Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Jumat, 29 Agustus 2008

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.

Dari Kompas, 18 November 2002

SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.

Saya melihat, kecenderungan untuk “me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.

Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.

Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.

Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.

Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.

Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.

Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.

Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.

Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam.

Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.

Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.

Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam.

Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga/keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim sendiri.

***

BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).

Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.

Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang partikular”.

Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.

Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.

Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.

Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di-"lawan" adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.

Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.

Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik keIslam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan forma; bukan itu yang penting. Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.

Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan “baju” yang dipakai, sementara mereka lupa, inti “memakai baju” adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.

Ada periode di mana umat beragama menganggap, “baju” bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.

***

MUSUH semua agama adalah “ketidakadilan”. Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan.

Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat furu’iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.

Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi.

Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “hukum Tuhan” (sekali lagi: saya tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.

Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa’alihi bil ‘ilmi, wa man aradal akhirata fa ‘alihi bil ‘ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia “nanti”, juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.

Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.

Pandangan bahwa syariat adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.

Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.

Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.

Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara “Barat” dan “Islam”; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.

Pemisah antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran.

Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran “Kitab Suci” atau “Kitab-Tak-Suci”, lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.

Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).”

Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.

Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2:148); berlombalah-lombalah dalam menghayati jalan religiusitas itu.

Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.

Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.

Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.

Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri. []

Kamis, 28 Agustus 2008

NU, Ru’yah, dan Reformasi Penanggalan

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Padangan-pandangan dalam mazhab fikih yang hampir sebagian besar mengukuhkan metode ru’yah itu hanyalah kelanjutan saja dari tradisi dalam masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, hampir semua mazhab Islam lahir dalam konteks di mana tradisi ru’yah memang lazim
berlaku. Dengan kata lain, metode ini bukan sesuatu yang tidak bisa ditinjau ulang.

NU selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang berpegang pada metode ru’yah dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadan. Sementara Muhammadiyah dikenal mengikuti metode hisab. Fenomena ini agak janggal, sebab, secara logis, mestinya Muhammadiyah mengikuti metode ru’yah, karena itulah yang jelas-jelas sesuai dengan makna literal sebuah hadis yang terkenal, “shuumuu li ru’yatihi, wa afthiruu li ru’yatihi, fi in ghumma ‘alaikum fa-akmilu ‘l-’iddata tsalaatsiina”. Bukankah selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai ormas yang mengumandangkan ide kembali kepada Qur’an dan Sunnah? Metode ru’yah, sebaliknya, justru diikuti oleh NU yang selama ini lebih dikenal mengikuti fikih mazhab, ketimbang kembali langsung kepada sunnah.

Tetapi, sikap NU dalam mengikuti ru’yah ini juga tak lepas dari semacam kontradiksi, atau tepatnya inkonsistensi. Penentuan awal bulan dengan ru’yah hanya diikuti oleh NU dalam kasus awal dan akhir Ramadan, tetapi tidak dalam bulan-bulan lain sepanjang tahun. Di PBNU sendiri ada lajnah falakiyyah yang salah satu tugasnya adalah membuat penanggalan atau kalender seluruh bulan dalam setahun, tentu dengan metode hisab. Dengan kata lain, dalam kasus bulan Ramadan, NU memakai metode ru’yah, sementara untuk bulan-bulan yang lain, memakai metode hisab. Ini yang saya sebut sebagai sikap yang inkonsisten.

Selain berpatokan pada fikih mazhab, argumen NU untuk memakai metode ru’yah jelas adalah berpegangan pada hadis terkenal di atas. Secara harafiah, hadis di atas memang hanya berbicara tentang bulan Ramadan. Tetapi apakah ru’yah atau melihat bulan hanya dipakai oleh Nabi dalam kasus awal Ramadan saja? Jelas jawabannya tidak. Pada masa Nabi belum ada ilmu falak untuk menentukan penanggalan dengan hisab. Dengan kata lain, metode penanggalan dalam masa Nabi adalah ru’yah dan ini berlaku sepanjang tahun. Setiap menjelang akhir bulan, para sahabat selalu mengintip bulan di cakrawala. Jika mereka melihat bulan, maka tahulah mereka bahwa bulan baru telah tiba. Jika tidak, mereka menyempurknakan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari. Itulah adat yang berlaku di masyarakat Arab dan kemudian dieskplisitkan oleh Nabi melalui statemen di atas.

Tetapi, satu hal mestilah ditambahkan di sini sebagai semacam warning. Sebagaimana sudah saya sebut, metode ru’yah adalah tradisi yang berlaku dalam masyarakat Arab pada zaman itu, dan bukan sesuatu yang bersifat khas Islam. Dengan memakai ru’yah, Nabi hanya melanjutkan tradisi yang sudah ada. Kalender Hijriyah yang berdasarkan sistem lunar atau rembulan, bukan solar atau matahari seperti dalam sistem Gregorian, adalah tradisi masyarakat Arab. Sistem lunar ini juga diikuti dalam sistem penanggalan Yahudi.

Kembali kepada soal NU dan ru’yah: mestinya, jika NU mengikuti sunnah yang diajarkan Nabi secara kurang lebih konsisten, maka sistem penanggalan harus memakai ru’yah untuk bulan-bulan sepanjang tahun, bukan hanya untuk bulan Ramadan sahaja. Kenapa NU hanya memakai ru’yah untuk bulan Ramadan saja, dan tidak bulan-bulan lain, tidak pernah jelas alasannya. Saya sendiri tak pernah mendengar argumennya secara langsung dari para pakar falak dalam NU. Informasi mengenai ini juga tidak saya temukan dalam sebuah risalah pendek tentang ru’yah yang ditulis oleh Allah Yarham Kiai Rodli Soleh, salah satu pemikir falak dalam Lajnah Falakiyyah NU dulu. [Mohon dikoreksi, jika saya keliru].

Saya menduga, alasannya adalah berkaitan dengan kepraktisan saja. Tentu sangat mahal dan tidak praktis jika metode ru’yah dipakai sepanjang tahun. Karena penentuan awal Ramadan berkaitan dengan soal ibadah puasa, maka metode ru’yah ditempuh untuk tujuan ihtiyath, atau hati-hati, sebuah konsep yang sangat luas dikenal dalam lingkungan mazhab Syafi’i. Sementara metode hisab dipakai untuk bulan-bulan lain sebab di sana tidak ada peristiwa ritual atau peribadatan.

Yang kurang jelas bagi saya adalah bulan Dzul Hijjah atau Bulan Besar dalam istilah santri Jawa: apakah penentuan bulan itu memakai ru’yah atau tidak, sebab jelas dalam bulan itu ada peristiwa penting, yakni wuquf di Arafah dan Idul Adha, dua ritual yang sangat penting dalam Islam karena berkaitan dengan rukun atau pilar Islam yang kelima. Setahu saya, NU sendiri jarang--untuk tak mengatakan tak pernah--menempuh ru’yah untuk penentuan awal bulan Dzul Hijjah. Dalam hal ini, alasannya juga kurang jelas, kenapa demikian. Dugaan saya, mungkin karena even haji tidak berlangsung di Indonesia, maka tugas ru’yah kurang urgen dilakukan di negeri ini. Mungkin ru’yah dipandang sebagai tugas pemerintah Saudi ketimbang ormas-ormas atau pemerintah Islam di negeri lain.

Pada tahun-tahun awal berdirinya NU hingga beberapa dekade setelah itu, masalah ru’yah dan hisab memang menjadi bagian dari semacam politik identitas dan karena itu juga merupakan semacam titik selisih antara NU dan Muhammadiyah. Masalah ini menjadi bagian dari sejumlah masalah lain yang dipertengkarkan antara kedua ormas itu selama bertahun-tahun, antara lain soal ziarah kubur, talqin, tahlil, qunut, dll.

Setelah berlalu sekian generasi, saya melihat telah terjadi pergeseran sosial dan generasional yang cukup penting. Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah sudah tidak tajam lagi, dan mood di lingkungan aktivis kedua ormas itu justru menunjukkan keinginan untuk saling mendekat dan membangun hubungan yang harmonis. Corak berpikir yang dominan di dalam dua ormas itu dalam memandang masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan juga sama sekali tak menunjukkan perbedaan yang tajam. Dengan kata lain, garis demarkasi antara dua ormas itu tidak lagi setajam pada masa-masa lampau.

Dengan melihat perkembangan ini, saya memandang bahwa di lingkungan NU perlu ada upaya untuk meninjau masalah ru’yah. Dalam pandangan saya, metode ru’yah sudah sama sekali tak relevan dipakai saat ini, dengan pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, metode ini sama sekali tak berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya “Islami”, meskipun metode itu diperintahkan secara eksplisit dalam sebuah hadis. Sebagaimana saya katakan di atas, tradisi ru’yah hanyalah tradisi yang berlaku di masyarakat Arab pada zaman itu. Karena itu, metode ini tak usah disucikan sebagai semacam doktrin keagamaan. Akan lebih proporsional jika ru’yah dipandang sebagai salah satu perkembangan dalam teknik penanggalan yang berlaku dalam sejarah penanggalan umat manusia. Karena ini hanyalah menyangkut soal teknik, maka ru’yah juga sebaiknya dipandang sebagai metode yang relevan dalam batas-batas waktu tertentu. Karena teknik penanggalan berkembang terus, maka ada baiknya jika metode baru dipertimbangkan, apalagi jika metode baru itu lebih baik dan bermanfaat, sesuai dengan prinsip yang berlaku di kalangan NU, “al-muhaafadzah ‘ala ‘l-qadiim al-shaalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-jadiid al-ashlah”.

Kedua, metode ru’yah memang dimantapkan sebagai metode standar dalam lingkungan mazhab Syafi’i, dan juga sebagian besar mazhab-mazhab lain. Dalam lingkungan mazhab Syafi’i, metode ru’yah dipandang sebagai satu-satunya cara yang bisa dipakai sebagai dasar penentuan tangggal oleh pemerintah Islam, sementara hisab hanya boleh diikuti oleh haasib atau pakar hisab secara pribadi, dan tidak boleh dikampanyekan kepada masyarakat. Inilah yang terjadi dulu pada Kiai Turaihan Kudus, salah satu ulama falak penting di lingkungan NU. Kiai Turaihan seringkali berlebaran tidak bersamaan dengan masyarakat NU lain, karena berpegangan “ijtihad hisab” yang ia percayai. Ulama-ulama NU yang lain dapat menolerir sikap Kiai Turaihan itu dengan berpegangan pada konsep fikih Syafi’i tersebut di mana haasib diberikan kelonggaran untuk mengikuti hisab yang ia percayai.

Tetapi, dalam pandangan saya, pendapat dalam mazhab bukan sesuatu yang suci. Padangan-pandangan dalam mazhab fikih yang hampir sebagian besar mengukuhkan metode ru’yah itu hanyalah kelanjutan saja dari tradisi dalam masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, hampir semua mazhab Islam lahir dalam konteks di mana tradisi ru’yah memang lazim
berlaku. Dengan kata lain, metode ini bukan sesuatu yang tidak bisa ditinjau ulang.

Ketiga, metode ru’yah sangat rentan terhadap kemungkinan perpecahan dalam tubuh umat Islam, meskipun metode hisab juga mengandung kemungkinan yang sama. Tetapi kemungkinan perpecahan itu lebih kuat ada pada metode ru’yah. Karakter metode ru’yah adalah kemendadakan. Kemungkinan ru’yah hanya berlangsung beberapa saat saja di akhir bulan. Waktu untuk memverifikasi ru’yah juga berlangsung dengan singkat, sebab keputusan untuk mulainya tanggal baru harus segera diambil pada hari yang sama. Jika terjadi ru’yah yang berbeda-beda di sejumlah tempat dalam negara yang sama, waktu yang dibutuhkan untuk menilai hasil ru’yah itu juga tidak cukup lama.

Bayangkanlah situasi berikut ini: Pada tanggal 29 Sya’ban, tim A, B dan C dikirim ke sejumlah tempat dan ditugasi untuk melakukan ru’yah. Meskipun tidak sering, tetapi kemungkinan adanya perbedaan hasil ru’yah tetap ada. Tim A melihat bulan, sementara tim B dan C tidak melihatnya. Hasil itu akan dibawa ke pusat untuk didiskusikan. Tetapi, waktu diskusi jelas tidak cukup lama, sebab keputusan harus diambil malam itu juga. Di sinilah kemungkinan lain bisa terjadi: sekelompok masyarakat yang mendengar bahwa tim A telah melihat bulan di sebuah tempat, boleh jadi mengikuti hasil ru’yah tim itu, walaupun keputusan di pusat tidak memakai hasil ru’yah tim tersebut. Yang terjadi akhirnya adalah perbedaan awal bulan Ramadan atau Syawwal. Kejadian ini berlangsung berkali-kali sepanjang pengetahuan saya. Waktu kecil dulu, tidak satu kali saya mendengar bahwa ru’yah sudah terjadi di Cakung, atau Aceh, atau Madura, sehingga sebagian masyarakat di daerah bersangkutan sudah berlebaran, sementara di tempat saya, Pati, lebaran belum terjadi. Peristiwa ini bahkan masih saja terjadi tahun lalu, di mana PWNU Jawa Timur berlebaran secara berbeda dengan keputusan resmi PBNU yang dikukuhkan oleh Depag RI.

Kemungkinan perselisihan ini lebih bisa dieliminir dalam kasus hisab, sebab hasil hisab sudah bisa didiskusikan jauh-jauh hari, bahkan sejak awal tahun, dan keputusan pun bisa diambil sejak awal, sehingga prediksi awal dan akhir Ramadan sudah bisa dilakukan sejak awal. Karakter kehidupan modern adalah adanya prediktabilitas untuk tujuan kepraktisan. Metode hisab lebih bisa menjamin prinsip prediktabilitas ini ketimbang ru’yah.

Keempat, dalam konteks masyarakat Amerika, bahkan masalah ru’yah atau dikenal di lingkungan masyarakat Muslim Amerika sebagai “moon sighting”, bisa menimbulkan masalah yang agak serius. Masyarakat Muslim di Amerika berjuang untuk menjadikan Idul Fitri sebagai hari libur nasional, atau sekurang-kurangnya menjadi hari libur di negara bagian di mana koloni masyarakat Islam cukup besar, seperti misalnya negara bagian Michigan. Tetapi upaya ini menghadapi sejumlah kendala, antara lain tidak adanya kepastian tanggal awal bulan Syawwal karena menunggu adanya bulan. Hari libur nasional di Amerika harus ditetapkan minimal setengah tahun sebelum kalender tahun baru dimulai, demi keperluan penanggalan di lingkungan kantor-kantor pemerintah, sekolah dan institusi pendidian, dan, tentu, bisnis. Jika tidak ada kepastian kapan Idul Fitri berlangsung, jelas hal ini akan menyulitkan pihak pemerintah untuk menyusun kalender kegiatan tahunan yang jelas membutuhkan semacam kepastian dan prediktibilitas, dua hal yang tak bisa diberikan oleh metode ru’yah.

Kelima, Idul Fitri, dalam pandangan saya, adalah ritual keagamaan yang lebih mempunyai dimensi sosial dan karnaval, karena melibatkan perayaan sosial yang dalam konteks masyarakat Indonesia mempunyai makna yang sangat penting, bukan saja secara keagamaan, tetapi lebih-lebih lagi secara kebudayaan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, keseragaman tanggal dalam merayakan event sosial itu sangatlah penting. Perbedaan tanggal Idul Fitri, walau bisa ditolerir oleh sebagian masyarakat Islam, jelas menimbulkan rasa saling curiga, kadang terpendam, kadang meledak keluar menjadi perselisihan publik yang mengganggu karnaval sosial dan kegembiraan masyarakat.

Dalam hal ini, saya rasa, kita tak bisa atau kurang relevan memakai argumen pluralisme, yakni pluralisme lebaran, dalam pengertian perbedaan tanggal Idul Fitri. Meskipun, tentu, saya tetap bisa menghargai pihak-pihak yang memakai argumen itu. Alasan-alasan yang saya kemukakan di atas jauh lebih kuat, dalam pandangan saya, ketimbang alasan pluralisme.

Dengan pertimbangan- pertimbangan ini, saya hendak mengatakan bahwa saatnya NU menempuh suatu reformasi penanggalan dengan mengadopsi metode hisab secara konsisten, atau metode penanggalan modern lain yang lebih bisa menjamin asas kepastian dan prediktibilitas, dua hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern. Toh, metode hisab tersebut sudah dipakai selama bertahun-tahun dalam menentukan awal bulan-bulan lain di luar Ramadan sepanjang tahun.[]

Reportase Diskusi dengan Irshad Manji: Kaum Moderat adalah Bagian dari Persoalan

Oleh Lanny Octavia

Manji menilai bahwa pembedaan antara Muslim ektrimis dan moderat tidaklah begitu berguna. Baginya, alih-alih memecahkan masalah, kaum Muslim moderat sendiri adalah bagian dari permasalahan. Hal itu karena meskipun mengecam terorisme, mereka sama sekali tidak mengakui adanya peran agama dalam kasus tersebut.

Cerdas, kritis dan lugas. Itulah kesan yang tertangkap dari figur Irshad Manji, melalui memoarnya yang menjadi bestseller internasional yang cukup kontroversial: The Trouble with Islam Today. Akhir bulan April 2008 lalu, Manji berkunjung ke Jakarta dalam rangka peluncuran bukunya yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dengan judul: Beriman tanpa Rasa Takut terbitan Nun Publisher. Jaringan Islam Liberal (JIL) memanfaatkan momen kunjungannya tersebut dengan mengundangnya untuk berdiskusi di Utan Kayu tanggal 23 April 2008 dengan topik: “Apa Yang Salah Dengan Islam Kini?”

Tak jauh berbeda dari memoarnya, Manji ternyata memang merupakan seorang Muslimah yang kritis, pemikir yang brilian, dan pembicara yang memikat dan penuh semangat. Di awal diskusi, Manji bersikap demokratis. Ia memberi para peserta diskusi pilihan agar ia memulai agenda dengan presentasi kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Atau agar dari semula langsung dimulai tanya jawab mengingat garis besar proposal yang diajukannnya mengenai pembaruan Islam, ijtihad atau pemberdayaan nalar, serta penafsiran Alquran yang sesuai dengan kehidupan plural yang modern, kurang lebih serupa dengan apa yang diyakini dan diperjuangkan oleh Jaringan Islam Liberal selama ini.

Tawaran tersebut segera disambut dengan pertanyaan dari seorang diskusan tentang kemungkinan pembaruan dalam Islam. Manji, yang akibat pemikiran Islam progresifnya kerap memperoleh kecaman keras bahkan ancaman fisik, mengatakan bahwa di satu sisi, dahaga akan penyegaran Islam sangat dirasakan oleh kaum Muslim, terutama mereka di negara-negara Timur Tengah yang menjadi saksi nyata atas berlangsungnya berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia atas nama agama dan kehormatan. Namun di sisi lain, anugerah kebebasan berpendapat yang diperoleh kaum Muslim di negara-negara maju secara taken for granted, belum dimanfaatkan secara maksimal karena masih adanya perasaan takut di kalangan Muslim untuk mengkritik agamanya. Padahal, lanjut Manji, yang perlu dikritisi bukanlah “iman”, tapi “dogma”.

Manji pun menyimpulkan bahwa apa yang diajarkan padanya selama di madrasah, antara lain bahwa perempuan lebih rendah daripada lelaki atau bahwa kaum Yahudi itu licik, culas dan serakah, tak lain merupakan dogma, dan bukan iman. Sebagaimana dogma-dogma lainnya, baik itu sosialis, kapitalis, ateis, ataupun feminis, dogma ini pun sangatlah lemah, rigid dan silau di bawah terpaan pertanyaan. Tak mengherankan jika setelah mengajukan begitu banyak pertanyaan kritis terhadap ustadnya, Manji terpaksa dikeluarkan dari madrasah pada usia empatbelas tahun. Sambil bergurau Manji mengatakan bahwa baginya itulah bukti nyata akan keberadaan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dalam diskusi di Teater Utan Kayu yang dihadiri oleh berbagai kalangan dari beragam latarbelakang ini, Manji menegaskan bahwa meskipun secara teori Nabi telah bersabda akan tiadanya otoritas agamawan (ruhbaniyah) di dalam Islam—tidak seperti Katolik misalnya yang mengharuskan pengikutnya tunduk terhadap otoritas gereja dan paus dalam soal agama daripada menafsirkannya secara independen—tapi kenyataan berbicara lain. Di dalam Katolik ataupun agama selain Islam, seseorang bisa menjadi pemberontak. Ia mungkin akan dikecam, diprotes ataupun dipojokkan, namun ia tidak perlu khawatir akan kehilangan nyawanya. Manji sendiri merasa perlu memasang kaca anti peluru pada rumahnya di Kanada dan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada kendaraan pribadinya dikarenakan ancaman pembunuhan yang bertubi-tubi terhadapnya. Hal ini tentu mengingatkan kita pada fatwa mati terhadap Ulil Abshar-Abdalla, akibat artikel kontroversialnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” beberapa tahun lalu.

Mengenai fenomena menjamurnya kekerasan dan terorisme atas nama Islam, Manji menilai bahwa pembedaan antara Muslim ektrimis dan moderat tidaklah begitu berguna. Baginya, alih-alih memecahkan masalah, kaum Muslim moderat sendiri adalah bagian dari permasalahan. Hal itu karena meskipun mengecam terorisme, mereka sama sekali tidak mengakui adanya peran agama dalam kasus tersebut. Ini menurutnya merupakan bentuk ketidakjujuran karena para teroris pendamba surga dan kesyahidan itu jelas-jelas mengutip firman Allah untuk membenarkan aksi mereka.

Karena itu, Manji menegaskan bahwa ia sama sekali bukanlah seorang Muslim moderat. Ia adalah seorang Muslim reform-minded yang mengakui adanya ayat-ayat kekerasan dalam Alquran yang perlu ditafsirkan ulang agar tidak lagi terperangkap dalam konteks abad ketujuh Masehi. Bukankah Alquran sendiri lebih banyak berbicara mengenai pentingnya berpikir, menganalisa dan merenung daripada tentang apa yang benar dan apa yang salah?

Dalam persoalan Ahmadiah misalnya, Manji menyatakan bahwa kelompok Islam yang menghujat, mengkafirkan, bahkan menyerang kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad itu sesungguhnya telah mengambil alih peran Tuhan, karena sejatinya hanya Tuhanlah yang mengetahui kebenaran hakiki dan berhak menghakimi keimanan hamba-Nya. Meskipun Manji menyatakan diri sebagai seorang pluralis, ia sama sekali bukanlah relativis. Seorang pluralis akan menghargai beragam perspektif dan cara pandang tentang kebenaran, ujarnya, sementara seorang relativis akan mendukung apa saja karena sebetulnya ia tidak memiliki pendirian apapun.

Manji sangat mengagumi Indonesia dengan Pancasilanya, yang menurutnya sama persis dengan konstitusi Amerika Serikat yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ia optimis bahwa mentalitas “kita lawan mereka” yang hinggap di kebanyakan negara Timur Tengah, akan segera tergantikan oleh pemikiran Islam pluralistik a la “Bhineka Tunggal Ika” yang telah sejak lama dianut oleh Indonesia. Bukankah jumlah Muslim Indonesia jauh lebih banyak daripada jumlah total Muslim di seluruh kawasan Timur Tengah? Karena itu di sela-sela presentasinya yang berlangsung hangat dan menarik, ia mengajukan pertanyaan tentang strategi apa yang akan ditempuh kaum Muslim Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai teladan pluralisme bagi dunia Islam.

Luthfi Assyaukanie, koordinator Jaringan Islam Liberal yang malam itu bertugas selaku moderator, menjelaskan pada Manji bahwa kaum Muslim Indonesia saat ini menghadapi tantangan berupa pengaruh Wahabisme. Manji, yang terjemahan bukunya ke bahasa Arab, Persia, dan Urdu dimuat di websitenya http://www.irshadmanji.com mengingat resistensi terhadap bukunya menguat di negara-negara pengguna bahasa di atas, menyebut fenomena tersebut sebagai “imperialisme budaya Arab”. Imperialisme itu berupa mentalitas tribal padang pasir yang mencakup prinsip kehormatan yang mendudukkan perempuan sebagai properti lelaki. Dan justru karena ancaman itulah, menurut Manji, urgensi menghidupkan kembali nilai pluralisme menemukan momentum kritisnya.

Sayangnya, forum yang tanpa terasa telah berlangsung hampir dua jam tersebut harus segera diakhiri, mengingat Manji harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke Yogyakarta. Semoga harapan tulus Manji pada bumi pertiwi ini menjadi kenyataan…

Rabu, 27 Agustus 2008

Ibn Khaldun dan Sejumlah Observasinya

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh kaum Islamis “modern” atau pengusung ide khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat.

Karya Ibn Khaldun (w. 1406 M) yang sudah “kanonik”, Mukaddimah, memuat banyak observasi yang masih terasa segar dan relevan hingga saat ini.

Saya tak habis-habisnya mengagumi karya satu ini; karya yang nyaris mengagetkan bisa muncul dari kalangan sarjana Islam pada era tatkala peradaban Islam sedang pelan-pelan mengalami kemunduran di segala bidang, terutama di bidang pemikiran. Yang lebih mengagetkan lagi, karya ini tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari kalangan Islam sendiri yang lebih banyak “terpukau” oleh kajian fikih.

Terus terang, yang membuat nama Ibn Khaldun bersinar terang kembali, antara lain, adalah para orientalis di Barat yang bekerja dengan gigih untuk membongkar “lumbung” intelektual Islam yang kaya sekali ini, tetapi tak seluruhnya disadari oleh kalangan Islam. Franz Rosenthal adalah orientalis pertama yang membuat perhatian terhadap sarjana Islam yang hidup di abad ke-14 ini lewat terjemahannya atas Mukaddimah, sehingga Ibnu Khaldun bangkit kembali.

Rintisan Rosenthal diteruskan oleh sarjana Muslim asal Irak yang lama mengajar di Universitas Chicago, kemudian diteruskan di Universitas Harvard, Prof. Muhsin Mahdi, melalui kajiannya atas filsafat sejarah Ibn Khaldun. Prof. Mahdi baru meninggal bulan Juli, 2007 dalam usia 81. Minat Prof. Mahdi atas pemikiran Ibn Khaldun, antara lain, diilhami oleh gurunya di Universitas Chicago, Leo Strauss, seorang filsuf dan sarjana besar Yahudi asal Jerman yang juga dikenal karena penelitiannya atas al-Farabi.

Terjemahan “akademis” atas karya ini belum pernah sekalipun dikerjakan di Indonesia. Yang kita punya adalah terjemahan “komersial” (kalau boleh memakai istilah ini) yang dibuat Ahmadi Taha pada pertengahan 80-an dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta. Usaha Ahmadi Taha, bagaimanapun, layak kita hargai di tengah kelangkaan sarjana Muslim Indonesia yang bersedia “belepotan” untuk menerjemahkan karya-karya kanon Islam ke dalam bahasa Indonesia, terutama karya yang tak ada sangkut-pautnya dengan kajian fikih.

Mukaddimah karya Ibn Khaldun memuat banyak sekali observasi atas “masyarakat manusia” yang, menurut saya, masih terus layak dibaca dan dikaji hingga sekarang. Buku ini adalah salah satu hasil “jenius” dalam sejarah Islam yang sangat mengagumkan.

Sangat disayangkan bahwa karya besar ini sama sekali tak memperoleh perhatian di kalangan pesantren. Kajian Islam di pesantren atau umumnya lembaga-lemabaga pendidikan Islam yang cenderung berpusat pada “ilmu-ilmu ortodoks” (fikih, hadis, tafsir) layak diperluas dengan melibatkan karya-karya “non-ortodoks” seperti karya Ibn Khaldun ini.

Membaca buku ini, menurut saya, sangat nikmat dan lezat bukan sekedar karena di sana kita bisa menjumpai analisis Ibn Khaldun yang tajam terhadap sejumlah gejala sosial pada zamannya, tetapi terlebih lagi karena mutu bahasanya yang sangat baik dan cemerlang.

Karena urusan penulisan paper kelas, saya dipaksa membaca kembali Mukaddimah karya Ibn Khaldun. Saya terpukau dengan sejumlah observasi cemerlang yang saya temukan dalam buku ini. Dalam tulisan ini, saya ingin membagi apa yang saya baca dengan teman-teman yang kebetulan memiliki minat terhadap pemikiran Islam klasik.

Salah satu observasi Ibn Khaldun yang menarik adalah mengenai hubungan antara “ulama” dan “politik”. Kata ulama di sini sebaiknya tak usah dikaitkan dengan istilah “ulama” dalam, misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebab yang dimaksud Ibn Khaldun dengan istilah ini jauh lebih luas. Dalam pemakaian modern, istilah ulama sebagaimana kita jumpai dalam karya Ibn Khaldun, terutama dalam bab yang saya bahas ini, paralel dengan isitlah “intelektual”, “cendekiawan”, atau “philosophe” sebagaimana dipakai di dalam tradisi Prancis.

Yang menarik adalah judul bab yang membahas mengenai masalah ini, “Fasal ke-34, perihal bahwa ulama, di antara manusia yang lain, adalah mereka yang paling jauh dari politik dengan seluruh cabang-cabangnya” (Fi anna al-ulama’ min bain al-basyar ab’ad ‘an al-siyasah wa madhahibiha). (Mukaddimah, cetakan Kairo, tanpa tahun, hal. 542).

Menurut Ibn Khaldun, ulama (baca: intelektual, cendekiawan) cenderung jauh, atau menjauhi politik karena watak mereka yang lebih cenderung tenggelam atau menenggelamkan diri dalam dunia ide, dan refleksi intelektual (mu’tadun al-nazar al-fikri wa al-ghaus ‘ala al-ma’ani). Mereka cenderung melakukan abstraksi, dalam pengertian mencari pola-pola umum dari data-data empirik yang terserak. Minat mereka bukan pada fakta-fakta empirik yang bersifat sporadis dan carut marut, tetapi mencari pola-pola umum, atau apa yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai ”umur kulliyyah ‘ammah”.

Kerja ulama, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah persis seperti yang ia kerjakan sendiri, yakni melihat sejarah sebagai suatu arena tempat bekerjanya pola-pola besar. Bagi seorang sejarawan, suatu data sejarah kecil di sebuah tempat dan berkenaan dengan masyarakat tertentu, tidaklah terlalu menarik. Sebab, yang penting bagi dia adalah sebuah pola atau hukum yang bersifat umum. Dengan kata lain, abstraksi pemikiran adalah watak yang melekat pada kerja seorang ulama.

Sementara itu, politik, menurut Ibn Khaldun, menuntut sesuatu yang lain. Seorang yang bekerja di sektor politik harus membaca dengan jeli setiap gejala secara spesifik. Seorang “politisi” (istilah ini saya pakai untuk menerjemahkan istilah Ibn Khaldun, “shahib al-siyasah"), “dituntut untuk memperhatikan segala sesuatu yang berkembang di dalam dunia empirik berikut segala hal yang menjadi akibatnya (mura’at ma fi al-kharij wa ma yalhaquha min al-ahwal wa yatba’uha).

Yang menarik adalah bahwa dalam pandangan Ibn Khaldun, setiap peristiwa dalam dunia politik adalah unik, dan karena itu menuntut perlakuan yang khusus. Oleh karena itu, “qiyas” atau “analogi fikih”, cenderung kurang tepat dipakai dalam menangani perkara-perkara politik. Seorang ulama/intelektual yang biasa bekerja dengan “qiyas”, pola-pola umum, teori, biasanya cenderung gagal dalam sektor politik, karena mereka mengira bahwa suatu pola bisa diterapkan di mana-mana.

Selain “qiyas”, Ibn Khaldun juga memakai istilah “muhakah” (harafiah: meniru) yang dalam pemakaian modern bisa kita terjemahkan sebagai “ekstrapolasi”, atau memproyeksikan suatu hukum yang berlaku pada suatu kasus ke kasus-kasus lain. Kerja intelektual para ulama biasanya bertumpu pada “qiyas” dan “muhakah”. Politik tidak bisa diperlakukan dengan cara demikian. Saya kutip kalimat Ibn Khaldun yang menarik:

“Suatu keadaan yang berkaitan dengan peradaban tertentu tak bisa dianalogikan dengan keadaan (peradaban) lain, sebab, meskipun boleh jadi mengandung kesamaan dalam satu hal, dua keadaan itu juga mengandung perbedaan dalam segi-segi yang lain. Itulah sebabnya, seorang ulama yang biasa melakukan generalisasi atas suatu hukum dan menganalogikan suatu gejala dengan gejala yang lain, saat mereka menganalisa politik, cenderung menumpahkan gejala-gejala politik itu ke dalam bejana teoritik (qalab andzarihim) dan sejumlah deduksi mereka yang lain. Karena itu, mereka seringkali melakukan kesalahan.” (hal. 542, baris 14-17).

Yang mengejutkan adalah pengamatan Ibn Khaldun berikut ini. Orang-orang awam yang tak terbiasa dengan “qiyas”, “muhakah”, abstraksi, teori-teori besar memiliki kemungkinan besar untuk sukses dalam politik justru karena mereka bisa memberi perhatian yang cukup pada setiap gejala, dan memperlakukannya sebagai sesuatu yang “einmalig” atau unik. Mereka, orang-orang awam itu, lebih mudah terhindar dari kecenderungan “meng-qiyas-kan” satu gejala dengan gejala yang lain. Sikap “intelektual” kaum awam, kata Ibn Khaldun, adalah seperti seorang perenang di samudra yang selalu awas dan menjaga diri terus dekat dengan pantai, dan tidak keasyikan “lepas” ke tengah lautan sehingga akhirnya tenggelam.

Analisis Ibn Khaldun ini sangat cemerlang karena menangkap perbedaan yang mendasar antara dunia “intelektual” dan dunia “politik”. Pembaca modern akan dengan mudah diingatkan melalui analisis dari abad ke-14 ini kepada analisa serupa dari Julien Benda. Meskipun Ibn Khaldun sama sekali tidak mengatakan bahwa seorang ulama/intelektual yang masuk ke dunia politik sedang melakukan “la trahison des clercs” atau pengkhianatan kaum “klerk” alias ulama.

Pengamatan Ibn Khaldun ini juga menarik karena sama sekali meninggalkan tradisi al-Farabi yang justru melihat politik sebagai wiayah kerja “raja-filosof” seperti dalam kerangka pemikiran Plato. Wawasan Ibn Khaldun jelas lebih empirik.

Dalam fasal ke-17, Ibn Khaldun mengulas suatu gejala menarik yang muncul dalam setiap peradaban yang telah mencapai suatu taraf kematangan.

Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun memakai istilah “‘umran” yang dalam kesarjanaan modern diterjemahkan sebagai “peradaban”. Saya lebih cenderung mengartikan istilah ini sebagai “urbanisme” atau gejala meng-kota. Sebab, apa yang disebut sebagai ‘umran oleh Ibn Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena kota (al-hadhar) sebagai lawan dari gejala masyarakat badui yang cenderung nomaden.

Judul fasal ini adalah, “Perihal bahwa profesi-profesi akan mengalami penyempurnaan seturut dengan kian sempurna dan menyebarnya gejala urbanisme” (hal. 400-401).

Dalam bagian ini, Ibn Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai “pembagian kerja” dan diferensiasi sosial.

Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme di mana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung untuk memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsisten, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-a’mal) mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-zai’d) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup, “luxuries” (al-kamalat min al-ma’ash).

Ada dua aspek yang inheren pada manusia yang menyebabkan terjadinya gejala seperti ini. Pertama, aspek yang menyebabkan manusia berbeda dengan binatang, yaitu intelektualitas (fikr), dan aspek kehewanan serta nutritif (al-hayawaniyyah wa al-ghidza’iyyah). Kebutuhan manusia untuk memenuhi tuntutan aspek yang kedua ini biasanya lebih mendesak, dan karena itu harus didahulukan, ketimbang tuntutan aspek yang pertama. Makin berkembang dan canggih perkembangan ‘umran atau urbanisme suatu masyarakat, makin pesat pula perkembangan bidang-bidang profesi dalam masyarakat bersangkutan.

Yang menarik, Ibn Khaldun memakai istilah “al-shana’i’”, bentuk plural dari “shani’ah” yang dalam tulisan ini saya terjemahkan sebagai “profesi”. Mungkin terjemahan ini kurang terlalu tepat. Istilah yang mungkin mendekati adalah “craft” atau kerajinan tangan. Jika industrialisasi sudah muncul dalam peradaban Islam saat itu, tentu istilah itu akan tepat kita terjemahkan sebagai “teknologi”. Selain istilah ini, Ibn Khaldun juga memakai istilah lain yang sudah lazim dipakai pada saat itu, yakni “al-’ulum” atau ilmu. Penggunanaan dua istilah ini secara serentak menandakan bahwa Ibn Khaldun sadar mengenai dua aspek dalam ilmu, yakni aspek teoritik dan terapan. Ilmu murni mungkin paralel dengan istilah “al-’ulum”, sementara ilmu terapan adalah sepadan dengan istilah “al-shana’i’”.

Suatu urbanisme yang matang dan berkembang maju, menurut Ibn Khaldun, akan dibarengi oleh perumitan dan pencanggihan di bidang “al-’ulum” dan “al-shana’i’”. Begitu pula saat ‘umran atau urbanisme merosot, kemajuan dalam bidang ilmu dan kerajinan juga akan mengalami kemerosotan pula.

Pengamatan Ibn Khaldun ini jelas bukan berasal dari fantasi yang berasal dari “awan”, tetapi berdasarkan pengamatan langsung dia pada “up” dan “down” dari peradaban Islam sendiri. Berdiri pada abad ke-14, Ibn Khaldun memiliki keuntungan dan kemewahan untuk bisa melihat, menganalisis dan menjelaskan jatuh-bangunnya peradaban Islam, dalam cara serupa yang belakangan, dalam era modern, dilakukan oleh sejarawan-sejarawan besar seperti Arnold Toynbee atau, yang lebih populer, Will Durant.

Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun tidak semata-mata mengembalikan proses jatuh-bangunnya peradaban Islam ini kepada “kehendak Tuhan”, tetapi, dengan teliti dan cermat, dia mencoba mencari proses sosial-historis yang bekerja dalam masyarakat. Ia melihat bahwa perkembangan peradaban tunduk pada suatu hukum atau pola tertentu. Pola ini bekerja pada masyarakat manapun, baik Muslim atau non-Muslim.

Marilah kita ikuti sejumlah detil-detil pengamatan Ibn Khaldun yang mencerminkan sejumlah perkembangan yang ada pada abad ke-14 Masehi. Sementara itu, kita perlu mengetahui, walau secara selintas, semacam “state of the art” dari peradaban Islam pada saat Ibn Khaldun hidup. Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun hidup dalam rentangan antara 1332 M hingga 1406.

Pada saat itu, sekurang-kurangnya ada dua dinasti besar Islam. Pertama adalah dinasti Mamluk di Mesir yang berkuasa antara 1250-1517. Kedua adalah dinasti Usmaniyah yang melanjutkan dinasti Abbasiyah yang runtuh pada 1258. Pada saat Ibn Khaldun hidup, riak-riak pencerahan mulai muncul di Eropa, terutama di Italia. Ibn Khaldun juga hidup tidak lama sebelum pecahnya reformasi dalam agama Kristen.

Contoh urbanisme yang maju pesat yang disebut oleh Ibn Khaldun dalam bukunya ini adalah apa yang ia lihat di Kairo, Mesir, ibu kota dari dinasti Mamluk. Ia menyebut sejumlah profesi yang ada pada saat itu, misalnya “jazzar”, yakni profesi penyembelihan hewan, “dabbagh”, yakni penyamakan atau pengolahan kulit, “kharraz”, yakni semacam usaha pengolahan kulit untuk menjadi bahan pakaian, “sha’igh”, yakni “jewellery” atau pengolahan emas menjadi bahan-bahan perhiasan, “dahhan”, pembuatan parfum, “shaffar”, yakni
pengolahan kuningan, “al-hammami”, yakni usaha mandi uap (semacam industri spa yang sekarang menjamur di Jakarta itu), “al-tabbakh”, yakni usaha restoran, “shamma’”, yakni kerajinan lilin, “al-harras”, usaha yang berkaitan dengan pembuatan permen dan kue.

Ibn Khaldun juga menyebut jenis-jenis usaha lain yang menarik, misalnya, jika memakai bahasa sekarang, kursus musik, tari dan memainkan alat-alat perkusi (mu’allim al-ghina’ wa al-raqs wa qar’ al-thubul ‘ala al-tauqi’). Istilah “qar’ al-thubul ‘ala al-tauqi’” layak mendapat perhatian khusus di sini. Secara harafiah, istilah itu berarti menabuh perkusi sesuai dengan nada nota atau nada musik tertentu. Ini, antara lain, memperlihatkan bahwa ketrampilan memainkan alat musik dengan memakai nota tertentu merupakan bidang yang digemari masyarakat pada saat itu sehingga muncul profesi khusus untuk mengajarkannya.

Bidang pekerjaan lain yang disebut Ibn Khaldun dan penting peranannya dalam reproduksi intelektual Islam pada saat itu adalah “al-warraqun”, yakni profesi penulisan manuskrip buku. Pada saat itu, penggunaan kertas sudah mulai dikenal luas dalam peradaban Islam, sehingga memudahkan penyebaran karya-karya para sarjana Islam. Peran penting dalam penyebaran ini dimainkan oleh seorang “warraq” yang melakukan penyalinan naskah secara manual. Pekerjaan “warraq” bukan sekedar menyalin naskah (intisakh), tetapi juga “editing” (tashih) dan penjilidan (tajlid). Dengan kata lain, profesi “warraq” adalah apa yang sekarang berkembang menjadi “publishing house” atau penerbitan. “Warraq” pada zaman Ibn Khaldun adalah semacam Mizan atau Gramedia pada masa kita saat ini.

Ibn Khaldun menyebut perkembangan bidang-bidang ini sebagai cerminan dari apa yang ia sebut sebagai “al-taraf fi al-madinah” atau kemewahan urban. Dia juga mengemukakan suatu pengamatan yang menarik bahwa dalam segi-segi tertentu, kemewahan ini juga kadang-kadang bergerak secara ekstrim. Ibn Khaldun menyebut sejumlah contoh, misalnya: profesi melatih burung dan keledai, sulap, dan berjalan serta menari di atas seutas tali. Deskripsi Ibn Khaldun yang jeli ini langsung membuat saya berkesimpulan bahwa pada saat itu pertunjukan sirkus sudah mulai berkembang.

Pada penutup pengamatannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa “kemewahan urban” ini hanya ada di Kairo yang sangat maju saat itu, tetapi tak berkembang di Maghrib atau Tunisia/Maroko, tempat di mana dia tinggal saat itu.

Apa yang bisa kita simpulkan dari pengamatan Ibn Khaldun ini? Tentu ada sejumlah hal menarik yang bisa kita simpulkan dari pengamatan ini. Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh kaum Islamis “modern” atau pengusung ide khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat.

Era keemasan peradaban Islam itu juga mengenal sirkus!

Bangsa-bangsa taklukan ( al-maghlub) biasanya akan meniru kebudayaan dan adat kebiasaan bangsa-bangsa lain yang menaklukkan mereka (al-ghalib).

Ini adalah adalah salah satu “hukum sosial” yang dirumuskan dengan sangat menarik oleh Ibn Khaldun dalam karyanya, “Muqaddimah”. Ia mengutarakan observasi ini dalam bab kedua, fasal ke-23.

Judul fasal itu adalah: “Perihal bahwa mereka yang kalah selalu “tergila-gila” untuk meniru mereka yang menang menyangkut ciri-ciri fisik, pakaian, mazhab pemikiran, segala bentuk kebiasaan dan adat mereka” (fi anna al-maghluba mula’ abadan bi al-iqtida’ bi al-ghalibi fi shi’arihi wa ziyyihi wa nihlatihi).

Marilah kita ikuti bagaimana Ibn Khaldun memberikan penjelasan atas fenomena ini. Jiwa (al-nafs) bangsa-bangsa yang ditaklukkan biasanya cenderung memandang bahwa bangsa-bangsa yang menaklukkan mereka memiliki kesempurnaan yang sifatnya “alamiah”. Ketundukan mereka pada bangsa yang menang sama sekali tak dipandang sebagai sesuatu yang timbul karena adanya “penaklukan alamiah” (ghalbun thabi’iyyun).

Dengan kata lain, bangsa yang kalah meniru bangsa yang menang bukan karena adanya “paksaan”, tetapi karena adanya keyakinan pada bangsa yang kalah tersebut bahwa bangsa yang menang, secara “natural”, lebih unggul ketimbang mereka. Jika boleh memakai istilah yang sangat terkenal dari Gramsci, bangsa yang kalah meniru bangsa yang menang karena adanya semacam “persetujuan” atau “consent”. Gramsci menyebutnya sebagai “hegemoni”.

Anggapan pada pihak bangsa yang kalah tentang keunggulan “alamiah” bangsa yang menang oleh Ibn Khaldun disebut sebagai “mughalathah” atau anggapan yang keliru. Saya kira, di sini Ibn Khaldun melihat dengan cermat bagaimana proses penundukan atas bangsa-bangsa berlangsung. Pada tingkat pertama, penundukan itu berlangsung pada level “fisik” yang biasanya melibatkan kekekerasan, entah melalui perang atau agresi. Setelah penundukan lewat sarana kekerasan fisik ini tercapai (oleh Ibn Khaldun disebut sebagai “ghalbun thabi’iyyun"), muncullah penundukan pada level mental.

Di sinilah, bangsa-bangsa yang ditundukkan memiliki anggapan bahwa bangsa yang menang memiliki “keunggulan” secara alamiah atas mereka. Ibn Khaldun memandang bahwa hal semacam ini tidak benar, sebab ketundukan mental hanya merupakan selubung untuk ketundukan pada level fisik.

Peniruan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kalah ini berlangsung pada pelbagai aspek, mulai dari pakaian (malbas), kendaraan (markab), senjata (silah), dsb. Ibn Khaldun memberikan contoh atas keadaan yang terjadi di Spanyol. Bangsa Galisia yang beragama Kristen dan tinggal di kawasan barat laut semenanjung Iberia (Spanyol) cenderung meniru adat kebiasaan bangsa Muslim di Andalusia yang saat itu menjadi bangsa yang unggul atau menang. Dalam teks Ibn Khaldun, istilah yang dipakai untuk menyebut bangsa Galisia adalah “al-Jalaliqah”.

Orang-orang Galisia meniru bangsa Muslim dalam banyak hal, mulai dari mode pakaian, pembuatan lukisan mural (rasm al-tamatsil fi al-judran), hingga lukisan biasa yang dipajang di rumah, begitu rupa sehingga siapapun yang melihat keadaan itu akan tahu bahwa mereka “ditaklukkan” (secara mental) oleh bangsa Muslim.

Ibn Khaldun menyebut suatu peribahasa yang dikenal luas dalam masyarakat saat itu, “al-’ammah ‘ala din al-malik”, orang-orang awam biasanya mengikuti “din” atau kebiasaan para raja-raja yang menundukkan mereka.

Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun melakukan observasi ini dengan “dingin” tanpa memberikan suatu penilaian yang sifatnya normatif. Saya membaca observasi Ibn Khaldun ini sebagai semacam “hukum sosial” yang bisa berlaku kepada siapa saja, baik bangsa Muslim atau non-Muslim. Jika yang unggul adalah umat Islam, maka umat lain akan cenderung meniru mereka. Begitu pula sebaliknya, saat bangsa di luar Islam unggul, tak pelak bangsa-bangsa Muslim akan meniru mereka pula.

Yang patut mendapat perhatian kita dalam observasi Ibn Khaldun ini adalah bahwa ketundukan bangsa yang kalah mula-mula terjadi karena “kekerasan” fisik yang dipakai oleh bangsa yang menang. Tanpa kekerasan ini, maka ketundukan mental atau “hegemoni” tak akan berlangsung. Seperti Machiavelli, Ibn Khaldun melihat “kekuasaan fisik” sebagai fakta sosial yang harus dilihat dan dianalisis dengan dingin.

Apa implikasi dari observasi Ibn Khaldun ini? Saya menangkap suatu implikasi yang sama sekali mengagetkan dari observasi ini. Yakni, jika bangsa Galisia atau bangsa non-Muslim lain meniru kebiasaan orang Islam yang kebetulan menjadi bangsa pemenang saat itu, maka hal itu bukanlah karena mereka melihat adanya keunggulan pada Islam sebagai suatu agama, tetapi karena pertama-tama bangsa Muslim memakai kekerasan fisik untuk menundukkan mereka.

Jangan lupa hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun: ketundukan mental dimungkinkan karena adanya kekerasan fisik atau “ghalbun thabi’iyyun”.

Ibn Khaldun bukan saja seorang sejarawan yang bekerja dengan konsep dan kategori besar, tetapi juga sangat “rajin” melihat hal-hal yang sangat kecil. Pada Ibn Khaldun kita melihat kombinasi yang menarik antara studi sejarah dan sosiologi, suatu pendekatan yang, kita tahu semua, pernah dikembangkan dengan amat baik di Indonesia oleh alm. Prof. Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkenal dari UGM.

Dalam bab kelima, fasal ke-22, Ibn Khaldun mengemukakan suatu obeservasi yang menarik berkenaan dengan perkembangan profesi (shina’ah) yang ada pada zamannya.

Judul fasal itu adalah “Perihal bahwa seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang tertentu, amat jarang bahwa orang yang sama akan memiliki kecakapan dalam tingkat yang sama di bidang yang lain” (fi man hashalat lahu malakah fi shina’ah fa qalla an yujida ba’du fi malakah ukhra).

Pengamatan Ibn Khaldun ini didasarkan pada suatu teori pengetahuan tertentu, atau tepatnya teori mengenai proses kejiwaan. Menurut dia, makin seseorang mendekati keadaan “alamiah”, yakni keadaan ketika seseorang belum mengalami proses belajar untuk memperoleh kecakapan tertentu, maka makin mudahlah ia untuk mempelajari kecakapan tersebut. Sebaliknya, jika ia telah mempelajari suatu kecakapan tertentu, maka ia akan sulit untuk mempelajari kecakapan lain dalam derajat kecanggihan yang sama.

Kecapakan, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah semacam “warna”. Jika jiwa manusia boleh kita analogikan dengan sebuah kanvas, maka jiwa tersebut tak bisa menerima sejumlah warna secara serentak. Kalaupun ada sejumlah warna dituangkan di sana, maka salah satu akan tampak menonjol, sementara yang lain hanyalah menjadi semacam latar belakang.

Observasi Ibn Khaldun ini, jelas, bukan ia peroleh dari “meditasi” di perpustakaan, tetapi berdasarkan apa yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks sejumlah kota besar yang berkembang pada zamannya di mana “’umran” atau urbanisme mencapai tahap yang sangat canggih.

Ibn Khaldun memberikan contoh: jika seseorang mencapai suatu keunggulan dalam bidang kecakapan jahir-menjahit (khayyath/khiyathah), begitu rupa sehingga kecakapan itu meresap dengan mendalam dalam dirinya (rasakhat fi nafsihi), maka ia amat sulit sulit untuk bisa unggul dalam, misalnya, bidang pertukangan kayu atau bangunan (nijarah/bina’). Kecuali jika dia belum begitu menguasai dengan benar kecakapan menjahir, maka ia bisa belajar kecakapan pertukangan dengan mudah. Tetapi, begitu satu kecakapan telah meresap dengan mendalam dalam dirinya, ia sulit mengusirnya, dan menggantinya dengan kecakapan baru.

Hal ini, menurut Ibn Khaldun, bukan saja berlaku pada sejumlah ilmu terapan yang mengandaikan pekerjaan tangan, tetapi juga pada ilmu-ilmu yang lebih bersifat konseptual. Jika seseorang menguasai “kecakapan intelektual” (malakah fikriyyah) tertentu, maka ia akan sulit untuk menguasai kecakapan lain dalam derajat yang sama.

Ibn Khaldun tentu tidak mengabaikan adanya sejumlah kasus perkecualian. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang bisa “unggul” dalam derajat yang sama dalam sejumlah kecakapan, baik kecakapan tangan atau konseptual. Harus kita ingat, “ambisi intelektual” yang ingin dicapai oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, “Muqaddimah”, adalah untuk membangun suatu “hukum” yang berlaku umum, bukan kasus-kasus terbatas yang sporadik--sesuatu yang tentu amat mencengangkan dilakukan oleh seorang sarjana Muslim di abad ke-14 M.

Tampaknya ada sesuatu yang secara implisit hendak dikatakan oleh Ibn Khaldun melalaui observasinya--tentu ini tidak dapat kita baca dalam bukunya secara harafiah. Observasi ini, tampaknya, hendak mengatakan bahwa spesialisasi adalah sesuatu yang inheren dalam “‘umran” atau urbanisme tinggi. Spesialisasi mengandaikan bahwa seseorang mencurahkan seluruh tenaga intelektualnya untuk satu hal hingga ia mencapai keunggulan di sana. Karena itu, amat susah sejumlah spesialisasi dikuasai dengan baik dan serentak oleh seseorang.

Dengan kata lain, istilah “shina’ah” yang kerapkali dipakai Ibn Khaldun sebetulnya dapat kita tafsirkan sebagai semacam indikasi ke arah spesialisasi.

Selasa, 26 Agustus 2008

Irrelevansi dan Insignifikansi Agama

Oleh Trisno S. Sutanto

Tetapi justru fenomena keserba-hadiran agama itu punya matra patologisnya. Sebab, saya menengarai, feneomena keberagamaan yang ada tidak melewati pertimbangan sosiologis, melainkan sekadar dicomot dari khasanah puluhan abad lampau; juga tidak melewati proses kritik-dakhil teologis, melainkan sekadar mengulang-ulang rumusan yang baku. Karena itu agama-agama terancam untuk menjadi irrelevan dan insignifikan. Dan dalam pertarungan politik yang riuh rendah sekarang, tradisi keberagamaan seperti itu sangat rentan menjadi sekadar alat bagi kepentingan kekuasaan.

PADA akhir 1999, Eka—begitu saya biasa memanggil alm. Pdt. Eka Darmaputera—menerima anugerah prestisius penghargaan Abraham Kuyper Award dari Princeton Theological Seminary. Pidato yang diucapkan Eka waktu itu, tentang pencarian tak kunjung lelah bagi tempat dan peran agama-agama di Indonesia pasca-Soeharto, menurut saya, merupakan salah satu teks paling memukau di antara perkaryaan yang ditinggalkannya.

Saya ingin membaca kembali teks itu sekarang, sembari mengagumi betapa tajam tilikan profetisnya. Sebab, setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, persoalan fundamental yang diajukan Eka justru makin menemukan kegayutannya di dalam proses transisi demokratis(asi) yang tak kunjung jelas, atau malah makin kabur. Di tengah pertarungan riuh rendah politik, yang dewasa ini memperoleh ruang terbukanya setelah keruntuhan rezim Soeharto, agama-agama ditantang untuk memainkan peran transformatifnya—kalau tidak mau menjadi sekadar alat bagi kepentingan sempit demi kekuasaan suatu kelompok.

Dan tantangan itu, pada gilirannya, akan sangat menentukan sejauh mana proses transisi demokratis(asi) berhasil dilaksanakan. Bahkan ‘nasib’ agama itu sendiri. Memang, pada satu sisi, transisi itu sudah membuka ranah-ranah kebebasan ekspresi politik yang menggairahkan. Sulit untuk membayangkan betapa diskursus politik menjadi sangat hidup dan bebas seperti sekarang. Namun, pada sisi lain, keterbukaan yang ada juga membawa ancaman bagi sendi-sendi paling dasar tatanan hidup bersama. Bukankah acap kali keterbukaan dan mekanisme demokratis justru menjadi sekadar topeng bagi dominasi mayoritas, yang berprinsip bahwa the winner takes all, sekaligus menafikan hak-hak kelompok minoritas?

Apalagi, seperti banyak diamati dalam banyak peristiwa akhir-akhir ini, negara telah gagal memberi jaminan dan perlindungan hak-hak serta kebebasan sipil warganya—hak-hak yang paling fundamental bagi suatu tatanan demokratis yang beradab. Persis pada titik itulah apa yang dikemukakan Eka lebih dari satu dekade lalu menemukan kegayutannya.

Irrelevansi dan Insignifikansi

PIDATO Eka yang memukau bagaikan mau meringkaskan pergumulan sepanjang hidupnya untuk mencari tempat dan peran agama-agama di Indonesia. Bagi siapapun yang cukup mengenal dia, tema itu mirip obsesi panjang yang, bersama alm. T.B. Simatupang, berulang kali muncul dan mewarnai kiprah mereka.

Pasca Mei 1998, dan rentetan kekerasan antar-kelompok yang skalanya makin luas, membuat Eka harus bergumul lagi dengan pencarian itu. Dalam pidatonya, Eka mencatat dengan getir penutupan, perusakan, dan bahkan pembakaran gedung-gedung gereja yang massif, yang menandai bukan hanya keseriusan konflik-konflik pasca lengsernya Soeharto, tetapi juga makin dominannya warna agama dalam konflik-konflik itu. Pada saat bersamaan, fenomena kebangkitan agama yang makin marak membuka ruang bagi masuknya pandangan keagamaan militan, dan tuntutan agar agama menempati posisi yang lebih penting dalam tatanan kehidupan bersama.

Bagi Eka, persoalannya bukan hanya pada perubahan konfigurasi sosial politik, yang memaksa kita untuk mencari titik keseimbangan baru, tetapi menyangkut masalah yang lebih fundamental—apa yang disebut Eka sebagai ancaman “irrrelevansi dan insignifikansi”. Memang Eka berbicara khususnya pada kiprah gereja-gereja di tanah air, yang makin hari makin irrrelevan dan insignifikan bagi masyarakat. Namun analisanya, menurut saya, dapat juga diterapkan pada fenomena keberagamaan kita pada umumnya. Kita harus menelisiknya lebih jauh.

Setiap tradisi keagamaan terancam untuk menjadi irrelevan dan insignifikan, khususnya ketika berhadapan dengan perkembangan masyarakat. Ini, sudah tentu, bukan soal kuantitas atau jumlah umat, tetapi lebih pada kualitas keberagamaan yang ada. Untuk mengutip Eka, persoalannya “tidak karena mereka (baca: agama-agama) sedang sekarat atau tenggelam. Sebaliknya, mereka terlihat hidup dan bersemangat, bertumbuh dan makin besar, setidaknya dari jumlah dan fisiknya. Namun kehadiran mereka, terutama selama 10 – 15 tahun terakhir ini, telah makin irrelevan dan insignifikan vis-à-vis kehidupan masyarakat pada umumnya.” Mengapa?

Dalam kasus gereja, itu terjadi jika seluruh kesibukan gerejawi bersifat a-politis, dan karena itu menjadi irrelevan bagi masyarakat; sementara, pada sisi lain, kesibukan sosial yang dilakukan oleh gereja bersifat a-teologis, dan karena itu insignifikan. Artinya, suatu tradisi keagamaan terancam menjadi irrelevan jika menarik diri sepenuhnya dari pergumulan masyarakat, atau terancam menjadi insignifikan jika tidak lagi dapat dibedakan dari aktivitas masyarakat. Setiap lembaga agama seyogianya memainkan peran di tengah masyarakat, namun pada saat bersamaan tidak melebur sepenuhnya sehingga tidak lagi dapat dibedakan, misalnya, dengan partai politik.

Ruang Kritis

SINYAL peringatan yang dilontarkan Eka lebih dari sepuluh tahun lalu menjadi makin gayut sekarang, justru ketika agama-agama begitu hadir hampir dalam seluruh aspek kehidupan. Kita menemukan wajah agama di mana-mana, mulai dari ruang paling intim sampai pada pengaturan publik yang begitu luas.

Tetapi justru fenomena keserba-hadiran agama itu punya matra patologisnya. Sebab, saya menengarai, feneomena keberagamaan yang ada tidak melewati pertimbangan sosiologis, melainkan sekadar dicomot dari khasanah puluhan abad lampau; juga tidak melewati proses kritik-dakhil teologis, melainkan sekadar mengulang-ulang rumusan yang baku. Karena itu agama-agama terancam untuk menjadi irrelevan dan insignifikan. Dan dalam pertarungan politik yang riuh rendah sekarang, tradisi keberagamaan seperti itu sangat rentan menjadi sekadar alat bagi kepentingan kekuasaan.

Itulah krisis fundamental yang sudah dilihat Eka. Dan menurut saya, situasi patologis itu hanya dapat dihadapi dengan menciptakan ruang-ruang kritis yang melaluinya tradisi keagamaan dapat dituntut pertanggungan jawabnya. Ini, pada gilirannya, menghendaki proses distansiasi agar kritik-dakhil teologis dapat dilakukan.

Saya melihat bahwa kebutuhan untuk itu sudah sangat urgen sekarang. Yang dipertaruhkan bukan saja transisi demokratis(asi) yang sedang kita jalani, tetapi bahkan nasib agama itu sendiri. Karena tradisi keberagamaan yang sudah irrelevan dan insignifikan hanya akan jadi artifak di museum. Percayalah!

Jakarta, menyambut 63 tahun Proklamasi

*Penulis adalah mahasiswa STF “Driyarkara”, bekerja di MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama)

Pengalaman Mengikuti Persidangan Rizieq Shihab

Oleh Musdah Mulia

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Saya masih berada di Balikpapan ketika Saudara Anick HT mengirim info via pesan pendek (SMS) bahwa dia dan Ahmad Suaedy akan menjadi saksi persidangan Rizieq Shihab hari Senin (25/8/2008), pukul 09.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Begitu inginnya menyaksikan persidangan, saya bergegas pulang ke Jakarta, meski harus naik pesawat dengan tiket yang harganya dua kali lipat dari harga normal. Dalam benak saya, sidang ini pasti meriah karena dipenuhi massa Front Pembela Islam (FPI), mengingat terdakwanya adalah orang yang selama ini mereka kultuskan.

Senin pagi saya menjemput Saudari Amanda menuju PN. Di depan PN polisi dalam jumlah yang cukup banyak sudah berdiri menjaga pintu masuk. Mulanya kami khawatir tidak boleh masuk. Tetapi, setelah meminta izin, polisi dengan ramah mempersilahkan dan memberikan jalan. Di dalam gedung kami berpapasan dengan beberapa orang dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Selanjutnya, kami bergegas masuk ruang sidang tanpa menghiraukan pandangan mata massa FPI yang memperhatikan langkah kami.

Dugaan saya benar. Ruang sidang sudah dipenuhi massa FPI. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, lebih banyak laki-laki dan sebagian besar memakai baju koko putih dengan tulisan FPI. Untungnya pada bangku kedua dari depan ada tempat kosong; cukup untuk kami berdua. Lalu, kami duduk dengan tenang. Suara takbir menggelegar memenuhi ruangan. Itu terjadi setiap kali diteriakkan kata ”takbir” oleh pemimpin mereka. Silih berganti ucapan takbir dan salawat diteriakkan.

Dua orang yang tadi duduk di sebelah saya pindah tempat. Bersamaan dengan itu, Nong, Anick, Saidiman, dan Ilma datang. Kami berenam duduk bersempit-sempitan di satu bangku (normalnya bangku pengunjung di PN hanya muat empat orang). Kami menunggu agak lama, tapi saya sudah terbiasa dengan jadwal sidang yang sering tidak tepat waktu. Saya katakan pada Amanda, ini sudah biasa, jadwal sidang selalu molor. Mungkin bosan menunggu, Nong, Ilma, Anick, dan Saidiman keluar ruangan. Kami berdua tetap di dalam dan tempat di kiri-kanan kami yang tadi ditempati teman-teman, sekarang diisi orang-orang FPI, semuanya laki-laki.

Sementara itu, massa FPI terus berdatangan, padahal ruangan sudah penuh sesak. Sebagian duduk di lantai, sebagian lagi berdiri di seputar dinding ruang sidang. Ruang yang tadinya masih terasa sejuk oleh pendingin ruangan (AC), sekarang sudah berubah panas dan sumpek. Seingat saya, ada aturan yang ketat dalam persidangan menyangkut berapa orang yang bisa masuk mengingat kondisi ruang yang terbatas dan juga agar kehadiran massa yang begitu banyak tidak mengganggu jalannya sidang. Tetapi, aturan itu kok tidak berjalan?!

Sambil menunggu para hakim memasuki ruangan sidang, dan dalam suasana riuh, panas dan sumpek itu, seorang pemimpin FPI memberi instruksi agar mulai melakukan ratiban. Tentu dengan suara yang keras dan menyentak-nyentak. Massa FPI membaca salawat, doa, dan wiridan lainnya, mengikuti pemimpin mereka. Herannya para petugas tidak ada yang berani menghentikan kegiatan yang tidak lazim ini. Disebut tidak lazim, karena seumur hidup baru kali ini saya menyaksikan acara ratiban di ruang sidang.

Sebagai orang yang besar dalam tradisi NU, ratiban sama sekali bukan hal yang asing buat saya. Aktivitas ini merupakan hal yang lumrah saya lakukan sejak di pesantren. Karena itu, saya menikmati bacaan ratiban dan mengikutinya, tetapi cukup di dalam hati, tidak perlu bersuara. Di pesantren, kami terbiasa ratiban dengan suasana khidmat, tidak dengan menyentak-nyentak, sehingga mengeluarkan suara gaduh dan berisik yang pasti mengganggu kenyamanan orang lain.

Di ujung ratiban itu, berdirilah salah seorang imam mereka untuk memimpin doa akhir dan meminta semua hadirin untuk berdiri. ”Semua yang mengaku Muslim harap berdiri!” demikian perintahnya. Amanda dan saya tidak berdiri dan itu segera membuat pandangan mereka tertuju kepada kami dengan wajah marah. Lalu spontan berhamburan cacian kepada kami: ”Kalau Islam, berdiri dong!”; ”Hai kafir, jangan duduk saja!”; ”Kamu bukan golongan muslim, ya?!”; dan seterusnya. Kami tetap diam dan bergeming. Suasana mulai memanas, dan secara refleks saya lalu menengadahkan tangan berdoa dalam posisi tetap duduk, demikian pula Amanda. Terdengar suara, ”Sudah, nggak usah diterusin, mereka sudah mengikuti asas Islam!” Saya tidak mengerti arti ucapan mereka itu. Yang pasti doa lalu dibacakan oleh imam mereka dan massa FPI larut dengan ucapan amin, amin, amin, dengan suara lantang; seolah memaksa Tuhan mengabulkan doa mereka. Dalam perjalanan pulang, Amanda berkata kepada saya: ”Heran ya, kok di ruang resmi seperti ini mereka masih memaksakan kehendaknya pada orang lain?!” Apalagi soal doba-berdoa; itu kan tidak harus berdiri, bisa sambil duduk, berbaring, dan itu terserah kita. ”Ya, begitulah mereka,” jawab saya.

Pembacaan doa berakhir, dan tidak berapa lama para hakim memasuki ruangan diiringi terdakwa. Ada hal menarik ketika terdakwa, Rizieq Shihab memasuki ruangan dan duduk di kursi yang disediakan. Tiba-tiba seorang perempuan menyelonong masuk. Hakim Ketua sempat menegur: ”Ehh, ini siapa?” Lalu dijawab, isteri Rizieq. ”Mestinya tidak lewat pintu ini, melainkan lewat pintu pengunjung!” kata Hakim Ketua. Saya tersenyum melihat pemandangan aneh ini. Baru saja Hakim Ketua membuka sidang, segera saja muncul interupsi oleh Tim Pembela. Interupsi itu berkaitan dengan kehadiran polisi di dalam ruangan sidang. Menurut Tim Pembela, kehadiran polisi tidak layak di dalam ruangan sidang. Alasannya, terdakwa bukan lah orang yang membahayakan, melainkan orang baik; orang yang selama ini dikenal sebagai tokoh Islam. Sempat terjadi adu argumentasi yang hangat. Akhirnya Hakim Ketua memutuskan sebagian besar polisi meninggalkan ruangan. Hanya 4 polisi yang tetap berada di dalam. Saya memberi acungan jempol kepada Hakim Ketua. Sikapnya tegas, tenang, dan tidak terpengaruh oleh kondisi ruang sidang yang ”hangat”.

Sidang hari ini khusus untuk mendengar penuturan para saksi. Giliran saksi pertama dipanggil, Anick, lalu menyusul Saidiman. Pertanyaan pertama diajukan oleh Jaksa Penuntut. Kesan saya, para jaksa penuntut tidak bekerja optimal seperti biasanya. Entahlah, apa mereka itu mengalami tekanan psikis akibat ulah massa FPI di ruang sidang, atau sedang dalam kondisi yang tidak fit untuk bersidang. Sebaliknya, Tim Pembela justru sangat bersemangat. Mereka dengan lantang mencecar para saksi dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan, membuat para saksi agak kewalahan. Untunglah, keduanya tidak terpedaya dan menjawab pertanyaan dengan tegas dan tenang. Hanya dalam pertanyaan yang bersifat teknis, seperti berapa banyak massa AKKBB, atau berapa banyak massa FPI, para saksi tidak memberi jawaban yang pasti.

Sebagai orang awam dalam etika persidangan, saya mempertanyakan kebolehan mengungkapkan kalimat-kalimat berikut: Anda Muslim, kan?; Jangan bohong ya, tadi Anda sudah disumpah secara Islam; Anda ini pembohong, kalau Anda berada sekitar 20 meter dari massa FPI di Monas, pasti Anda sudah digebukin juga! Selain itu, suasana sidang masih juga diselingi yel-yel Allahu Akbar dan kalimat agamis lainnya.
Lalu, sepanjang proses persidangan saya mendengarkan sejumlah ungkapan menghujat saksi. Tentu saja saya tidak berusaha melihat orang yang mengeluarkan ungkapan itu. Saya menyimak beberapa ungkapan, seperti: ”Astagfirullah, ini orang kafir!”; ”Dasar kafir, lho!”; ”Beraninya ngaku Islam!”; ”Giliran di sumpah justru pake Qur’an!”; ”Kamu pantas di neraka!”

Bagi saya, paling tidak ada dua pelajaran berharga dari sidang ini. Pertama, pertanyaan paling rinci terhadap saksi adalah soal motivasi yang melatarbelakangi aksi Monas. Sepertinya, ada upaya untuk memutarbalikkan fakta bahwa itu adalah aksi membela Ahmadiyah. Setahu saya, tujuan satu-satunya aksi damai di Monas adalah memperingati hari lahir Pancasila. Peringatan ini dilakukan demi memperkuat ikatan kebangsaan dan keindonesiaan yang semula dirajut oleh para founding fathers kita dengan memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau dipikir secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, tetapi sangat bijaksana.

Muncul pertanyaan, mengapa tidak memilih ideologi Islam? Bukankah sebagian besar para founding fathers itu adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dikenal juga? Jawabnya tegas: memilih agama sebagai ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam; tidak pernah tunggal. Pertanyaannya lalu, tafsir mana yang akan dipedomani pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Saya memuji, betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.

Pancasila mengajarkan agar pemerintah bersikap netral dan adil terhadap semua penganut agama dan kepercayaan semua warga negara. Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan substansi ajaran setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup menjamin agar setiap warga negara dapat mengekspressikan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing secara aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Pemerintah tidak berhak mengakui mana agama yang resmi dan tidak resmi atau agama yang diakui atau tidak diakui. Semua penganut agama memiliki posisi setara di hadapan hukum dan perundang-undangan. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Semua warga negara adalah pemilik sah negeri ini. Karena itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas, seperti penghayat kepercayaan, pemeluk agama lokal, komunitas Ahmadiyah, Lia Eden, kelompok Kristen, dan sejumlah komunitas agama dan kepercayaan lainnya, jelas bertentangan dengan Pancasila.

Kedua, hal menarik dari massa FPI adalah sikap kepatuhan, kedisiplinan, dan loyalitas yang sangat kuat pada pimpinan mereka. Dalam ruang sidang, saya mengamati setiap kali pimpinan mereka memberi aba-aba, walau hanya dengan isyarat tangan, serentak mereka beraksi. Misalnya, jika diberi aba-aba takbir, serentak mereka takbir. Diberi aba-aba diam, serentak mereka diam. Sungguh menakjubkan! Jadi, mereka juga bisa sangat disiplin. Sayangnya, disiplin itu bukan muncul karena kesadaran kemanusiaan, melainkan karena diperintah oleh pimpinan.

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Sebaliknya, unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti, dan serba-dependen. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas dirinya sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan.

Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan, dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung kepada pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi, atas nama Tuhan, dan atas nama agama. Mengerikan! Saya tidak menginginkan corak agama demikian.

* Ketua Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), Jakarta.

Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

PERBEDAAN mendasar antara saya berserta teman-teman Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata-mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar.

SEJAK Mei 2001, bersama dengan teman-teman muda di Jakarta, saya mendirikan sebuah kelompok bernama Jaringan Islam Liberal, disingkat JIL. Kata “jil” selain enak diucapkan sebagai akronim, juga merupakan kata Arab yang artinya “generasi”. JIL adalah sebuah generasi pemikiran yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Tujuan utama kelompok ini secara umum ada dua. Pertama, melakukan kritik atas pemahaman keislaman yang fundamentalistis, radikal dan cenderung pada kekerasan. Paham-paham semacam ini muncul bak cendawan setelah era reformasi di Indonesia sejak 1998. Bagi saya, paham Islam yang radikal, eksklusif, dan pro-kekerasan ini sangat berbahaya bukan saja bagi masyarakat Indonesia yang plural, tetapi juga bagi Islam sendiri. Sebagai seorang Muslim, saya tidak mau agama saya”dibajak” oleh kaum radikal-fundamentalis untuk mengesahkan kekerasan atas nama agama.

Kedua, untuk menyebarkan pemahaman Islam yang lebih rasional, kontekstual, humanis, dan pluralis. Di mata saya dan teman-teman yang menggagas JIL, Islam harus terus-menerus dikonfrontasikan dengan realitas sosial yang terus berubah. Jawaban yang diberikan oleh agama atau ulama di masa lampau, belum tentu tepat untuk zaman sekarang. Oleh karena, sikap kritis dalam membaca pemikiran Islam yang kita warisi dari ulama masa lampau sangat penting.

Tidak semua hal yang tertera dalam Quran dan hadis harus dimaknai secara harafiah. Quran dan hadis dibentuk oleh konteks yang spesifik, dan karena itu harus terus-menerus dikontekstualisasikan, terutama ajaran-ajaran yang berkenaan dengan kehidupan sosial-politik. Bagi saya dan teman-teman JIL, misalnya, sistem pengelolaan “negara” yang pernah dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat sesudahnya di Madinah tidak mesti kita contoh mentah-mentah untuk dipraktekkan pada zaman sekarang, sebab kita berhadapan dengan konteks sejarah yang berbeda.

JIL sama sekali tidak mengungkit-ungkit masalah ibadah. Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti salat, puasa dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan.

Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara ibadah bersifat “harga mati”. Misalnya, saat saya kecil di kampung dulu, ada diskusi hangat antara kalangan NU dan Muhammadiyah mengenai boleh tidaknya menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa selain Arab. Kiai-kiai NU berkeras bahwa khutbah Jumat harus disampaikan dalam bahasa Arab, sebab Nabi dulu memakai bahasa itu dalam khutbah.

Kalangan Muhammadiyah berpandangan lain: khutbah tujuan pokoknya adalah untuk memberi pengertian dan informasi kepada jamaah. Bagaimana pengertian itu bisa sampai kepada mereka jika tak memakai bahasa yang bisa mereka pahami? Dalam hal ini, cara berpikir Muhammadiyah, menurut saya, cenderung liberal, sementara kiai-kiai NU cenderung konservatif.

Sekarang, praktek khutbah dengan bahasa non-Arab sudah diterima secara umum baik oleh kiai NU maupun, apalagi, tokoh-tokoh Muhammadiyah. Meskipun di kampung saya, hingga sekarang masih ada beberapa kiai yang tak bisa menerima khutbah dalam bahasa Indonesia atau Jawa. Paman saya di kampung yang mengelola sebuah pesantren, masih tetap memakai bahasa Arab dalam khutbah Jumat. Dia tetap berpandangan bahwa khutbah yang disampaikan dalam bahasa lokal, bukan Arab, tidak sah dan karena itu salat Jumat juga menjadi tidak sah pula.

Masalah serupa sekarang muncul dalam konteks salat: apakah kita boleh memakai bahasa non-Arab dalam salat? Sebagaimana kita tahu, salat adalah kata Arab yang secara harafiah artinya doa. Apakah kita harus berdoa hanya dalam bahasa Arab saja, atau bolehkah berdoa dalam salat dengan bahasa lain, misalnya Jawa, Madura, Sunda, atau Batak? Bukankah doa dengan bahasa lokal yang kita pakai sehari-hari lebih baik ketimbang bahasa Arab yang untuk beberapa orang sama sekali tak dipahami?

Umumnya umat Islam tidak bisa menerima ide tentang salat memakai bahasa non-Arab. Bahkan kalangan Muhammadiyah yang cukup “liberal” dalam kasus khutbah Jumat, umumnya bersikap konservatif dalam masalah yang satu ini.

Itu adalah beberapa contoh tata cara ibadah yang masih terbuka untuk didiskusikan. Tetapi, pada umumnya, tata cara ibadah bersifat “fixed” alias harga mati. Jumlah rakaat salat, misalnya, tidak bisa kita diskusikan lagi. Waktu salat juga sudah ditentukan oleh agama. Kita tak usah terlalu jauh mempersoalkan kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, Isya empat rakaat, Subuh dua rakaat, dan seterusnya. Boleh saja kita mereka-reka alasan di balik tata cara itu. Pada akhirnya, hal-hal yang berkaitan dengan ritual itu bersifat ta’abbudi, alias tidak bisa dirasionalkan.

Sebagai seorang Muslim liberal, saya tak pernah mempersoalkan masalah-masalah yang masuk dalam wilayah ibadah murni itu. Sebuah hadis terkenal menegaskan, “al-salah mukh-kh al-’ibadah”, salat atau berdoa adalah “the crux” atau inti ibadah. Hadis ini dengan tepat sekali memotret fenomena keberagamaan bukan saja dalam Islam, tetapi juga dalam semua agama. Kalau kita telaah agama-agama dunia, berdoa, meditasi, sembahyang atau praktek-praktek serupa adalah unsur pokok di sana yang tak bisa dihindarkan.

Oleh karena itu, sembahyang buat saya memiliki kedudukan yang penting dalam keislaman yang saya pahami. Sembahyang di sini saya mengerti dalam dua makna sekaligus, yaitu sembahyang secara teknis yang sering disebut salat dengan tata-cara yang sudah ditetapkan dalam Islam, maupun sembahyang dalam pengertian berdoa dan meditasi secara umum. Saya melakukan dua hal itu sekaligus.

Spiritualitas menempati kedudukan penting dalam modus keberagamaan saya. Meminjam istilah William James yang dikenal luas melalui bukunya The Varieties of Religious Experience” itu, beragama yang “genuine” ditandai oleh semacam gejala seperti “flu berat” (acute fever). Beragama yang hanya mengikuti tradisi saja tanpa pengalaman spiritualitas yang mendalam oleh James disebut sebagai pengalaman yang menyerupai “baju bekas”, (istilah yang dipakai oleh James adalah second hand religious life).

Dengan demikian, salat atau sembahyang menempati kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberal saya. Entah dari mana sumbernya, ada suatu persepsi di sebagian kalangan masyarakat bahwa Islam liberal sama dengan tidak salat, tidak puasa, dan mengabaikan ibadah sama sekali. Ini jelas persepsi yang keliru sama sekali.

PERBEDAAN mendasar antara saya berserta teman-teman Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata-mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar.

Islam memang berarti ketundukan. Muslim berarti orang yang tunduk. Kalangan Islam konservatif, dengan interpretasi tertentu, hendak mengatakan bahwa sebagai Muslim, kita harus tunduk pada perintah Tuhan tanpa reserve, tanpa ba-bi-bu. Kita tak diperbolehkan untuk mempertanyakan kenapa Tuhan memerintahkan hal ini, melarang itu. Tugas manusia nyaris seperti “budak” yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah.

Pemahaman keislaman seperti ini, dalam pandangan saya, jelas sama sekali tak tepat. Dalam Quran sendiri, berkali-kali kita menjumpai ayat-ayat yang disudahi dengan sebuah pertanyaan retoris berbunyi “afala ta’qilun“, apakah kalian tak memakai akal, atau “la’allakum tatafakkarun” atau “afala tatafakkarun“, apakah kalian tak berpikir.

Ayat yang menarik perhatian saya sejak dulu adalah berikut ini, “inna syarra al-dawabbi ‘inda al-Lahi al-shumm al-bukm al-lazina la ya’qilun.” (QS 8:22). Terjemahan bebas ayat itu: seburuk-buruk binatang melata di muka bumi adalah orang-orang tuli dan bisu yang sama sekali tak memakai akal mereka.

Ayat di atas bukan semacam kutukan bagi mereka yang secara fisik menderita cacat tuli dan bisu. Dua kata itu dipakai dalam ayat di atas secara metaforis. Ayat itu sudah menjelaskan dirinya sendiri: tuli dan bisu di sana merujuk kepada orang-orang yang tak memakai akal. Yakni mereka yang hanya tunduk pada tradisi dan pemahaman yang sudah berlaku umum, tanpa memeriksa pemahaman itu secara kritis dengan akal sehat.

Memakai akal adalah perintah Tuhan itu sendiri. Jika seseorang mengikuti perintah agama dengan sikap kritis, itu bukan berarti ia tak tunduk pada perintah tersebut, tetapi justru ia melaksanakan perintah itu sendiri. Sebab, dalam banyak ayat Tuhan mengkritik perilaku mereka yang hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa berpikir kritis. Bacalah ayat berikut ini: qalu wajadna aba’ana kazalika yaf’alun (QS 26:74). Terjemahan bebas: mereka berkata, kami hanya mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh bapak-bapak kami sebelumnya.

Ayat itu adalah kritik terhadap masyarakat pada masa Nabi Ibrahim yang “ngotot” merawat tradisi keagamaan mereka tanpa berpikir kritis. Mereka menolak dakwah Ibrahim dengan alasan yang sangat “tipikal” pada semua masyarakat manapun: kami hanya mengikuti tradisi yang sudah dijamin teruji; kami tak mau ambil resiko mengikuti anda yang belum jelas reputasinya. Masyarakat manapun memang cenderung konservatif, alias menjaga tradisi dan merawatnya secara membabi-buta, walaupun bukti-bukti rasional menunjukkan bahwa praktek yang ada itu sudah tak tepat sama sekali dan berlawanan dengan semangat zaman.

Ayat itu relevan sebagai kritik bukan saja untuk masyarakat pada masa Nabi Ibrahim, tetapi juga keadaan umat Islam sendiri saat ini. Semangat taklid buta tanpa berpikir kritis sangat dikecam dalam banyak ayat di Quran.

Itulah “tuli” dan “bisu” yang dikritik oleh Quran: sikap keras kepala, tak rasional, tak mau membuka diri pada perkembangan baru yang ada dalam masyarakat. Orang-orang seperti ini mempunyai prinsip yang khas: pokoknya agama mengatakan A, ya sudah, saya mengikutinya tanpa bertanya apapun. Orang-orang semacam ini merasa tunduk pada perintah Tuhan, padahal mereka mengabaikan perintah Tuhan yang lain untuk berpikir kritis.

Oleh Quran, orang-orang semacam ini disebut sebagai “syarr al-dawabb”, binantang melata yang paling buruk. Kata “dabbah” (bentuk tunggal dari kata “dawabb”) secara harafiah berarti “kullu ma yadibbu ‘ala al-ard”, segala hewan yang merangkak atau melata di muka bumi. Meskipun kata “dabbah” biasa dipakai untuk menyebut hewan yang biasa dikendarai sebagai alat transportasi (seperti kuda, keledai, atau unta), yang dimaksud dengan kata itu dalam ayat di atas adalah manusia. Dengan kata lain, seburuk-buruk manusia adalah mereka yang tak memakai akal mereka.

Dengan bersembunyi di balik alasan “tunduk pada perintah Tuhan”, orang-orang yang disebut “syarr al-dawabb” itu menolak untuk memakai pendekatan yang kritis dalam memahami perintah-perintah agama.

Pemahaman Islam liberal yang saya kembangkan ingin mengajukan cara pandang yang lain. Berpikir kritis, termasuk dalam memahami perintah-perintah Tuhan, adalah bagian dari keislaman itu sendiri. Berpikir secara rasional dalam masalah agama adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Berpikir kritis dalam agama bukan berarti membangkang terhadap agama.

DENGAN mengecualikan aspek ibadah murni, saya cenderung mengembangkan pemamahan keislaman yang rasional, kontekstual, dan humanis. Banyak hal yang selama ini dianggap sebagai perintah agama, sebetulnya, jika kita telaah dengan kritis, hanyalah cerminan dari keadaan sosial pada masa tertentu yang makin tak relevan dengan berlalunya zaman.

Sejumlah contoh bisa saya sebutkan di sini.

Hingga sekarang, masih banyak negeri-negeri Arab teluk, termasuk Saudi Arabia, yang menolak mengangkat perempuan sebagai anggota parlemen. Berdasarkan “petuah” dan “fatwa” ulama konservatif di negeri-negeri itu, mereka berpandangan bahwa praktek mengangkat perempuan menjadi anggota parlemen berlawanan dengan Islam. Sebuah hadis terkenal sering dijadikan sebagai sandaran argumen, “ma aflaha qawmun wallau amrahum imra’atan.” Terjemahan bebasnya: bangsa yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan tak akan beruntung, alias akan gagal.

Beragama secara rasional dan kritis seperti saya pahami dalam kerangka Islam liberal akan mencoba mengajukan sejumlah pertanyaan berikut ini.

Benarkah perempuan tak mampu menjadi pemimpin? Apakah secara empiris itu dibuktikan dalam realitas empiris? Bukankah banyak perempuan yang sukses menjadi pemimpin? Kalau perempuan dalam masyarakat tertentu tak mampu menjadi pemimpin, apakah hal itu karena faktor intrinsik dalam diri mereka, atau karena masyarakat tak memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh ketrampilan sebagai pemimpin? Taruhlah hadis itu benar diucapkan oleh Nabi, apakah ia tetap relevan diberlakukan hingga sekarang, ataukah itu terkait dengan keadaan spesifik pada zaman Nabi saja? Apakah masuk akal ajaran agama yang konon berasal dari Tuhan menghalangi hak perempuan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat, padahal jumlah mereka adalah separoh dari penduduk bumi? Tuhan macam apa yang memberikan ajaran semacam ini? Ataukah kita sendiri yang tak tepat memahami ajaran Tuhan itu?

Bertanya secara kritis semacam ini bukan melawan esensi Islam sebagai agama ketundukan. Sebagaimana sudah saya tunjukkan di muka, bertanya secara kritis adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Sekali lagi, kita tunduk pada perintah Tuhan bukan seperti “budak bego” yang sama sekali tak berpikir. Kita tunduk tetapi harus dengan cara-cara yang rasional. Tunduk secara membabi-buta tanpa berpikir disebut oleh Quran sebagai tindakan orang-orang yang masuk kategori “syarr al-dawabb”, “the ugliest animal“, binatang yang teramat buruk.

Contoh lain yang relevan untuk keadaan yang kita saksikan di sejumlah negeri-negeri Islam saat ini adalah masalah hukum hudud yaitu hukum pidana Islam seperti potong tangan, cambuk, dan lontar batu. Sebagaimana kita tahu, hukuman bagi pidana pencurian yang memenuhi syarat-syarat tertentu menurut Quran adalah potong tangan (QS 5:38). Saat ini, muncul sejumlah gerakan Islam yang ingin menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara. Hukum potong tangan adalah salah satu ajaran yang hendak mereka perjuangkan untuk menjadi hukum negara yang tentu bisa di-enforce melalui aparat pemerintah.

Membaca ayat di atas, kita bisa mengajukan sejumlah pertanyaan: apakah teknik menghukum pidana pencurian bersifat statis? Bukankah teknik pemidanaan dan penghukuman berkembang terus sesuai dengan perkembangan peradaban dan kematangan mental manusia? Bukankah hukum potong tangan itu warisan dari praktek-prektek penghukuman pada masyarakat kuno yang sangat kejam? Bukankah Islam hanya meminjam saja praktek-praktek penghukuman yang sudah ada? Jika perkembangan teknik penghukuman berkembang terus, apakah kita tak perlu meninjau “hukum Tuhan” itu? Bukankah yang penting adalah esensi penghukuman, bukan cara menghukum?

Sekali lagi, bertanya seperti itu adalah bagian dari perintah agama, bukan melawan perintah agama seperti dikesankan oleh kaum Islam fundamentalis di mana-mana.

Sikap kritis semacam ini perlu kita kembangkan untuk memahami sejumlah ajaran dalam Islam. Sekali lagi, saya menganjurkan sikap ini di luar masalah ibadah murni. Dalam masalah ritual murni, saya menjalankan saja perintah agama dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Meskipun detil-detil ketentuan itu masih bisa tetap diperdebatkan.

Kenapa sikap kritis saya berhenti pada saat berhadapan dengan masalah ibadah murni? Ini pertanyaan yang diajukan oleh beberapa teman kepada saya. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, dan saya tak memiliki pretensi untuk bisa menjawabnya secara memuaskan. Secara umum, jawaban saya adalah sebagai berikut. Masalah-masalah ibadah murni cenderung bersifat arbitrer, alias acak dan tanpa alasan yang jelas.

Sebagai perbandingan, kita bisa mengambil sejumlah contoh tindakan arbitrer dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh adalah praktek berlalu-lintas di sebelah kiri seperti kita jumpai di Indonesia. Kita bisa bertanya, kenapa kita tak memakai sistem lain, yaitu lalu-lintas dari sebelah kanan seperti berlaku di banyak negeri Eropa atau Amerika. Tentu kita bisa memberikan alasan pembenar untuk masing-masing praktek itu. Tetapi, pada akhirnya, jawaban yang paling masuk akal adalah: itu semua adalah pilihan suka-suka saja, alias arbitrer. Baik kanan atau kiri tidak mengandung alasan yang subtansial. Yang penting, lalu-lintas aman dan tertib.

Masalah ibadah murni kurang-lebih sama dengan hal itu, meskipun tidak persis. Kita bisa bertanya, kenapa salat Magrib berjumlah tiga rakaat, kenapa tida empat, kenapa tidak lima; kita juga bisa mencoba memberikan alasan-alasan pembenar. Tetapi, pada akhirnya, tak ada alasan yang masuk akal kecuali bahwa hal itu bersifat arbitrer. Tuhan sudah menentukan demikian, kita tinggal menjalankannya saja. Bagi saya, semua jenis ibadah yang dipraktekkan oleh agama apapun, sama statusnya: yaitu arbitrer. Yang penting di mata saya adalah bukan bagaimana cara beribadah, tetapi apakah anda bisa menghayati spiritualitas yang “genuine” dengan cara ibadah yang anda ikuti itu atau tidak.

Semua orang beribadah dengan tujuan yang sama: membangun komunikasi dengan Tuhan sebagai Sumber, Pemberi, dan Pemelihara Kehidupan. Masing-masing agama memiliki cara ibadah yang “arbitrer”. Tak ada alasan yang substansial di balik tata-cara ibadah itu.

Inilah pemahaman Islam liberal yang ingin saya kembangkan; yakni beragama yang secara individual menekankan spirtualitas yang mendalam, dan secara sosial memakai pendekatan yang rasional dan kontekstual. Inilah corak agama yang memenuhi definisi Islam sebagaimana saya pernah pelajari waktu duduk di madrasah ibtida’iyah (setara dengan SD) puluhan tahun yang lalu.

Waktu kecil dulu, Islam, menurut buku pelajaran tauhid yang saya pakai saat itu, adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk membawa kebahagiaan di dunia sekarang dan akhirat kelak. Hingga sekarang saya masih ingat teks Arab definisi itu: al-Islam huwa al-din al-lazi ja’a bihi Muhammadun SAW li sa’adat al-insani fi al-’ajili wa al-ajili.

Kebahagiaan ukhrawi, dalam pandangan saya, dicapai melalui pengembangan spirtualitas yang mendalam. Sementara itu, kebahagiaan duniawi dicapai melalui usaha membangun kehidupan sosial-politik yang masuk akal. Definisi Islam seperti saya pelajari waktu kecil itu menarik sekali karena relevan untuk kita terapkan pada hampir semua agama. Inti definisi itu menggambarkan dengan baik sekali fungsi agama: yaitu mencapai kebahagiaan, entah di dunia sekarang, atau dalam kehidupan kelak. Tekanan ingin saya letakkan pada kata “kebahagiaan”.

Mereka yang belajar filsafat Islam, akan dengan mudah menemukan relevansi konsep kebahagiaan ini dalam tradisi filsafat Islam yang sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Kalau kita telaah karya-karya Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M) atau Ibn Miskawayh (w. 1030 M), kita akan menjumpai pembahasan yang menarik tentang konsep kebahagiaan. Dalam pandangan mereka, ada dua jenis kebahagiaan, yaitu kebahagiaan teoretis (al-sa’adah al-nazariyyah) yang diajarkan oleh filsafat, dan kebahagiaan praktis (al-sa’adah al-’amaliyyah) yang diajarkan oleh para nabi. Dua-duanya sangat vital dalam mencapai hidup yang bahagia.

Dalam filsafat Yunani, terutama dalam tradisi Plato, kita kenal konsep eudaimonia, yaitu kombinasi antara “kebajikan” (arete) dan “pengetahuan” (episteme). Dalam konsepsi ini, kebahagiaan sudah mengandung dua elemen sekaligus, yaitu pengetahuan (antara lain mengenai yang baik dan buruk) dan kebajiikan atau “virtue“. Istilah “virtue” ini diterjemahkan dalam tradisi filsafat etika Islam sebagai “akhlaq”. Sementara itu, istilah akhlak sendiri sering didefinisikan dalam filsafat Islam klasik sebagai “malakah” atau “habitus”, yakni kebiasaan yang terbentuk dalam fakultas mental kita dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu tindakan praktis. Akhlak atau “virtue” dalam pengertian “malakah” adalah semacam “etika yang tertubuhkan” (embodied ethics).

Dengan kata lain, agama adalah jalan menuju kepada kebahagiaan itu. Kebahagiaan akan dicapai jika seluruh fakultas mental kita diberi keleluasaan untuk bekerja, bukan dikekang atas nama tradisi atau pemahaman tertentu. Oleh karena itu, etika kebebasan menjadi sangat vital dalam usaha mencapai kebahagiaan itu. Mereka yang tak bebas secara mental jelas mengalami depressi, dan itu sama sekali tidak bahagia.

Tetapi kebahagiaan juga tidak cukup hanya dengan mengembangkan fakultas mental belaka. Kita harus bertindak secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Saat berbuat sesuatu yang benar dan baik, seseorang akan mengalami perasaan bahagia dan bebas. Sebaliknya, seseorang yang bertindak salah akan merasa resah, tertekan, dan tidak bahagia.

Agama adalah jalan mencapai kebahagiaan “teoretis” dan “praktis” semacam itu.

Oleh karena itu, mereka yang mengajarkan keislaman dengan cara merepresi kebebasan akal dan berpikir secara kritis, sama saja mengajarkan kebahagiaan yang tak seimbang, seperti burung dengan satu sayap saja. Tak ada gunanya kita tunduk pada perintah harafiah Tuhan jika kita tak bisa mempertanyakan perintah itu. Bertanya secara kritis adalah bagian integral dalam proses menuju kebahagiaan atau sa’adah.

Inilah perpsepektif Islam liberal yang ingin saya kembangkan. Inilah cara saya memahami Islam. Saya merasa tenteram dan bahagia dengan pemahaman semacam itu. Sebetulnya, pandangan semacam ini sudah ada pada banyak kalangan dalam masyarakat. Hanya saja, jarang orang yang berani mengatakannya dengan terus terang, entah khawatir “diteror” oleh kalangan Islam radikal-fundamentalis, takut di-cap sesat, atau khawatir kehilangan “posisi sosial” tertentu.[]

sunset

sunset
waktu selalu mengejar