lihat di berbagai belahan dunia Islam manapun, ada gejala luas yang ditandai oleh mengerasnya identitas dalam tubuh umat. Di mana-mana, kita melihat suatu dorongan yang kuat untuk menetapkan batas yang jelas antara Islam dan non-Islam. Kekaburan batas antara kedua hal itu dipandang sebagai ancaman terhadap identitas umat Islam.

Penegasan bahwa kata “Allah” hanyalah milik umat Islam saja adalah bagian dari manifestasi kecenderungan semacam itu. Pada momen-momen di mana suatu masyarakat sedang merasa diancam dari luar, biasanya dorongan untuk mencari identitas yang otentik makin kuat. Inilah tampaknya yang terjadi juga pada umat Islam sekarang di beberapa tempat. Kalau kita telaah psikologi umat Islam saat ini, tampak sekali adanya perasaan terancam dari pihak luar. Teori konspirasi yang melihat dunia sebagai arena yang dimanipulasi oleh “kllik” tertentu yang hendak menghancurkan Islam mudah sekali dipercaya oleh umat. Teori semacam ini mudah mendapatkan pasar persis karena bisa memberikan justifikasi pada perasaan terancam itu.

Keinginan untuk memiliki identitas yang otentik dan “beda” jelas alamiah belaka dalam semua masyarakat. Akan tetapi, terjemahan keinginan itu dalam dunia sehar-hari bisa mengambil berbagai bentuk. Ada bentuk yang sehat dan wajar, tetapi juga ada bentuk yang sama sekali tak masuk akal bahkan lucu dan menggelikan. Pandangan ulama Malaysia yang kemudian didukung oleh pemerintah negeri itu untuk melarang umat Kristen memakai istilah “Allah” adalah salah satu contoh yang tak masuk akal itu. Sebagaimana saya sebutkan di muka, secara historis, pandangan semacam ini sama sekali tak ada presedennya. Selain itu, proses saling meminjam antara Islam, Kristen dan Yahudi sudah berlangsung dari dulu.

Bayangkan saja, jika suatu saat ada kelompok Yahudi yang berpikiran sama seperti ulama Malaysia itu, lalu menuntut agar umat Islam tidak ikut-ikutan merujuk kepada nabi-nabi Israel sebelum Muhammad — apakah tidak runyam jadinya. Orang Yahudi bisa saja mengatakan bahwa sebagian besar nabi yang disebut dalam Quran adalah milik bangsa Yahudi, dan karena itu umat Islam tak boleh ikut-ikutan menyebut mereka dalam buku-buku Islam. Sudah tentu, kita tak menghendaki situasi yang “lucu” dan ekstrem seperti itu benar-benar terjadi.

Selama ini umat Islam mengeluh karena umat lain memiliki pandangan yang negatif tentang Islam, dan karena itu mereka berusaha sekuat mungkin agar citra negatif tentang agama mereka itu dihilangkan. Masalahnya adalah bahwa sebagian umat Islam sendiri melakukan sejumlah tindakan yang justru membuat citra Islam itu menjadi buruk. Menurut saya, pendapat ulama dan sikap pemerintah Malaysia itu adalah salah satu contoh tindakan semacam itu. Jika umat Islam menginginkan agar umat lain memiliki pandangan yang positif tentang agama mereka, maka langkah terbaik adalah memulai dari “dalam” tubuh umat Islam sendiri. Yaitu dengan menghindari tindakan yang tak masuk akal.

Tak ada gunanya umat Islam melakukan usaha untuk mengoreksi citra Islam, sementara mereka sendiri memproduksi terus-menerus hal-hal yang janggal dan tak masuk akal.[]

Caveat: Mohon maaf kepada teman-teman dan pembaca Malaysia, jika tulisan saya ini terlalu kritis pada pemerintah Malaysia dalam isu yang spesifik ini. Saya sama sekali tidak berpandangan bahwa sikap pemerintah Malaysia itu mewakili sikap seluruh umat Islam di sana. Saya tahu, banyak kalangan Islam di sana yang tak setuju dengan sikap ulama dan pemerintah Malaysia itu.

Minggu, 16 November 2008

chapter3

CHAPTER III

RESEARCH METHODOLOGY

3.1 Research Design

According to Nazir (2005:84) design of study is all process that is needed in research planning and implementation. In limited meaning, design of study can be said as data collecting and analysis process. There are some techniques of conducting research which guide an enable the researcher to gather and analyze data. The present study is a descriptive correlation research because it deals with the description and interpretation whether there is or not a correlation between variables. Based on Nazir (2005:123) variable is concept that has many values. In this case the variables are students’ mathematics achievement that is taken from students’ report score (raport) and students’ English grammar achievement on second year students of MTs Nurul Islam Slatri Brebes.
This correlation research tries to describe the relationship between the variables by using coefficient of correlation, because such the writer has explained in chapter one, mathematic can influence English grammar based on their characteristics. In this research mathematics' achievement as independent (X) variable, while English grammar's achievement as dependent (Y) variable. The data of students' achievements in mathematics and English grammar are taken by using questionnaire.


3.2 Populations and Sample
One of research steps that also important is choosing the source of the data. According to Arikunto (2006:129) data source is the subject where the data is obtained. This data source is including population and sample that will be explained below.
3.2.1 Population
Such is stated in http://infinity.cos.edu//faculty/ A population is a collection of data whose properties are analyzed. The population is the complete collection to be studied; it contains all subjects of interest.
According to Nazir (2005:271) population is collection of individual with quality and characteristics that have been determined. The population of the study is the second year of MTs Nurul Islam Slatri Brebes. There are three classes namely; VIII A, VIII B and VIII C. The whole number is 100 students which consist of; 51 students of VIII A, 49 students of VIII B.
3.2.2 Sample
A sample is a part of the population of interest, a sub-collection selected from a population (http://infinity.cos.edu//faculty/). According to Nazir (2005:271) sample is part of population. So sample is taken from the population that has been determined before. In choosing the sample, the writer is using random sample. Because the writer chooses the sample is not based on personal consideration, but based on probability application.
Because the number of population is 100 students, so to minimize the sampling error and get precise result, the writer choose 50 students from 100 students of second year students in MTs Nurul Islam. That consists of 26 students from A class and 24 students of B class.
However, for interest only, there is a list of the recommended sample sizes for different populations. The table below, from a book on surveys, indicates some recommended sample sizes:

Recommended Sample Sizes for Different Populations and Permissible Sampling Errors 

Sampling Error Allowed
Population Size



500
1000
10,000
100,000
1 million


±10
83
93
99
100
100


±5
222
286
385
398
400


±4
250
385
588
621
625


±3
250
500
1000
1099
1111


±2
250
500
2000
2439
2500


±1
250
500
5000
9091
10,000


3.3 Instruments
In order to collect the data for this study, the instruments that are used are documentation and achievement test.




a.Documentation
The first instrument is documentation; according to Arikunto (2006:158) documentation is written things, it means that data that is taken from book or report that, or in the wider meaning documentation is not only in writing shape but also can be inheritance things, such as prasasti or archaeological symbols. This instrument is to get data about students’ achievement on mathematics. This data is taken from students’ semester report of second year students at MTs Nurul Islam Slatri Kab. Brebes . This mathematics’ score is as independent variable (X).
b.Achievement test
According to Arikunto (2006:151) Achievement test is a test that is used to measure someone achievement after learning something. In this case this achievement test is intended to get the information how far the students’ comprehensions and English grammar are. The way to get it is by taking English grammar test on second year students of MTs Nurul Islam Slatri Kab. Brebes.
The achievement tests consist of Questions of English grammar; this test is held to know how far students’ comprehension on English grammar is or to know the progress towards the instructional objectives of study. The English grammar score is as a dependent variable (Y).



3.4 Procedure of Data Collection

To organize the data obtained, we need certain steps. It needs valid data to be analyzed in order to get the calculation at the exact condition. That is way, in this research, the data collection have to be done first. The data that can be analyzed in this research should have the following qualification. There are two data in this study. They are mathematics’ score and English grammar score. Both score are taken from the result of the tests that that are held by the writer on second year students of MTs Nurul Islam Slatri Kab. Brebes.
Having been collected the data. The data were listed on two groups. This has purpose to make data analysis easier.
3.5. Data Analysis

This data is an attempt to find out whether there is or not a correlation between students’ achievement in mathematics and their English grammar achievement on the second year students of MTs Nurul Islam Slatri, Kab. Brebes. To compute the two variables the Pearson product moment is used. Because Pearson Product Moment Correlation (Bivariate Statistic) used to describe the strength of relationship between two variables. Beside that its formula is most stable technique that has smallest standard error. Formula used in this technique is:





r : correlation coefficient
N : number of sample
X : mathematics score
Y : English grammar score
The result of above computation will show the significance of the correlation.

4.1.1 Validity Test
Before we try to find out the correlation between mathematics and English grammar score, first of all we have to find the validity of English grammar. This is because the writer uses test questions that are made by him, so to know that the questions are qualified, the writer should find the validity of the test.
According to Arikunto (2006:168) validity is a parameter that shows levels of validity or truth of an instrument. A valid instrument has a high validity; otherwise, a less valid instrument means has low validity. The way to measure the validity of test is by giving two tests that consist of same questions or materials to the sample that has been chosen, and the test time is held in different time.
The computation of the coefficient of correlation using Pearson Product Moment correlation formula resulted in the coefficient of correlation is indicated in the following table, which consists of English grammar scores and its analysis. Score from the first test of English grammar is as independent variable (X), while English grammar score from the second test (Y).
Data are known as follows:

From the data above we can find the validity of the test by using Pearson’s Correlation product moment.

r : Coefficient correlation
N : Number of sample
X : fisrt English grammar score
Y : second English grammar score

After we get the result, the next step is to compare the result to the value of r in the table. In the table we find that: (1) on the significance level 5%: 0, 297 (2) on the significance level 1%: 0, 361. We find that r value above is bigger than r value in the table (0, 297 (0, 7606) 0, 361), it means that there is significance correlation between X variable and Y variable and it significance because right after coma there is no other nil. And the correlation index is big because the value is close to 1, 000.
Conclusion: because there is positive significance correlation, so formative test that is being tested the comparison validity can be said as valid test.

Minggu, 02 November 2008

Ilusi Khilafah Islam

Oleh Saidiman

Ketika Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian. Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis keturunan.

Reportase Tadarus Ramadan JIL “Mengaji al-Islam wa Ushul al-Hukm” karya Ali Abd. Raziq (1888 – 1966)

Perdebatan seputar institusionalisasi politik Islam melalui negara yang mengemuka pada diskusi kedua Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal menjadi tema utama pada diskusi yang ketiga ini. Diskusi ini menjadi sangat menarik karena yang dibahas adalah teori Ali Abdul Raziq dalam buku al-Islam wa Ushul al-Hukm mengenai negara Islam. Titik utama keterangan Raziq adalah bahwa Nabi Muhammad tidak datang sebagai pemangku wahyu politik yang oleh karenanya harus menyebarkan risalah negara Islam. Sebagaimana rekan-rekannya sesama nabi, Nabi Muhammad hanyalah pembawa risalah agama, tidak lebih dari itu.

Luthfi Assyaukanie yang tampil sebagai pembicara pertama mengupas isi dan latar belakang historis kelahiran buku yang sedang dikaji. Sementara pembicara kedua, Ihsan Ali-Fauzi, mencoba melakukan teoretisasi terhadap karya ini dan memberi konteks terhadap realitas dunia Islam masa kini.

Al-Islam wa Ushul al-Hukm muncul di tengah perdebatan seputar wacana khilafah menyusul dihapusnya khilafah oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1924. Banyak kalangan yang menilai bahwa kelahiran buku ini adalah bentuk dukungan teologis semata kepada keputusan Attaturk membubarkan institusi khilafah.

Kedua tokoh sezaman ini kemudian memperoleh kecaman luar biasa dari otoritas Islam di pelbagai dunia Islam. Beruntung bagi Attaturk karena ia memegang kekuasaan politik. Sementara kecaman yang diterima oleh Raziq dari otoritas dan masyarakat Islam Mesir membuat posisi-posisi sosialnya dilepas satu persatu. Raziq yang awalnya adalah salah satu ulama universitas al-Azhar dipecat dari jabatannya tersebut.

Kelahiran buku ini sebetulnya berada pada situasi dunia Islam yang sedang bergejolak. Tahun 1924, Mustafa Kemal Attaturk mengambil inisiatif menghapuskan bentuk pemerintahan khilafah Turki, satu-satunya khilafah Islam yang masih tersisa. Alasan utama Attaturk mengambil inisiatif adalah bahwa bentuk negara khilafah adalah sistem pemerintahan kuno yang tidak mampu memenuhi tantangan zaman, terutama karena Turki semakin terpuruk di bawah sistem pemerintahan ini. Butuh inovasi baru yang lebih segar dan modern, yaitu sekularisme.

Penghapusan khilafah kemudian dengan cepat memperoleh reaksi dari para pemimpin politik Islam dan terutama dari para ulama. Penghapusan ini memberi angin segar kepada komunitas-komunitas politik di luar Turki yang selama ini memang menunggu momen itu untuk mendeklarasikan diri sebagai khalifah. Dua komunitas politik yang sangat bernafsu adalah Raja Mesir, Fuad, dan Jazirah Arab.

Sebelum buku ini terbit, seorang ulama Mesir terkemuka, Rasyid Ridha, mempublikasikan sebuah tulisan di jurnal Al-Manar yang intinya memberi dukungan terhadap khilafah. Ada sementara anggapan yang mengatakan bahwa Raziq memberi jawaban balik terhadap artikel Ridha itu melalui buku Al-Islam. Di sisi lain Raziq, melalui buku ini, sebetulnya juga melakukan kritik terhadap nafsu penguasa Mesir untuk menjadi khalifah. Serangan pada dua otoritas inilah yang kemudian menempatkan Raziq pada posisi yang sangat berbahaya, yakni menghadapi otoritas agama dan politik sekaligus.

Secara teoretis, Raziq tampak meminjam paparan Ibn Khaldun mengenai pembedaan antara khilafah dan kerajaan. Khilafah adalah rezim Qur’ani yang beriorientasi ukhrawi. Di dalamnya adalah solidaritas sosial atau ashabiyyah. Sementara kerajaan hanyalah sistem politik dengan orientasi duniawi semata. Sistem politik bisa berubah dari kerajaan menjadi khilafah, demikian pula sebaliknya, ditentukan oleh seberapa besar solidaritas sosial terjalin untuk kepentingan ukhrawi. Belakangan ini, menurut Ibn Khaldun, khilafah telah turun menjadi kerajaan karena kurangnya solidaritas sosial yang beriorientasi ukhrawi. Akan tetapi kerajaan bisa bangkit lagi menjadi khilafah jika politik pemerintahan dapat diislamkan dan islamnya dapat dipolitikkan.

Bagi Raziq, selamanya yang terjadi adalah politik kekuasaan. Tidak pernah terjadi kekuasaan politik memiliki nuansa religius sekaligus. Di sini Raziq berusaha membangun teori untuk menolak definisi khilafah yang menyatakan bahwa khilafah adalah bentuk pemerintahan yang bersumber dari ilahi dan disetujui oleh ummat. Pertama-tama Raziq menantang semua pendukung khilafah untuk menunjukkan bukti doktrin Islam yang berbicara mengenai bentuk pemerintahan. Menurut Raziq, tidak ada satupun nash al-Qur’an yang menyatakan satu bentuk pemerintahan atau sistem politik Islam. Yang ada hanyalah ungkapan-ungkapan mengenai posisi Muhammad sebagai pembawa risalah. Raziq kemudian mengutip sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa Muhammad hanyalah pembawa risalah, dan tidak memiliki otoritas untuk melakukan pemaksaan. Dengan tidak adanya paksaan, maka sesungguhnya Muhammad tidak menunjukkan otoritas politik yang ada dalam doktrin agama. Kekuatan pemaksa hanya milik otoritas politik dan bukan otoritas agama.

Raziq tidak memungkiri fakta mengenai terbentuknya komunitas politik, namun semua itu hanyalah fenomena historis yang tidak diwajibkan oleh syariah. Ketika Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian. Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis keturunan.

Fakta ini memberi bukti bahwa Islam tidak pernah menetapkan khilafah sebagai keharusan politik, bahkan ia tidak Islami sama sekali. Raziq menulis:
“Agama Islam terbebas dari khilafah yang dikenal kaum Muslim selama ini, dan juga terbebas dari apa yang mereka bangun dalam bentuk kejayaan dan kekuatan. Khilafah bukanlah bagian dari rencana atau takdir agama tentang urusan kenegaraan. Tapi ia semata-mata adalah rancangan politik murni yang tak ada urusan sama sekali dengan agama. Agama tidak pernah mengenalnya, menolaknya, memerintahkannya, ataupun melarangnya. Tapi, ia adalah sesuatu yang ditinggalkan kepada kita agar kita menentukannya berdasarkan kaedah rasional, pengalaman, dan aturan-aturan politik. Begitu juga, pendirian lembaga militer, pembangunan kota, dan pengaturan administrasi negara tak ada kaitannya dengan agama. Tapi semua itu diserahkan pada akal dan pengalaman manusia untuk memutuskan yang terbaik.”

Untuk mendukung argumentasinya, Raziq menggunakan argumentasi historis dan kutipan sumber-sumber doktrin Islam. Secara historis bentuk kekuasaan politik dalam masyarakat Muslim terus berubah. Menurut Raziq, kekhalifahan yang pernah ada dalam Islam bukanlah doktrin melainkan fenomena sejarah semata. Pandangan ini kontan merisaukan sejumlah ulama. Rasyid Ridha menyatakan bahwa pandangan Raziq ini akan sangat menyulitkan ummat Islam yang sekarang terpecah-pecah dalam komunitas-komunitas politik kolonialisme. Sekali lagi Raziq mengemukakan bahwa untuk urusan agama sangat mungkin tercipta solidaritas Islam secara global, tapi adalah mimpi untuk memikirkan solidaritas semacam itu untuk urusan politik.

Raziq mengutip banyak sekali nash al-Qur’an untuk mendukung argumentasinya. Ihsan Ali-Fauzi mengemukakan bahwa buku ini bisa jadi sangat menjemukan karena hampir setiap argumen selalu didasarkan pada nash al-Qur’an. Menurut Ihsan, ini juga cukup mengecewakan sebab Raziq adalah sarjana politik lulusan Oxford, namun tidak terlalu menggunakan perangkat teori politik modern untuk mendukung pendiriannya, Raziq malah kembali masuk ke dalam cara berpikir Islam tradisional. Namun begitu, lanjutnya Ihsan, ini sebetulnya adalah fenomena umum di kalangan masyarakat Islam. “Ilmu politik tidak pernah berkembang di dunia Islam,” ungkap Ihsan.

Di antara sedikit ayat al-Qur’an yang dianggap berbicara mengenai politik adalah “Yã ayyuha alladzîna ãmanû athî’û allah wa atî’û al-rasûl wa ûlî al-amr minkum..” dan “Wa law raddûhu ilã al-rasûli wa ilã ûlî al-amr minhum la’alimahu alladzîna yastanbitûnahu minhum.” Menurut Raziq, para ulama telah melakukan manipulasi ayat sehingga ulil amr menjadi istilah yang bermakna politik. Padahal menurut al-Baydhawi itu adalah ungkapan untuk menyebut sahabat-sahabat Nabi. Al-Zamakhsyari menyebut itu sekedar istilah untuk menyebut ulama.

Dari penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa Raziq sesungguhnya adalah peletak dasar konsep sekularisme di dunia Islam. Dalam bukunya Raziq mengutip Hobbes dan Locke, namun pengaruh terbesarnya berasal dari Ibn Khaldun. Meminjam istilah Leonard Binder, Ihsan menyebut liberalisme yang dikembangkan Raziq adalah “rejected alternative,” karena masih terobsesi dengan dasar-dasar liberalisme dalam Islam, yang tidak sesuai dengan panggilan terdekat zamannya. Namun begitu, menurut Ihsan, hanya Faraq Foudah yang berani melanjutkan pemikiran Raziq dengan menawarkan pembacaan sejarah yang lebih kritis terhadap realitas kekuasaan di dunia Islam sejak masa Khulafa al-Rasyidun.

Satu hal yang belum clear dari buku ini adalah pembedaan antara khilafah (emperium) dan negara bangsa. Hanif dan M. Dawam Rahardjo mengemukakan pertanyaan itu: apakah yang dibahas oleh Raziq adalah imperium atau sekedar negara bangsa? Tampak bahwa Raziq tidak melakukan pembedaan secara jelas mengenai dua bentuk komunitas politik tersebut. Jawaban sementara yang barangkali kurang memuaskan adalah bahwa yang dikemukakan oleh Raziq adalah semua bentuk komunitas politik.

Ulama Arab dan Ulama Indonesia

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Karya ulama Indonesia tak perlu dipandang sebelah mata. Walau hidup di “pulau terasing”, para ulama Indonesia telah menghasilkan karya monumental bahkan dengan kualitas ekspresi dan elokuensi yang tak kalah dengan ulama Timur Tengah. Dengan kualitas yang mumpuni itu, kebiasaan untuk selalu bertanya soal-soal dalam negeri ke ulama Arab tak perlu dilakukan. Bukan hanya karena yang tahu hakekat persoalan itu adalah ulama Indonesia sendiri, melainkan juga karena mutu dan kualitas ulama Indonesia ternyata setara bahkan dalam beberapa hal melebihi ulama-ulama Arab.

Keulamaan dalam Islam makin kuat beraroma Arab-Timur Tengah. Para ilmuwan dari sana menjadi kiblat dan kitab-kitabnya serta fatwa-fatwanya menjadi rujukan umat Islam yang tinggal di kawasan lain. Dahulu, Ratu Kamalat Sjah dimakzulkan sebagai Ratu Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1699), setelah ulama Mekah mengharamkan perempuan menjadi pemimpin atau ratu. Sebagian ulama nusantara pernah menolak Megawati sebagai (calon) presiden berdasar pada fatwa ulama Arab. Ketika terjadi soal atau kasus di suatu kawasan, para tokoh agama di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Timur Tengah, seperti Yusuf Qardawi, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka mentaklid pendapat-pendapat yang datang dari sana. Walhasil, Arab merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah tafsir dalam Islam. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam pun bisa efektif kalau dilakukan para ulama Arab-Timur Tengah.

Sementara para ulama non-Arab dianggap pinggiran dan karya-karyanya dipandang sebelah mata. Ini, salah satunya, karena ulama non-Arab diposisikan sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam, agama yang memang pertama kali lahir di Arab. Jika orangnya dianggap `ajam, maka kitab-kitabnya pun dianggap ghair mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam. Tak pelak lagi, kitab-kitab yang dikreasikan para ulama Indonesia kontemporer agak sulit memasuki gelanggang percaturan intelektual Timur Tengah. Karya ulama pribumi kini tak lagi memiliki wibawa di hadapan ulama Arab.

Padahal, banyak karya ulama `ajam yang brilian. Misalnya, karya gemilang KH MA Sahal Mahfudz Thariqah al-Hushul `ala Ghayah al-Ushul, KH Afifuddin Muhajir dari Situbondo Jawa Timur menulis buku al-Ahkam al-Syar`iyah bayna al-Tsabat wa al-Tathawwur. Quraish Shihab menulis buku tafsir, al-Misbah. Sejumlah kiai membuat metode baca al-Qur’an secara kilat, seperti metode Qira’ati, Iqra’, al-Bayan, dan Hattaiyah. Bahkan, kini ditemukan metode cepat membaca kitab kuning. Yaitu, metode amtsilati yang dicipta KH Taufikul Hakim, dari Jepara Jawa Tengah. Dengan metode ini, para pelajar Islam non-Arab tak perlu menghabiskan banyak waktu hanya untuk sekedar membaca kitab berbahasa Arab yang tanpa titik-koma, syakl atau harakat. Melalui metode ini, kun fayakun, setiap orang bisa dengan mudah membaca kitab kuning.

Dengan fakta ini, dua hal bisa dikatakan. Pertama, karya ulama Indonesia tak perlu dipandang sebelah mata. Walau hidup di “pulau terasing”, para ulama Indonesia telah menghasilkan karya monumental bahkan dengan kualitas ekspresi dan elokuensi yang tak kalah dengan ulama Timur Tengah. Dengan kualitas yang mumpuni itu, kebiasaan untuk selalu bertanya soal-soal dalam negeri ke ulama Arab tak perlu dilakukan. Bukan hanya karena yang tahu hakekat persoalan itu adalah ulama Indonesia sendiri, melainkan juga karena mutu dan kualitas ulama Indonesia ternyata setara bahkan dalam beberapa hal melebihi ulama-ulama Arab. Saya kira, ulama Indonesia setingkat KH Sahal Mahfuzh, Ustadz Quraish Shihab, Prof. Nurcholish Madjid, KH Husein Muhammad, KH Masdar F. Mas’udi tak kalah alim dibanding ulama kontemporer Arab.

Kedua, ini menjadi pelajaran bagi intelektual muda Islam Indonesia untuk tak canggung membuat karya-karya besar Islam. Bukankah, para ulama Indonesia itu cukup percaya diri dalam berkarya. Sebab, terus terang, inferioritas atau perasaan rendah diri di hadapan ulama Arab adalah salah satu faktor yang menghambat produktifitas intelektual ulama Indonesia selama ini. Para ulama `ajam harus terus membuktikan bahwa karya-karya kreatif Islam bisa di kelola dengan baik di luar tanah dan kawasan Arab. []

Rabu, 24 September 2008

Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009

Oleh Burhanuddin Muhtadi

Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca Orde Baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua penelitian pada skala nasional. Pertama, studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri.

Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable pada tingkat grassroot. Dengan data hasil Pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis seperti PDIP mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, maka perlu redefinisi politik aliran. Bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afialiasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “apakah anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi.

Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.

Karakteristik partai Islam biasanya dilihat dari dua hal, asas dan basis massa. Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKB dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena meskipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis massa muslim. Namun, partai Islam tak homogen. PKS, PPP, dan PBB bisa dikategorikan Islamis. Ketiganya memosisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologis, tapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Tak heran jika ketiga partai itu masih memiliki agenda semisal penerapan Piagam Jakarta atau mendukung pelaksanaan perda Syariat. Sebaliknya, PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai niversal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta.

Uniknya, perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tak terlalu berpengaruh dalam perolehan suara partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Baswedan, suara PDI-P beralih ke partai nasionalis. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai berbasis Islam (PAN dan PPP). Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.

Kesimpulan Baswedan di atas sejalan dengan exit polls yang diadakan LP3ES pada hari pemilu 5 April 2004; bahwa peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Sebanyak 16 persen PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Tingkat loyalitas pemilih tertinggi juga jatuh ke PKS (56%), disusul pendukung PKB (54%). Ini menunjukkan, kenaikan suara satu partai Islam lebih disebabkan turunnya suara partai Islam lain. Papartai Islam tidak atau belum berhasil meluaskan pangsa pasarnya. Hubungan antara satu partai Islam dengan partai Islam yang lain bersifat zero-sum game.

Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009? Hasil survei opini publik yang diadakan lembaga jajak pendapat menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS Jakarta misalnya, bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat pemilu tahun depan. Benar bahwa suara yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) masih cukup besar, 30%. Ini artinya, jika ditanyakan partai apa yang dipilih pada saat survei itu digelar, sepertiga pemilih belum menentukan pilihan. Di antara yang sudah menentukan pilihan, menurut survei CSIS, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% sudah menyatakan pilihannya ke PKS. Pemilih yang sudah menentukan pilihan ke PKB sebesar 6.8%, PD sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%.

Sementara itu, dilihat dari tingkat loyalitas pemilih, pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Sementara tingkat loyalitas PAN terhitung rendah; 31% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PAN pada 2009 nanti. Uniknya, ada sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS pada pemilu 2009 nanti. Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat.

Suara PKS yang menanjak menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Ini berarti, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain; PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah.

Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional Islam. Cara yang paling tepat adalah dengan membidik suara pemilih pemuda karena segmen suara inilah yang relatif bebas dari historical baggage dan immune dari polarisasi Islam dan nasionalis. Apakah partai-partai Islam mampu mengembangkan jaringan suaranya? Kita lihat hasilnya nanti!

Tanda Kemenangan atau Kekalahan

Oleh Abdurrahman Wahid*
Gus Dur Beberapa waktu yang lalu penulis artikel ini ditanya seorang wartawan dari sebuah harian besar di negeri kita. Mengapa penulis menjadi begitu nekat dan berani menyatakan keterlibatan seorang pejabat negeri dalam pertikaian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)?

Penulis artikel ini menjawab, ia telah dua kali menghadapi sang menteri tersebut karena berbuat kesalahan terus-menerus dalam urusan PKB itu. Pertama, ketika sang menteri mengeluarkan surat bahwa Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) ”yang benar” adalah yang dipimpin Muhaimin Iskandar. Ini jelas salah karena dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKB sendiri dinyatakan dengan jelas bahwa hal-hal prinsipil harus ditandatangani empat orang sebagai sebuah kesatuan.

Seperti Surat Keputusan Kepengurusan, harus ditandatangani bersama oleh Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, pihak Sekretaris Dewan Syura, Ketua Umum Dewan Tanfidz (pelaksana), dan sekretaris jenderal hasil Muktamar II di Semarang. Dengan cara pandang ini, Yenny Zannuba Arifah Chafsoh bukanlah sekjen hasil Muktamar II di Semarang itu. Karena itu, tidak diperkenankan menandatangani surat- surat seperti itu.

Sebab, menteri tersebut tidak boleh mencampuri urusan Partai Kebangkitan Bangsa, tetapi keputusannya itu dijalankan juga walaupun salah. Ini untuk menghilangkan keragu-raguan kita karena keputusan sang menteri itu tidak mengindahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai. Ternyata sikap sang menteri yang penuh kesalahan itu diulang.

Secara tertulis, ia telah membuat keputusan pada 2005 yang menyatakan bahwa Kantor DPP PKB di kawasan Kalibata Timur. Namun, ia kemudian mengeluarkan pemberitahuan secara lisan kepada KPU di tingkat pusat bahwa kantor DPP PKB ”yang benar” adalah di kawasan Jalan Sukabumi. Ia bahkan menambahkan secara lisan bahwa ia berani dibawa ke pengadilan negeri atas keputusannya itu.

Padahal, lurah daerah Jalan Sukabumi telah memutuskan sebelumnya bahwa karena kawasan tersebut diputuskan Gubernur DKI Jakarta sebagai daerah tempat tinggal, maka tidak boleh ada perkantoran di dalamnya. Pelanggaran demi pelanggaran hukum yang dilakukan sang menteri itu sudah sepatutnya ditangani Pemda DKI Jaya. Wartawan tadi bertanya lagi, adakah penulis artikel ini memiliki ”bukti”? Penulis artikel ini memang tidak memberikannya kepada sang wartawan itu.

Sekaranglah saatnya penulis mereproduksi bukti-bukti tersebut. Ini karena sudah diketahui banyak wartawan koran-koran lain, seperti sejumlah wartawan yang mengikuti pertemuan dengan KPU Jawa Timur pada 15 September 2008 pagi hari. Jelaslah dari apa yang diuraikan penulis artikel ini pada bagian-bagian terdahulu, yakni letak kesalahan tindakan sang menteri, termasuk sikapnya yang tidak menghiraukan keputusan sela PTUN Jakarta beberapa waktu lalu yang menetapkan tindakan-tindakan kedua belah pihak ditunda hingga berlangsungnya sidang kedua PTUN tersebut.

Tindakan nekat ini bukan sekadar sesuatu yang bersifat administratif, melainkan menunjukkan bahwa dalam pandangan sang menteri, keputusannya jauh lebih besar daripada keputusan hukum manapun. Apakah ini mendukung sikap pemerintah yang sedang bersedia menciptakan demokrasi? Padahal, penulis artikel ini mengajukan kritik bahwa pemerintah sedang berusaha menciptakan demokrasi tanpa kedaulatan hukum.

Ini karena sikap yang selalu memenangkan birokrasi pemerintahan tanpa ada kontrol yang jelas. Bisakah hal itu dilakukan? Dari apa yang diuraikan di atas, tampak nyata bahwa pada saat ini terjadi pergulatan saling menolak antara kedaulatan hukum dengan ”kekuatan” para birokrat dalam mengambil keputusan. Ini tentu bukan masalah yang mudah, melainkan juga menentukan nasib bangsa dan negara kita di masa depan. Sangat mengherankan, persoalan ini tak kunjung selesai sejak 17 Agustus 1945.

Waktu itu kita mengambil keputusan untuk ”menerima”orientasi atau arah pembangunan nasional negara dan bangsa, yang tidak menghiraukan kemampuan rakyat biasa (rakyat kecil). Mengapa? Karena para pemimpin kita dari masa itu sampai sekarang adalah dari kalangan bangsawan, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Mr As’ad, Mr Sartono, Dr Radjiman, Dr Tjipto Mangunkusumo, Prof Widjoyo Nitisatro dan Prof Dr Emil Salim. Bagaimana dengan kita? Tentunya tidak boleh kita ulangi, bukan?[]

*Ketua Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa
(Seputar Indonesia, Senin, 15 September 2008)

Kepemimpinan Santri dan Dilema Kekuasaan

Oleh Agus Muhammad

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Pasca reformasi, santri memegang peran penting dalam kepemimpinan nasional. Setidaknya, kelompok ini memiliki akses kekuasaan yang lebih luas di banding sebelumnya. Peluang ini tak ubahnya seperti pembalikan terhadap fakta sejarah pada kepemimpinan Soeharto yang tidak memberi akses bagi kekuatan politik Islam untuk mengambil peran dalam kepemimpinan nasional. Rezim ini justru melakukan peminggiran secara sistematis terhadap kekuatan politik Islam.

Setelah Soeharto mundur, kekuatan politik Islam bangkit dan membalikkan fakta sejarah. Partai-partai Islam berlomba-loma dalam pemilu. Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden setelah Habibie merupakan simbol santri par excelent. Pada saat yang sama Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR. Pada saat itu, praktis kepemimpinan nasional berada di tangan kaum santri.

Ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden, Megawati yang menggantikannya didampingi oleh Hamzah Haz yang merupakan figur politisi santri. Dalam pemilu 2004, partai-partai Islam kian marak. Disamping itu, semua calon presiden yang maju dalam pemilihan presiden merupakan pasangan antara figur santri dan nasionalis. SBY dan Jusuf Kalla yang kemudian memenangkan pemilu presiden adalah respresentasi dari dua hal ini.

Kecenderungan itulah yang oleh Kuntowijoyo (2004) disebut sebagai pragmatisme religius. Dalam pragmatisme religius, dikotomi sekuler-religius hilang. Tak ada lagi dikotomi santri-abangan. Bersama dengan hilangnya dikotomi sekuler-religius, menurut Kuntowijoyo, tidak akan ada lagi charismatic politics, power politics, dan politics of meaning. Pragmatisme religius mengintegrasikan yang sekuler dan yang religius. Pragmatisme religius adalah antropo-teosentrisme.

Kepemimpinan Moral

Kepemimpinan santri di pentas nasional diharapkan membawa nuansa yang berbeda dengan sebelumnya. Sampai batas tertentu, harapan ini berhasil diwujudkan, misalnya iklim keterbukaan yang lebih transparan, demokrasi yang lebih terjamin dan akses kekuasaan yang relatif terbuka bagi semua kelompok masyarakat.

Namun, dari segi perbaikan ekonomi, peningkatan kesejahteraan serta penegakan hukum yang berkeadilan, kepemimpinan santri masih harus diuji. Karena di bidang ini, tingkat keberhasilannya masih kecil. Kenyataan ini mengherankan, karena secara umum, kepemimpinan kaum santri di pentas nasional relatif memenuhi kriteria akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas.

Akseptabilitas yang mengandaikan adanya dukungan riil dari sekelompok masyarakat yang menghendaki orang tersebut menjadi pemimpin sudah terpenuhi dalam pemilihan umum. Demikian juga kapabilitas yang menyangkut kemampuan dan kecakapan untuk menjalankan kepemimpinan. Meski kapabilitas kaum santri yang duduk dalam kepemimpinan nasional tidak sangat memuaskan seperti yang diharapkan, setidaknya mereka telah didampingi para ahli, teknokrat dan kelompok profesional di bidangnya masing-masing. Sehingga problem kapabilitas mestinya sudah tidak ada masalah. Prasyarat yang masih dipertanyakan adalah integritas. Sebab, integritas adalah komitmen moral untuk berpegang teguh dan mematuhi aturan main yang telah disepakati dan sekaligus kesediaan untuk tidak melakukan pelanggaran terhadapnya.

Tanpa akseptabilitas, seorang pemimpin akan mudah dipertanyakan keabsahannya karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas, seorang pemimpin tidak mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik karena dia tidak dilengkapi dengan kompetensi yang memadai. Namun akseptabilitas dan kapabilitas menjadi tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh integritas. Tanpa integritas, seorang pemimpin mudah terjemurus dalam sikap sewenang-wenang. Dengan sendirinya berbagai bentuk penyelewengan moral akan mudah terjadi. Aspek terakhir inilah yang sering disebut sebagai kepemimpinan moral. Rendahnya kepemimpinan moral sering dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat kondisi bangsa ini tidak segera beranjak pada keadaan yang lebih baik.

Dilema Kekuasaan

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Banyak analis menyebutkan bahwa kegagalan untuk memenuhi harapan masyarakat luas disebabkan oleh parahnya kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa ini. Ini masih ditambah dengan tidak adanya keberanian moral dari pemimpin untuk melakukan terobosan. Monopoli kekuasaan yang nyaris terpusat di lembaga legislatif menjadi persoalan lain yang tak kalah krusialnya. Para politisi santri yang duduk di parlemen tidak jauh berbeda dengan politisi sekuler.

Mengapa politisi santri tidak berhasil membangun moralitas di parlemen? Bukankah mereka adalah representasi dari religiusitas? Eberhard Puntush (1986) punya analisis menarik soal ini. Menurutnya, ada tiga tekanan yang membahayakan kepribadian politisi. Pertama, ia terlalu dibebani secara intelektual. Ia dituntut suatu tingkat kemampuan yang tidak dimilikinya karena melebihi daya tampung biasa suatu kepala. Ia terjebak pada ketidakmampuan dalam banyak bidang dan sekaligus harus menyembunyikan ketidakmampuannya itu. Menurut Puntush, itulah awal dari merebaknya ketidakjujuran.

Tekanan kedua bagi seorang politisi, adalah adanya paksaan untuk bersikap solider pada partainya dan wakil-wakil dari partai tersebut, walaupun tingkah laku rekan-rekan satu partai itu melukai cara pandang etisnya sendiri. Menurut Puntush, politisi sering harus menutup-nutupi kesalahan-kesalahan rekan-rekannya separtai. Ia harus membela pendapat rekan-rekannya meskipun pendapat itu salah. Membohongi masyarakat umum dianggap prestasi.

Tekanan ketiga, adalah paksaan untuk mampu menahan kritik umum yang tidak adil. Kritik umum biasanya membandingkan keberhasilan yang ada dengan keberhasilan yang sebaiknya dapat dicapai; dan dengan cara itu di mana-mana terlihat adanya kekurangan. Dari lawan-lawan politiknya, politisi hanya bisa menerima lebih sedikit lagi keadilan. Karena partai-partai itu saling bersaing, maka upaya merendahkan lawan dengan sendirinya meningkatkan posisi mereka sendiri. Akibatnya, menurut Puntush, kemampuan politisi untuk menerima kritik semakin menurun.

Karakter yang digambarkan di atas hampir semuanya – kalau tidak seluruhnya – tergambar dalam tingkah laku politisi kita. Sebagai personifikasi dari religiusitas, kepemimpinan santri mestinya lebih bisa konsisten dalam memegang teguh moralitas, sehingga berbagai kebijakan dan perilaku politiknya betul-betul dituntun oleh etika. Namun, etika dan moralitas tidak cukup hanya diserahkan kepada individu yang bersangkutan sebagai komitmen pribadi, tetapi harus dilembagakan dalam aturan main. Jika tidak, moralitas akan berbenturan dengan tekan-tekanan yang, menurut Puntush, hanya akan merusak karakter orang yang bersangkutan.[]

Kamis, 11 September 2008

Pembaruan Islam di Indonesia: Pandangan Kristen

Oleh Martin Lukito Sinaga

Pembaruan a la liberal ini juga memberi titik harapan bagi Kekristenan, terutama di tataran sosial-kemasyarakatan. Sebab dengannya ihwal agama dan masyarakat tidak lagi dilihat dalam kerangka agama yang dominan akan pula menciptakan kerangka agama (syariat) untuk seluruh aspek kehidupan, tetapi agama akan dilihat sebagai aspek inspiratif bagi kehidupan bersama.

Dalam buku suntingannya, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (LP3ES,1979), Taufik Abdullah memperkenalkan debat Weberian ke dalam kancah Islam Indonesia. Dan untuk itu, ia membawa penantang Weber ternama yaitu Bryan S. Turner, demi memperlihatkan bahwa tesis Max Weber itu sebagian besar meleset dalam menganalisis ketiadaan kapitalisme dan kemajuan di dalam Islam. Dan tampaknya, Weber tidak jitu menjelaskan Islam, sebab menurut Turner, bukan soal etos-kerjalah penyebab ketertinggalan Islam, tetapi terutama soal kontradiksi-kontradiksi militer-ekonomis.

Namun, lanjut Turner, dan di sini terasa ironis, menurut kalangan pembaru muslim, ketertinggalan ekonomi Islam tadi malah dilihat sebagai sebuah persoalan teodisi atau ihwal keadilan Tuhan: jika Islam adalah agama yang sebenarnya, mengapa justru orang-orang kafir yang kini justru berhasil di dunia ini. Jawaban kaum pembaru atas situasi ketertinggalan Islam tersebut sebagaimana dikutip Turner dari tulisan Albert Hourani ialah: Orang-orang Kristen kuat, karena mereka bukan Kristen sejati, sementara orang-orang muslimin lemah karena mereka bukan Muslim sejati.

Penggalan ini menunjukkan bahwa Pembaruan Islam seakan-akan mengandung unsur Kristen di dalamnya dan orang Kristen mau tak mau sudah terlibat dalam isu pembaruan Islam. Malah boleh dikatakan, Pembaruan Islam lahir dari suasana rivalitas dengan kekristenan Barat. Namun yang juga penting ialah, ternyata secara genealogis, pembaruan Islam mengandung unsur “memurnikan” (purifikasi) agama, yang dibayangkan akan membawa kemajuan ekonomis; sebuah proses yang juga masuk ke Indonesia –sampai ke Jawa.

Kecemasan Kristen

Dan sekitar tahun 1850-1900 (menurut buku Th. Sumartana, Mission at the Crossroads, 1993), di Jawalah pertama kali pandangan Kristen Indonesia mengemuka menghadapi Pembaruan Islam, sebab baru saat itu terjadi perjumpaan yang mendalam antara Kristen dan Islam. Semula Kristen dan Islam bertemu dengan wajar, sebab keduanya tengah mencari relasi dengan ngelmu dan menghayati levenshouding (attitude to life atau sikap hidup) orang Jawa. Seorang pendeta Kristen-Jawa semisal Kiai Sadrach adalah jembatan Kristen menuju dunia mistik Jawa saat itu, setara dengan Sunan Kalijaga di dalam kasus Islam.

Namun datanglah Pembaruan Islam itu, pertama-tama lewat jalur Hadramaut dan perjalanan haji. Tanggapan Kristen (terutama para misionaris Belanda yang saat itu memimpin gereja) justru yang menarik. Mereka melarang gereja kejawen a la Kiai Sadrach, dan melihat bahwa Kristen harus berkejaran dengan efek pembaruan Islam. Dengan kata lain: mesti dicari pola unggul pem-baru-an (baca: strategi baru) dalam karya zending (lembaga misi gereja) agar lebih meyakinkan dan menarik hati orang Jawa.

Dan cara Kristen tidak lagi ngelmu (terlalu bertele-tele dan kurang efisien (menurut mereka), tetapi memilih pola pelayanan sosial modern (pendidikan dan kesehatan) sebagai jalurnya. Jadi, tanggapan Kristen saat itu atas pembaruan Islam ialah dengan memecut diri, berlari lebih cepat, demi memenangkan jiwa orang Jawa. Pembaruan Islam ditanggapi dengan rasa cemas, namun juga dengan gairah misiologis (berlomba-lomba menyebarkan Injil).

Kecemasan atas Pembaruan Islam selanjutnya makin meningkat khususnya di era pasca-Revolusi Iran. Di situ Jenderal TB Simatupang (tokoh utama Kristen tahun 1980-an, juga Ketua PGI) melihat bahwa kebangkitan atau pun revivalisme Islam mau tak mau akan mempengaruhi Indonesia. Dalam pandangannya di pertemuan gereje-gereja se-Asia (1985) ia masih melihat—sebagai obat penawar—bagaimana pun kerangka kesamaan hak warganegara akan tetap dijamin di dalam negara Pancasila. Sebab, kata Simatupang, “...Undang-undang Dasar dalam negara Pancasila bukanlah suatu hukum agama”.

Di sini, berbeda sedikit dengan pendahulunya (baca: misionaris Barat), Simatupang melihat bahwa pembaruan Islam model revivalisme haruslah dihadapi sebagai sebentuk tantangan politis, yang tak mungkin dihadapi secara konfrontatif. Dan Simatupang berkeyakinan, Pancasila sebagai kerangka bersama, menjadikan isu pembaruan Islam yang politis tadi akan ditepikan, dan sebagai gantinya dicanangkanlah usaha mencapai kesejahteraan bersama melalui pembangunan nasional (sebagai pengamalan Pancasila).
Harapan Kristen

Selanjutnya, seorang pendeta yang dikenal sebagai “ahli” Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bernama Viktor Tanja, melihat ufuk baru Pembaruan Islam. Setelah mengamati sepak terjang Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid (khususnya dengan ide sekularisasi—yang ternyata juga menggemakan pemikiran Kristen semisal Harvey Cox) ia berkesimpulan bahwa era Pembaruan Islam saat ini ialah liberal (sic!, lihat bukunya, Tiada Hidup tanpa Agama, 1988, hl. 8). Menurut Tanja: “ini berarti bahwa Islam dibebaskan dari kungkungan penafsiran hukum kaum ortodoks, dan melihat Islam sebagai sebuah nilai… Islamisasi di sini berarti suatu usaha untuk memperdalam dan menghayati secara internal ajaran-ajaran Islam, untuk memperkokoh hubungan pribadi antara Allah dan manusia.”

Pembaruan yang dipandang sebagai gerakan liberal Islam ini jelas-jelas telah mengubah persepsi Kristen atas tujuan Pembaruan Islam tersebut. Saat seperti ini jugalah untuk pertama kali orang seperti Gus Dur bisa berpidato (menjadi keynote speaker) di hadapan ribuan peserta Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Mulai saat itu, kekristenan secara antusias melakukan studi yang mendalam atas Islam, dan di sekolah-sekolah teologi Kristen, subjek Islam dipelajari sebagai pelajaran wajib; dan Islam dipelajari tidak dalam kerangka misiologi, tetapi dalam kerangka fenomenologi. Malah berkembang subjek teologi yang bernama “teologi agama-agama”, yang intinya adalah upaya mencari dalam kazanah iman Kristen dasar untuk menerima kehadiran dan kebenaran agama Islam. Pendek kata, Islam kini dihadapi dalam bentuk harapan dan dialog.

Pembaruan a la liberal ini juga memberi titik harapan bagi Kekristenan, terutama di tataran sosial-kemasyarakatan. Sebab dengannya ihwal agama dan masyarakat tidak lagi dilihat dalam kerangka agama yang dominan akan pula menciptakan kerangka agama (syariat) untuk seluruh aspek kehidupan, tetapi agama akan dilihat sebagai aspek inspiratif bagi kehidupan bersama.

Pendek kata, pergumulan agama menjadi pergumulan faith and society. Artinya, agama hadir tidak sebagai alternatif politis atas tatanan majemuk bersama, tetapi mencoba memberi insight imaniah bagi individu dan komunitasnya dalam memperkaya penyelenggaraan hidup bersama. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, pengorganisasian agama tidak lagi mengarah kepada penggumpalan politik yang sektarian, tetapi pada kerjasama inter-faith di mana kemaslahatan dan kualitas hidup bersama menjadi obsesi gerakan agama-agama tersebut.

Pada titik ini, Pembaruan a la liberal dalam Islam akan menghilangkan rasa cemas umat Kristen, dan bahkan daya-daya kreatif akibat relasi Islam-Kristen akan bermunculan. Itulah yang tampaknya sungguh kita perlukan di saat-saat sulit sekarang ini. Semoga.

* Martin Lukito Sinaga, pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan pendeta pada Gereja Kristen Protestan Simalungun.

Gus Dur: Saya Simpati pada Liberalisme Ulil Bedah Buku Menjadi Muslim Liberal

Oleh Umdah El-Baroroh

“Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam,” tulis Gus Dur dalam makalahnya. Akibatnya pun dapat terduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan.

Selasa (29/11/2005) lalu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Freedom Institute, Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Universitas Paramadina, dan Penerbit Nalar, bekerjasama menyelenggarakan bedah buku terbaru mantan koordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla, Menjadi Muslim Liberal. KH Abdurrahman Wahid, Dr. Jalaluddin Rakhmat, Dr. Yudi Latif, dan Maria Ulfah Anshor, dihadirkan untuk membedah gagasan-gagasan Ulil yang tertuang dalam buku itu. Bedah buku itu seakan-akan menjadi ”pengadilan” in absentia atas diri Ulil yang kini sedang melanjutkan studi di Universitas Boston, Amerika Serikat.

Diskusi di auditorium utama Universitas Paramadina itu dibuka setelah sambutan ala kadar dari Hamid Basyaib, Koordinatot JIL, menggantikan posisi Ulil. Sambil menunggu kedatangan Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid, pembicaraan dimulai oleh Jalaluddin Rakhmat alias Kang Jalal. “Biasanya orang yang dibesarkan dalam pendidikan Barat justru tampil menjadi Islami. Sebaliknya, orang yang dibesarkan di jalur pendidikan Islam, justru tampil menjadi pemikir Islam yang moderat. Di sinilah saya ingin meletakkan Ulil Abshar-Abdalla,” ucap Kang Jalal membuka pembicaraan.

“Ulil, sebagaimana kita tahu, besar dari keluarga pesantren tradisional yang ketat dalam menerapkan agama. Tetapi di tengah kesibukannya mempelajari teks-teks klasik agama, secara diam-diam ia dikejutkan oleh pemikiran liberal keagamaan yang berkembang di Barat,” papar Kang Jalal. Menurutnya, gagasan inilah yang konon menjadi titik tolak munculnya gerakan pencerahan di Barat. Liberalisme keagamaan, lanjut Kang Jalal, diawali oleh liberalisme politik. Ide ini telah menginspirasi munculnya pemisahan wilayah privat dari kehidupan publik.

Kang Jalal menjelaskan, gagasan liberalisme yang memengaruhi paham keagamaan, sebetulnya telah memunculkan pemikiran-pemikiran agama yang tidak ortodoks. Inilah menurutnya kunci untuk memahami pemikiran Ulil. “Hanya dengan memahami akar-akar liberalisme yang sebenarnya, kita akan bisa memahami keseluruhan pemikiran Ulil,” papar Kang Jalal.

Menurutnya, Ulil telah mengusung pemikiran Islam dengan wajah baru. “Karena Ulil bukan saja menguasai perangkat-perangkat ilmu pengetahuan modern dari Barat, tapi juga menguasai literatur klasik Islam yang tidak dikuasai intelektual semacam Mas Yudi Latif,” seloroh Kang Jalal pada pembicara lain, Yudi Latif. Seloroh itu disambut tawa lepas peserta.

Mantan presiden RI dan tokoh NU yang menjadi keynote speaker saat itu, Gus Dur, tampil setelah Kang Jalal. Gus Dur yang telah banyak memberi inspirasi bagi pemikiran Ulil, menyampaikan wejangan khasnya, diselingi guyonan dan tutur cerita. Gus Dur juga menulis komentar yang cukup panjang tentang sepak terjang pemikiran Ulil dalam makalah berjudul “Ulil Dengan Liberalismenya”.

“Saya simpati pada liberalisme Ulil, tapi juga kritis,” papar Gus Dur. Gus Dur mengaku kalau dia sebenarnya juga sudah sejak lama berpandangan liberal. “Bedanya, saya tidak menyebut diri saya liberal, dan Ulil berani untuk menyebut seperti itu,” ucap mantan ketua PBNU itu. Sambil menganalisis, Gus Dur menjelaskan bahwa pemakaian label Islam liberal itulah yang membuat Ulil ditolak di mana-mana, terutama di kalangan NU sendiri.

Gus Dur menampik anggapan NU anti-perubahan. “Di NU, sebenarnya kita bisa melakukan perubahan apapun, asalkan jangan menggunakan nama,” jelas Gus Dur penuh siasat. Ia pun lalu bercerita ihwal beberapa kyai NU yang telah melakukan pembaruan pemikiran di lingkungan NU sendiri, seperti KH. Wahid Hasyim (ayah Gus Dur), KH. Mahfudz Shidiq, dan ia sendiri. Gus Dur bercerita bahwa mereka-mereka itu memang tak serta-merta menyebut diri mereka sebagai pembaharu, apalagi liberal. Namun, dengan siasat itu, pembaruan tetap berlangsung di NU seraya mengurangi penolakan.

Selain mengeritik, Gus Dur juga mengapresiasi pemikiran-pemikiran Ulil. Menurutnya, pemikiran dan liberalisme Ulil, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Gus Dur hanya melihat Ulil risau dengan hilangnya iklim kebebasan berpikir di dunia Islam, dan ia mengkiaskan pengalaman Ulil dengan apa yang dialami Ibnu Rusyd. “Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam,” tulis Gus Dur dalam makalahnya. Akibatnya pun dapat terduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan.

Kiai nyentrik yang kaya humor itu juga menjelaskan bahwa dalam sejarah Islam, jurang antara pengikut paham sumber-sumber tertulis keilmuan Islam seperti Alqur’an dan hadis, ahlun naql, dan penganut paham perlunya memberi porsi lebih besar pada potensi akal, ahlul `aql (kaum rasionalis), memang sangat lebar. Karena itu, perdebatan antara kedua kutub itu adalah hal yang biasa, selagi masih dibingkai dalam semangat ilmiah.

Hal senada juga diungkapkan Maria Ulfah Anshor dari Fatayat NU. Menurut pembela hak-hak perempuan ini, Ulil adalah sosok pemuda yang sangat progresif dalam berpikir. Selama ini, Ulil banyak dicerca dan dimaki, bahkan dituduh telah merusak akidah Islam. Padahal, Ulil sebenarnya hanya sedang melakukan pembacaan-ulang atas teks-teks klasik Islam sebagaimana para ulama lain.

“Bedanya, para ulama umumnya mengikuti apa adanya (teks) ketika membaca teks-teks klasik, sementara Mas Ulil berusaha mengkritisi dan memilah-milah,” jelasnya. Karena itu, Ulfah menilai bahwa gerakan Ulil masih positif, karena justru ingin menjembatani jarak antara teks yang statis dengan kenyataan hidup.

Sementara itu, Yudi Latif, sebagai pembicara terakhir, mencoba melakukan analisis sosiologis atas proses pembentukan pemikiran Ulil. Menurutnya, perkembangan pemikiran Ulil juga diwarnai oleh komunitas epistemik di mana dia bergaul. “Kalau Ulil tidak di Utan Kayu dan tidak sempat bergaul dengan orang-orang seperti Goenawan Mohamad, mungkin ia tidak akan seperti itu,” jelas Yudi. Bagi Yudi, corak komunitas epistemik yang digauli akan cukup menentukan corak pemikiran seseorang.

Yang cukup menarik dari pemandangan diskusi di atas adalah kegundahan Kang Jalal atas dampak-dampak lanjutan dari pemikiran Ulil. Bila Gus Dur dan Ulfah tampak tak terlalu risau dengan sepak terjang Ulil, Kang Jalal justru sebaliknya. Pakar komunikasi asal Bandung itu merasa khawatir kalau-kalau gagasan libealisme Ulil akan kebablasan. Namun sayangnya, ia tidak menjelaskan batasan yang jelas bilamana suatu pemikiran itu dapat dianggap kebablasan dan tidak kebablasan.

Namun demikian, Kang Jalal masih merasa perlu menempatkan diri sebagai mitra dialog yang kritis. Kalau pemikiran Ulil dan kawan-kawannya dia anggap kebablasan, “…saya akan membendungnya dengan kekuatan logika, bukan logika kekuatan,” tandas Kang Jalal retoris. Namun dalam paparannya, Kang Jalal juga menyingkap letak kerisauannya. Pemikiran Ulil dia rasa akan mengancam posisi agama dan terutama agamawan. “Karena, agama direduksi terus menerus dari perannya,” ungkapnya penuh khawatir. Sambil bercanda, ia juga mempertanyakan di mana letak dan peran agamawan seperti dirinya, kelak.

Namun kekhawatiran Kang Jalal dijawab enteng oleh Gus Dur. Menurut Gus Dur, Kang Jalal terlalu berlebihan dalam menilai Ulil. Gus Dur mengingatkan letak persamaan umum antara dirinya, Ulil, dan juga Kang Jalal yang sering disebut sebagai intelektual muslim Indonesia. “Ulil sebenarnya hanya meperjuangkan kebebasan, sama dengan saya dan Kang Jalal,” kata Gus Dur mengingatkan. Gus Dur juga menyebut apa-apa yang dilakukan oleh Ulil belumlah selesai. “Ia kan masih muda. Jadi nggak usah terlalu diributkan. Pusing amat!” tandas Gus Dur pada Kang Jalal. []

sunset

sunset
waktu selalu mengejar