Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Rabu, 24 September 2008

Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009

Oleh Burhanuddin Muhtadi

Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca Orde Baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua penelitian pada skala nasional. Pertama, studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri.

Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable pada tingkat grassroot. Dengan data hasil Pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis seperti PDIP mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, maka perlu redefinisi politik aliran. Bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afialiasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “apakah anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi.

Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.

Karakteristik partai Islam biasanya dilihat dari dua hal, asas dan basis massa. Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKB dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena meskipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis massa muslim. Namun, partai Islam tak homogen. PKS, PPP, dan PBB bisa dikategorikan Islamis. Ketiganya memosisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologis, tapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Tak heran jika ketiga partai itu masih memiliki agenda semisal penerapan Piagam Jakarta atau mendukung pelaksanaan perda Syariat. Sebaliknya, PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai niversal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta.

Uniknya, perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tak terlalu berpengaruh dalam perolehan suara partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Baswedan, suara PDI-P beralih ke partai nasionalis. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai berbasis Islam (PAN dan PPP). Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.

Kesimpulan Baswedan di atas sejalan dengan exit polls yang diadakan LP3ES pada hari pemilu 5 April 2004; bahwa peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Sebanyak 16 persen PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Tingkat loyalitas pemilih tertinggi juga jatuh ke PKS (56%), disusul pendukung PKB (54%). Ini menunjukkan, kenaikan suara satu partai Islam lebih disebabkan turunnya suara partai Islam lain. Papartai Islam tidak atau belum berhasil meluaskan pangsa pasarnya. Hubungan antara satu partai Islam dengan partai Islam yang lain bersifat zero-sum game.

Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009? Hasil survei opini publik yang diadakan lembaga jajak pendapat menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS Jakarta misalnya, bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat pemilu tahun depan. Benar bahwa suara yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) masih cukup besar, 30%. Ini artinya, jika ditanyakan partai apa yang dipilih pada saat survei itu digelar, sepertiga pemilih belum menentukan pilihan. Di antara yang sudah menentukan pilihan, menurut survei CSIS, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% sudah menyatakan pilihannya ke PKS. Pemilih yang sudah menentukan pilihan ke PKB sebesar 6.8%, PD sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%.

Sementara itu, dilihat dari tingkat loyalitas pemilih, pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Sementara tingkat loyalitas PAN terhitung rendah; 31% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PAN pada 2009 nanti. Uniknya, ada sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS pada pemilu 2009 nanti. Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat.

Suara PKS yang menanjak menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Ini berarti, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain; PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah.

Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional Islam. Cara yang paling tepat adalah dengan membidik suara pemilih pemuda karena segmen suara inilah yang relatif bebas dari historical baggage dan immune dari polarisasi Islam dan nasionalis. Apakah partai-partai Islam mampu mengembangkan jaringan suaranya? Kita lihat hasilnya nanti!

Tanda Kemenangan atau Kekalahan

Oleh Abdurrahman Wahid*
Gus Dur Beberapa waktu yang lalu penulis artikel ini ditanya seorang wartawan dari sebuah harian besar di negeri kita. Mengapa penulis menjadi begitu nekat dan berani menyatakan keterlibatan seorang pejabat negeri dalam pertikaian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)?

Penulis artikel ini menjawab, ia telah dua kali menghadapi sang menteri tersebut karena berbuat kesalahan terus-menerus dalam urusan PKB itu. Pertama, ketika sang menteri mengeluarkan surat bahwa Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) ”yang benar” adalah yang dipimpin Muhaimin Iskandar. Ini jelas salah karena dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKB sendiri dinyatakan dengan jelas bahwa hal-hal prinsipil harus ditandatangani empat orang sebagai sebuah kesatuan.

Seperti Surat Keputusan Kepengurusan, harus ditandatangani bersama oleh Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, pihak Sekretaris Dewan Syura, Ketua Umum Dewan Tanfidz (pelaksana), dan sekretaris jenderal hasil Muktamar II di Semarang. Dengan cara pandang ini, Yenny Zannuba Arifah Chafsoh bukanlah sekjen hasil Muktamar II di Semarang itu. Karena itu, tidak diperkenankan menandatangani surat- surat seperti itu.

Sebab, menteri tersebut tidak boleh mencampuri urusan Partai Kebangkitan Bangsa, tetapi keputusannya itu dijalankan juga walaupun salah. Ini untuk menghilangkan keragu-raguan kita karena keputusan sang menteri itu tidak mengindahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai. Ternyata sikap sang menteri yang penuh kesalahan itu diulang.

Secara tertulis, ia telah membuat keputusan pada 2005 yang menyatakan bahwa Kantor DPP PKB di kawasan Kalibata Timur. Namun, ia kemudian mengeluarkan pemberitahuan secara lisan kepada KPU di tingkat pusat bahwa kantor DPP PKB ”yang benar” adalah di kawasan Jalan Sukabumi. Ia bahkan menambahkan secara lisan bahwa ia berani dibawa ke pengadilan negeri atas keputusannya itu.

Padahal, lurah daerah Jalan Sukabumi telah memutuskan sebelumnya bahwa karena kawasan tersebut diputuskan Gubernur DKI Jakarta sebagai daerah tempat tinggal, maka tidak boleh ada perkantoran di dalamnya. Pelanggaran demi pelanggaran hukum yang dilakukan sang menteri itu sudah sepatutnya ditangani Pemda DKI Jaya. Wartawan tadi bertanya lagi, adakah penulis artikel ini memiliki ”bukti”? Penulis artikel ini memang tidak memberikannya kepada sang wartawan itu.

Sekaranglah saatnya penulis mereproduksi bukti-bukti tersebut. Ini karena sudah diketahui banyak wartawan koran-koran lain, seperti sejumlah wartawan yang mengikuti pertemuan dengan KPU Jawa Timur pada 15 September 2008 pagi hari. Jelaslah dari apa yang diuraikan penulis artikel ini pada bagian-bagian terdahulu, yakni letak kesalahan tindakan sang menteri, termasuk sikapnya yang tidak menghiraukan keputusan sela PTUN Jakarta beberapa waktu lalu yang menetapkan tindakan-tindakan kedua belah pihak ditunda hingga berlangsungnya sidang kedua PTUN tersebut.

Tindakan nekat ini bukan sekadar sesuatu yang bersifat administratif, melainkan menunjukkan bahwa dalam pandangan sang menteri, keputusannya jauh lebih besar daripada keputusan hukum manapun. Apakah ini mendukung sikap pemerintah yang sedang bersedia menciptakan demokrasi? Padahal, penulis artikel ini mengajukan kritik bahwa pemerintah sedang berusaha menciptakan demokrasi tanpa kedaulatan hukum.

Ini karena sikap yang selalu memenangkan birokrasi pemerintahan tanpa ada kontrol yang jelas. Bisakah hal itu dilakukan? Dari apa yang diuraikan di atas, tampak nyata bahwa pada saat ini terjadi pergulatan saling menolak antara kedaulatan hukum dengan ”kekuatan” para birokrat dalam mengambil keputusan. Ini tentu bukan masalah yang mudah, melainkan juga menentukan nasib bangsa dan negara kita di masa depan. Sangat mengherankan, persoalan ini tak kunjung selesai sejak 17 Agustus 1945.

Waktu itu kita mengambil keputusan untuk ”menerima”orientasi atau arah pembangunan nasional negara dan bangsa, yang tidak menghiraukan kemampuan rakyat biasa (rakyat kecil). Mengapa? Karena para pemimpin kita dari masa itu sampai sekarang adalah dari kalangan bangsawan, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Mr As’ad, Mr Sartono, Dr Radjiman, Dr Tjipto Mangunkusumo, Prof Widjoyo Nitisatro dan Prof Dr Emil Salim. Bagaimana dengan kita? Tentunya tidak boleh kita ulangi, bukan?[]

*Ketua Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa
(Seputar Indonesia, Senin, 15 September 2008)

Kepemimpinan Santri dan Dilema Kekuasaan

Oleh Agus Muhammad

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Pasca reformasi, santri memegang peran penting dalam kepemimpinan nasional. Setidaknya, kelompok ini memiliki akses kekuasaan yang lebih luas di banding sebelumnya. Peluang ini tak ubahnya seperti pembalikan terhadap fakta sejarah pada kepemimpinan Soeharto yang tidak memberi akses bagi kekuatan politik Islam untuk mengambil peran dalam kepemimpinan nasional. Rezim ini justru melakukan peminggiran secara sistematis terhadap kekuatan politik Islam.

Setelah Soeharto mundur, kekuatan politik Islam bangkit dan membalikkan fakta sejarah. Partai-partai Islam berlomba-loma dalam pemilu. Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden setelah Habibie merupakan simbol santri par excelent. Pada saat yang sama Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR. Pada saat itu, praktis kepemimpinan nasional berada di tangan kaum santri.

Ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden, Megawati yang menggantikannya didampingi oleh Hamzah Haz yang merupakan figur politisi santri. Dalam pemilu 2004, partai-partai Islam kian marak. Disamping itu, semua calon presiden yang maju dalam pemilihan presiden merupakan pasangan antara figur santri dan nasionalis. SBY dan Jusuf Kalla yang kemudian memenangkan pemilu presiden adalah respresentasi dari dua hal ini.

Kecenderungan itulah yang oleh Kuntowijoyo (2004) disebut sebagai pragmatisme religius. Dalam pragmatisme religius, dikotomi sekuler-religius hilang. Tak ada lagi dikotomi santri-abangan. Bersama dengan hilangnya dikotomi sekuler-religius, menurut Kuntowijoyo, tidak akan ada lagi charismatic politics, power politics, dan politics of meaning. Pragmatisme religius mengintegrasikan yang sekuler dan yang religius. Pragmatisme religius adalah antropo-teosentrisme.

Kepemimpinan Moral

Kepemimpinan santri di pentas nasional diharapkan membawa nuansa yang berbeda dengan sebelumnya. Sampai batas tertentu, harapan ini berhasil diwujudkan, misalnya iklim keterbukaan yang lebih transparan, demokrasi yang lebih terjamin dan akses kekuasaan yang relatif terbuka bagi semua kelompok masyarakat.

Namun, dari segi perbaikan ekonomi, peningkatan kesejahteraan serta penegakan hukum yang berkeadilan, kepemimpinan santri masih harus diuji. Karena di bidang ini, tingkat keberhasilannya masih kecil. Kenyataan ini mengherankan, karena secara umum, kepemimpinan kaum santri di pentas nasional relatif memenuhi kriteria akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas.

Akseptabilitas yang mengandaikan adanya dukungan riil dari sekelompok masyarakat yang menghendaki orang tersebut menjadi pemimpin sudah terpenuhi dalam pemilihan umum. Demikian juga kapabilitas yang menyangkut kemampuan dan kecakapan untuk menjalankan kepemimpinan. Meski kapabilitas kaum santri yang duduk dalam kepemimpinan nasional tidak sangat memuaskan seperti yang diharapkan, setidaknya mereka telah didampingi para ahli, teknokrat dan kelompok profesional di bidangnya masing-masing. Sehingga problem kapabilitas mestinya sudah tidak ada masalah. Prasyarat yang masih dipertanyakan adalah integritas. Sebab, integritas adalah komitmen moral untuk berpegang teguh dan mematuhi aturan main yang telah disepakati dan sekaligus kesediaan untuk tidak melakukan pelanggaran terhadapnya.

Tanpa akseptabilitas, seorang pemimpin akan mudah dipertanyakan keabsahannya karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas, seorang pemimpin tidak mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik karena dia tidak dilengkapi dengan kompetensi yang memadai. Namun akseptabilitas dan kapabilitas menjadi tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh integritas. Tanpa integritas, seorang pemimpin mudah terjemurus dalam sikap sewenang-wenang. Dengan sendirinya berbagai bentuk penyelewengan moral akan mudah terjadi. Aspek terakhir inilah yang sering disebut sebagai kepemimpinan moral. Rendahnya kepemimpinan moral sering dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat kondisi bangsa ini tidak segera beranjak pada keadaan yang lebih baik.

Dilema Kekuasaan

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Banyak analis menyebutkan bahwa kegagalan untuk memenuhi harapan masyarakat luas disebabkan oleh parahnya kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa ini. Ini masih ditambah dengan tidak adanya keberanian moral dari pemimpin untuk melakukan terobosan. Monopoli kekuasaan yang nyaris terpusat di lembaga legislatif menjadi persoalan lain yang tak kalah krusialnya. Para politisi santri yang duduk di parlemen tidak jauh berbeda dengan politisi sekuler.

Mengapa politisi santri tidak berhasil membangun moralitas di parlemen? Bukankah mereka adalah representasi dari religiusitas? Eberhard Puntush (1986) punya analisis menarik soal ini. Menurutnya, ada tiga tekanan yang membahayakan kepribadian politisi. Pertama, ia terlalu dibebani secara intelektual. Ia dituntut suatu tingkat kemampuan yang tidak dimilikinya karena melebihi daya tampung biasa suatu kepala. Ia terjebak pada ketidakmampuan dalam banyak bidang dan sekaligus harus menyembunyikan ketidakmampuannya itu. Menurut Puntush, itulah awal dari merebaknya ketidakjujuran.

Tekanan kedua bagi seorang politisi, adalah adanya paksaan untuk bersikap solider pada partainya dan wakil-wakil dari partai tersebut, walaupun tingkah laku rekan-rekan satu partai itu melukai cara pandang etisnya sendiri. Menurut Puntush, politisi sering harus menutup-nutupi kesalahan-kesalahan rekan-rekannya separtai. Ia harus membela pendapat rekan-rekannya meskipun pendapat itu salah. Membohongi masyarakat umum dianggap prestasi.

Tekanan ketiga, adalah paksaan untuk mampu menahan kritik umum yang tidak adil. Kritik umum biasanya membandingkan keberhasilan yang ada dengan keberhasilan yang sebaiknya dapat dicapai; dan dengan cara itu di mana-mana terlihat adanya kekurangan. Dari lawan-lawan politiknya, politisi hanya bisa menerima lebih sedikit lagi keadilan. Karena partai-partai itu saling bersaing, maka upaya merendahkan lawan dengan sendirinya meningkatkan posisi mereka sendiri. Akibatnya, menurut Puntush, kemampuan politisi untuk menerima kritik semakin menurun.

Karakter yang digambarkan di atas hampir semuanya – kalau tidak seluruhnya – tergambar dalam tingkah laku politisi kita. Sebagai personifikasi dari religiusitas, kepemimpinan santri mestinya lebih bisa konsisten dalam memegang teguh moralitas, sehingga berbagai kebijakan dan perilaku politiknya betul-betul dituntun oleh etika. Namun, etika dan moralitas tidak cukup hanya diserahkan kepada individu yang bersangkutan sebagai komitmen pribadi, tetapi harus dilembagakan dalam aturan main. Jika tidak, moralitas akan berbenturan dengan tekan-tekanan yang, menurut Puntush, hanya akan merusak karakter orang yang bersangkutan.[]

Kamis, 11 September 2008

Pembaruan Islam di Indonesia: Pandangan Kristen

Oleh Martin Lukito Sinaga

Pembaruan a la liberal ini juga memberi titik harapan bagi Kekristenan, terutama di tataran sosial-kemasyarakatan. Sebab dengannya ihwal agama dan masyarakat tidak lagi dilihat dalam kerangka agama yang dominan akan pula menciptakan kerangka agama (syariat) untuk seluruh aspek kehidupan, tetapi agama akan dilihat sebagai aspek inspiratif bagi kehidupan bersama.

Dalam buku suntingannya, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (LP3ES,1979), Taufik Abdullah memperkenalkan debat Weberian ke dalam kancah Islam Indonesia. Dan untuk itu, ia membawa penantang Weber ternama yaitu Bryan S. Turner, demi memperlihatkan bahwa tesis Max Weber itu sebagian besar meleset dalam menganalisis ketiadaan kapitalisme dan kemajuan di dalam Islam. Dan tampaknya, Weber tidak jitu menjelaskan Islam, sebab menurut Turner, bukan soal etos-kerjalah penyebab ketertinggalan Islam, tetapi terutama soal kontradiksi-kontradiksi militer-ekonomis.

Namun, lanjut Turner, dan di sini terasa ironis, menurut kalangan pembaru muslim, ketertinggalan ekonomi Islam tadi malah dilihat sebagai sebuah persoalan teodisi atau ihwal keadilan Tuhan: jika Islam adalah agama yang sebenarnya, mengapa justru orang-orang kafir yang kini justru berhasil di dunia ini. Jawaban kaum pembaru atas situasi ketertinggalan Islam tersebut sebagaimana dikutip Turner dari tulisan Albert Hourani ialah: Orang-orang Kristen kuat, karena mereka bukan Kristen sejati, sementara orang-orang muslimin lemah karena mereka bukan Muslim sejati.

Penggalan ini menunjukkan bahwa Pembaruan Islam seakan-akan mengandung unsur Kristen di dalamnya dan orang Kristen mau tak mau sudah terlibat dalam isu pembaruan Islam. Malah boleh dikatakan, Pembaruan Islam lahir dari suasana rivalitas dengan kekristenan Barat. Namun yang juga penting ialah, ternyata secara genealogis, pembaruan Islam mengandung unsur “memurnikan” (purifikasi) agama, yang dibayangkan akan membawa kemajuan ekonomis; sebuah proses yang juga masuk ke Indonesia –sampai ke Jawa.

Kecemasan Kristen

Dan sekitar tahun 1850-1900 (menurut buku Th. Sumartana, Mission at the Crossroads, 1993), di Jawalah pertama kali pandangan Kristen Indonesia mengemuka menghadapi Pembaruan Islam, sebab baru saat itu terjadi perjumpaan yang mendalam antara Kristen dan Islam. Semula Kristen dan Islam bertemu dengan wajar, sebab keduanya tengah mencari relasi dengan ngelmu dan menghayati levenshouding (attitude to life atau sikap hidup) orang Jawa. Seorang pendeta Kristen-Jawa semisal Kiai Sadrach adalah jembatan Kristen menuju dunia mistik Jawa saat itu, setara dengan Sunan Kalijaga di dalam kasus Islam.

Namun datanglah Pembaruan Islam itu, pertama-tama lewat jalur Hadramaut dan perjalanan haji. Tanggapan Kristen (terutama para misionaris Belanda yang saat itu memimpin gereja) justru yang menarik. Mereka melarang gereja kejawen a la Kiai Sadrach, dan melihat bahwa Kristen harus berkejaran dengan efek pembaruan Islam. Dengan kata lain: mesti dicari pola unggul pem-baru-an (baca: strategi baru) dalam karya zending (lembaga misi gereja) agar lebih meyakinkan dan menarik hati orang Jawa.

Dan cara Kristen tidak lagi ngelmu (terlalu bertele-tele dan kurang efisien (menurut mereka), tetapi memilih pola pelayanan sosial modern (pendidikan dan kesehatan) sebagai jalurnya. Jadi, tanggapan Kristen saat itu atas pembaruan Islam ialah dengan memecut diri, berlari lebih cepat, demi memenangkan jiwa orang Jawa. Pembaruan Islam ditanggapi dengan rasa cemas, namun juga dengan gairah misiologis (berlomba-lomba menyebarkan Injil).

Kecemasan atas Pembaruan Islam selanjutnya makin meningkat khususnya di era pasca-Revolusi Iran. Di situ Jenderal TB Simatupang (tokoh utama Kristen tahun 1980-an, juga Ketua PGI) melihat bahwa kebangkitan atau pun revivalisme Islam mau tak mau akan mempengaruhi Indonesia. Dalam pandangannya di pertemuan gereje-gereja se-Asia (1985) ia masih melihat—sebagai obat penawar—bagaimana pun kerangka kesamaan hak warganegara akan tetap dijamin di dalam negara Pancasila. Sebab, kata Simatupang, “...Undang-undang Dasar dalam negara Pancasila bukanlah suatu hukum agama”.

Di sini, berbeda sedikit dengan pendahulunya (baca: misionaris Barat), Simatupang melihat bahwa pembaruan Islam model revivalisme haruslah dihadapi sebagai sebentuk tantangan politis, yang tak mungkin dihadapi secara konfrontatif. Dan Simatupang berkeyakinan, Pancasila sebagai kerangka bersama, menjadikan isu pembaruan Islam yang politis tadi akan ditepikan, dan sebagai gantinya dicanangkanlah usaha mencapai kesejahteraan bersama melalui pembangunan nasional (sebagai pengamalan Pancasila).
Harapan Kristen

Selanjutnya, seorang pendeta yang dikenal sebagai “ahli” Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bernama Viktor Tanja, melihat ufuk baru Pembaruan Islam. Setelah mengamati sepak terjang Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid (khususnya dengan ide sekularisasi—yang ternyata juga menggemakan pemikiran Kristen semisal Harvey Cox) ia berkesimpulan bahwa era Pembaruan Islam saat ini ialah liberal (sic!, lihat bukunya, Tiada Hidup tanpa Agama, 1988, hl. 8). Menurut Tanja: “ini berarti bahwa Islam dibebaskan dari kungkungan penafsiran hukum kaum ortodoks, dan melihat Islam sebagai sebuah nilai… Islamisasi di sini berarti suatu usaha untuk memperdalam dan menghayati secara internal ajaran-ajaran Islam, untuk memperkokoh hubungan pribadi antara Allah dan manusia.”

Pembaruan yang dipandang sebagai gerakan liberal Islam ini jelas-jelas telah mengubah persepsi Kristen atas tujuan Pembaruan Islam tersebut. Saat seperti ini jugalah untuk pertama kali orang seperti Gus Dur bisa berpidato (menjadi keynote speaker) di hadapan ribuan peserta Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Mulai saat itu, kekristenan secara antusias melakukan studi yang mendalam atas Islam, dan di sekolah-sekolah teologi Kristen, subjek Islam dipelajari sebagai pelajaran wajib; dan Islam dipelajari tidak dalam kerangka misiologi, tetapi dalam kerangka fenomenologi. Malah berkembang subjek teologi yang bernama “teologi agama-agama”, yang intinya adalah upaya mencari dalam kazanah iman Kristen dasar untuk menerima kehadiran dan kebenaran agama Islam. Pendek kata, Islam kini dihadapi dalam bentuk harapan dan dialog.

Pembaruan a la liberal ini juga memberi titik harapan bagi Kekristenan, terutama di tataran sosial-kemasyarakatan. Sebab dengannya ihwal agama dan masyarakat tidak lagi dilihat dalam kerangka agama yang dominan akan pula menciptakan kerangka agama (syariat) untuk seluruh aspek kehidupan, tetapi agama akan dilihat sebagai aspek inspiratif bagi kehidupan bersama.

Pendek kata, pergumulan agama menjadi pergumulan faith and society. Artinya, agama hadir tidak sebagai alternatif politis atas tatanan majemuk bersama, tetapi mencoba memberi insight imaniah bagi individu dan komunitasnya dalam memperkaya penyelenggaraan hidup bersama. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, pengorganisasian agama tidak lagi mengarah kepada penggumpalan politik yang sektarian, tetapi pada kerjasama inter-faith di mana kemaslahatan dan kualitas hidup bersama menjadi obsesi gerakan agama-agama tersebut.

Pada titik ini, Pembaruan a la liberal dalam Islam akan menghilangkan rasa cemas umat Kristen, dan bahkan daya-daya kreatif akibat relasi Islam-Kristen akan bermunculan. Itulah yang tampaknya sungguh kita perlukan di saat-saat sulit sekarang ini. Semoga.

* Martin Lukito Sinaga, pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan pendeta pada Gereja Kristen Protestan Simalungun.

Gus Dur: Saya Simpati pada Liberalisme Ulil Bedah Buku Menjadi Muslim Liberal

Oleh Umdah El-Baroroh

“Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam,” tulis Gus Dur dalam makalahnya. Akibatnya pun dapat terduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan.

Selasa (29/11/2005) lalu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Freedom Institute, Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Universitas Paramadina, dan Penerbit Nalar, bekerjasama menyelenggarakan bedah buku terbaru mantan koordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla, Menjadi Muslim Liberal. KH Abdurrahman Wahid, Dr. Jalaluddin Rakhmat, Dr. Yudi Latif, dan Maria Ulfah Anshor, dihadirkan untuk membedah gagasan-gagasan Ulil yang tertuang dalam buku itu. Bedah buku itu seakan-akan menjadi ”pengadilan” in absentia atas diri Ulil yang kini sedang melanjutkan studi di Universitas Boston, Amerika Serikat.

Diskusi di auditorium utama Universitas Paramadina itu dibuka setelah sambutan ala kadar dari Hamid Basyaib, Koordinatot JIL, menggantikan posisi Ulil. Sambil menunggu kedatangan Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid, pembicaraan dimulai oleh Jalaluddin Rakhmat alias Kang Jalal. “Biasanya orang yang dibesarkan dalam pendidikan Barat justru tampil menjadi Islami. Sebaliknya, orang yang dibesarkan di jalur pendidikan Islam, justru tampil menjadi pemikir Islam yang moderat. Di sinilah saya ingin meletakkan Ulil Abshar-Abdalla,” ucap Kang Jalal membuka pembicaraan.

“Ulil, sebagaimana kita tahu, besar dari keluarga pesantren tradisional yang ketat dalam menerapkan agama. Tetapi di tengah kesibukannya mempelajari teks-teks klasik agama, secara diam-diam ia dikejutkan oleh pemikiran liberal keagamaan yang berkembang di Barat,” papar Kang Jalal. Menurutnya, gagasan inilah yang konon menjadi titik tolak munculnya gerakan pencerahan di Barat. Liberalisme keagamaan, lanjut Kang Jalal, diawali oleh liberalisme politik. Ide ini telah menginspirasi munculnya pemisahan wilayah privat dari kehidupan publik.

Kang Jalal menjelaskan, gagasan liberalisme yang memengaruhi paham keagamaan, sebetulnya telah memunculkan pemikiran-pemikiran agama yang tidak ortodoks. Inilah menurutnya kunci untuk memahami pemikiran Ulil. “Hanya dengan memahami akar-akar liberalisme yang sebenarnya, kita akan bisa memahami keseluruhan pemikiran Ulil,” papar Kang Jalal.

Menurutnya, Ulil telah mengusung pemikiran Islam dengan wajah baru. “Karena Ulil bukan saja menguasai perangkat-perangkat ilmu pengetahuan modern dari Barat, tapi juga menguasai literatur klasik Islam yang tidak dikuasai intelektual semacam Mas Yudi Latif,” seloroh Kang Jalal pada pembicara lain, Yudi Latif. Seloroh itu disambut tawa lepas peserta.

Mantan presiden RI dan tokoh NU yang menjadi keynote speaker saat itu, Gus Dur, tampil setelah Kang Jalal. Gus Dur yang telah banyak memberi inspirasi bagi pemikiran Ulil, menyampaikan wejangan khasnya, diselingi guyonan dan tutur cerita. Gus Dur juga menulis komentar yang cukup panjang tentang sepak terjang pemikiran Ulil dalam makalah berjudul “Ulil Dengan Liberalismenya”.

“Saya simpati pada liberalisme Ulil, tapi juga kritis,” papar Gus Dur. Gus Dur mengaku kalau dia sebenarnya juga sudah sejak lama berpandangan liberal. “Bedanya, saya tidak menyebut diri saya liberal, dan Ulil berani untuk menyebut seperti itu,” ucap mantan ketua PBNU itu. Sambil menganalisis, Gus Dur menjelaskan bahwa pemakaian label Islam liberal itulah yang membuat Ulil ditolak di mana-mana, terutama di kalangan NU sendiri.

Gus Dur menampik anggapan NU anti-perubahan. “Di NU, sebenarnya kita bisa melakukan perubahan apapun, asalkan jangan menggunakan nama,” jelas Gus Dur penuh siasat. Ia pun lalu bercerita ihwal beberapa kyai NU yang telah melakukan pembaruan pemikiran di lingkungan NU sendiri, seperti KH. Wahid Hasyim (ayah Gus Dur), KH. Mahfudz Shidiq, dan ia sendiri. Gus Dur bercerita bahwa mereka-mereka itu memang tak serta-merta menyebut diri mereka sebagai pembaharu, apalagi liberal. Namun, dengan siasat itu, pembaruan tetap berlangsung di NU seraya mengurangi penolakan.

Selain mengeritik, Gus Dur juga mengapresiasi pemikiran-pemikiran Ulil. Menurutnya, pemikiran dan liberalisme Ulil, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Gus Dur hanya melihat Ulil risau dengan hilangnya iklim kebebasan berpikir di dunia Islam, dan ia mengkiaskan pengalaman Ulil dengan apa yang dialami Ibnu Rusyd. “Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam,” tulis Gus Dur dalam makalahnya. Akibatnya pun dapat terduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan.

Kiai nyentrik yang kaya humor itu juga menjelaskan bahwa dalam sejarah Islam, jurang antara pengikut paham sumber-sumber tertulis keilmuan Islam seperti Alqur’an dan hadis, ahlun naql, dan penganut paham perlunya memberi porsi lebih besar pada potensi akal, ahlul `aql (kaum rasionalis), memang sangat lebar. Karena itu, perdebatan antara kedua kutub itu adalah hal yang biasa, selagi masih dibingkai dalam semangat ilmiah.

Hal senada juga diungkapkan Maria Ulfah Anshor dari Fatayat NU. Menurut pembela hak-hak perempuan ini, Ulil adalah sosok pemuda yang sangat progresif dalam berpikir. Selama ini, Ulil banyak dicerca dan dimaki, bahkan dituduh telah merusak akidah Islam. Padahal, Ulil sebenarnya hanya sedang melakukan pembacaan-ulang atas teks-teks klasik Islam sebagaimana para ulama lain.

“Bedanya, para ulama umumnya mengikuti apa adanya (teks) ketika membaca teks-teks klasik, sementara Mas Ulil berusaha mengkritisi dan memilah-milah,” jelasnya. Karena itu, Ulfah menilai bahwa gerakan Ulil masih positif, karena justru ingin menjembatani jarak antara teks yang statis dengan kenyataan hidup.

Sementara itu, Yudi Latif, sebagai pembicara terakhir, mencoba melakukan analisis sosiologis atas proses pembentukan pemikiran Ulil. Menurutnya, perkembangan pemikiran Ulil juga diwarnai oleh komunitas epistemik di mana dia bergaul. “Kalau Ulil tidak di Utan Kayu dan tidak sempat bergaul dengan orang-orang seperti Goenawan Mohamad, mungkin ia tidak akan seperti itu,” jelas Yudi. Bagi Yudi, corak komunitas epistemik yang digauli akan cukup menentukan corak pemikiran seseorang.

Yang cukup menarik dari pemandangan diskusi di atas adalah kegundahan Kang Jalal atas dampak-dampak lanjutan dari pemikiran Ulil. Bila Gus Dur dan Ulfah tampak tak terlalu risau dengan sepak terjang Ulil, Kang Jalal justru sebaliknya. Pakar komunikasi asal Bandung itu merasa khawatir kalau-kalau gagasan libealisme Ulil akan kebablasan. Namun sayangnya, ia tidak menjelaskan batasan yang jelas bilamana suatu pemikiran itu dapat dianggap kebablasan dan tidak kebablasan.

Namun demikian, Kang Jalal masih merasa perlu menempatkan diri sebagai mitra dialog yang kritis. Kalau pemikiran Ulil dan kawan-kawannya dia anggap kebablasan, “…saya akan membendungnya dengan kekuatan logika, bukan logika kekuatan,” tandas Kang Jalal retoris. Namun dalam paparannya, Kang Jalal juga menyingkap letak kerisauannya. Pemikiran Ulil dia rasa akan mengancam posisi agama dan terutama agamawan. “Karena, agama direduksi terus menerus dari perannya,” ungkapnya penuh khawatir. Sambil bercanda, ia juga mempertanyakan di mana letak dan peran agamawan seperti dirinya, kelak.

Namun kekhawatiran Kang Jalal dijawab enteng oleh Gus Dur. Menurut Gus Dur, Kang Jalal terlalu berlebihan dalam menilai Ulil. Gus Dur mengingatkan letak persamaan umum antara dirinya, Ulil, dan juga Kang Jalal yang sering disebut sebagai intelektual muslim Indonesia. “Ulil sebenarnya hanya meperjuangkan kebebasan, sama dengan saya dan Kang Jalal,” kata Gus Dur mengingatkan. Gus Dur juga menyebut apa-apa yang dilakukan oleh Ulil belumlah selesai. “Ia kan masih muda. Jadi nggak usah terlalu diributkan. Pusing amat!” tandas Gus Dur pada Kang Jalal. []

Diskusi di Unisba Membedah Pluralisme Cak Nur

Oleh Umdah El-Baroroh

Meski Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil.

“Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama, seperti anggapan orang awam. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana.” Demikian papar Mohamad Monib, dosen Paramadina Mulya dalam diskusi “Membedah Pemikiran Pluralisme Nurcholis Madjid”, 22/1 lalu.
Diskusi yang diadakan di aula Universitas Islam Bandung itu juga menghadirkan dua pembicara lainnya sebagai panel. Tampak di sana Dawam Raharjo, wakil Jaringan Islam Liberal, serta Miftah Fauzi Rahmat, dosen IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.

Lebih lanjut, Monib juga menjelaskan bahwa pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil”, tandasnya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”

Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina itu, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.

Sikap seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI (Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh Monib bukan tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu terbukti dengan sikap penolakan masyarakat yang semakin lantang terhadap keberadaan Jama’ah Ahmadiyah yang juga difatwakan oleh MUI sebagai aliran sesat.

Sementara itu bagi Miftah, salah seorang pengelola IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait) aksi kekerasan yang menimpa Ahmadiyah itu dikhawatirkan akan menimpa syiah. Karena syiah juga banyak ditentang oleh sebagian masyarakat. Pada masa-masa seperti sekarang inilah kita semakin merindukan sosok Cak Nur, tegasnya. “Ia selalu membela komunitas yang minoritas dan termarginalkan.”

Lebih lanjut dosen IAIN Sunan Gunung Djati itu menjelaskan sikap Cak Nur terhadap pluralisme. “Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme”, tandasnya. “Pluralitas bagi guru besar UIN Jakarta itu adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu.”

“Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan”, tegasnya. “Dan apabila seseorang tidak dapat menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.”

Meski Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil.

Dapat diumpamakan dalam penganut teologi inklusif bahwa agama adalah sebagai cahaya-cahaya tapi yang paling terang adalah cahaya agamanya. Sementara seorang pluralis beranggapan bahwa semua agama bercahaya. Di sinilah terlihat perbedaan antara teologi inklusif dan pluralis.

Dawam menilai Cak Nur masih memandang semua agama sebagai cahaya, tetapi cahaya yang paling terang adalah Islam. Selain itu ia juga terjebak pada anggapan bahwa agama samawi lebih unggul dari agama bumi. Karena agama samawi diyakini sebagai agama pemberian Tuhan kepada manusia.

Cak Nur, lanjut Dawam, merupakan seorang teolog muslim dengan acuan Qur’an dan Sunnah (lebih khusus pada Qur’an). Dan dengan ide tauhidnya yang keras Cak Nur telah bersikap kurang adil. Di sinilah keterbatasan Cak Nur yang menurut Dawam belum sepenuhnya pluralis, tetapi baru sebagai seorang teolog inklusif. “Untuk menjadi pluralis, seseorang harus mempelajari agama-agama lain,” tegas Dawam. “Sementara Cak Nur tidak pernah mempelajari agama-agama lain.”[]

Romo Magnis: Tolak RUU APP!

Oleh Diah Utami

Menurut Magnis, porno adalah sesuatu yang bisa membangkitkan birahi. Meski definisi porno tampak jelas, tetapi pembatasannya tidak mungkin bisa didefinisikan secara tegas. Karena sesuatu yang bisa membangkitkan birahi bagi seseorang berbeda dengan yang lainnya.

“Pencampuran makna kata porno, sensual, dan terangsang dalam Undang-Undang yang akan dirancang membuat sebagian kalangan menolak RUU APP tersebut” Ungkap Romo Magnis Suseno.

Budayawan dan guru besar STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara itu dalam acara Dialog Publik “Kupas Tuntas RUU APP” 5/4 lalu menjelaskan bahwa dalam draft RUU APP terdapat kata-kata yang dicampuradukkan maknanya. Ia menyontohkan pengguanaan kata porno, sensual, dan terangsang yang sangat tumpang tindih. Menurut Magnis, porno adalah sesuatu yang bisa membangkitkan birahi. Meski definisi porno tampak jelas, tetapi pembatasannya tidak mungkin bisa didefinisikan secara tegas. Karena sesuatu yang bisa membangkitkan birahi bagi seseorang berbeda dengan yang lainnya. “Perbedaan itu tentunya dipengaruhi oleh cara pandang, budaya, agama, waktu dan tempat di mana seseorang berada”, tambahnya. Pemikiran, budaya, dan agama di Indonesia sangat beragam. Sehingga munculnya RUU APP ini menurutnya sangat problematis. Karena RUU tersebut berpotensi membatasi salah-satu pemikiran dan budaya Indonesia yang beragam.

Diskusi yang berlangsung di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia itu juga menghadirkan Dr. Luthfi Assyaukanie, aktivis Jaringan Islam Liberal, dan Ust. Abu Zaid, Kordinator HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) wilayah Depok. Luthfi Assyaukanie, pembicara dari Jaringan Islam Liberal (JIL) ini mengungkapkan bahwa dalam RUU APP yang sedang digodok itu hanya ada pelarangan, tapi tidak memberikan solusi konkret. ”RUU APP ini seperti penyakit yang salah cara mengatasinya atau salah obatnya”, ujarnya. “Pembuatan RUU seharusnya dilihat dari berbagai sisi, jangan sampai masalah pribadi rakyat dijadikan masalah negara,” lanjut dosen Fakultas Filsafat dan Agama di Universitas Paramadina tersebut.

Alumni Melbourne University ini juga menilai bahwa RUU yang ada sekarang hanya mengcover kementingan beberapa kelompok yang memiliki pemahaman sempit. Di negara-negara maju, pemerintah tidak banyak mengurus detail permasalahan pribadi rakyatnya”, ucapnya. “Negara harus memisahkan masalah pribadi rakyat dengan masalah Negara.”

Namun menurut Abu Zaid, Koordinator HIzbut Tahrir Indonesia (HTI) wilayah Depok, yang harus dilakukan terhadap RUU APP ini bukanlah mendukung atau menolak. Tapi yang diinginkan HTI sebagai institusi Islam adalah pemberantasan pornoaksi dan pornografi yang sangat meresahkan. “Oleh karenanya penggodokan RUU APP ini perlu dikawal agar sesuai dengan keinginan rakyat yang di wakili oleh ormas-ormas dan DPR”, tandasnya. Permasalahan makna pornoaksi dan pornografi baginya sudah jelas dalam Islam. “Apabila RUU tersebut belum jelas, ya definisi di RUU itu yang harus diperjelas”, tegasnya dengan nada enteng.

Diskusi yang diselenggarakan oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) komisariat Politeknik Negeri Jakarta dan UKM LOGIKA PNJ bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) ini sedianya dihadiri pula oleh Prof. Dr. Jalaludin Rahmat, cendekiawan muslim dari Bandung, serta perwakilan dari PB HMI. Namun hingga acara berlangsung, keduanya tidak tampak hadir. Meski demikian antusiasme peserta yang hadir tidak berkurang. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan yang bersifat menolak maupun mendukung RUU APP banyak dilontarkan oleh para mahasiswa dan dosen yang memenuhi Gedung Pusat Studi Jepang UI siang itu.

Menurut Ruhun Siahaan, mahasiswa Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, RUU APP ini membuktikan ketidakdewasaan Negara. Menurutnya kalau Negara ini (Indonesia-red) sudah dewasa, maka negara tidak perlu lagi mengawasi secara detail apa yang dilakukan oleh rakyat atau bangsanya. ”Ini adalah bukti negara tidak percaya lagi terhadap rakyatnya. Seperti seorang Ibu yang tidak percaya terhadap anaknya.Semua harus diatur dan dibuat peraturannya”, ujarnya.

Seorang peserta dari jurusan Ilmu Komunikasi UI, menegaskan bahwa permasalahan RUU APP ini adalah masalah moralitas dan masa depan generasi penerus bangsa. Karena menurutnya tanpa undang-undang yang mengatur media pornografi seperti sekarang ini, sudah banyak kejahatan dan tindakan pelecehan seksual akibat bebasnya pornoaksi dan pornografi. ”Saya berharap peserta dan pembicara di sini serta seluruh bangsa Indonesia lebih bijak dalam berpendapat dan memutuskan sesuatu”, ujarnya.

Meski ketiga pembicara berbeda pendapat dalam menilai RUU APP, tapi ketiganya sepakat bahwa regulasi untuk mengatur peredaran dan distribusi media serta barang pornografi mutlak dibutuhkan. RUU APP awalnya punya semangat mengatur masalah pornografi, tetapi dalam kenyataanya draft RUU ini menurut Magnis malah lari pada persoalan pengaturan individu. “Oleh karenanya harus kita tolak, tandas Profesor kelahiran Jerman ini mengakhiri pembicaraannya.[]

Selasa, 09 September 2008

Achmad Chodjim: Kita Selalu Butuh Tafsir yang Sesuai Zaman

Katakanlah kita melihat ada ayat, ”Bunuhlah dan perangilah orang-orang kafir itu!” Ayat ini kalau mau kita angkat bukan untuk mencari sosok si kafir, tapi bagaimana kita harus bisa membunuh sifat ketertutupan manusia di dalam hidup yang semakin maju ini.

Ramadan juga dikenal sebagai Bulan Alquran (Syahr Al-Quran) karena di dalam bulan ini kitab suci itu diturunkan. Pada kesempatan ini, KUIK melakukan wawancara dengan Achmad Chodjim yang saat ini sedang menulis tafsir Alquran. Pak Chodjim ini juga dikenal sebagai penulis buku-buku best seller seperti Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Berikut petikan wawancara Novriantoni dengan beliau.

Pak Chodjim, Anda bukan orang yang secara spesialis yang menekuni pendidikan agama, tapi tertarik menulis tafsir Alquran. Apa yang motivasi Anda?

Begini, kita ketahui bahwa Alquran diturunkan kepada manusia ini tidak ada lain sebagai petunjuk, dan di dalamnya memang dijelaskan sebagai petunjuk. Alquran juga memuat penjelasan tentang petunjuk itu. Namun demikian ketika seseorang membaca Alquran, akan dihadapkan banyak kesulitan bagaimana memahami rangkaian ayat-ayat itu. Mengapa bisa terjadi demikian, karena kita mengetahui bahwa Alquran itu diwahyukan tidak di dalam komposisi kronologisnya. Alquran sendiri tidak sistematis. Selain itu bahasa Alquran juga tidak memiliki titik koma atau tanda baca. Bahasa Alquran juga banyak mengandung metafor-metafor, dan juga banyak kata-kata yang tidak eksplisit. Inilah yang mendorong saya menafsirkan Alquran sehingga satu surat Alquran itu memiliki makna sehingga menjadi petunjuk bagi yang membacanya.

Kalau boleh tahu, apa modal Anda dalam melakukan tafsir Alquran?

Secara umum modal untuk menafsirkan Alquran itu banyak. Pertama, bahasa Arab. Kita harus paham bahasa Arab, termasuk sastranya, meskipun secara pasif. Kedua, kita juga harus punya modal sejarah (sîrah) Nabi. Sebab kita tahu bahwa ayat-ayat Alquran itu diturunkan tidak lepas dari ruang dan waktu. Ketiga, kita juga harus memiliki kamus berbahasa Arab. Tentu saja makin banyak kamus bahasa Arab yang kita miliki akan sangat membantu di dalam memahami ayat-ayat Alquran. Karena kenyataannya banyak ayat-ayat Alquran itu yang satu kata digunakan oleh satu suku misalnya suku Quraisy, tetapi tidak digunakan di suku yang lain. Padahal di dalam Alquran dinyatakan bahwa Alquran itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Tentu pengertian yang jelas harus kita selidiki dan kita tinjau lebih jauh. Kalau sesuatu dikatakan jelas berarti seseorang pasti akan menemukan rujukannya tidak mungkin tidak.

Kalau kita menggunakan kategori konvensional ilmu tafsir, misalnya tafsir bil ma’tsur atau tafsir yang berdasarkan riwayat-riwayat hadits dan ada juga tafsir bi al-ra’yi, bagaimana dengan metode tafsir Pak Chodjim?

Dalam menafsirkan Alquran kita tetap mengikuti urut-urutan. Pertama-tama adalah tafsir itu harus kita terjemahkan ayat dengan ayat, mengapa? Karena di dalam Alquran disebutkan bahwa Alquran itu diturunkan yang sifatnya mutasyâbih dan makânî. Itu ada di surah al-Zumar ayat 23. Kalau kita pahami Alquran itu ayat-ayatnya mutasyabih itu artinya, ayat-ayat itu saling terkait antara satu kata atau satu ayat di satu surat, satu kata atau satu ayat di surat yang lainnya. Lalu makânî maksudnya ayat-ayat itu diturunkan selama 23 tahun, dan terjadi pengulangan-pengulangan dan kalau kita pahami sering ayat-ayat itu sering kali diungkapkan beberapa kali. Misalnya kata al-’aql (akal) saja diulang sampai lebih dari 40 kali. Nah, dengan adanya mutasyabih yang saling terkait dan pengulangan ini maka yang pertama adalah mencoba memahami satu ayat dan dicari kaitannya atau relasinya ayat yang lain. Setelah itu misalkan kita temukan lalu kita lihat kaitan kata itu dengan kondisi sosial pada waktu itu. Kita lihat misalnya penggunakan kata-kata yang ada pada waktu itu. Lalu kita lihat juga sejarah yang ada waktu itu. Nah setelah itu kita mencoba menyelidiki atau melihat satu ayat itu berdasarkan sejauh mana makna yang diungkapkan dalam ayat atau surat itu. Sebab boleh jadi kata itu bersifat lahiriah tapi yang dituju malah batiniah dan fenomena ini banyak sekali. Misalnya kita ambil contoh, pada surah al-Isra’ ayat 72. Kalau dibaca di sana orang yang membaca itu buta lahiriahnya. Tapi konsekuensinya kalau buta lahiriah akan buta di akhirat. Itu tentu tidak senada dengan ayat-ayat Alquran yang lain. Misalnya, orang yang mengeluh, ”Ya Allah kenapa saya di dunia dahulu hidup tidak buta tetapi sekarang saya buta”. Di sinilah mata rantainya lalu jika sudah dilihat semuanya itu apakah ayat yang kita tafsirkan itu sesuai dengan akal pikiran atau tidak. Sebab selama ini orang cenderung mengabaikan akal, padahal kita tidak melanggar pernyataan Allah bahwa kita harus menggunakan akal. Misalnya, ada sumpah Tuhan Tuhan di dalam Alquran, wal-’ashri (demi waktu asar), atau sumpah Tuhan misalnya qiyamah, di sini adalah sumpah padahal kalau kita melihat, mengamati dan memperhatikan apa yang dipakai Tuhan untuk sumpah itu bukan sesuatu yang diluar akal pikiran manusia. Misalkan kiamat tidak bisa tidak dipelajari maka kita mencoba menyelidiki. Kalau kiamat itu pengertiannya hancurnya alam semesta, ya tidak ada gunanya Tuhan bersumpah. Sebab kalau Tuhan bersumpah itu artinya ada sesuatu yang harus diperhatikan manusia, tidak bisa tidak. Maka kita langsung mencari makna kiamat di situ. Bagaimana ayat-ayat yang berkaitan di dalam sumpah kiamat itu apakah memang betul-betul terlepas atau bisa kita kaitkan dengan ilmu pengetahuan.

Bagaimana posisi tafsir-tafsir yang sudah dikarang oleh ulama sebelumnya? Apakah tafsir-tafsir itu relevan dan menjadi kutipan dalam tafsir Anda?

Kalau melihat tafsir-tafsir yang lalu pertama-tama kita pikirkan cara mereka menafsirkan. Umumnya cara mereka menafsirkan adalah hanya terpaku ayat dengan ayat. Misalnya yang dilakukan oleh Ibn Katsir, Jalalayn. Padahal kalau kita perhatikan dengan kenyataan perkembangan alam semesta ini, kalau hanya ayat dengan ayat tanpa menggunakan akal pikiran akan sia-sia. Maka di sini kita anggap terlalu banyak misalnya memuat hal-hal yang sifatnya sudah lampau. Tapi juga ada orang yang menafsir mencoba memahamkan dengan hal yang sifatnya kontekstual. Misalnya yang dilakukan Muhammad Abduh, atau tafsir al-Jawâhir yang juga banyak mengangkat hal-hal yang sifatnya ilmiah. Maka semuanya akan kita gunakan sebagai landasan yang bisa cocok ayat yang sedang kita tafsirkan itu. Bahkan kalau perlu tafsir yang sangat sufistik itu bisa menonjol pada ayat-ayat tertentu kalau memang kaitannya di situ. Misalnya tafsir surat al-Baqarah yang berkaitan dengan memotong sapi betina, kalau itu dilakukan secara lahiriah kita tetap tidak akan pernah nyambung. Jadi pasti harus ada nuansa sufistik di dalamnya.

Zaman sekarang para ahli tafsir menggunakan tafsiran tematik atas ayat Alquran, kenapa Pak Chodjim menggunakan tafsir surah persurah, bukan tematik?

Saya memang sadar sepenuhnya bahwa sekarang ini mulai banyak orang yang melakukan penafsiran Alquran yaitu tafsir tematik atau al-mawdlû’î. Namun kita harus paham bahwa masyarakat Islam pada umumnya tetap masyarakat yang sufatnya itu dapat kita katakan sebagai masyarakat yang masih konvensional. Artinya masyarakat konvensional itu tetap menganggap bahwa Alquran itu murni pemahaman satu surat secara utuh. Jadi ini yang saya sadari. Jadi kalau tafsir-tafsir tematik di toko buku misalnya itu tidak terlalu banyak menarik minat orang-orang yang ingin mendalami Alquran secara keseluruhan. Atau orang-orang dari pesantren, atau orang-orang yang ngaji di banyak peguruan. Mereka tidak tertarik, katakanlah, terhadap buku tafsir tentang masalahnya ekosistem. Karena pikirannya adalah orang tinggal melihat ekosistem itu siapa yang menulis. Kalau di sana kok banyak Alquran maka mereka yang bekerja di ilmu ekosistem. Ya, dia akan mencari sumber yang bersifat ilmu pengetahuan yang ekologi. Begitu pula ada tafsir tentang ilmu kelautan misalnya tapi bagi yang memang betul-betul berminat tentang kelautan jelas akan belajar ilmu kelautan lebih spesifik. Hanya orang-orang yang misalnya sekedar menambah wawasan yang mencoba mengaitkan antara ajaran yang ada di dalam Alquran dengan yang ada di dalam tema-tema kehidupan sehari-hari. Makanya inilah yang mendorong saya tidak tertarik untuk menulis tafsir tematik tetapi lebih tertarik menulis surah. Nah, tentu surat itu akan saya tafsirkan secara berbeda. Kalau yang lain-lain itu biasa ditafsirkan secara tahlîlî: ayat demi ayat, saya pun melakukan itu tetapi saya bagi berdasarkan tema-tema. Jadi surat ini mengandung berapa tema maka saya tidak lepas dari tema-tema yang ada. Nah, ketika kita menyebut tentang tema tentu kita akan tarik ayat-ayat yang lain di luar ayat yang kita tafsirkan itu.

Bagaimana Anda melihat problem subjektivitas penafsir yang memiliki preseden? Apakah hal ini lumrah, atau seorang penafsir itu tidak boleh memiliki motif dan preseden?

Ketika kita menafsirkan Alquran pertama-tama kita harus memahami pesan seluruh Alquran. Jadi kita tidak bisa tanpa memahami pesan yang ada di dalamnya secara keseluruhan. Jadi dulu misalnya dari awal sudah ada tafsi-tafsir itu berorientasi golongan, misalnya bagaimana kalangan Muktazilah menulis Alquran di situ nuansanya yang mendukung pola rasional Muktazilah. Orang Syi’ah juga mendukung orang Syi’ah, namun kalau kita kembali ke sana kita menjadi kadaluarsa.

Tapi misalnya, apakah tidak mungkin menafsirkan misalnya lebih mendorong ke arah toleransi dalam hidup? Di sini yang harus kita ambil adalah pesan mana yang saat ini relevan dalam membangun kemajuan umat saat ini. Oh, ternyata Alquran mengatakan kepada Nabi Muhammad, ”Tidaklah engkau (Muhammad) diutus kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Nah, tentu kita pengikut Muhammad, kita memiliki misi menjadi rahmat bagi seluruh alam. Menjadi rahmat bagi seluruh alam harus dicari di seluruh ayat yang berkaitan dengan rahmat, termasuk bagaimana sikap orang yang bertoleransi, bagaimana sikap hidup orang Islam punya solidaritas terhadap sesama, dan bagaimana orang Islam itu mencintai orang-orang karena kedalaman hatinya. Jadi tetap kita perhatikan itu. Tafsir-tafsir yang telah saya tulis tidak lepas dari sifat tasamuh, toleransi, bagaimana bekerja sama, bagaimana melakukan kritik pada kecurangan-kecurangan dan sebagainya.

Kita mengenal beberapa tafsir Alquran dengan corak-corak tertentu, misalnya Zamakhsyari dan Abduh lebih banyak berbicara tentang rasionalitas, al-Jawâhir, pada tafsir saintifik atas Alquran. Kalau tafsir Anda sendiri bagaimana?

Yang ada dalam pikiran saya, bagaimana menulis tafsir sesuai dengan perkembangan zamannya. Jadi karena di masa sekarang ini masa globalisasi, maka tafsir yang saya suguhkan tentu harus bernuansa pandangan yang meyeluruh, yang tidak merupakan kumpulan dari serpihan-serpihan. Katakanlah kita melihat ada ayat, ”Bunuhlah dan perangilah orang-orang kafir itu!” Ayat ini kalau mau kita angkat bukan untuk mencari sosok si kafir, tapi bagaimana kita harus bisa membunuh sifat ketertutupan manusia di dalam hidup yang semakin maju ini. Jadi saya justru akan menekankan kepada bagaimana menjalani misi hidup di zaman yang sudah holistik ini. Jadi kita tidak menjadi bagian dari yang parsial tapi menjadi bagian yang universial.

Dalam khazanah tafsir kita mengenal tafsir sufi, seperti Ibn ’Arabi dan beberapa penafsir sufi lainnya. Apakah Anda juga melakukan tafsir ini?

Oh, tentu saja di dalam tulisan-tulisan saya itu akan saya ungkapkan tidak semata-mata hanya berdasarkan riwayatnya, tapi betul-betul akan saya lihat kajian itu bagaimana kepercayaan itu berkembang. Misalnya siksa kubur, saya ulas itu di dalam surah al-Nas. Di sana saya sebutkan misalnya kapan pemahaman tentang orang di dalam kubur itu disiksa. Kapan misalnya di dalam Alquran ada kata jahannam, padahal kita tahu kata jahannam itu bukan kosa kata Arab asli. Jadi saya telusuri dari kata apa itu. Lalu kenapa Alquran kok mencoba menyerap kata jahannam. Nah, dari situ kita akan memaknai lebih jauh tidak hanya konvensional. Ini yang perlu kita pahami, sehingga kalau kita bicara tentang neraka maka kita tidak sekedar percaya sebagaimana neraka yang digambarkan, karena itu pun persepsi. Padahal di Alquran sendiri misalnya di surah al-Ra’ad 35 atau di surat 47 ayat 15 misalnya di situ dijelaskan dengan jelas apa yang dicantumkan di dalam neraka atau di surga itu adalah matsal, berarti perumpamaan. Nah, di situ kita bisa menarik keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang surga dan neraka. Begitu pula yang berkaitan dengan siksa kubur.

Tafsir kita ini sudah banyak, dan sering menimbulkan konflik. Bagaimana Anda tetap menulis tafsir di tengah banyaknya tafsir ini?

Kita harus tahu bahwa kita hidup itu adalah sebuah realitas, kita tidak mungkin banyak tafsir tetapi itu kalau kita coba lihat kaitkan dengan kaitan yang ada itu tidak ketemu. Malah seringkali ayat-ayat Alquran hanya digunakan sebagai pengkonfirmasi tindakan atau kepentingan. Ini tidak boleh terjadi. Contoh, kalau kita melihat ayat-ayat katakanlah poligami, orang langsung mencomot ayat itu dari semua konteks. Jadi tentang poligami hanya diambil dari surah al-Nisa’ ayat 3, seolah-olah hanya itulah makna dari ayat itu. Padahal tidak demikian. Kita perlu menjelaskan kepada masyarakat sehingga satu ayat tidak disalahartikan demi untuk memenuhi kepentingan pribadi atau nafsunya. Dan inilah yang memotivasi saya untuk menjelaskan. Ada satu contoh lain bahwa ada orang shaleh dan ia mukmin niscaya dia akan dimasukkan ke surga. Ayat ini kan kelihatannya ditujukan kepada laki-laki, padahal ini adalah ayat untuk pengertian umum. Sehingga siapa saja kalau mukmin akan masuk surga, dan siapa saja yang masuk surga akan mendapat bidadari. Makna bidadari ini juga masih bias jender, jadi, ini pentingnya kita menulis kembali tafsir.

Saya kira yang penting dalam hal ini, ketika membaca Alquran itu pikiran kita mestinya terbuka sepenuhnya. Yang kedua cobalah kita timbang, apakah yang ditafsirkan orang itu sesuai dengan kondisi yang ada atau memang ayat itu sudah tidak sesuai lagi diterapkan di zaman sekarang karena masanya sudah berbeda. Nah, di sini kita diingatkan, hati kita pun harus tenang, pikiran kita terbuka, lalu kita harus banyak-banyak untuk menimba berbagai wacana. Khususnya pembaca Alquran tidak boleh melulu yakin kalau membaca Alquran itu sudah mendapatkan petunjuk dari situ. Mengapa? Karena di surat al-Waqi’ah dinyatakan ”Tak ada yang mampu menggapainya atau menyentuhnya kecuai dirinya telah disucikan”. Nah, menyucikan diri kan kita tidak mengikatkan pada ego kita sendiri. Kita harus bebaskan kebencian, kedengkian, dendam dan sebagainya. Nah, itu adalah salah satu syarat penting.

Gagasan Pluralisme Dewa

Oleh Saidiman

Filsuf abad Pencerahan, Imanuel Kant, membagi kebenaran dalam dua kutub besar: kebenaran fatamorgana (baca: fenomena) yang dicerap oleh potensi subjektif kemanusiaan, dan kebenaran hakiki (baca: numena) yang objektif dan tak terjangkau oleh potensi kemanusiaan. Ketika seseorang menyatakan sebuah kebenaran objektif, maka sesungguhnya itu hanyalah klaim kebenaran subjektif.

Ideas have wings, no one can stop their flight (Film Destiny)

Memperjuangkan idealisme adalah barang langka dalam kesenian populer Indonesia, terutama seni musik. Teramat jarang ditemui insan-insan musik yang berkesenian untuk mempertahankan sebuah idealisme, kendatipun itu mendobrak premis mayor mainstream masyarakat. Kebanyakan pemusik hanyalah serpihan budaya massa yang kaku dan tak berjati diri. Teramat langka pemusik Indonesia yang mencoba bertanya kepada sebuah realitas: bertanya, dalam hal ini, adalah mencoba untuk kritis, dan mungkin untuk melawan.

Di zaman Orde Baru, kita hanya menemukan satu nama, Iwan Fals, selebihnya tidak. Pasca Orde Baru, ketika kekuatan penindas tidak terpusat pada negara, melainkan diambil-alih oleh masyarakat mayoritas, maka perlawanan terhadap ketertindasan bukan lagi dialamatkan kepada negara semata-mata, melainkan kepada mayoritas penindas. Masyarakat bukanlah harga mati bagi sebuah kebenaran. Eforia demokrasi memang kerapkali membawa kekuatan mayoritas sebagai penafsir tunggal kebenaran. Kekuatan-kekuatan kecil, dengan kebenarannya masing-masing, kerapkali ditindas oleh kekuatan golongan besar.

Ironi Demokrasi

Inilah salah satu ironi demokrasi. Dan hal seperti inilah yang nyata dalam fakta kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Berbagai peristiwa yang tersiar ke masyarakat umum memperjelas arogansi kebenaran mayoritas terhadap minoritas: kasus M. Yusman Roy yang diadili karena mengajarkan salat dwi-bahasa, protes terhadap grup musik Dewa karena dianggap menghina Allah, juga berbagai peristiwa kekerasan atas nama agama di Jawa Timur, dan lain sebagainya.

Pada kondisi seperti ini, grup musik Dewa, walau agak sungkan, muncul dengan paradigma perlawanan terhadap dominasi kebenaran mayoritas melalui lirik-lirik lagunya yang pluralis, disamping religius, filosofis, dan nasionalis-patriotis. Coba kita bedah bait-bait lagu album terakhir Dewa, Laskar Cinta, yang baru-baru ini menuai kontroversi. “Katamu kau cinta aku/ Demi Tuhan kau bersumpah/ Katamu kau akan setia/ Demi Tuhan kau berjanji/ Begitu mudah mulutmu berkata/ Atas Nama Tuhan/ Demi kepentinganmu/ Atas nama cinta saja/ Jangan bawa-bawa Nama Tuhan/ Apapun cara kau tempuh untuk dapatkan yang kau mau/ Meski kau harus jual murah ayat-ayat suci Tuhan (Atas Nama Cinta).”

Bait-bait itu mencerminkan prinsip sekularisasi, dimana Dewa berusaha mensakralkan Tuhan dan agama pada posisi di luar urusan duniawi. Ahmad Dhani (pemimpin Dewa) mencoba kritis terhadap budaya kepalsuan dan kemunafikan di negeri ini yang begitu mudah menjustifikasi segala kepentingan atas nama Tuhan: entah itu kepentingan di dunia politik, ekonomi, budaya, dan di dalam hubungan personal antar sesama manusia.

Bagi Dewa, kebenaran tidak dipatenkan hanya milik sekelompok orang, sebab setiap kepala memiliki keunikannya sendiri. “Hidup ini punya sejuta warna/ Tak hanya hitam putih/ Begitu adanya/ Apa yang kamu yakini sebagai sebuah kebenaran/ mungkin…/ bukanlah sebuah kebenaran buat yang lainnya (Shine On).”

Dalam realitas majemuk yang selalu berubah, relativitas kebenaran subjektif adalah sebuah pengandaian yang tak terbantahkan. Tapi di luar relativitas kebenaran subjektif, ada kebenaran objektif yang hakiki. “Tak ada kebenaran hakiki/ Yang ada Cuma hanya/ Kamu di sana…/ Dan akulah milikMu/ Keyakinan akan sebuah kebenaran/ Bukanlah kebenaran/ Kebenaran yang sejati/ Bila tak benar…diuji kebenarannya (Nonsens).”

Konsep Kebenaran

Filsuf abad Pencerahan, Imanuel Kant, membagi kebenaran dalam dua kutub besar: kebenaran fatamorgana (baca: fenomena) yang dicerap oleh potensi subjektif kemanusiaan, dan kebenaran hakiki (baca: numena) yang objektif dan tak terjangkau oleh potensi kemanusiaan. Ketika seseorang menyatakan sebuah kebenaran objektif, maka sesungguhnya itu hanyalah klaim kebenaran subjektif. Setiap orang memiliki kebenaran subjektifnya masing-masing. Oleh karenanya, keraguan atau kesangsian adalah hal wajar dalam kehidupan duniawi.

“Bila…ada adalah…tidak ada/ Bila…apa yang…kau tahu salah/ Bila…apa yang…kau dengar bohong/ Apakah langit…/ Memang ada di atas kita/ Apakah langit…/ Memang biru-biru warnanya/ Apakah langit…/ Memang benar-benar adanya (Nonsens).” Lalu bila dicermati lebih jauh, dan orang mau jujur tentang itu, bait-bait lagu Dewa ini berasal dari sebuah refleksi yang tidak dangkal. Butuh perenungan panjang, mungkin juga pergulatan batin, untuk melahirkannya: bukan hanya karena kedalaman maknanya, melainkan juga karena ia merupakan bentuk perlawanan terhadap epistema mayoritas masyarakat Indonesia.

Tidak mudah melakukan perlawanan terhadap realitas yang begitu menindas, apalagi atas nama kekuatan absolute, Tuhan. Untuk itulah, bisa dipahami ketika Dewa melunak ketika dituntut untuk mengganti gambar sampul album terakhirnya. Jauh lebih bermanfaat semua lapisan masyarakat mau mendengarkan bait-bait lagunya dari pada berrebut soal gambar sampul. Gambar sampul hanyalah simbol, sementara inti dari misinya ada di dalam bait-bait yang memukau itu. Dan mungkin Dhani dan kawan-kawan ingin menunjukkan, bahwa simbol dimana-mana selalu tak terlalu penting.

Puncak dari rangkaian refleksi perlawanan Dewa tercermin dalam lagu Satu, lagu yang diaku terinspirasi dari capaian religiusitas Abu Mansyur al-Hallaj. Lagu ini disebut banyak kalangan sebagai refleksi paham keagamaan panteisme, wihdlatul wujud. Cinta hamba kepada Tuhan, pada tingkat tertinggi, membentuk ketiadaan jarak antara keduanya. Kemuliaan prilaku sebagai hamba di dunia ini hanyalah instrumen untuk mendekati kemuliaan Tuhan. Semulia-mulianya manusia adalah yang mampu merefleksikan kemuliaan Tuhan secara sempurna.

Penyatuan hamba dengan Tuhan adalah kondisi di mana segala urusan dan kepentingan pribadi ditanggalkan semata-mata karena Tuhan. “Aku ini…adalah dirim(M)u/ Cinta ini…adalah cintam(M)u/ Aku ini…adalah dirim(M)u/ Jiwa ini…adalah jiwam(M)u/ Rindu ini…adalah rindum(M)u/ Darah ini adalah darahm(M)u/ Tak… ada yang lain…selain dirim(M)u/ Yang selalu kupuja…ouo…/ ku…sebut namam(M)u/ Di setiap hembusan nafasku/ Kusebut namam(M)u…/ kusebut namamu…/ Dengan tanganm(M)u…aku menyentuh/ Dengan kakim(M)u…aku berjalan/ Dengan matam(M)u… kumemandang/ Dengan telingam(M)u…kumendengar/ Dengan lidahm(M)u…aku bicara/ Dengan hatim(M)u…aku merasa (Satu).”

Politik dan Kekuasaan

Paham wihdlatul wujud memang pernah dianggap sebagai aliran sesat dalam Islam. Dua orang penganut fanatiknya, al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, bahkan dibunuh oleh rezim penguasa pada masanya karena menganut dan mengajarkan paham ini. Tapi satu hal yang tidak bisa diingkari, di samping berbagai alasan politis yang melatarbelakangi eksekusi itu, adalah kondisi sosial politik yang menjadi anutan kekuasaan saat itu.

Al-Hallaj dan Syech Siti Jenar tidak hidup di masa modern di mana nilai-nilai demokrasi dan pengakuan terhadap perbedaan ditegakkan; bahwa ada prinsip kebebasan bagi siapa saja untuk menganut paham keagamaan apa saja, karena religiusitas adalah perkara yang sangat pribadi. Dalam hal ini, kalau betul bangsa ini sedang mencoba menerapkan segala prinsip negara demokratis, kebebasan Dewa adalah contoh untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya.

Apa yang dilakukan Dewa saat ini adalah barang langka yang harus terus dijaga agar tidak punah oleh tangan-tangan jahil kaum “jahiliah.” Bukan berarti Dewa telah membawa kebenaran sejati, tapi setidaknya Dewa telah memberikan pengakuan terhadap keragaman umat manusia. Dewa mengemukakan pendapat, tetapi tidak mengklaim benar sendiri.

“Maafkanlah slalu… salahku/ Karena kau memang pemaaf/ Dan aku hanya… manusia… (Hidup Ini Indah).” Hidup dalam keragaman bukanlah petaka, melainkan masa depan keindahan ummat manusia. “Shine on…shine on/ Let’s make harmony… for a better future (Shine On).

Menuju Pluralisme Global

Oleh Moh. Shofan

Pluralisme selalu menjadi problem, baik ketika menyangkut sistem ekonomi, ideologi-politik maupun struktur sosial, apalagi masalah agama-agama. Munculnya truth claim dan salvation claim yang mengatanamakan iman (baca: agama) merupakan fenomena yang marak kita jumpai di masyarakat kita.

Wacana tentang pluralisme masih begitu penting dan krusial, karena terkait dengan hal penting dan sensitif, yaitu masalah teologis. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan ada kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran kitab suci masing-masing agama selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agama kita yang paling benar. Namun, dalam beberapa hal, kitab suci masing-masing agama secara tersirat menyatakan adanya ‘jalan lain’ di luar agamanya, yang bisa jadi merupakan jalan yang absah juga untuk dilalui dalam prosesi menuju Tuhan.

Di Indonesia yang pluralistis ini, penting mengkaji dan memahami konsep pluralisme. Buku Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan Pandangan Alqur’an, setidaknya menjadi bahan kajian ilmiah yang sangat menarik. Buku ini ditulis oleh seorang profesor yang luas wawasan keilmuannya dan mampu memahami dasar-dasar teologis tentang pluralisme. Lebih dari itu, penulisnya mampu menyajikan data-data historis bagaimana mesranya hubungan Islam dengan agama-agama lain yang punya sejarah panjang menjalankan pluralisme.

Walau bukan satu-satunya rujukan, buku ini memberi kontribusi besar dalam upaya membangun pluralisme global dewasa ini. Pluralisme selalu menjadi problem, baik ketika menyangkut sistem ekonomi, ideologi-politik maupun struktur sosial, apalagi masalah agama-agama. Munculnya truth claim dan salvation claim yang mengatanamakan iman (baca: agama) merupakan fenomena yang marak kita jumpai di masyarakat kita. Menurut analisis Pradana Boy, konflik tersebut sudah mengalami perluasan dimensi yang tidak saja berputar-putar pada masalah discourse tetapi sudah masuk ke aspek tindakan dalam bentuk kekerasan.

Menurut Hugh Goddard, dalam Christians & Muslim: From Double Standards to Mutual Understanding, apa yang membuat hubungan Islam-Kristen berkembang jadi kesalahpahaman dan rasa saling terancam adalah berlakunya standar ganda. Baik orang Kristen maupun Islam, keduanya menerapkan standar-standar berbeda untuk menilai dirinya—biasanya bersifat ideal dan normatif—sedangkan terhadap yang lain, mereka memakai standar yang bersifat realistis dan historis. Untuk itu, konsep suatu agama dalam menilai agama lain perlu dipaparkan secara terbuka.

Konsep Alqur’an tentang Pluralisme

Setidaknya ada empat tema pokok yang jadi katagori utama Alqur’an tentang pluralisme agama. Pertama, tidak ada paksaan dalam beragama. Embrio paham bertumpu pada ayat Alqur’an surat al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Secara eksplisit, Alqur’an mengajarkan bahwa dalam memilih agama, manusia diberi kebebasan untuk mempertimbangkannya sendiri.

Dalam pandangan almarhum Cak Nur (1993) pada dasarnya ajaran ini merupakan pemenuhan alam manusia yang secara pasti telah diberi kebebasan oleh Allah, sehingga pertumbuhan perwujudannya selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh—apalagi dipaksakan–dari luar. Keberagamaan hasil paksaan luar tidak pernah otentik karena kehilangan dimensinya yang paling dasar dan dalam, yakni kemurnian atau keikhlasan.

Kedua, pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan Alqur’an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 62: “Orang-orang beriman (orang-orang Muslim), Yahudi, Kristen, dan Shabi’in yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, serta melakukan amal kebajikan akan beroleh ganjaran dari Tuhan mereka. Tidak ada yang harus mereka khawatirkan, dan mereka tidak akan berduka”. Titik tekan ayat ini ada pada aktivitas kongkret umat beragama yang harus berada dalam katagori amal saleh. Itu berarti, masing-masing agama ditantang untuk berlomba-lomba menciptakan kebaikan dalam bentuknya yang nyata.

Ketiga, kesatuan kenabian. Konsep ini bertumpu pada surat al-Syura ayat 13: “Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama sebagaimana yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya”. Lewat ayat ini, Fathi Osman menegaskan bahwa salah satu pokok keimanan Islam adalah kepercayaan bahwa iman kepada sekalian nabi dan rasul itu mempunyai makna teologis yang mendalam dan menjadi prinsip pluralisme Islam.

Keempat, kesatuan pesan ketuhanan. Konsep ini berpijak surat al-Nisa’ ayat 131. “Dan kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, dan (juga) kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah”.

Menghidupkan yang Normatif

Pandangan normatif tentang pluralisme di atas, tidak boleh dibiarkan berhenti pada lembaran-lembaran teks, tetapi perlu dipahami dengan kerangka metodologis dalam menafsirkan dan mentransformasikannya. Untuk melakukan itu, bagi Kuntowijoyo (1991) dibutuhkan kerja intelektual dan usaha untuk mengangkat teks itu ke tingkat penafsiran yang bebas dari beban-beban atau bias-bias historisnya.

Itu diperlukan sebagai salah satu syarat menuju pluralisme global di kalangan beragam manusia. Di samping kerja intelektual, mewujudkan pluralisme global memerlukan keberanian untuk berdialog dengan pemeluk agama-agama lain. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika dari masing-masing bersikap partisipan dan tidak bersedia membuka diri, saling memberi dan menerima secara sukarela dan antusias. Sikap menutup diri dari dialog itu, menurut Kautsar Azhari Noor (Gaus AF: 1998), bukan merupakan suatu kekokohan dasar sejati dalam beriman, tapi merupakan kegoyahan. Kekokohan yang sejati tidak memerlukan ‘benteng’ ketertutupan.

Dialog konstruktif untuk menghindari salah paham antaragama merupakan tuntutan yang tak bisa ditunda. Karena itu, kita harus tetap menghargai agama dan kepercayaan lain tanpa dihantui anggapan “menyamakan semua agama”. Setiap agama tentu punya ciri. Masing-masing agama punya paham dan konsepsi mengenai siapa yang disembah. Tapi dalam hal etika dan moral, titik persamaan akan lebih banyak tampak pada semua agama. Di situlah visi global pluralisme agama bisa berkecambah. []

Puasa dan Nilai Kemanusiaan

Oleh Kautsar Azhari Noer

Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan.

Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa adalah mencapai ketakwaan (QS, 2:183). Ketakwaan adalah memelihara diri dari segala yang membahayakan dan menyengsarakan hidup, dengan melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ketakwaan dapat dipandang sebagai ukuran derajat kemanusiaan manusia. Semakin tinggi ketakwaan seseorang, semakin tinggi derajat kemanusiaannya. Manusia yang paling mulia di mata Tuhan adalah manusia yang paling tinggi ketakwaannya (Q 49:13). Ketakwaan dalam arti sebenarnya mencerminkan bukan hanya kesalehan individual, yang berguna untuk diri sendiri, tetapi juga melahirkan kesalehan sosial, yang berguna bagi orang banyak. Kesalehan individual sejati adalah daya penggerak kesalehan sosial. Kesalehan individual yang tak berguna untuk orang banyak bukan kesalehan sejati.

Kita dapat mengatakan bahwa manusia yang mulia di mata Tuhan adalah manusia yang saleh yang bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak. Orang yang tidak bermanfaat bagi orang banyak bukan orang saleh dan bukan pula orang bertakwa. Maka manfaat bagi orang banyak adalah ukuran atau bukti kebaikan, yang sekaligus adalah ukuran ketakwaan dan kesalehan. Nabi Muhammad mengatakan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak. Tetapi harus diingat bahwa semua perbuatan yang dilakukan untuk kesalehan harus disertai dengan niat untuk mengabdi kepada Tuhan. Jika suatu perbuatan tidak disertai niat untuk mengabdi kepada Tuhan, akan timbul godaan kuat untuk pamer diri (riya’).

Puasa yang berhasil mencapai tujuannya, yaitu ketakwaan, melahirkan sifat-sifat terpuji seperti kejujuran, kesabaran, ketabahan, kepedulian sosial, kedermawanan, kasih sayang, keramahan, dan toleransi. Ini adalah adalah sifat-sifat insani, yang berbeda dengan sifat-sifat hewani. Sifat-sifat insani mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Sebaliknya, sifat-sifat-hewani menjatuhkan derajat kemanusiaan kepada derajat kebinatangan. Dalam konteks itu, puasa dapat dipandang sebagai sebuah cara negatif (negative way): meniadakan sifat-sifat hewani atau sifat-sifat tercela. Puasa yang lebih tinggi kualitasnya bukan hanya menahan diri dari perbuatan yang membatalkannya, tetapi juga menahan diri dari perbuatan-perbuatan tercela seperti: berbohong, menipu, memfitnah, bergunjing, smendengar yang tidak bermanfaat, melakukan kekerasan, menghina, dan mencaci-maki.

Menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang membatalkan, perbuatan-perbuatan tercela, dan segala sesuatu yang memalingkan diri dari menyaksikan Tuhan, adalah “cara negatif”: tidak melakukan makan, tidak minum, tidak bersetubuh, tidak berbohong, tidak menipu, tidak memfitnah, dan sebagainya. “Cara negatif” adalah sifat hakiki puasa. Karena itu, Ibn ‘Arabi (w. 1264), mengatakan bahwa puasa pada hakikatnya adalah meninggalkan, bukan melakukan (tark la ‘amal). “Ciri negatif” inilah yang menghilangkan kemiripan (mitsliyyah) puasa dengan ibadah-ibadah lain. Allah, kata Ibn Arabi, meninggikan puasa dengan menafikan kemiripannya dengan ibadah lain. Ibn Arabi merujuk hadis, “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa tak memiliki kemiripan (lā mitsla lahu).”

Puasa sebagai cara negatif adalah suatu “beban yang diwajibkan” (maktūbah), yang berlawanan dengan fitrah manusia seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, dan marah ketika dicaci-maki. Puasa mengekang fitrah manusia. Puasa adalah “beban yang diwajibkan” untuk kehidupan asketik dalam kehidupan manusia. Tanpa unsur pengorbanan kepentingan diri (self-denial) dan asketisisme, tidak mungkin ada kehidupan spiritual. Seyyed Hossein Nasr, pemikir Sufi asal Iran, mengatakan bahwa orang harus adakalanya menarik diri dari kehidupan penuh dari indra-indra agar mampu menikmati buah tangkapan daya indrawi. Seperti dinyatakan dengan tegas oleh perkataan Taois, kata Nasr, ruang kosong rodalah yang membuatnya menjadi roda.

Puasa adalah pengosongan diri dari sifat-sifat hewani agar diri menjadi ruang bagi sifat-sifat insani. Apabila sifat-sifat hewani telah hilang dari diri orang yang berpuasa, maka yang tersisa dalam dirinya adalah sifat-sifat insani. Orang seperti ini akan menjadi orang jujur, sabar, peduli sosial, dermawan, ramah, dan toleran. Orang seperti ini tak akan melakukan penipuan dan mengambil yang bukan haknya. Orang seperti ini tak akan membiarkan orang-orang yang terpinggirkan menderita kelaparan. Orang seperti ini tak akan mencaci-maki agama lain atau aliran lain karena itu akan menyakiti para penganutnya. Orang seperti ini tak akan melakukan kekerasan, meskipun atas nama kebenaran dan Tuhan.

Melalui puasa, para penganut agama-agama lain dan pengamal spiritualitas, sebagaimana kaum Muslim, dapat pula melakukan pembersihan diri dari sifat-sifat buruk dan penahanan diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan.

Cara puasa Islam jelas berbeda dengan puasa Gandhi, tetapi keduanya mempunyai titik-temu: pengendalian diri. Kaum muslim tidak perlu meniru cara puasa Gandhi dan para penganut agama-agama lain. Yang penting bagi kaum muslim adalah agar puasa yang dilakukan mencapai tujuannya: ketakwaan. Apalagi ketika bangsa kita sedang besiap menghadapi pemilu 2009, ketakwaan sangat diperlukan, terutama bagi para pencari kursi kekuasaan, agar mampu mengendalikan diri dengan menjauhi perilaku yang tidak bermoral. Jadikanlah Nabi Muhammad sebagai teladan dalam memperjuangkan keadilan melalui jalur politik yang bermoral. Nabi Muhammad pernah berpolitik dan menjadi kepala negara di Madinah. Jangan kalah dengan Gandhi yang berjuang untuk keadilan dan kepentingan kemanusiaan melalui jalur politik yang bermoral.[]

Jumat, 05 September 2008

Kritik atas Argumen Aktivis Hizbut Tahrir

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini, dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada.

SAYA kerap mendengar pernyataan aktivis Hizbut Tahrir (HT), gerakan Islam yang dikenal dengan “mimpi besar” untuk menegakkan negara Islam internasional itu (dikenal dengan negara khilafah), bahwa fakta sosial tak bisa menjadi dasar landasan penetapan hukum.

Pernyataan ini pertama kali saya dengar dari jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, saat saya dan dia berbicara dalam sebuah diskusi di Bogor sekitar enam tahun yang lalu. Belakangan, aktivis HTI kerap mengulang-ulang argumen serupa. Rupanya, statemen ini menjadi semacam “refrain” di kalangan mereka.

Bagi yang kurang akrab dengan ilmu ushul fikih (teori hukum Islam), mungkin statemen ini kurang begitu jelas. Supaya sederhana dan mudah dipahami, saya akan berikan contoh kecil berikut ini.

Kita tahu, bahwa Sunan Kudus membangun masjid dengan menara yang berbentuk seperti pura Hindu. Taruhlah, anda terlibat dalam sebuah diskusi tentang boleh tidaknya membangun masjid dengan arsitektur yang menyerupai tempat ibadah agama lain. Misalkan saja anda berpendapat bahwa hal itu boleh. Saat lawan diskusi anda bertanya, apa “hujjah” atau argumen anda, anda menjawab, “Tuh, buktinya Sunan Kudus membangun masjid dengan arsitektur yang menyerupai tempat ibadah agama Hindu.”

Ini hanya contoh anekdotal yang sangat sederhana. Anda bisa mengembangkan contoh ini dengan kasus-kasus lain.

Menurut aktivis HTI, cara berargumen seperti ini mereka anggap salah, sebab fakta sosial, yaitu tindakan Sunan Kudus, tidak bisa dijadikan sebagai landasan penetapan hukum tentang boleh tidaknya membangun masjid dengan gaya arsitektur yang mirip tempat ibadah agama lain. Hukum, menurut mereka, hanya bisa disandarkan atas dalil agama (dalil syar’i). Dalil atau teks agama mengatasi segala-galanya. Tindakan Sunan Kudus atau tokoh manapun, selain Nabi Muhammad, tidak bisa menjadi standar normatif. Yang bisa menjadi standar hanyalah teks agama.

Apakah argumen aktivis HTI ini tepat, terutama dilihat dari tradisi teori hukum Islam klasik sendiri? Esei pendek ini saya tulis untuk memberikan kritik atas cara berpikir aktivis HTI yang, jujur saja, merupakan ciri-khas kaum “tekstualis” di manapun.

Dalam pandangan saya, argumen semacam ini sama sekali tak tepat. Memang, dalam teori hukum Islam, dikenal empat sumber hukum utama, yaitu Quran, hadis, ijma’ (konsensus sarjana hukum Islam atau “juris”) dan qiyas atau analogi (dalam tradisi fikih Syiah, sumber keempat bukan qiyas tetapi akal).

Tetapi, sumber hukum bukan hanya empat, sebab ada sumber-sumber lain yang kedudukannya memang diperselisihkan oleh para sarjana Islam (al-adillah al-mukhtalaf fiha). Statemen aktivis HTI bahwa fakta sosial tidak bisa menjadi sumber hukum, sama sekali tidak tepat, sebab di luar empat sumber utama di atas, ada sumber-sumber lain yang diakui oleh ulama fikih, termasuk fakta sosial sebagaimana akan saya tunjukkan nanti.

Argumen kalangan HTI ini sengaja mereka pakai untuk menepis sanggahan yang diajukan oleh para pengkritik teori negara khilafah yang antara lain disandarkan pada fakta-fakta historis dalam sejarah Islam.

Para pengkritik teori negara khilafah, antara lain, mengatakan praktek negara khilafah tidak “secemerlang” yang dikira oleh para penyokong ide itu. Banyak “khalifah” dalam dinasti-dinasti Islam masa lampau yang bertindak otoriter, despotik, dan kejam. Sebagaimana dalam sejarah negara-negara kuno, pertumpahan darah selalu menandai peralihan kekuasaan dari satu dinasti Islam ke dinasti yang lain.

Terhadap kritik semacam ini, aktivis HTI akan mengatakan bahwa fakta sejarah tidak bisa menjadi dasar untuk menetapkan hukum. Menurut mereka, negara khilafah adalah satu-satunya bentuk negara yang sah menurut dalil agama; fakta sejarah yang menunjukkan bahwa bentuk negara khilafah tak seideal yang dibayangkan, menurut mereka, tak bisa dijadikan argumen untuk menyanggah dalil agama.

Dalam pandangan aktivis HTI, dalil agama sudah cukup dalam dirinya sendiri; fakta sosial harus tunduk pada dalil agama, bukan sebaliknya.

DALAM standar ilmu ushul fikih klasik, argumen ala HT ini jelas sama sekali salah. Dalam hukum fikih, fakta sosial jelas bisa menjadi dasar penetapan hukum. Karena itulah ada kaidah terkenal, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan,” hukum berubah sesuai dengan waktu dan tempat.

Perbedaan mazhab dalam Islam jelas terkait dengan perbedaan konteks sosial di mana pendiri mazhab itu hidup. Kenapa mazhab Abu Hanifah sering disebut sebagai mazhab ahl al-ra’y, pendapat yang cenderung rasional, karena mereka hidup di Kufah, kota tempat persilangan budaya, kota di mana kita jumpai warisan dari banyak peradaban besar sebelum Islam.

Sementara mazhab Maliki lebih cenderung berpegang pada “sunnah” penduduk Madinah (dikenal dengan ‘amal ahl al-Madinah) karena memang itulah kota tempat Nabi dan sahabatnya hidup, sehingga sunnah penduduk Madinah dianggap sebagai norma.

Sudah tentu, fakta sosial semata-mata memang tak cukup untuk menetapkan sebuah hukum dalam pandangan teori hukum Islam klasik. Fakta sosial tetap harus ditimbang berdasarkan teks. Tetapi teks saja juga tak cukup, karena teks juga dipahami berdasarkan perubahan-perubahan lingkungan sosial yang ada. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis antara teks dan konteks sosial. Dengan demikian, argumen aktivis HTI itu jelas sama sekali tak benar.

Seorang ulama mazhab Hanafi, Najm al-Din al-Thufi (w. 1324 M), malah berpendapat lebih jauh lagi. Dalam kitabnya yang kurang banyak dibaca luas, “Kitab al-Ta’yin fi Sharh al-Arba’in” (komentar atas kumpulan empat puluh hadis karya Imam Nawawi), al-Thufi melontarkan sebuah pendapat yang menjadi kontroversi dari dulu hingga sekarang, bahwa jika terjadi pertentangan antara maslahat atau kepentingan umum dengan teks atau dalil agama, maka maslahat harus didahulukan.

Saya kutipkan teks Thufi yang langsung berkaitan dengan hal ini:

“Wa in khaalafaaha wajaba taqdim ri’ayat al-masalahati ‘alaihima bi thariq al-takhsis wa al-bayan lahuma, la bi thariq al-iftiyat ‘alaihima wa al-ta’thil lahuma, kama tuqaddam al-sunnah ‘ala al-Qur’an bi thariq al-bayan” (hal. 238, edisi yang diedit oleh Ahmad Haj Muhammad ‘Uthman, 1998).

Secara ringkas, teks itu menegaskan, jika terjadi pertentangan antara teks (nass) dan konsensus ulama (ijma’) dengan maslahat, maka kemaslahatan umum harus didahulukan di atas teks dan ijma’.

Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini, dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada.

Ini memang pembahasan yang kompleks. Yang tidak pernah belajar ushul fikih, penjelasan ini mungkin terlalu teknis dan kurang jelas. Intinya adalah: jika dalil dalam Quran atau hadis mengatakan A, lalu konteks sosial justru menunjukkan B, maka teks Quran/hadis itu bisa “dispesifkasi” atau “diterangkan” oleh konteks itu. Dengan kata lain, konteks didahulukan atas teks.

Pendapat al-Thufi ini memang banyak diserang oleh ulama-ulama lain, karena dianggap terlalu berani. Dia bahkan diisukan sebagai seorang penganut sekte Syi’ah rafidah (Syi’ah yang ekstrim). Biasa, ini adalah semacam “black campaign“. Seolah-olah jika seseorang menganut sekte Syi’ah maka pendapatnya otomatis salah.

Apapun, pendapat al-Thufi ini sangat menarik dan memperlihatkan bahwa di kalangan ulama fikih dan ushul fikih klasik sendiri sudah ada pendapat yang menyatakan tentang kedudukan penting dari konteks sosial. Sekali lagi, pernyataan kalangan aktivis HTI bahwa fakta sosial tak bisa menjadi sumber hukum, sama sekali tak tepat, untuk tak mengatakan keliru sama sekali.

Sementara itu, banyak sekali ketentuan hukum dalam fikih yang digantungkan pada adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Itulah sebabnya, dalam fikih dikenal kaidah yang sangat populer, “al-’adah muhakkamah“, kebiasaan sosial bisa menjadi sumber hukum.

Sudah tentu adat bukan sumber hukum yang mandiri, sebab harus ditimbang berdasarkan parameter teks agama. Tetapi, teks agama juga tak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan adat sosial. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis antara adat dan teks agama. Adat dan teks agama, dua-duanya menjadi sumber hukum.

Contoh sederhana adalah mengenai mas kawin atau mahar. Quran menegaskan bahwa seorang lelaki harus memberikan mas kawin kepada perempuan yang dinikahinya (wa aatu al-nisa’a shaduqatihinna nihlah, QS 4:4). Tetapi Quran tidak menerangkan, berapa jumlah mahar yang harus diberikan oleh suami kepada isterinya.

Di sini, ada ruang “legal” yang dibiarkan terbuka oleh teks agama. Adat masuk untuk mengisinya. Jumlah mahar, menurut ketentuan yang kita baca dalam literatur fikih, diserahkan saja pada adat dan kebiasaan sosial yang ada. Oleh karena itu, jumlah mahar berbeda-beda sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang dikenal dalam fikih sebagai “mahr al-mitsl“, yakni mas kawin yang sepadan dengan kedudukan sosial seorang isteri dalam adat dan kebiasaan masyarakat setempat.

Fakta ini dengan baik menunjukkan bahwa kebiasaan sosial bisa menjadi sumber hukum. Teks saja tidak cukup kalau tak dilengkapi dengan konteks sosial.

Kalangan santri yang belajar di pesantren-pesantren NU tentu sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa hukum bisa berubah-ubah karena perubahan konteks. Fatwa beberapa kiai berubah-ubah dari waktu ke waktu karena perubahan konteks sosial. Pada zaman kolonial Belanda dulu, banyak kiai yang berfatwa bahwa memakai celana dan jas hukumnya haram, karena menyerupai adat kebiasaan kaum kolonial yang “kafir”. Setelah zaman merdeka, kiai-kiai mulai berubah pendapat dan bisa menerima “baju kolonial” itu, karena konteksnya sudah berbeda.

Jadi, sekali lagi, apa yang dikatakan oleh aktivis HT itu sama sekali keliru![]

Selasa, 02 September 2008

Malam Pengantin Sang Maulana Jalaluddin Rumi

Ia menyebut hari kematiannya malam pengantin atau Seb-i Arus. Saat itulah, tak ada lagi yang dapat menghalanginya bertemu sang Kekasih. Tidak juga sang badan yang tak berdaya dan telah memenjarakan jiwanya begitu lama. Pada hari Sabtu 17 Desember 1273, Maulana Jalaluddin Rumi pergi untuk selamanya dengan sebuah pesan: jangan ratapi kepergianku. Itulah sebuah reuni dengan sang Pencipta.

Delapan ratus tahun setelah kematian itu, orang tak dapat melepaskan perhatiannya dari sang maulana. Tiap-tiap hari, apalagi 17 Desember ini, orang berduyun-duyun menziarahi makamnya di Konya. Berikut adalah catatan tentang hidup dan karya seorang sufi yang tak pernah lelah mengajak setiap orang untuk menyingkap sebuah dunia kekal: dunia spiritual.

Tiba-tiba, sesosok lelaki dalam usia enam puluhan tahun, jubahnya lusuh dan gelap, bergegas menembus iring-iringan itu. Tubuhnya tipis, tapi gerakannya begitu ligat. Pada November 1244 yang tiris, persis di depan deretan toko penjual manisan, ia menghentikan rombongan para akademisi dari madrasah di pinggir kota lama.

Lebih gila lagi, tanpa salam-tanpa memperkenalkan diri, ia berani merebut kendali keledai dari tangan sang guru–sosok yang tengah duduk anteng di atas hewan itu. Dan ia tidak buang-buang waktu lagi untuk menembakkan pelurunya ke sasarannya: sang guru. ”Siapa hamba Allah yang paling agung, Muhammad Sang Rasul atau Bayazid al-Bistami,” katanya lantang. Berteriak, matanya tajam ke arah sang guru. Di jalanan pasar itu, dalam sepintas orang bisa menangkap wataknya yang kasar.

Sang guru, tak lain dari Jalaludin Rumi, seorang ustad terkenal di Konya saat itu. Sosok yang sangat berwibawa itu hanya menghadapi serangan mendadak tersebut dengan kalem. Ia memilih yang pertama. ”Muhammad adalah yang terbesar dan tak tertandingi, nabi yang paling agung,” tuturnya.

Tapi lelaki itu cepat menukas. ”Jika demikian,” katanya, ”bagaimana mungkin Muhammad pernah berkata, ’Kami tidak mengetahui-Mu, ya Allah, padahal Engkau adalah sosok yang mestinya dikenali’.” Lelaki itu membandingkannya dengan Bayazid al-Bistami, sufi yang memiliki kedekatan istimewa dengan Sang Pencipta, pernah menyebut Subhani–Terpujilah Aku! Alangkah besar kejayaanku.

Menurut riwayat, Rumi jatuh pingsan setelah dialog singkat dengan lelaki tua itu. Lelaki yang kemudian dikenal sebagai Syamsi Tabriz. Sejak kejadian di pasar itu, Rumi dan Syamsi Tabriz menjadi dua yang tidak terpisahkan: mereka bersama menggali kedalaman spiritual, mendaki puncak-puncak pencapaian batin manusia tertinggi.

”Dua samudra bertemu, tentu di bawah kekuasaan Tuhan.” Begitu Syekh Jelalaudin Loras, tokoh tarekat Maulawiyah di Amerika, manggambarkan pertemuan dua tokoh, masing-masing dengan kedalaman batin luar biasa. Yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain. Pendapat Prof Dr Mahmud Erol Kilic, pengajar sufisme di Universitas Marmara, di Istanbul, Turki, tak jauh berbeda. ”Syamsi adalah mentor khusus untuk Rumi seorang, langsung dikirim Tuhan,” katanya kepada Tempo bulan lalu. Di mata Prof Mahmud Erol Kilic, Syamsi Tabriz tak lebih dari seorang ”agen” dengan tugas istimewa.

Di antara para toko yang menjual oleh-oleh di Mevlana Cardessi, Konya, di seberang Kubah Hijau, kompleks makam Muhamad Jalaludin Rumi, sufi itu adalah lukisan seorang lelaki tua, janggut dan rambutnya putih, dengan sikke, topi cokelat-abu-abu yang memang dibikin menyerupai bentuk batu nisan. Agak menunduk, matanya redup, ia duduk bersila, tenggelam di atas sajadah dengan seutas tasbih di tangan.

Di deretan toko yang sama, masih di Mevlana Cardessi, Rumi adalah seorang tua, dengan rambut dan janggut yang putih. Kemungkinan besar masih dalam usia yang sama, tapi telah bangkit dari tafakurnya. Ia tengah berputar, menari, jubahnya yang putih mengembang, membentuk lingkaran kecil. Rumi yang satu ini terbuat dari patung keramik yang dicat putih, memperlihatkan dirinya sebagai seorang darwis, the whirling dervish. Rumi melakukan sama. Kedua tangannya terentang. Tangan kanannya menengadah, menerima yang kudus dari langit; tangan kirinya menelungkup menebar berkah ke muka bumi.

Sekitar tahun 1247, dua-tiga tahun setelah pertemuannya dengan Syams, Jalaludin Rumi telah jatuh cinta, terbakar dalam cintanya kepada Sang Kekasih, Rabb. Dalam sebuah tulisannya, ia sendiri menggambarkan perjalanan spiritualnya yang dramatis: dari ”mentah, masak”, kemudian ”gosong-terbakar” oleh cinta ilahiah. Semenjak pertemuannya yang singkat—disusul perpisahannya—dengan Syamsi Tabriz, Rumi tidak lagi berusaha menutup-nutupi bahwa ia mengalami kejadian-kejadian ekstatis. Ia berubah, dari seorang ustad terhormat yang menguasai yurisprudensi Islam di sebuah madrasah ternama menjadi penyair ”sinting” yang tak lagi melihat perbedaan di antara hal-hal dunia ini.

Seumur-umur Muhamad Jalaludin Rumi berusaha menyidik apa yang tersembunyi di balik semua, mencoba menangkap hakikat segala sesuatu. Dan sekarang Rumi telah sampai di ujung jalan, dan ia menyaksikan semua itu satu. Ia telah mencapai puncak yang tinggi itu: di balik keragaman bentuk yang bertebaran di depan matanya, terdapat prinsip transendental yang mutlak. Dan itulah Kebenaran Tertinggi, the ultimate reality, menurut istilah para ahli metafisika.

Ya, mungkin tak ada lagi yang tahu di mana pertemuan bersejarah Rumi-Syams itu berlangsung. Di bawah matahari musim semi Kota Konya, kepada Tempo, Mehmet, seorang pemuda warga setempat berusia 20-an tahun, mencoba menjelaskan situs istimewa itu. Tentu saja, sebisanya—dari pengetahuan turun-temurun yang diwariskan dari ayah, juga dari kakeknya. Dengan telapak tangannya yang mengembang, ia menunjuk ke arah selatan: ke belakang sebuah pemakaman umum yang sudah ratusan tahun usianya. Mehmet minta maaf, tidak sanggup menjawab pertanyaan lebih jauh.

Tahun lalu, di Balkh, kini di kawasan Mazar-i-Sharif, Afganistan, tempat Rumi dilahirkan dan menjalani masa kecilnya, Tempo mendapati gambaran yang lebih jelas mengenai keluarga Rumi. Di satu pelosok yang terpencil dan cokelat berdebu, berdiri pilar-pilar, potongan-potongan kubah madrasah, yang tak lagi utuh. Konon di tempat itulah Jalaludin Rumi belajar agama pertama kalinya langsung dari tangan ayahandanya sendiri, Bahaudin Walad, seorang ustad yang diberi gelar ”sultan para ulama”.

Delapan ratus tahun silam, tepatnya 30 September 1207, Muhamad Jalaludin Rumi lahir di Balkh, tapi tak banyak yang tersisa dari kehidupan Rumi di sana saat ini. Rumi, sebagaimana diketahui, selalu diklaim oleh tiga negara yang bertetangga di kawasan itu sebagai putra daerahnya—Iran, Afganistan, dan Turki. Afganistan menyebutnya Jalaludin al-Balkhi, Jalaludin Putra Balkh. Tapi sejauh ini mungkin hanya Konya yang menyimpan banyak kenang-kenangan mengenai tokoh yang menggetarkan dunia dengan syair-syair cinta ilahiah melalui karya-karya masterpiece-nya: Matsnawi, Diwan-i Kabir, dan Diwan Syamsi Tabriz, dan beberapa lainnya.

Di pusat Konya, jenazah Rumi disemayamkan, persis di bawah Kubah Hijau atau Yesil Turbe. Tapi inilah Konya, tempat yang telah menyedot begitu banyak turis.

Di mausoleum yang sambung-menyambung dengan museum, tampak makam Maulana Rumi yang megah. Ada 65 jenazah orang terpandang di zamannya yang dikebumikan di tempat itu, termasuk jenazah Bahaudin Walad, ayah Rumi. Tapi makam Maulana Rumi lain sendiri, berselimut kain hijau, dengan sikke dan serban putih di atasnya—titik yang paling terang, dengan penerangan lampu kristal yang tergantung di sekelilingnya. Itulah titik yang paling dikerumuni pengunjung di kompleks itu.

Jauh sebelum mausoleum itu berdiri, pada abad ke-13, di sana terbentang sebuah kebun mawar yang luas. Satu-satunya makam di atasnya waktu itu milik Bahaudin Walad, ayahanda Rumi. Pernah ada tawaran supaya jasad Rumi di kemudian hari dimakamkan di sana, di sisi ayahnya. Tapi Rumi lalu cepat-cepat menolak. ”Apakah masih ada mausoleum yang lebih baik daripada yang beratap langit.” Tapi waktu bergulir, dan akhirnya, pada hari kematiannya 17 Desember 1273, putra Rumi setuju menguburkan jasad sang ayah berdampingan dengan kakeknya di sana. Seorang arsitek Persia kemudian mendirikan empat buah pilar di empat penjuru makamnya.

Kini pengunjung harus melewati sebuah pintu masuk, Gerbang Darwis. Sebuah pengumuman menyuruh pengunjung melepas alas kaki, mengenakan kerudung bagi pengunjung perempaun, dan tidak berisik. Tapi tak ada yang bisa membendung begitu banyak orang yang berbisik. Bisikan-bisikan, ditambah kilatan blitz dari kamera para wisatawan Jepang dan Cina yang bergerak berkelompok, lalu-lalang para pengunjung, dan sekali-sekali terdengar orang membaca al-fatihah bagi si mati–semua yang akhirnya menimbulkan bunyi yang tak seirama dengan suasana ziarah. Agak hiruk-pikuk, meski semua kelihatan megah, tertata baik, dan sangat terawat.

Di halaman dalam mausoleum ada sebuah kolam jernih, dengan air mancur berhias kepala singa tepat di tengah-tengah dan empat sisinya. Semuanya sempurna, seolah-olah tak ada yang suram dan lusuh di kompleks itu—kecuali bunyi ney, seruling bambu muda yang perlahan dan menyayat. Bunyinya mengalir dari pengeras suara kemudian bergabung dengan gemericik air kolam. Ney bukan instrumen tiup biasa, melainkan bagian dari tradisi maulawiyah, tarekat yang sangat banyak berutang pada pikiran Jalaludin Rumi.

Ada komposisi ney sederhana yang tak pernah jelas siapa penulisnya. Basta-i Qadim atau komposisi kuno bercerita tentang cinta, pengalaman mistis menakjubkan, juga seruling yang istimewa. Ney seruling yang musiknya hanya bisa menyanyikan perpisahan, mengutarakan kerinduan untuk kembali ke asal. Kerinduan akan rumah, pulang ke habitat semula ke tepian sungai—suatu metafor Sang Pencipta.

Dengarlah seruling itu,

Bagaimana ia meratapi perpisahannya,

”Aku terkoyak

Ingin berbagi penderitaan ini

Dan siapa pun yang terpisah dari asalnya

Akan merindukan pertemuan itu.” (Nyanyian Seruling – Matsnawi)

Rumi mengambil contoh seruling ney untuk melukiskan kondisi dan perjalanan mistis para sufi. Yaitu, mereka yang mengharapkan pertemuannya dengan Sang Kekasih.

-------------------------------------------
Keterasingan, penderitaan, dan keterperpisahan adalah tema sentral dalam pemikiran-pemikiran dan hidup Rumi. Mohamad Iqbal, pemikir Islam Pakistan, mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat. ”Ada kepedihan yang tak asing bagi kita,” komentarnya tentang Rumi.

Hidup adalah penderitaan, tapi semua itu tentu tidak berangkat dari penderitaan, melainkan dari persatuan: seperti bersatunya bambu muda dengan habitatnya sebelum menjadi seruling ney. Pada diri manusia, persatuan dengan Yang Absolut merupakan awal dari semua. Dan penderitaan, keterpisahan merupakan keadaan yang harus dilalui sebelum akhirnya bersatu kembali dengan Sang Pencipta. Rumi membandingkan penderitaan dan kepedihan dengan seorang tamu yang mengetuk pintu. ”Kepedihan ini membimbing kita,” katanya.

Ia berbagi dengan pembacanya betapa ia ”terluka, terluka karena perpisahan itu.” Dan ratapan seruling ney, kita tahu, merupakan sesuatu yang nostalgis.

Cinta Tuhan yang mendorong semua ini bergerak dengan tujuan seperti itu. Sebagaimana juga beredarnya atom pada orbitnya mengelilingi nukleus, juga bergeraknya planet-planet mengelilingi matahari pada garis orbitnya. ”Tapi pantulan cinta Tuhan yang paling penuh berada di dalam diri manusia yang memiliki cinta ’imitasi’ dan suatu saat bisa menjadi ’cinta sejati’,” kata William Chittick, pakar sufisme Rumi yang paling mencorong–setelah Sayyed Hussein Nasr—saat ini (lihat Mereka Salah Paham).

Dalam segenap pikirannya, Rumi terus mencari sesuatu di balik penampakannya. Begitu juga pandangannya tentang agama-agama itu. Jalaludin Rumi melukiskan dirinya sebutir debu di alas kaki Rasulullah Muhammad. Ia juga menyebut dirinya tak pernah meninggalkan garis syariah Islam. Tapi ia tak beringsut dari pendekatannya membedakan ”kulit” dengan ”isi.” Termasuk dalam memandang agama-agama di dunia ini. Di antara agama yang berbeda di muka bumi, ia melihat suatu kesatuan transendental. Dan keberagaman yang tampak itu tak lain dari bentuk luar dan bukan isi agama-agama itu. Dari pandangan ini Rumi mengembangkan toleransi yang begitu besar terhadap agama di luar Islam.

---------------------------------------------

Dengan pemikiran seperti itu, Rumi memang bisa meraih siapa saja tanpa peduli asal-muasalnya. Ia menjangkau pemusik (musik mendapat tempat khusus dalam pikiran Rumi dan tarekat maulawiyah), pencinta, dan akademisi—bahkan tanpa harus meninggalkan syariah, ia menjangkau orang-orang dengan agama yang berbeda. ”Dan ia mengatakannya dengan kelembutan di Anatolia pada abad ke-13, ketika Perang Salib masih berkecamuk,” kata Coleman Barks, penyair yang paling banyak memperkenalkan karya Rumi kepada khalayak Barat melalui penerjemahan puisi-puisinya.

Di Indonesia sendiri, karya Rumi sudah mulai dikenal pada abad ke-16. Dr Abdul Hadi W.M., penyair juga dosen tasawuf di Universitas Paramadina, menilai bahwa pemikiran Rumi banyak dicerap Sunan Bonang, sosok yang menggunakan seni sebagai media transendensi. Abdul Hadi juga mencatat: ”Rumi bisa menaklukkan bangsa Mongol melalui tasawuf. Dan kekalahan dalam Perang Salib dan melawan invasi Mongol ini bisa dibalas lewat tasawuf.”

Pada abad ke-16 muncul Suluk Syamsi Tabriz, yang bercerita tentang pengembaraan Syamsi di masa penaklukan oleh tentara Mongol. Dalam suasana politik yang kacau-balau ini, Syamsi dikisahkan berjalan jauh sampai ke Yerusalem. Bahkan dalam buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen menyebut keberadaan tokoh satu ini dalam suasana sangat lokal. Syamsi atau Samsu disebut sebagai putra Seh Jumadil Kubra. Ia menikahi seorang putri Campa dan memperoleh dua anak, salah satunya adalah Sunan Ampel. Wallahu’alam.

Rumi memang mempunyai jangkauan yang melampaui ruang dan waktu. Delapan ratus tahun setelah kematiannya, orang tak dapat melepaskan perhatiannya dari sang maulana.

Tiap-tiap hari, orang berduyun-duyun menziarahi makamnya di Konya. Dan khususnya tanggal 17 Desember ini, orang merayakan seb-i arus atau syabi arus–perkawinan spiritual, pertemuan kembali dengan Yang Absolut. Dan kita mendengar ia kembali menyeru setiap orang untuk menyingkap sebuah dunia kekal: dunia spiritual, dunia cinta ilahiah.

sunset

sunset
waktu selalu mengejar