Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Kamis, 24 Juli 2008

Menjaga Keseimbangan NU

Oleh Rumadi

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang terlihat lebih moderat.

SETELAH Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-30 tahun 2004 lalu, banyak kalangan menengarai bahwa bandul gerakan NU akan semakin bergeser ke kanan. Hal itu antara lain ditandai dengan semakin menguatnya arus konservatif dalam tubuh NU dan semakin jauhnya kader-kader kritis NU dari arus struktur NU. Ketika mendapat kritikan itu, Hasyim Muzadi (HM), Ketua Umum PB NU, menjawab secara diplomatis: bukan NU bergeser ke kanan, tapi karena selama ini terlalu lama berada di kiri, sehingga bergeser ke tengah dianggap ke kanan.

Ketika mendengar itu, meski dengan berat hati saya masih bisa menerima. Saya berpandangan ini cara HM untuk membuat keseimbangan baru di tubuh NU. Harus diakui, ketika HM menjadi Ketua Umum PB NU sejak 1999, pengaruh Gus Dur sangat kuat. Pelan-pelan dia mulai menggeser pengaruh Gus Dur di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU. HM cukup sukses melakukan ini. Bukan hanya menggeser orang-orang yang dianggap Gus Dur-ian, tapi juga meminggirkan anasir-anasir pemikiran Gus Dur. Sekarang, di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU, pengaruh HM cukup kuat, menggeser pengaruh Gus Dur. Hal ini antara lain bisa dilihat dari kuatnya dukungan pengurus cabang dan wilayah pada HM dalam Muktamar ke-30 lalu.

Setelah berhasil menggeser pengaruh Gus Dur, HM mulai berani beroposisi secara terbuka dengan Gus Dur. Dalam berbagai isu-isu penting, HM dan Gus Dur nyaris selalu berbeda pendapat. Bahkan, ada yang berkomentar, HM sudah sampai pada taraf “asal beda” dengan Gus Dur. Dalam konteks kebangsaan, mereka berdua memang masih dalam satu suara tentang finalnya NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara. Tidak ada keharusan mendirikan negara Islam di Indonesia. Namun, derivasi dari masalah kebangsaan ini masing-masing punya cara pandang sendiri.

Dalam kaitan itu, tulisan ini ingin memokuskan pada isu penting, yaitu soal penyikapan atas isu-isu keagamaan mutakhir, terutama menyangkut kekerasan atas nama agama. Sikap atas tragedi Monas bisa menjadi titik masuk.

NU dan Kekerasan Agama

Eksemplar terbaik untuk mengulas masalah ini adalah penyikapan atas tragedi Monas 1 Juni lalu. Dalam kasus ini Gus Dur dapat disebut sebagai tokoh terdepan dalam melawan anarkisme Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Gus Dur berteriak kencang agar keberadaan organisasi ini ditinjau ulang. Gus Dur juga mengutuk keras aksi kekerasan di Monas yang juga membuat beberapa putra terbaik NU menjadi korban. Karena sikap Gus Dur ini, Rizieq Sihab, pemimpin FPI, mengeluarkan “lidah api”-nya dalam sebuah dialog di tv swasta dengan mengatakan Gus Dur tidak tahu apa-apa karena dia buta mata dan buta hati (3/6/08). Karena ucapan ini, kantong-kantong NU yang masih setia kepada Gus Dur bergerak mendesak agar FPI dibubarkan.

Karena itu, kalau boleh saya simplifikasi, penyikapan atas tragedi Monas bisa menjadi sedemikian massif, terutama di wilayah Jawa, setidaknya karena dua hal. Pertama, karena yang menjadi korban sebagian adalah aktivis-aktivis muda NU. Kedua, karena faktor Gus Dur, terutama ucapan Rizieq Sihab yang menyakitkan itu. Saya yakin, kalau tidak ada faktor ini, tidak akan ada gerakan di kantong-kantong NU melawan FPI.

Hal yang paling menarik di tengah situasi itu adalah sikap HM. Dalam konferensi pers beberapa hari setelah tragedi Monas, dia mengatakan agar korban tragedi Monas tidak dikait-kaitkan dengan warga NU. Dia juga minta agar warga NU tidak dijadikan umpan untuk berkonfrontasi langsung melawan FPI. Alih-alih memberi simpati kepada warga NU yang menjadi korban dan menghujat FPI, HM dalam pernyataan-pernyataannya justru lebih condong memberi dukungan kepada FPI. Pernyataan demikian berulang kali dia ucapkan dalam berbagai kesempatan.

Bahkan, dalam sebuah situs internet diberitakan PB NU mengirim tim yang tergabung dalam Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) NU untuk membela Rizieq Sihab. “LPBH-NU ikut sebagai bagian tim hukum yang sudah ada untuk mendampingi dan membela Habib dalam perkaranya,” kata Ketua LPBH NU Sholeh Amin saat menjenguk Rizieq di Rutan Narkoba, Polda Metro Jaya (http://www.detik.com 9/6/2008). Sejauh ini belum ada bantahan atas berita tersebut, meskipun lewat SMS saya mendapat informasi bahwa HM meminta Sholeh Amin agar menjadi pembela Rizieq atas nama pribadi, bukan atas nama NU.

Akibat sikap HM ini, sikap masyarakat NU yang sudah geram terhadap FPI akibat tindakan-tindakan anarkisnya pun mulai terbelah. Sebagian besar pengurus struktural NU mulai termakan oleh ucapan HM. Tragedi Monas dianggap sebagai skenario kelompok sosialis untuk membenturkan NU dengan FPI. Karena mendapat angin dari HM, FPI di Jatim yang sudah tertekan merasa mendapat angin. Bahkan, FPI Jember yang sudah membubarkan diri dihidupkan lagi dan mendapat support dari seorang tokoh NU Jakarta yang sengaja datang ke Jember. Demikian juga dengan FPI Madura yang justru semakin berani “menantang” karena angin HM ini.

Sikap ini sungguh sulit diterima akal sehat. Saya tidak melihat alasan apapun dari sikap HM ini kecuali hanya sekadar ingin berbeda dengan Gus Dur. Anak-anak muda NU yang menjadi korban tragedi Monas dikenal sebagai aktivis yang dekat dengan pemikiran Gus Dur. Harus diakui juga, gerakan massif di berbagai daerah adalah kantong-kantong pendukung Gus Dur. Sebelum simpati terhadap Gus Dur menggelinding semakin besar, tidak ada pilihan lain bagi HM kecuali harus menghambatnya. Daripada sejalan dengan Gus Dur, HM lebih memilih bersimpati dan “mendukung” FPI.

Menurut saya, kasus ini merupakan degradasi sikap ke-NU-an yang luar biasa atas kelompok yang gemar mengumbar kekerasan. HM telah mendevaluasi kehormatan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dikenal moderat. Klaim Islam moderat dan rahmatan lil alamin yang dikampanyekan HM di banyak forum nasional maupun internasional seolah runtuh karena sikapnya ini. Posisinya sebagai Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sama sekali tidak tercermin.

Menjaga Keseimbangan NU

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang terlihat lebih moderat.

Situasi demikian tidak bisa dibiarkan. Harus dipikirkan bagaimana menjaga kesimbangan NU, bukan hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam gerakan praksis-nya. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, NU harus meneguhkan kembali sikapnya sebagai Islam moderat dan antikekerasan. Bukan hanya dalam retorika, tapi harus dibuktikan secara konkrit.

Kedua, pemimpin NU harus menjauhkan diri dari sikap “asal beda” dengan orang yang dianggap sebagai lawannya. Sikap asal beda ini sebenarnya menunjukkan bagaimana kualitas kepemimpinan seseorang, dan kita sulit mempercayai seorang pemimpin yang mempunyai karakter demikian. Ketiga, sudah saatnya, kader-kader NU di berbagai lapisan mulai memikirkan mencari figur pemimpin yang berani “pasang badan” untuk menjaga kehormatan NU, juga kebhinekaan Indonesia.[]

Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791)

Oleh Luthfi Assyaukanie

Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, pada tahun 1703. Masa kecilnya dilewati di kota itu. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya kemudian dianggap menyimpang.

Para pengamat pemikiran modern kerap menganggap gerakan fundamentalisme selalu berada pada margin kekuasaan yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan-kebijakan negara. Anggapan semacam ini tentu keliru jika kita mengaitkannya dengan peran Muhammad Ibn Abd al-Wahab dan para pengikutnya yang terkenal dengan sebutan Wahabiyah. Gerakan ini bukan hanya “bermain” di pusat kekuasaan, tapi juga turut memberikan pengaruh yang luar biasa bagi pembentukan dan perkembangan kerajaan Arab Saudi.

Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, pada tahun 1703. Masa kecilnya dilewati di kota itu. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya kemudian dianggap menyimpang.

Kecintaannya pada Al-Qur’an dan Hadits mendorongnya untuk menghidupkan dua sumber utama Islam ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan modern kaum Muslim. Iapun kemudian memperkenalkan jargon “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.” Ia berpendapat, selama inti dari ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits, maka seruan pemurnian ajaran keagamaan Islam harus dilandasi dengan dua kitab utama kaum Muslim ini. Abd al-Wahab tak sekadar mengajak kaum Muslim kembali kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan juga Hadits, tapi menganjurkan mereka melawan dan memusnahkan praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam dua kitab utama itu.

Abd al-Wahab adalah seorang yang pandai berbicara dan menulis. Selain memberikan cermah-ceramah keagamaan kepada para pengikutnya, ia juga menulis banyak buku. Di antaranya Kitab al-Tauhid yang menjadi rujukan utama bagi para murid dan pengikutnya, Al-Ushul al-Tsalatsah wa al-Qawa’id al-Arba’ah, Tafsir al-Fatihah, Tafsir Kalimat al-Tauhid, dan Nasihat al-Muslimin.

Karya-karya Abd al-Wahab memiliki nuansa teologis (‘ilm tauhid) yang kental. Karenanya, banyak orang yang menganggapnya lebih sebagai seorang teolog ketimbang seorang faqih (ahli fikih) atau mufassir (ahli tafsir), kendati ia juga menulis beberapa buku fikih dan tafsir. Hal ini berkaitan dengan sikap dan semangat Abd al-Wahab untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam. Dan menurutnya, pemurnian Islam tak akan bisa terlaksana selama persoalan-persoalan aqidah mereka masih tercemari.

Purifikasi Ajaran Islam. Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan penganut paham Hanbali, Abd al-Wahab adalah seorang yang puritan dalam hal praktik keagamaan. Sama seperti Ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali) sendiri dan juga pengikut-pengikutnya kemudian (seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Al-QayyimAl-Jauziyyah), Abd Al-Wahhab bersikap tegas kepada lingkungannya yang dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Dengan modal fikih mazhab Hanbali yang dikenal tegas (untuk tidak mengatakan kaku), dan sikap teologis model Ibn Taymiyyah yang keras, Abd al-Wahab bertekad memerangi segala bentuk kebida’han dalam beribadah dan kemusyrikan dalam beraqidah.

Sikap tegasnya terhadap berbagai bentuk kemusyrikan didorong oleh adanya fakta semakin meruyaknya praktik-praktik keagamaan yang menyimpang. Di pusat-pusat keagamaan seperti Makkah dan Madinah, Abd al-Wahab melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana praktik-praktik keagamaan itu sudah kelewatan. Seperti pengangung-agungan berlebihan terhadap kuburan Nabi dan para sahabatnya. Momen ziarah yang sering digunakan kaum Muslim di dua kota suci itu, menurut Abd al-Wahab, telah menjadi ajang praktik kemusyrikan dan kemaksiatan atas nama ibadah.

Ibn Abd al-Wahab sendiri tidak pernah menyuruh murid-muridnya untuk membongkar nisan-nisan kuburan para sahabat atau simbol-simbol keagamaan lainnya di tempat-tempat suci di Hijaz. Tapi para pengikutnya, khususnya setelah kerajaan Arab Saudi berdiri dan mengadopsi ajaran-ajaran Abd al-Wahab, mengambil langkah radikal dalam membersihkan praktik-praktik keagamaan masyarakat Hijaz saat itu. Mereka bukan hanya membersihkan keyakinan dan cara berpikir kebanyakan kaum Muslim di wilayah Hijaz itu. Tapi juga membersihkan tempat-tempat dan simbol-simbol keagamaan yang selama itu diagungkan, termasuk nisan-nisan kuburan para sahabat dan orang-orang suci di Madinah.

Sikapnya yang tegas terhadap praktik-praktik keagamaan yang menyimpang, khususnya praktik-praktik berbau musyrik, membuat Abd al-Wahab tidak menoleransi kaum sufi yang menurutnya sebagai sumber meluasnya praktik-praktik kemusyrikan. Sikap antagonistik terhadap sufi dan tasawuf sebetulnya tak hanya bersumber dari pengalaman pribadi Abd al-Wahab sendiri, khususnya ketika ia berkunjung ke beberapa kota di Irak dan Iran di mana ia menjumpai banyak penganut sufi dan Syi’ah yang melakukan praktik ibadat dan pemujaan di kuburan tokoh-tokoh agama. Tapi, sikap semacam itu adalah warisan aseli Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, dua tokoh Hanbali yang sangat mempengaruhi cara dan sikap berpikir Abd al-Wahab.

Abd al-Wahab tak hanya menolak praktik-praktik yang dilakukan sebagian besar kaum Sufi, khususnya menyangkut keyakinan terhadap wasilah (perantara), tapi juga menolak seluruh struktur ajaran sufi dan menganggapnya sebagai bagian dari bid’ah dan syirik. Penolakan ini adalah konsekwensi logis dari sikap teologis Abd al-Wahab yang tegas terhadap doktrin tawhid (pengesaan Allah), bahwa keyakinan terhadap keesaan Allah tidak seharusnya dikotori dengan praktik-praktik yang membawa kemusyrikan, kendati praktik-praktik itu berbau keagamaan. Satu-satunya hal yang diakui baik dari ajaran sufi adalah sikap penyucian diri. Tapi, menurut Abd al-Wahab, orang tak perlu menjadi sufi kalau hanya untuk melakukan pembersihan diri (Al-Uthaymayn. tt, hal. 125).

Salah satu praktik yang yang dibenci Abd al-Wahab adalah praktik wasilah dan kepatuhan yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh agama yang dianggap suci. Praktik ini, menurut Abd al-Wahab, selain tidak memiliki dasar perintah yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, praktik semacam itu juga merugikan umat Islam. Salah satu dampaknya adalah meluasnya sikap taqlid (pengikutan secara membabibuta) di kalangan umat Islam. Sikap taqlid, menurut Abd al-Wahab, adalah salah satu penyebab kemunduran kaum Muslim modern. Kendati tidak menganjurkan perlunya setiap orang menjadi mujtahid (pembaru fikih), inspirator negara Arab Saudi itu menganjurkan kaum Muslim agar independen dan tidak bergantung kepada pendapat orang lain.

Abd al-Wahab juga mengkritik para ulama dan kaum Muslim yang sangat bergantung kepada kitab-kitab klasik dan menganggap seolah-olah kitab-kitab itu sebagai sumber kebenaran yang sama kedudukannya dengan Al-Qur’an atau Hadits. Sikap penerimaan berlebihan terhadap kitab-kitab itu hanya akan menjauhkan umat Islam dari sumber yang seharusnya mereka jadikan acuan utama mereka. Yakni, Al-Qur’an dan Hadits.

Sikap Abd al-Wahab yang mendukung ijtihad dan menolak taqlid menempatkannya sebagai pembaru Islam sejati. Kendati banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan karya-karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, ia sendiri mengaku tidak kaku dalam mengikuti pendapat dua ulama besar itu. “Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah adalah dua ulama terpandang bagi kaum Sunni, tapi saya tidak mengikuti mereka secara ketat,” akunya dalam bukunya al-Hadyat al-Saniyyah (edited by Sulaiman Bin Sahman). Sayang, sikapnya yang independen serta sangat percaya diri ini tidak diikuti oleh para pengikutnya. Para pengikut Abd al-Wahab yang dikenal sebagai anggota Wahabi cenderung tertutup serta sangat fanatik terhadap pandangan-pandangan gurunya. Dalam beberapa hal, mereka bahkan melakukan praktik taqlid, sesuatu yang dibenci oleh Abd al-Wahab sendiri.

Ajaran-ajaran Abd al-Wahab menyebar secara luas sejak Muhammad Ibn Saud, seorang pemimpin suku di Dariyah, sebuah kawasan di Hijaz Arab, berhasil membangun kekuatan sebagai cikal-bakal negara Arab Saudi pada awal tahun 1800-an. Setelah Ibn Saud menaklukkan Mekah pada tahun 1803, ajaran-ajaran Abd al-Wahab diadopsi sebagai doktrin resmi kerajaan. Hal 1ini terus berlangsung hingga sekarang.

Citra Keliru tentang Bahasa Arab

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Sebagaimana kita tahu, kekuasaan politik Islam saat itu mencakup wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium “kafir” pra-Islam, antara lain Persia dan Romawi. Setelah Islam berhasil menaklukkan wilayah kedua imperium itu, bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi utama yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam.

Saat belajar bahasa Arab di pesantren dulu, saya mengira bahwa yang “sah” disebut dengan bahasa Arab adalah bahasa Arab standar yang sering disebut sebagai “bahasa Arab fusha”, atau “literary Arabic”. Bahasa Arab “pasaran” yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari oleh masyarakat Arab saat ini tidak pernah kami (para santri di pesantren dulu) anggap sebagai bahasa Arab “sungguhan”.

Bahasa Arab pasaran kami anggap sebagai “penyimpangan” karena tidak memakai kaidah bahasa Arab yang standar. Misalnya, bahasa Arab pasaran sama sekali, atau minimal sekali memakai “declensional case” atau “i’rab”. Bahasa Arab pasaran bisa disebut sebagai “I’rab-less Arabic”. Karena i’rab dianggap sebagai inti dari dari bahasa Arab standar, maka pelanggaran atau apalagi penghapusan sama sekali i’rab dianggap sebagai “abomination” , atau sesuatu yang kotor. Oleh karena itu, kami di pesantren dulu tak pernah menganggap bahasa Arab pasaran sebagai sesuatu yang serius. Orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di tanah Arab kemudian menguasai bahasa Arab pasaran kami anggap sebagai orang yang tak mampu berbahasa Arab dengan benar.

Kami dulu juga beranggapan bahwa bahasa Arab standar sebagaimana kami temui dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab sebagai bahasa yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari di zaman klasik. Bahkan kami juga mengira bahwa bahasa Arab “fusha” ini dipakai oleh Nabi serta para sahabat pada zamannya. Dengan kata lain, kami membayangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, Nabi serta para sahabatnya memakai bahasa Arab standar, lengkap dengan i’rab-nya. Anggapan semacam ini diperkuat karena adanya koleksi hadis-hadis Nabi yang kesemuanya memakai bahasa Arab fusha yang standar.

Lebih jauh dari itu, kami dulu juga mengira bahwa para ulama klasik Islam yang mengarang buku-buku berbahasa Arab “fusha” itu juga memakai bahasa Arab standar dalam komunikasi sehari-hari mereka. Imam Nawawi, misalnya, salah satu ulama penting dalam mazhab Syafii yang hidup pada abad 13 Masehi, kami anggap berbicara dalam bahasa Arab “fusha” dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan kata lain, bahasa Arab sebagaimana dalam kitab kuning itu kami anggap sebagai satu-satunya bahasa Arab yang hidup, “a living language”. Bahasa Arab kami anggap sebagai bahasa yang statis, tak pernah berubah.

Pertanyaannya, apakah anggapan semacam ini benar? Setelah “bergumul” dengan bahasa Arab selama ini, baik bahasa Arab “arkaik” sebagaimana dalam kitab-kitab klasik, atau bahasa Arab “modern” yang dipakai dalam kehidupan masyarakat Arab saat ini, saya akhirnya berkesimpulan bahwa anggapan-anggapan yang kami punyai di pesantren dulu banyak mengandung kekeliruan.

Apakah bahasa Arab yang dipakai pada zaman generasi Nabi dahulu? Apakah bahasa Arab standar seperti yang kita kenal dalam hadis itu? Atau sebetulnya, pada zaman itu sudah muncul bahasa Arab “pasaran” yang sama sekali tak memakai i’rab?

Penelitian sarjana linguistik modern tidak mencapai kata sepakat mengenai hal ini. Tetapi, apa yang disebut sebagai bahasa Arab standar yang kita kenal selama ini sebetulnya adalah salah satu varian dialek yang ada pada zaman Nabi. Fenomena penghilangan i’rab sebetulnya sudah dikenal sejak masa pra-Islam. Ada banyak sekali dialek yang berkembang di masyarakat Arab pada zaman pra-Islam. Karena Qur’an lebih banyak memakai dialek Hijaz (yakni kawasan sebelah barat jazirah Arab yang meliputi Mekah dan Madinah), maka dialek inilah yang kemudian dijadikan standar sebagai “cara berbahasa yang benar”.

Sebagian sarjana linguistik modern juga berkesimpulan bahwa bahasa Arab standar yang lengkap memakai i’rab itu hanyalah dipakai secara ketat dalam syair. Setelah Islam datang, bahasa Arab “puitik” ini dipakai dan kemudian dilestarikan dalam Qur’an. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Arab sebetulnya memakai jenis bahasa yang sama sekali berbeda, sekurang-kurangnya mereka berbahasa sesuai dengan dialek yang dominan dalam suku-suku bersangkutan.

Setelah kekuasaan Islam mengalami ekspansi yang begitu agresif ke luar jazirah Arab, banyak terjadi perkembangan yang luar biasa dalam bahasa Arab. Sebagaimana kita tahu, kekuasaan politik Islam saat itu mencakup wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium “kafir” pra-Islam, antara lain Persia dan Romawi. Setelah Islam berhasil menaklukkan wilayah kedua imperium itu, bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi utama yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam.

Perkecualian ada pada bahasa Persia (atau Farsi) yang berhasil mempertahankan diri dari “gempuran” bahasa Arab sehingga tetap bertahan (hingga sekarang) sebagai bahasa resmi. Belakangan, bahasa Turki (melalui kekuasaan Usmani) berhasil memantapkan diri sebagai “lingua franca”, terutama di kawasan Asia Kecil dan Asia Tengah.

Sejak zaman klasik (yakni masa ketika proses pertumbuhan ilmu-ilmu Islam berlangsung [abad 2 hingga 3 Hijriyah]), sekurang-kurangnya sudah kita jumpai dua fenomena berbahasa yang saling berdampingan, yakni bahasa Arab “tinggi” yang dipakai oleh para ulama atau sarjana; dengan kata lain bahasa kaum literati. Di pihak lain, juga ada bahasa Arab “pasaran” atau “semi-pasaran” yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Bayangan saya waktu di pesantren dulu bahwa Imam Shafi’i, misalnya, memakai bahasa Arab standar yang rumit sekali seperti ia pakai dalam kitab-kitab yang ia karang (al-Risalah atau al-Umm, misalnya) dalam percakapan sehari-hari, saya kira sama sekali tak tepat.

Salah satu “atestasi” atau bukti yang menarik mengenai hal ini adalah kisah “Alfu Lailah wa Lailah” atau 1001 malam yang terkenal itu. Dalam edisi asli kisah legendaris ini yang dilakukan oleh Prof. Muhsin Mahdi, kita jumpai corak bahasa Arab “non-fusha” yang menarik. Edisi Muhisn Mahdi mencoba mempertahankan bahasa Arab asli yang dipakai dalam kisah itu, tanpa “intervensi” apapun agar sesuai dengan bahasa Arab standar. Edisi-edisi kisah 1001 malam yang kita jumpai sekarang di toko-toko Arab banyak yang sudah mengalami revisi. Dalam edisi Muhsin Mahdi, saya menjumpai bahasa Arab yang sama sekali lain dengan bahasa Arab yang dipakai dalam puisi atau pun dalam karya-karya kesarjanaan standar. Salah satu aspek yang menarik adalah bahwa atauran-aturan berkenaan dengan i’rab kurang secara konsisten diikuti di sana. Jika kita bisa membuat hipotesa bahwa bahasa Arab yang dipakai dalam 1001 malam adalah bahasa non-kesarjanaan, atau non-standar, maka kita bisa membuat suatu dugaan bahwa bahasa semacam inilah yang lebih luas dipakai dalam kehidupan sehari-hari pada saat itu. Sebagaimana kita tahu, bahasa literer atau standar biasanya hanya dipakai dalam konteks yang resmi, seperti dalam diskursus ilmiah. Dalam konteks percakapan sehari-hari, biasanya masyarakat di manapun cenderung memakai bahasa “pasaran”, atau “al-lughah al-darijah”.

Sebagai informasi, kisah 1001 malam muncul kira-kira pada periode antara abad 9 hingga 10 Masehi, atau abad 2 dan 3 Hijriyah. Dengan kata lain, dalam masa yang masih sangat dini dalam sejarah Islam pun, corak berbahasa yang non-standar sudah muncul.

Salah satu data menarik yang saya jumpai baru-baru ini adalah sebuah naskah karya al-Tufi, salah seorang sarjana fikih dalam lingkungan mazhab Hanbali. Ia hidup pada abad 14 Masehi. Ia mengarang buku berjudul Alam al-Jadzal fi ‘Ilm al-Jadal. Dalam buku itu, saya menemukan suatu kasus yang menarik. Dalam halaman halaman 209 (edisi Wolfhart Heinrichs), saya menjumpai kata-kata berikut ini: “Ish ma’na hadza?” (Maksudnya: Apakah artinya ini?)

Kata “ish” seringkali kita jumpai dalam bahasa Arab pasaran yang dipakai saat ini. Artinya “apakah”, kependekan dari “ayyu shai’in”. Waktu di pesantren dulu, saya mengira bahwa bahasa Arab pasaran adalah praktek yang muncul belakangan sekali pada masa modern. Jika kata pasaran ini sudah dipakai pada zaman al-Thufi yang merupakan murid dari Ibn Taymiyyah itu, maka kita bisa beranggapan bahwa pada zaman itu pun bahasa Arab pasaran sebagaimana kita jumpai saat ini sudah dipakai secara luas. Sebagaimana kita tahu, salah satu ciri bahasa Arab pasaran adalah hilangnya fenomena i’rab yang merupakan inti bahasa Arab standar itu.

Salah satu ciri bahasa Arab pasaran adalah makin dominannya penggunaan “klausa nominal” atau “al-jumlah al-ismiyyah” yang terdiri dari subyek dan predikat atau mubtada’ dan khabar. Sebagaimana kita tahu, dalam bahasa Arab literer-standar, kita mengenai dua jenis klausa, yakni klausa nomina (seperti “Umar berdiri"/"Umar qa’imun") atau klausa verbal atau “al-jumlah al-fi’liyyah” (seperti “Berdiri Umar"/"Qama Umar"). Dalam bahasa Arab pasaran, bentuk klausa verbal kurang banyak dipakai.

Kalangan sarjana Arab sekarangpun sebetulnya kurang terlalu bersemangat menyambut fenomena dialek Arab pasaran. Meskipun dialek itulah yang mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mereka kurang memperhatikan fenomena ini secara sungguh-sungguh. Ini terjadi baik pada masa klasik maupun sekarang. Oleh karena itu, kita jarang sekali menjumpai karya-karya sarjana Muslim berkenaan dengan fenomena bahasa pasaran yang berlaku pada masa mereka. Yang mereka tulis selama ini adalah bahasa Arab standar yang sama sekali tak mencerminkan bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Sabtu, 19 Juli 2008

Nasionalisme dan Politik Islam

Beberapa waktu lalu penulis artikel ini ditanya orang,apakah yang akan terjadi dengan gerakan- gerakan politik Islam di negeri kita. Penulis artikel ini menyebutkan apa yang dinyatakan Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional (PAN) tentang hal ini. Dia menyebutkan bahwa berdasarkan hasil-hasil survei belakangan, organisasi sektarian akan semakin kurang diminati orang dalam pemilu yang akan datang. Karena itu, PAN sudah menentukan akan mengambil dasar-dasar nonsektarian dalam kiprahnya. Ini adalah kenyataan lapangan yang tidak dapat dibantah. Hal tersebut memperkuat kesimpulan penulis artikel ini bahwa memang mayoritas para pemilih dalam pemilu di negeri kita tidak mau bersikap sektarian.
Penulis artikel ini sendiri sudah tidak mengakui klaim bahwa mayoritas penduduk berpikir sektarian. Nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu sendiri menunjukkan hal itu. Bagaimana penulis sampai pada kesimpulan tersebut? Karena penulis setia melihat kenyataan, yaitu bahwa Nahdlatul Ulama (NU) memang tidak lagi menawarkan diri kepada publik sebagai organisasi sektarian. Walaupun sejak semula ia menggunakan bahasa Arab, NU senantiasa merujuk kepada hal-hal nonsektarian.Contohnya pada 1918 ia menamakan diri Nahdlatu al-Tujjar (kebangkitan kaum pedagang), sama sekali tidak digunakan kata Islam.
Begitu juga pada 1922, ketika para ulama itu mendirikan sebuah kelompok diskusi di Surabaya dengan nama Tasywir al- Afkar (konseptualisasi pemikiran). Tahun 1924, didirikanlah madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air).Pada 1957, NU mengadakan musyawarah nasional alim ulama di Medan yang menghasilkan rumusan tentang presiden Republik Indonesia. Dalam rumusan tersebut, pemegang jabatan dipandang sebagai waliyyul amri dharuri bi al-syaukah (pemegang pemerintahan darurat dengan wewenang efektif).
Presiden dikatakan waliyyul amri karena ia memang memegang pemerintahan, yakni di zaman Presiden Soekarno (dan sampai sekarang pun masih demikian). Dikatakan Dharuri (untuk sementara) karena secara teoretis kedudukannya tidak memenuhi persyaratan sebagai imam/pemimpin umat Islam.Bi al-Syaukah karena memang pemerintahannya bersifat efektif.
Dengan demikian, tiap-tiap kali akan diadakan pemilihan presiden, para ulama harus menetapkan apakah sang calon memenuhi ukuranukuran bagi imam sesuai hukum agama Islam.Pada 1978, Rais Am Partai Persatuan Pembangunan (PPP) KH M Bisri Syansuri mengirimkan delegasi ke rumah mendiang Soeharto di Jalan Cendana dengan tugas menanyakan tujuh buah hal. Jika Pak Harto menjawab dengan empat buah hal saja yang benar,ia sudah layak dicalonkan PPP sebagai presiden.Tetapi KH M Masykur, HM Mintareja,dan KH Rusli Chalil (Perti) ternyata tidak menanyakan hal itu,melainkan bertanya bersedia atau tidak Pak Harto menjadi calon presiden dari PPP?
Sementara Harsono Tjokroaminoto tidak turut delegasi tersebut karena sudah melarikan diri dari tempat rapat, rumah KH Syaifuddin Zuhri di Jalan Dharmawangsa. Ketika penulis tanyakan kepada beliau bagaimana KH M Bisri Syansuri sebagai Rais Am PPP memandang hal ini, dijawab: beliau adalah salah seorang ulama yang sudah menetapkan policy berdasarkan aturan fikih.Dipakai atau tidak adalah tanggung jawab para politisi. Mereka akan ditanya Allah SWT di akhirat nanti.
Di sini tampaklah ketentuan yang dipegangi beliau bahwa ada beda antara orang yang menggunakan fikih dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan akal belaka. Hal inilah yang membuat PPP menjadi partai yang sesuaibagi NUdimasaitu.Namun, sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi karena PPP sudah digantikan oleh PKB.Kalau hal ini tidak disadari orang, akan terciptalah klaim yang tidak berdasarkan fakta nyata.
Akan tetapi perjuangan menegakkan demokrasi, termasuk memberlakukan ketentuan-ketentuan fikih dan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan PKB, juga bukan tugas yang ringan. Dewasa ini Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) tengah mengadakan penertiban di segala bidang untuk menghadapi pemilihan umum dua tahun lagi. Dalam penertiban tersebut ada empat puluh kepengurusan PKB di tingkat provinsi dan kabupaten dibekukan dengan menunjuk caretaker (kepengurusan sementara).
Setelah itu akan dilakukan musyawarah-musyawarah dewan pengurus wilayah (DPW) pada tingkat provinsi dan dewan pengurus cabang (DPC) pada tingkat kabupaten/kota. Sikap ini diambil untuk menghasilkan sebuah proses yang bersih,serta menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai dalam rangka pelaksanaan demokratisasi di negeri kita.Kalau ini tercapai, berarti PKB akan merintis jalan baru bagi bangsa dan negara. Sudah tentu kerangka yang dibuat itu tidak akan mencapai hasil apa-apa jika tidak disertai orientasi dan arah pembangunan bangsa dan negara yang benar.
Selama ini, pembangunan nasional kita hanya bersifat elitis, yaitu mementingkan golongan kaya dan pimpinan masyarakat saja. Sejak 17 Agustus 1945, pembangunan nasional kita sudah berwatak elitis. Apalagi sekarang, ketika kita dipimpin orang yang takut pada perubahan-perubahan. Tentu sudah waktunya kita sekarang mementingkan kebutuhan rakyat dalam orientasi pembangunan nasional kita. Kebutuhan dasar kita sebagai bangsa dan negara menghendaki kita mampu memanfaatkan segenap kekayaan alam sendiri beserta keterampilan berteknologi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Untuk ini kita harus sanggup membagi dua pembangunan kita; di satu pihak perdagangan bebas (termasuk globalisasi) yang berdasarkan persaingan terbuka. Di pihak lain kita memerlukan usaha publik untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang ditetapkan oleh Pasal 33 UUD 1945.Tugas yang sangat berat,bukan?(*)
KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Dewan Suro DPP PKB
Sumber: Seputar Indonesia, Senin, 18 Februari 2008

Irshad Manji: "Saya Seorang Pluralis Bukan Relativis"

Pengetahuan kita amatlah terbatas, sehingga kita tidak bisa berlagak laiknya Tuhan. Hanya Tuhan lah Tuhan. Sementara kita di atas bumi ini harus menciptakan sebuah tatanan masyarakat di mana kita dapat berbeda, berdebat, dan bertentangan satu sama lain secara damai, beradab dan tanpa rasa takut. Jika kita melakukan itu, berarti kita sedang memuja Tuhan, karena dengan demikian berarti kita menyadari bahwa hanya Allah-lah yang memiliki kebenaran mutlak.
Akhir bulan April 2008 lalu, Irshad Manji berkunjung ke Jakarta untuk meluncurkan terjemahan buku bestseller internasionalnya, The Trouble with Islam Today. Edisi bahasa Indonesianya berjudul “Beriman Tanpa Rasa Takut”, dapat juga diunduh secara gratis dari situs http://www.irshadmanji.com. Jaringan Islam Liberal mengundang jurnalis, feminis dan aktivis HAM yang sangat berani dan cemerlang ini ke sebuah diskusi singkat di Utan Kayu. Ia berbicara secara lugas dan terbuka tentang mengapa ia bukan seorang muslim moderat, perlunya pembaruan Islam, Quran, imperialisme budaya Arab dan ijtihad yang merupakan tradisi pemikiran kritis Islam. Berikut ini bagian dari pembicaraan tersebut:
A: Bagaimana respon masyarakat terhadap karya anda?
B: Saat The Trouble with Islam Today diterbitkan kurang lebih 5 tahun yang lalu, kontroversi pun segera merebak. Tiga minggu setelah penerbitannya, buku tersebut menduduki puncak jumlah penjualan buku terbanyak. Para tokoh Islam pun pada akhirnya menyadari bahwa orang-orang tidak membutuhkan persetujuan mereka untuk membaca buku ini. Bahkan, akibat begitu kerasnya mereka mengutuk buku ini, banyak orang yang malah memutuskan untuk mulai membacanya. Para tokoh Islam itu pada akhirnya terpaksa melibatkan diri mereka dalam perdebatan – yang sebelumnya mereka kira bisa diabaikan begitu saja mengingat merekalah yang selama ini menentukan apa yang otentik dan apa yang tidak otentik. Faktanya, orang-orang mulai membaca gagasan-gagasan saya serta tak peduli dengan pendapat para tokoh tersebut. Lebih jauh lagi, semakin banyak yang mulai melibatkan diri dalam perbincangan mengenai pembaruan Islam, bahkan tanpa persetujuan dari para ulama.
Banyak kaum muda Muslim yang mengirim e-mail pada saya dan mengungkapkan bahwa mereka sebelumnya merasa tidak akan mungkin mengemukakan isu-isu tersebut di rumah, madrasah ataupun masjid. Mereka pun bakal dikecam gara-gara mendiskusikan gagasan-gagasan saya dan mengutarakan pendapat mereka secara bebas. Saya menyarankan agar mengkambinghitamkan saya begitu mereka dicaci maki oleh keluarga mereka – sehingga dengan begitu mereka dapat berdiskusi tanpa terbebani oleh stigma pribadi. Saya berani mengambil risiko ini karena satu-satunya persetujuan yang saya butuhkan hanyalah dari Pencipta saya – dan nurani saya. Itu saja, selain itu adalah politik belaka.
Setelah buku saya terbit, saya menerima banyak e-mail dari kaum muda Muslim di Timur Tengah yang meminta saya menerjemahkan buku ini ke bahasa Arab dan memuatnya di website. Sehingga mereka bisa membaca buku ini secara pribadi dan aman. Mereka mengatakan, “Kami mungkin saja tidak bersepakat dengan poin anda, namun paling tidak kami dapat memperdebatkannya begitu kami mendapat akses menuju informasi tersebut.” Para pemuda itu benar-benar menginginkan perdebatan yang sejujurnya mengenai Islam.
Akhirnya, selain ke bahasa Arab, buku tersebut juga dierjemahkan ke bahasa Urdu dan Persia. Di Iran, buku ini dilarang total. Delapanbelas bulan kemudian, terjemahan Arabnya telah diunduh sekitar setengah juta kali, yang mengindikasikan adanya dahaga untuk meliberalisasi pola pikir kaum Muslim. Sayangnya, tidak banyak yang berani bersuara secara terbuka dan nyaring.
Ketakutan untuk berbicara terbuka tidak hanya terjadi di dunia Islam tradisional, namun juga di Amerika Serikat – di kalangan anak muda Muslim kelahiran Amerika yang masih saja bergumul dengan pengaruh budaya tribal Arab yang diterapkan oleh keluarga mereka.
A: Pernahkah terbersit di benak anda untuk meninggalkan Islam?
B: Sejak usia belia, saya kerap mempertanyakan bukan tentang apa yang saya yakini, namun tentang apa yang diajarkan pada saya di madrasah. Misalnya, saya diberitahu bahwa perempuan itu inferior atau lebih rendah dari lelaki dan karena itulah mereka tidak boleh mengimami sholat. Saya lalu teringat pada ibu saya yang membesarkan tiga anak perempuan dan mengusahakan agar ketiganya mendapat makanan, pakaian, dan rumah yang layak dari gaji seorang tukang bersih-bersih. Bahkan di usia belia, saya tahu betul hal itu membutuhkan otak dan nyali. Saya fikir ibu saya tidak mungkin inferior daripada lelaki.
Dengan mengamati kenyataan yang ada, saya mengerti bahwa sebenarnya yang selama ini diajarkan pada saya di madrasah bukanlah iman, namun dogma. Bedanya adalah bahwa iman cukup aman ketika dihadapkan pada pertanyaan dan tidak pernah merasa terancam olehnya. Akan tetapi dogma -baik itu sosialis, Islamis, kapitalis, atheis ataupun feminis- sangatlah lemah dan rigid. Ia merasa silau di bawah sinaran pertanyaan.
Tidak mengherankan jika di usia 14 tahun, setelah mengajukan banyak pertanyaan yang salah, saya pun dikeluarkan dari madrasah. Saya kerap bergurau dengan kawan atheis bahwa dikeluarkan dari sekolah tersebut adalah satu-satunya bukti yang saya perlukan akan keberadaan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang! (tertawa)
Setelah dikeluarkan dari madrasah, saya pun berfikir: mengapa saya masih membutuhkan agama? Saya bisa saja membebaskan diri – berdiri sendiri, berfikir kritis, mencintai ilmu dan pendidikan yang saya dapat dari sekolah umum dan bergerak maju. Namun kemudian saya menyadari, bahwa bisa jadi semua yang dikatakan oleh guru madrasah saya tentang Islam hanyalah kebohongan belaka. Atau bisa jadi ia memang seorang pengajar yang payah. Supaya adil pada iman saya, saya perlu mempelajari Islam sendiri dan saya harus melihat personalitas Islam yang otentik.
20 tahun selanjutnya saya gunakan untuk mempelajari Islam secara otodidak. Selama itu, saya mempelajari sisi feminis Islam yang tidak akan pernah diperkenalkan pada saya jika tetap bertahan di madrasah. Misalnya, saya belajar bahwa di masa Nabi Muhammad, pernah ada seorang imam shalat perempuan –dan nabi mendukungnya.
Saya mempelajari bahwa istri pertama Nabi Muhammad, Khadijah, adalah seorang pedagang kaya yang merupakan majikan Nabi selama bertahun-tahun. Bahkan menurut sejarah Islam tradisional, ialah yang melamar Nabi.
Saya juga mendengar tentang figur perempuan kuat lainnya, Rabiah. Menurut tradisi Islam, ia diberi pilihan empat orang lelaki untuk dijadikannya suami. Ia pun memutuskan untuk mewawancarai yang terpandai di antaranya, namun menyimpulkan bahwa orang itupun bahkan tidak cukup pandai untuknya. Akhirnya ia memilih untuk membujang, mengingat Quran memberi semua perempuan pilihan untuk begitu.
Semakin saya mempelajari sejarah kesetaraan dalam Islam, saya semakin sadar bahwa sebetulnya saya tidak perlu meninggalkan iman saya demi memiliki integritas. Yang saya perlu lakukan adalah menggunakan suara saya – suara yang tidak memerlukan perjuangan berdarah-darah untuk mendapatkannya. Saya telah dianugerahi kebebasan yang sangat berharga sehingga setiap pagi, saya harus bertanya pada diri sendiri tentang apa yang bisa saya perbuat dengan kebebasan ini.
A: Apakah kemewahan untuk mengkritisi Islam dikarenakan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, oleh tiadanya sistim kependetaan dalam Islam?
B: Saya kira pernyataan mengenai tidak adanya otoritas agama dalam Islam sebagaimana paus dalam agama Katolik -sehingga Katolik lebih bersifat doktriner- tidaklah sepenuhnya benar. Secara teori, memang benar. Tetapi kenyataannya bahkan sampai detik ini, sebagai seorang Katolik, anda bisa menjadi seorang pemberontak. Meskipun karenanya seseorang akan dicerca atau dipojokkan, namun ia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan hidupnya.
Hal yang sama terjadi dalam agama Yahudi. Teman baik saya, seorang pembuat film Yahudi yang kontroversial, membuat sebuah film berjudul “Trembling before God” – di mana ia mengungkapkan bagaimana kaum Yahudi ultra orthodoks yang homoseksual mendamaikan kedua identitas tersebut. Ia memang menerima surat penuh dengan nada kebencian dan caci maki, namun tidak ada seorangpun yang mencoba mengancam nyawanya.
Dalam Islam, kita punya masalah dengan sensor dan kurangnya pemberontakan yang lebih besar daripada kaum Kristen dan Yahudi. Namun bukan berarti semua hal dalam kedua agama tersebut baik. Keduanya memiliki masalah tersendiri, dan saya sangat menghargai hal tersebut. Walaupun begitu, jika anda adalah pengikut kedua agama tersebut, anda dapat memberontak tanpa harus khawatir akan kehilangan nyawa karenanya. Karena itulah saya menyuarakan pentingnya pembaruan dalam Islam.
A: Bagaimanakah pandangan anda tentang al-Quran, dan sejauhmana kritik terhadapnya dapat dilakukan?
B: Saya sadar poin ini membuat banyak orang Islam menganggap saya bukanlah seorang Muslim. Namun bagi saya itu tidak mengapa, karena Quran sendiri mengatakan hanya Tuhanlah yang tahu siapa yang benar-benar beriman. Saya meyakini bahwa Quran terinspirasi secara ilahi (divinely inspired). Saya ingin melakukan lompatan iman tersebut. Saya tidak bisa, dengan menggunakan nalar saya, mengklaim dengan penuh keyakinan bahwa Quran ditulis secara ilahi (divinely authored), atau ditulis dari awal sampai akhir hanya oleh Allah.
Saya mengambil kesimpulan tersebut mengingat saya adalah seorang sejarahwan. Saya tahu bahwa Quran dikompilasi, pertama-tama, oleh manusia yang bisa melakukan kesalahan. Kedua, ayat-ayat atau wahyu yang diterima Nabi kemudian ditulis pada apapun yang ditemukan oleh para sahabatnya: dedaunan, serpihan kayu, bebatuan dll. Siapa dapat mengatakan bahwa di dalam proses mengumpulkan semua itu tidak terjadi suatu kesalahan?
Banyak yang tidak tahu bahwa para filsof Muslim selama ratusan tahun telah berbicara mengenai “ayat-ayat setan”, di mana Nabi menerima ayat-ayat Quran yang kemudian beliau sadari lebih memuja para berhala ketimbang Tuhan. Nabi lalu menghapus ayat-ayat tersebut – beliau mengedit Quran. Pertanyaan saya adalah: jika Muslim yang baik meneladani kehidupan Nabi dan Sunnah Nabi, maka bagian dari Sunnah adalah bahwa beliau mengedit Quran. Siapa dapat mengatakan para sahabatnya tidak mengikuti teladan tersebut? Siapa bisa mengatakan dalam proses kompilasi tersebut mereka tidak mengedit Quran?
Kita tidak memiliki jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan di atas, dan justru itulah yang seharusnya membuat kita rendah hati. Hal tersebut menimbulkan rasa malu mengingat pengetahuan kita amatlah terbatas, sehingga kita tidak bisa berlagak laiknya Tuhan. Hanya Tuhan lah Tuhan. Sementara kita di atas bumi ini harus menciptakan sebuah tatanan masyarakat di mana kita dapat berbeda, berdebat, dan bertentangan satu sama lain secara damai, beradab dan tanpa rasa takut. Jika kita melakukan itu, berarti kita sedang memuja Tuhan, karena berarti kita menyadari bahwa hanya Allah-lah yang memiliki kebenaran mutlak.
A: Bagaimana pembaruan dapat dilakukan? Haruskah kita kembali pada sumber-sumber primer Islam, atau kita abaikan saja?
B: Saya kira kita harus bangga pada tradisi tertentu dalam Islam yang memungkinkan kita menjadi fleksible dan maju. Ijtihad adalah tradisi kedinamisan, mobilitas intelektual dan spiritual dalam Islam. Karena itulah saya adalah pendukung utama semangat ijtihad.
Banyak orang Islam mengatakan- anda kira anda itu siapa mau melakukan ijtihad? Mana titel anda? Sebetulnya saya tidak mengajak kaum Muslim awam untuk melakukan tradisi hukum ijtihad. Saya mengingatkan kaum Muslim pada umumnya bahwa Allah telah memberi mereka izin bahkan kewajiban untuk berfikir kritis. Saya ingin semua orang di dunia Islam, terutama perempuan, mendapat hak untuk berfikir. Apa yang mereka simpulkan selanjutnya melalui kebebasan itu adalah urusan mereka.
Sebagian umat Islam tidak memahami bahasa sekuler seperti “Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia”. Salah satu contoh isu HAM adalah soal LGBT (lesbian, gay, bisexual dan transgender/transexual). Apa pendapat anda tentang hak LGBT dan Islam?
Sebagaimana anda ketahui, saya adalah seorang lesbian dan saya tidak meminta persetujuan kaum Muslim atas orientasi seksual saya. Saya hanya meminta persetujuan dari dua entitas saja: Sang Pencipta dan nurani saya.
Karena itu, kita bisa meneliti kemungkinan kesesuaian (compatibility) antara Islam dan homoseksualitas. Quran sendiri mengandung lebih banyak ayat yang mendukung keragaman daripada ayat yang menghujat homoseksualitas. Quran mengatakan bahwa semua yang diciptakan oleh tuhan “sempurna”, tidak ada ciptaannya yang “sia-sia” dan bahwa tuhan menciptakan “siapapun menurut yang dikehendakinya”.
Hal ini berarti Yang Maha Kuasa tahu apa yang dilakukanNya saat menciptakan gay dan lesbian. Maka, ketika kaum Muslim mainstream mengatakan bahwa Islam melarang homoseksualitas, ini menandakan bahwa mereka meyakini Tuhan telah melakukan kesalahan. Apakah mereka mau mengakui bahwa Tuhan melakukan kesalahan?
Ada tiga kali lipat jumlah ayat Quran yang menyuruh kita untuk berfikir, menganalisa, dan merenung, daripada jumlah ayat yang memberi tahu apa yang secara mutlak benar atau salah. Kita dapat menggunakan prinsip berfikir dan menerapkannya pada kisah Nabi Luth. Kisah Luth inilah yang paling banyak digunakan kaum Muslim untuk menghujat homoseksualitas. Penelitian menunjukkan bahwa kisah Luth bukanlah tentang hubungan homoseksual yang konsensual atau sukarela, namun tentang pengainayaan seksual. Kita dapat mempertanyakan apa yang sebetulnya dihujat Tuhan di sini – apakah Ia menghujat homoseksualitas, ataukah menghujat penggunaan kekerasan dan pemaksaan dalam seks, termasuk di antara lelaki? Jawaban saya adalah: saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah bahwa setiap bab dalam Quran, kecuali satu, dimulai dengan menyatakan Allah sebagai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Menurut saya jika kita semua lebih peduli mengenai di mana posisi Sang Maha Pencipta daripada posisi manusia, kita akan menyadari adanya banyak ruang dalam Quran untuk mendebat dan berbeda. Artinya meskipun anda berhak untuk tidak setuju dengan saya, anda tidak diizinkan untuk menyakiti saya karena berbeda dari anda.
A: Menurut anda, bagaimanakah respon umat Islam terhadap kekerasan yang dilakukan atas nama Islam?
B: Di Amerika Utara, selalu ada pembedaan antara Muslim ekstrimis dan Muslim moderat. Menurut saya pembedaan yang jauh lebih penting sebetulnya adalah antara Muslim moderat dan Muslim reform-minded. Alih alih menjadi solusi, muslim moderat sendiri adalah bagian dari persoalan. Muslim moderat dipojokkan oleh pandangan publik sehingga mereka pada akhirnya mengutuk kekerasan yang dilakukan atas nama Islam. Namun begitu, mereka akan membantah peran agama dalam kekerasan yang dilakukan atas namanya.
Masalah dengan argumentasi tersebut ada dua. Pertama, ini adalah suatu bentuk ketidakjujuran. Kita telah menyaksikan video para pemuda dan pemudi yang ingin mati syahid – dan mengutip Quran untuk membenarkan kekerasan yang mereka lakukan. Meskipun mereka mengeksploitasi dan memanipulasi ayat-ayat tersebut, faktanya ayat-ayat itu memang ada. Karena itu, agama memiliki peranan.
Ketika tragedi WTC terjadi, banyak kaum Muslim moderat di Amerika yang menyatakan bahwa Quran jelas-jelas mengatakan- “jika engkau membunuh seorang manusia, ia seperti membunuh seluruh umat manusia”. Padahal sebetulnya, Quran mengatakan lebih jauh: ““jika engkau membunuh seorang manusia, ia seperti membunuh seluruh umat manusia. kecuali pembunuhan itu dilakukan sebagai hukuman atas pembunuhan atau kejahatan di muka bumi”. Pengecualian inilah yang digunakan oleh para jihadi untuk membenarkan tindak kekerasan mereka.
Kedua, mengatakan bahwa Islam tidak ada sangkut pautnya dengan (kekerasan) ini juga berbahaya, karena kita berarti menyerahkan keyakinan kita pada Muslim ekstrimis. Ini berarti mengatakan pada kaum ekstrimis: “Silahkan mendefinisikan Islam. Kami hanya akan mengatakan bahwa Islam berarti damai dan berharap dunia mempercayai kami. Namun kami tidak akan menyaingi penafsiran ayat-ayat tersebut karena jika begitu, berarti kami mengakui bahwa agama berperan dan kami tidak akan melakukannya”. Inilah pola pikir kaum Muslim moderat. Karena itulah saya bukan Muslim moderat. Dan hal ini mengejutkan orang-orang Amerika karena hanya itulah yang mereka tahu.
Dengan rendah hati saya mengingatkan kaum Muslim yang menilai pandangan saya tidak Islami atau bahkan anti Islam – bahwa dalam Quran ayat yang mengajak kita untuk berfikir, menganalisa dan merenung tiga kali lipat lebih banyak daripada ayat yang mengajarkan apa yang benar atau salah. Ayat yang mendorong pemikiran kritis tiga kali lipat lebih banyak daripada tentang kepatuhan buta. Dengan perhitungan itu saja, penafsiran ulang lebih dari sekedar hak – ia adalah kewajiban. Karena itulah saya berpendapat bahwa Muslim reform-minded sama otentiknya dengan Muslim moderat – bahkan mungkin lebih konstruktif. Kami mencoba maju lebih jauh ke depan daripada sekedar menyaksikan apa yang terjadi atas nama Islam, dan berharap ia akan hilang dengan sendirinya.
A: Saat ini, beberapa unsur radikal di kalangan umat Islam Indonesia mendesak pemerintah untuk melarang Ahmadiyah. Bagimana pendapat anda?
B: Menurut saya hal yang menyatukan semua umat Islam adalah keyakinan pada Tuhan yang Maha Esa, Tuhan yang memiliki kebenaran mutlak, dan bahwa manusia hanya memiliki pengetahuan terbatas. Bagaimana saya bisa tahu tidak ada nabi lain setelah Muhammad? Karena itu, monoteisme adalah kunci utama Islam saat awal pendiriannya. Kaum Ahmadiyah tidak melanggar prinsip tersebut mengingat mereka percaya pada Tuhan yang Maha Esa, dan itulah hakekat Islam.
Melarang mereka adalah suatu bentuk kesombongan kalangan Muslim mainstream yang mengambil alih peran Tuhan. Jika kita meyakini ada kebenaran final dan hanya Tuhan yang berhak menghukum orang yang tidak beriman atau memberi pahala pada mereka yang beriman, lalu siapakah kita ini sehingga menganggap orang lain tidak beriman?
Saya sadar orang bisa dengan mudah menganggap saya sebagai seorang relativis yang menganggap semua boleh. Namun tidak demikian halnya. Ada beberapa poin yang tidak dapat ditawar dalam keyakinan ini (Islam). Saya adalah seorang pluralis dan bukan seorang relativis.
Seorang pluralis menghargai berbagai perspektif dalam kebenaran. Adapun seorang relativis mendukung apa saja, karena ia sebenarnya tidak memiliki pendirian apapun. Pertanyaan kunci bagi masyarakat terbuka manapun adalah: dapatkah sebuah masyarakat demokratis menghasilkan pluralis tanpa menghasilkan relativis? Saya akan menjawab pertanyaan tersebut dalam buku saya selanjutnya.
A: Mengapa anda memberi banyak perhatian pada isu Israel dan Yahudi dalam buku anda?
B: Poin sederhana saya ketika mengangkat isu Israel adalah bahwa ketika anda melakukan penelitian, anda tidak dapat menyalahkan Israel atas semua permasalahan dunia Islam. Tiga dari empat Khulafa’ ar Rasyidin, para khalifah penerus Nabi Muhammad, dibunuh oleh sesama Muslim. Negara Israel belum berdiri saat itu. Pertikaian berdarah demi kekuasaan telah berkobar di dunia Islam sebelum penjajahan Barat dan negara Israel lahir, sebelum CIA, MTV, McDonald, dan Britney Spears ada.
Saya juga ingin menjelaskan mengapa kita tidak dapat mengkambinghitamkan Israel atas semuanya – dengan pergi ke sana dan melihat kondisinya dengan mata kepala sendiri. Umat Islam telah berkonspirasi melawan satu sama lain selama berabad-abad. Ada banyak hal terjadi di dunia Islam yang tidak ingin kita akui. Jika kita terus menggunakan Israel sebagai alasan atas mengapa kita tidak dapat melakukan reformasi, kita tidak akan memiliki legitimasi yang cukup ketika mengarahkan telunjuk kita pada dunia luar.
A: Apakah pembaruan Islam dapat dicapai melalui politik?
B: Saya pribadi meyakini bahwa politik adalah jalan yang paling sedikit efektif untuk mereformasi pola pikir umat Islam. Akan selalu ada agenda-agenda yang bertentangan dan terkadang anda dipaksa untuk mengurangi integritas anda hanya supaya dapat terpilih. Bisakah anda mengatakan apa yang seharusnya dikatakan dan melakukan apa yang diperlukan ketika anda menjadi politisi? Bagi saya, jawabannya adalah tidak.
Saya memilih untuk bekerja di luar sistim politik pemilu dan lebih meraih pengaruh daripada kekuasaan. Kekuasaan bersifat singkat dan anda menggunakannya di titik tertentu untuk mendapat hasil yang spesifik. Pengaruh berarti orang mendengar anda sampai jangka panjang. Ini baik untuk saya karena berarti saya bisa tidur di malam hari dan tahu saya telah jujur pada dunia tentang apa yang saya yakini. Saya tidak harus berpura-pura hanya agar bisa melaju ke jenjang selanjutnya.
Bagaimanapun, dunia sangat kompleks. Dan ia membutuhkan banyak orang untuk melakukan perubahan. Maka jika anda punya strategi khusus yang menurut anda dapat benar-benar diterapkan agar dapat terpilih: lakukan! Kami memerlukan anda! Pertanyaannya adalah, apakah anda punya rencana nyata ketika anda betul-betul masuk ke dunia politik? Jika tidak, maka terus terang, saya kira anda akan dikecewakan oleh betapa sedikit yang bisa anda raih dalam politik.
A: Apakah pembaruan Islam mungkin dilaksanakan?
B: Sebagaimana saya telah katakan di awal, meskipun dahaga akan gagasan-gagasan pembaruan ada, namun rasa takut untuk mendukung dan menciptakan gerakan nyata juga ada.
Meski demikian, kemajuan sedang berlangsung: suatu kali seorang reporter New York Times yang selama enam bulan tinggal di Lebanon, Siria, dan Yordania untuk membuat laporan tentang pembunuhan dan kekerasan atas nama kehormatan memberi tahu saya bahwa ia telah menanyai perempuan muda Muslim darimana mereka mendapatkan keberanian untuk berbicara tentang isu-isu tabu tersebut. Ia mengatakan bahwa sebagian besar merujuk pada terjemahan buku saya yang dimuat di website.
Dio mana hanya ada sedikit kebebasan, penghargaan atas kebebasan meningkat. Hal ini mengingatkan saya pada anda semua di Indonesia, di mana anda memiliki kebebasan relatif lebih banyak daripada di Timur Tengah. Saya sangat berharap, dan mungkin saya naif, bahwa anda dapat meluncurkan berbagai gagasan segar ke seluruh penjuru dunia melalui media dan teknologi digital.
Saya kira mentalitas tribal “kita lawan mereka” yang muncul di banyak negara di timur Tengah akan tergantikan oleh pemikiran yang lebih pluralis. Indonesia mewarisi tradisi pluralisme tersebut. Indonesia dapat menjadi sumber kepemimpinan baru bukan sekedar bagi umat Islam, namun bagi kemanusiaan secara menyeluruh. Prinsip Pancasila, yang merupakan landasan utama negeri ini, sama persis dengan prinsip prinsip konstitusi Amerika Serikat.
jika and kira gagasan kebebasan dan demokrasi Amerika memberi harapan bagi kepemimpinan, hak asasi manusia, demokrasi dan kebebasan, maka ingatlah bahwa Undang Undang Dasar 1945 juga bisa melakukan hal yang sama. Penduduk dunia akan menarik nafas lega mengetahui bahwa kaum muda Muslim di negeri ini berjuang untuk mengembalikan kebebasan, demokrasi dan pemikiran kritis bagi kepemimpinan politis. Saya yakin hal ini akan terjadi di Indonesia.
Namun umat Islam Indonesia kini menghadapi tantangan besar – yaitu pengaruh Wahhabi. Anda menyebutnya sebagai imperialisme budaya Arab…
Ya, bukan hanya imperialisme Amerika yang sedang dihadapi oleh kebanyakan umat Islam di dunia. Sebenarnya, penjajahan yang lebih besar adalah mentalitas tribal yang datang dari budaya padang pasir Arab Saudi. Hal ini termasuk prinsip kehormatan yang menjadikan perempuan sebagai properti lelaki di komunitas mereka, dan menghilangkan individualitas mereka.
Karena penjajahan Wahhabi yang mengancam nilai pluralisme Indonesia inilah, perlawanan terhadap imperialisme budaya Arab semakin penting. Dalam beberapa tahun mendatang, pemerintah anda akan mencoba meningkatkan pemasukan dari wisatawan asal Timur tengah. Karena itu, orang Indonesia akan disarankan untuk tidak menyinggung sensibilitas budaya para wisatawan Arab. Untuk itu, akan diberlakukan lebih banyak lagi undang-undang untuk membatasi kebebasan. Sangat penting untuk menyadari konsekuensi-konsekuensinya jika tidak menerapkan kepemimpinan pluralistik.
15/

Jumat, 18 Juli 2008

Urgensi Islam Mazhab Indonesia

Oleh: Abd A’la
Islam dapat berkembang terus di bumi Nusantara karena yang dikedepankan sejak awal adalah coral Islam yang sejuk, ramah, dan mampu berdialog dengan tradisi dan budaya lokal. Beberapa studi menunjukkan, Islam yang datang pertama kali di Nusantara adalah Islam sufistik yang mampu menyapa dominasi mistik yang banyak dianut masyarakat Nusantara melalui strategi dan pola penyampaian yang juga akrab di kalangan mereka. Sejarawan Merle Ricklefs menyebutnya sebagai agama sintesis mistik (mistic syntetism). Dengan demikian, masyarakat Nusantara dapat menerimanya tanpa suatu resistensi berarti.
Dilihat dari sisi manapun, kekerasan dan kekuatan otot yang sering ditunjukkan sebagian kelompok Muslim radikal bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip Islam. Sebermula sekali, agama ini meletakkan kerahmatan sebagai fondasi keberagamaan, dan seutuhnya sangat menghargai nilai-nilai spiritualitas dan intelektualitas, serta suasana dialogis.
Kekerasan dan sejenisnya hanya akan menjadikan Islam tereduksi sebagai bayang-bayang menakutkan yang kehilangan aspek kemanusiaannya. Kesyahduan beragama lalu berbias menjadi keberingasan, dan pencerahan tersungkur menjadi keangkuhan. Keberagamaan yang sejatinya dikembangkan di atas kecerdasan emosi dan nalar argumentatif berkembang menjadi kekuatan destruktif, berwujud pentungan dan sejenisnya yang tak akan memberi dampak penyadaran dan transformasi nilai-nilai moral luhur Islam.
Model keberagamaan seperti itu bisa saja menjadikan Islam sebagai kekuatan tunggal di negeri ini, tapi kekuatan yang akan berkembang adalah kekuatan yang sangat rapuh. Di atas permukaan simbol Islam terpampang di mana-mana, tapi senyatanya tidak disangga tiang-tiang moral dan nalar agama yang kuat. Keislaman ini mudah ambruk ketika berhadapan dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa. Welfare discourse atau keinginan untuk menciptakan negara gemah ripah loh jinawi sulit tercapai dan tidak mampu tawaran-tawaran penyelesaian yang holistik dan aplikatif terhadap persoalan bangsa yang rumit dan kait mengkait.
Justru yang akan berkembang adalah jatuhnya lebih banyak korban, termasuk di kalangan umat Islam sendiri. Orang-orang Islam yang selama ini dianggap marginal akan kian terpinggirkan. Sementara itu, persolan besar terus menganga karena solusi yang dipaksakan lebih berwujud doktrin-doktrin rigid, bahkan utopis, argumen apologis, dan bayang-bayang masa lalu yang sulit untuk dilabuhkan dalam kekinian. Fenomena semacam itu merupakan realitas yang membelenggu sebagian kelompok Muslim Indonesia saat ini.
Islam Mazhab Indonesia
Keberlangsungan fenomena tersebut tentu sangat mengkhawatirkan eksistensi bangsa, dan umat Islam Indonesia secara khusus. Keberlanjutan hal itu akan membuat Islam tidak mampu mengakar kuat dalam masyarakat luas, tidak mampu menyentuh lokalitas budaya, serta tidak memberikan ruang dialog yang cukup luas bagi pengembangan tradisi luhur bangsa. Umat Islam akan menjadi asing di negeri sendiri.
Padahal, sejarah Islam Indonesia telah memberikan pelajaran berharga untuk pembumian dan pengembangan nilai-nilai Islam yang lebih mengakar. Islam dapat berkembang terus di bumi Nusantara karena yang dikedepankan sejak awal adalah coral Islam yang sejuk, ramah, dan mampu berdialog dengan tradisi dan budaya lokal. Beberapa studi menunjukkan, Islam yang datang pertama kali di Nusantara adalah Islam sufistik yang mampu menyapa dominasi mistik yang banyak dianut masyarakat Nusantara melalui strategi dan pola penyampaian yang juga akrab di kalangan mereka. Sejarawan Merle Ricklefs menyebutnya sebagai agama sintesis mistik (mistic syntetism). Dengan demikian, masyarakat Nusantara dapat menerimanya tanpa suatu resistensi berarti.
Ketika Walisongo menjadi penyebar Islam di tanah Jawa, keislaman semacam itu merupakan strategi dan pola yang terus dikembangkan. Sunan Kalijaga, misalnya, menyebarkan Islam melalui wayang kulit dan cerita wayang yang telah mengalami islamisasi sedemikian rupa. Sunan Muria berdakwah melalui gamelan. Bahkan Raden Paku merupakan pencipta gending Asmaradana dan Pucung, dan Sunan Kudus sebagai pencipta gending Maskumambang dan Mijil (Saridjo et. al, 1982: 23-24).
Selanjutnya, kearifan semacam itu menjadi dasar pengembangan Islam di dunia pesantren. Islam lalu menjadi sesuatu yang akrab dan bagian yang intrinsik dari masyarakat Nusantara. Pada saat yang sama, melalui Islam mazhab Indonesia itu masyarakat menghadapi dan menyelesaikan persoalan mereka secara arif dan self-motivated, baik dalam melawan penjajahan hingga terlibat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengisinya secara mencerahkan.
Dalam konteks kekinian, Islam mazhab Indonesia tersebut sangat signifikan untuk ditumbuh-kembangkan. Berpijak pada Islam semacam itu, umat Islam Indonesia dapat menjadi Muslim sekaligus menjadi eleman inheren bangsa Indonesia, serta memiliki potensi besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa tanpa harus mengalami keterasingan dari kehidupan konkret mereka.
Islam tidak dianggap berhubungan secara antagonistis dengan paham kebangsaan maupun khazanah budaya bangsa. Mosaik budaya bangsa Indonesia yang beraneka dan majemuk tidak menjadi penghalang bagi Islam untuk berdialog dengan sehat. Mekanisme saling meminjam dan mengisi di antara keduanya pun terjadi dengan cara-cara yang beradab. Untuk itu, hubungan antara keislaman dan kebangsaan Indonesia menjadi bersifat komplementer, saling melengkapi, bukan saling menaklukkan.
Itulah misalnya yang pernah dikemukakan pemikir-pemikir Islam terkemuka Tanah Air seperti KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lewat gagasan Pribumisasi Islam-nya. Juga gagasan-gagasan tentang kontekstualisasi yang diperjuangkan oleh banyak tokoh seperti Almarhum Nurcholish Madjid, Munawir Sadzali, dan lainnya. Islam diupayakan menjadi agama yang fleksibel, mampu berdialog secara sehat dengan kenyataan.
Menjauhi Formalisme
Untuk pengembangannya, umat Islam Indonesia saat ini tentunya perlu menghindari bentuk-bentuk formalisme telanjang sebagaimana dikembangkan generasi awal Muslim Indonesia. Demikian pula mereka jangan sampai terjebak kepada pemaknaan literalistik atas bentuk formal tersebut. Umat Islam perlu menangkap makna dasar dari Islam dan memaknainya secara transformatif ke dalam konteks kekinian.
Demi menggapainya, pengembangan komunikasi kritis adalah niscaya untuk dijadikan dasar rekonstruksi. Memodifikasi komunikasi kritis Habermas (dikutip Sindunata, Basis, November-Desember 2004: 51), umat Islam perlu menjadikan nilai kebenaran sebagai realitas konkret yang dapat diterima bangsa secara keseluruhan. Di situlah diperlukan proses objektivikasi sebagaimana dikemukakan oleh Almarhum Kuntowijoyo. Proses objektivikasi ini berguna untuk menyaring dan menapis unsur-unsur yang dianggap benar secara eksklusif oleh suatu agama guna diangkat menjadi kebenaran bersama tanpa dirasakan lagi sebagai suatu kebenaran yang eksklusif.
Dari kebenaran yang sudah diobjektivikasi itu, keadilan sejati bagi seluruh elemen bangsa perlu dilabuhkokohkan. Pada saat yang sama, umat Islam niscaya harus membangun relasi dan dialog dengan segenap unsur bangsa dan masyarakat dunia secara intens. Konkretnya, dengan nilai-nilai universal Islam dan agama-agama lainnya yang berwujud kebenaran, keadilan, keramahan, dan sejenisnya, umat Islam –bersama umat yang lain –berpeluang besar untuk membangun Indonesia yang sejahtera dan sejuk bagi semua.

Gus Dur di Mata Dunia

Oleh: Saidiman
Posisi Gus Dur sebagai politisi dan pejuang HAM sekaligus adalah sesuatu yang memang langka. Dan kemampuannya melakukan pembedaan secara jernih mengenai posisinya itu adalah sesuatu yang mengagumkan. Perjuangannya untuk tetap membela hak-hak minoritas tak pernah surut kendati tampak tidak menguntungkan secara politik. Ketika kebanyakan politisi angkat tangan dan bungkam terhadap kasus minoritas Ahmadiyah, Gus Dur justru tampil di garda depan sebagai pembela hak-haknya. Bagi Gus Dur, adalah hak pengikut Ahmadiyah untuk hidup sebagaimana rakyat Indonesia pada umumnya. Jaminannya adalah Konstitusi.
Ada yang menarik dari konferensi tahunan ketujuh yang diadakan oleh Globalization for the Common Good, From the Middle East to Asia Facific: Arc of Conflict or Dialogue of Cultures and Religions, 30 Juni – 3 Juli 2008, di Melbourne, Australia. Para peserta dan pembicara yang berasal dari universitas-universitas terkemuka pelbagai Negara ini hampir selalu menyebut nama mantan presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai contoh ideal pemuka agama tradisional yang begitu gigih memperjuangkan semangat toleransi dan perdamaian.
Prof. Muddathir Abdel-Rahim (International Institute of Islamic Thought and Civilization, Malaysia) menunjuk Gus Dur sebagai sosok yang berhasil membalik prasangka banyak kalangan tentang wajah Islam yang cenderung dipersepsi tidak ramah terhadap isu-isu toleransi dan perdamaian. Prof. Abdullah Saeed (The University of Melbourne) juga mengakui posisi penting Gus Dur dalam upaya kontekstualisasi nilai-nilai universal al-Qur’an. Dr. Natalie Mobini Kesheh (Australian Baha’i Community) mengatakan bahwa satu-satunya pemimpin Islam dunia yang begitu akomodatif terhadap komunitas Baha’i adalah Gus Dur. Prof. James Haire (Charles Stuart University, New South Wales) berkali-kali memberi pujian kepada Gus Dur yang ia nilai paling gigih dalam memberi perlindungan terhadap kelompok minoritas. Sementara Dr. Larry Marshal (La Trobe University, Australia) menyebut Gus Dur sebagai pemikir cemerlang yang memiliki pandangan luas. Marshal bahkan sangsi Indonesia bisa melahirkan pemikir-aktivis seperti Gus Dur dalam jangka waktu seratus tahun ke depan. Apresiasi dan pujian dari masyarakat intelektual dunia ini bukan sekali ini saja. Gus Dur kerapkali menerima sejumlah penghargaan dari banyak lembaga internasional yang bersimpati terhadap perjuangannya selama ini.
Apresiasi semacam itu justru agak berbeda dengan situasi mutakhir di Indonesia. Belakangan ini Gus Dur tampak sedang berada pada fase-fase yang cukup sulit. Setelah tersingkir dari jabatan struktural Nahdlatul Ulama (NU), diganti oleh bekas loyalisnya, Hasyim Muzadi, kini Gus Dur harus menghadapi tekanan politik dari kemenakannya, Muhaimin Iskandar, di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Musuh-musuh ideologisnya bahkan secara terang-terangan berani memperolok-olok mantan presiden ini di depan publik. Pada sebuah acara talk show di sebuah stasiun televisi, Rizieq Shihab menyebut Gus Dur “buta mata, buta hati.” Olok-olok dan penghinaan ini kemudian diikuti oleh pengikut-pengikut Rizieq di pelbagai daerah yang tanpa sungkan membawa poster olok-olok tersebut ke jalan-jalan.
Gus Dur tidak hanya menuai tantangan dari musuh-musuh politik dan ideologisnya. Madina, sebuah majalah yang dikenal moderat dan kerapkali menampilkan gagasan-gagasan pembaruan Islam, tidak menyebut namanya dalam daftar 25 tokoh Islam damai di Indonesia. Gus Dur tersingkir dari nama-nama beken seperti Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, atau Helfy Tiana Rosa. Bahkan di kalangan kelompok moderat Indonesia sekalipun, Gus Dur tak jarang terabaikan.
Meski begitu, apa yang terjadi pada konferensi Melbourne dan forum-forum internasional lain bukan sekedar apresiasi dan pujian, melainkan harapan. Gus Dur dianggap sebagai harapan bagi masa depan perdamaian di Indonesia dan dunia Islam pada umumnya. Melalui aktivitas pembelaan terhadap kelompok pinggiran, Gus Dur telah memberi bukti bahwa Islam juga punya semangat toleransi dan perdamaian, bahkan dalam bentuk yang paling tradisional sekalipun.
Posisi Gus Dur sebagai politisi dan pejuang HAM sekaligus adalah sesuatu yang memang langka. Dan kemampuannya melakukan pembedaan secara jernih mengenai posisinya itu adalah sesuatu yang mengagumkan. Perjuangannya untuk tetap membela hak-hak minoritas tak pernah surut kendati tampak tidak menguntungkan secara politik. Ketika kebanyakan politisi angkat tangan dan bungkam terhadap kasus minoritas Ahmadiyah, Gus Dur justru tampil di garda depan sebagai pembela hak-haknya. Bagi Gus Dur, adalah hak pengikut Ahmadiyah untuk hidup sebagaimana rakyat Indonesia pada umumnya. Jaminannya adalah Konstitusi. Perkataan Gus Dur dalam sebuah konferensi pers mungkin akan sulit dilupakan para pejuang HAM dan demokrasi: “Selama saya masih hidup, saya akan tetap membela keberadaan Jemaat Ahmadiyah, karena itu sesuai dengan amanat Konstitusi.” Bagi Gus Dur, hak hidup semua orang dengan latar belakang primordial apapun adalah harga mati.
Barangkali memang Gus Dur tidak sedang berada pada waktu dan tempat yang tepat. Aktivitas dan pemikirannya terlalu jauh meninggalkan zamannya. Hanya masyarakat maju dan tercerahkan yang bisa mengapresiasi perjuangannya. Ketika Gus Dur berjibaku dengan isu-isu perdamaian bagi negeri tercinta, antusiasme masyarakat Indonesia terhadap gagasan-gagasannya justru melemah. Dalam pelbagai survey opini publik, suara Gus Dur malah anjlok ke titik terendah. Jika di dalam negeri Gus Dur dicaci dan direndahkan, untuk masyarakat internasional pecinta perdamaian, Gus Dur adalah pemimpin.

Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren

KH Husein MuhammadNuruzzaman, et al, eds.
LkiS, Yogyakarta and Fahmina Institute
lxvi + 344 pp
Recent discussions on feminism are intense and have always found its significance, both nationally and internationally, owing to the following basic factors.First, on the praxis plane, women are still unfairly treated. Second, in their active demand for gender equality, women have indicted the patriarchal social and cultural aspects of human life; third, both men and women are now gender aware. And fourth, men have demonstrated that their strong domination over women is too rigid to break. Fifth, religion legitimizes this condition in the gender-biased interpretation of faith such as is found in the study of laws pertaining to Islamic ritual obligation, religious interpretation of Islamic books and even in theology.
Although feminism has found its way into public opinion, unfair treatment of women continues to be practiced. Gender inequalities, such as extortion and oppression of women and male domination over women, must be stopped immediately, as these practices no longer conform to the modern values of humanity.
Gender inequality are often legitimized by religion, and as such, every act of violence toward women and the exploitation of women are not considered sinful acts.
One good example is the innate sin in the legend of the fall and the murder of Habil and Qabil. In the tradition of the three Abrahamic religions — Judaism, Christianity and Islam — the legend of the fall refers to the dramatic fall of Adam and Eve, who were believed to be in Paradise.
According to this doctrine, woman is believed to be the mother of all sins, as she seduces Adam so that both fall into the abyss of darkness. The doctrine likens a woman to an evil that tempts Adam to eat the apple in the Garden of Eden, which God has forbidden them even to touch.
Many feminists consider this doctrine to be the main cause of the historical male domination over women. This legend of the fall has often been cited as the main reference for violence against women, either physically or mentally.
Religious legitimacy for every form of gender inequality has given birth to gender-biased religious teachings and laws. Several classical books written in the past by Muslim intellectuals, or ulema, either in the form of fiqh, tafsir or theology, stand testimony of strong male domination over women, a violent practice that Pierre Bourdieu (199 refers to as “symbolic violence”.
In Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren, KH Husein Muhammad attempts to expose the Islamic view of women, particularly in terms of fiqh. The author believes that this view changes continually depending on the mufassir (the interpreter of the text) and the place and time when the interpretation of the Koran is made.
It must be emphasized, however, that the Koran contains within it a message of equality and justice, and does not distinguish women and men biologically. Both men and women are equal before God; they may differ only in terms of takwa, or devotion to God.
Meanwhile, an interpretation of the Koran, such as that which we find in the tafsir and fiqh texts, is very much influenced by time and place. Therefore, when we read these works, we must also take into account the authors’ social reference and the social construct at the time it was made.
In the past, the fiqh books written by ulema were generally by men living in Middle-Eastern male-dominated societies. Understandably, it is highly likely that these books are gender-biased.
Take, for example a fiqh on marriage (munakahat). According to this Islamic law, a husband enjoys a greater right than his wife. In a fiqh on inheritance, a bigger share of the inheritance goes to men. The fiqh on politics (al-siyasah), on the other hand, restricts women’s chances to embark upon a public career such as a president.
Husein thus believes that it is inevitable that one should continuously interpret and transform the existing interpretation of religious teachings to find their relevance to the dynamically changing social conditions, especially if certain fiqh are deemed to have led to paradoxes vis-a-vis the moral message of religious teachings such as justice, equality, liberty and so forth.
Experts have conducted research on the fiqh chapters on women and found that their substance run counter to the moral message of the religion.
This condition cannot be allowed to go on. Gender-biased fiqh must be revised immediately.
To this end, it is necessary to distinguish the moral message of Islamic teachings that have a universal and absolute application — known as qath’i in the ushul fiqh vocabulary — and the specific legal rules, which are temporal in nature, known as dhanny in the ushul al-fiqh vocabulary.
It is this holy message that must serve as a guide for all fiqh experts in formulating and determining the legitimacy of political, social, economic, cultural and other fiqh.
As regards fiqh on women and in the context of Islamic moral values, a stereotypical image of women must be avoided, as such an image will only give rise to discrimination and injustices toward women. It must be borne in mind that the Koran does not emphasize gender-based superiority nor inferiority.
In fact, Husein’s attempt is nothing new. A number of other women thinkers and activists have also discussed this topic. Nasaruddin Umar, Sinta Nuriah Wahid, Masdar, Nong Darul Mahdada and several others have also shown their deep concern over women’s issues.
However, what is unique about this book is that it reviews and makes references to those classical texts that many people, particularly those from Islamic boarding schools, often place on a par with the Koran.
Who knows that deconstruction of classical Islamic texts may enliven a discussion on feminism in Indonesia. [Hatim Gazali]

SKB dan Mitos Islam Moderat

Oleh: Hatim Gazali
Karena kemunculannya yang demikian, SKB—walau tidak dikenal dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia—memberikan peluang memunculkan kekerasan dan konflik sosial. Ketika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap JAI, sejumlah kekerasan dan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah dan rumah-rumah pengikut Ahmadiyah berlangsung semarak. SKB ini potensial disalah-gunakan untuk melakukan kekerasan di Tanah Air. Dia bisa dijadikan sebagai licence to kill oleh sebagian kalangan yang ekstrem.
Beberapa hari lalu sebuah televisi swasta menayangkan debat hangat tentang SKB Ahmadiyah. Yang dihadirkan adalah kelompok yang kontra dan membela hak hidup Ahmadiyah. Dialog ini tampak kurang kondusif. Di sana-sini teriakan takbir “Allahu Akbar” menggema sehingga tampak mengganggu fokus dan konsentrasi para narasumber yang hadir. Kelompok pertama yang membela hak hidup Ahmadiyah diwakili Usman Hamid dan Abd Moqsith Ghazali, sementara kelompok kontra diwakili Mahendradata dan Adnin Armas.
Sebenarnya, yang dipersoalkan antara yang pro dan kontra Ahmadiyah tidaklah sama. Kelompok pro ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga Ahmadiyah, sementara yang kontra Ahmadiyah mempersoalkan teologi Ahmadiyah yang dianggap sesat. Memang, tak bisa dipungkiri bahwa vonis sesat terhadap Ahmadiyah bukan hanya datang dari kelompok kontra yang hadir di studio saat itu. Jauh sebelum itu, KH. Hasyim As’ary, pendiri Nahdlatul Ulama, berpendapat bahwa ajaran Ahmadiyah berbeda dengan tafsir Islam mainstream di Indonesia.
Hal subtansial yang menyebabkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dinilai sesat adalah pengakuan adanya nabi setelah nabi Muhammad. Jelas, sebagaimana ditunjukkan sejarah, orang yang mengklaim nabi bukanlah fenomena baru. Musailamah adalah salah satu dari orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi. Di Indonesia, Ahmad Mushaddeq beberapa bulan lalu juga telah memproklamirkan diri sebagai nabi, walau akhirnya melakukan pertobatan. Atas klaimnya itu, Mushaddeq telah dinyatakan bersalah dan dipenjarakan.
Sementara, kelompok yang membela hak hidup Ahmadiyah seperti Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) tidak mendasarkan pembelaanya kepada aspek teologis, tetapi lebih kepada hak-hak sipil yang mestinya dilindungi negara. Ini membuktikan bahwa pembelaan terhadap Ahmadiyah bukanlah sebuah justifikasi terhadap kebenaran teologi Ahmadiyah, melainkan sebagai perjuangan agar JAI mendapatkan hak yang sama dalam melaksanakan agama dan keyakinan bangsa Indonesia sebagaimana dijamin UUD 1945.
Penulis berpandangan bahwa AKKBB yang terdiri dari pelbagai LSM dan organisasi masyarakat itu memiliki pandangan yang berbeda dengan Ahmadiyah. Abd. Moqsith Ghazali, salah seorang narasumber dan anggota AKKBB, dalam debat itu menjelaskan hal tersebut. Bahwa dirinya memiliki pendirian teologis yang berbeda dengan Ahmadiyah. Karena itu, ketidaksetujuan FPI dan kelompok-kelompok yang menolak AKKBB tidak menukik pada pokok hal yang dipersoalkan oleh AKKBB. FPI dan organisasi di bawahnya telah menuding AKKBB sebagai anggota Ahmadiyah itu sendiri. Ini tentu perlu klarifikasi. Abdurrahman Wahid yang getol membela hak-hak sipil jemaat Ahmadiyah sebagai warga negara jelas bukan anggota atau simpatisan JAI.
Masa Depan SKB
Terlepas dari pro-kontra di atas, SKB tiga menteri yang melarang JAI menyebarkan ajaran dan keyakinannya telah keluar. Kini ia bergulir sebagai bola liar yang rentan disalahgunakan kalangan-kalangan tertentu. Kendati SKB ini tidak dengan tegas memvonis sesat dan bubar terhadap Ahmadiyah, tetapi kronologi munculnya bermula dari klaim sesat oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang terdiri dari unsur kejaksaan, kepolisian, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama.
Karena kemunculannya yang demikian, SKB—walau tidak dikenal dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia—memberikan peluang memunculkan kekerasan dan konflik sosial. Ketika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap JAI, sejumlah kekerasan dan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah dan rumah-rumah pengikut Ahmadiyah berlangsung semarak. SKB ini potensial disalah-gunakan untuk melakukan kekerasan di Tanah Air. Dia bisa dijadikan sebagai licence to kill oleh sebagian kalangan yang ekstrem. Lihat saja reaksi beberapa kelompok masyarakat di Banjarmasin, Palembang, Cianjur, Bekasi dan beberapa daerah lainnya yang menuntut pembubaran Ahmadiyah. Walaupun poin keempat SKB itu telah menyebutkan bahwa negara menjamin keselamatan anggota JAI, peluang kekerasan dan konflik sosial tak bisa ditutupi.
Karena beresikonya SKB ini, Ahmadiyah kini tengah mengajukan judicial review. Jalur-jalur hukum, diplomasi dan dialog tampaknya perlu dikembangkan sebagai pemecah persoalan, bukan dengan aksi-aksi kekerasan. Kekerasan bukan cara terbaik dalam memecahkan perbedaan pendapat dan tafsir atas agama. Kekerasan hanya relevan dalam hukum rimba dan bukan dalam hukum positif di Indonesia.
Mitos Islam Moderat
Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini telah mencoreng image keberislaman di Indonesia yang dikenal moderat dan demokratis. Bahkan sebagian orang secara ekstrem berpandangan bahwa Islam moderat di Indonesia hanya mitos belaka. Ini, saya kira, karena kelompok-kelompok pro-kekerasan makin berani unjuk kekuatan di tengah diamnya kelompok atau ormas keagamaan yang berhaluan moderat.
Citra Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang mengembangkan pandangan dan sikap moderat, terkikis oleh aksi segelintir orang yang melakukan aksi kekerasan. Akibatnya, di tengah pergaulan global, umat Islam akan semakin terkucilkan dan terisolasi karena image buruk tersebut. Sejumlah prestasi yang telah dicapai oleh NU dan Muhammadiyah pasca 11 September 2001 untuk menampilkan wajah Islam Indonesia yang ramah dan demokratis tereliminasi oleh kekerasan yang dilakukan kelompok Islam garis keras.
Hal ini membuktikan bahwa membangun Islam rahmat, santun dan anti kekerasan perlu menjadi skala prioritas di masa-masa mendatang. Tentu, tak cukup hanya dengan mengutuk tragedi Monas tersebut, melainkan disertai pula oleh langkah-langkah yang lebih maju. Di antaranya, adalah memberikan pemahaman kepada segenap umat Islam untuk menyikapi perbedaan agama dan tafsir keagamaan secara arif dan nir-kekerasan. Dalam konteks inilah, NU dan Muhammadiyah diharapkan menjadi organisasi terdepan dalam membela hak-hak sipil warga negara Indonesia, meminimalisasi kekerasan dan mengembangkan Islam rahmat lil ‘alamin. Hanya dengan cara inilah eksistensi dan citra Islam sebagai agama yang santun dan ramah akan pulih kembali. []

sunset

sunset
waktu selalu mengejar