Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Rabu, 16 Desember 2009

NU Harus Dipimpin Anak Muda

oleh : Saidiman

ULIL Abshar Abdala tentu bukan nama baru dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia yang penuh kontroversi. Karena itu menantu KH A Mustofa Bisri yang pernah difatwa mati oleh umat Islam lain ini bukanlah tanda seru. Namun namanya mencuat dan menjadi tanda tanya besar lagi ketika ia mencalonkan diri sebagai sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU).

Ada agenda besar apa yang hendak ia lakukan? Ia ingin mengobrak-abrik lembaga sakral ini atau justru membangun dengan sepenuh hati? Berikut perbincangan dengan Koordinator Jaringan Islam Liberal yang juga Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Jakarta) itu, belum lama ini.

Banyak yang bilang Anda mencari sensasi saat mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PB NU. Apa komentar Anda?
Terus terang beberapa saat lalu setelah empat tahun belajar di Amerika, saya tidak punya keinginan menjadi pimpinan NU. Jujur saja setelah mendengar kabar Yuddy Chrisnandi yang masih muda juga berjuang menjadi Ketua Umum Partai Golkar, saya terinspirasi mencoba hal sama di NU. Meskipun demikian, di NU sudah ada teladan yang bisa dicontoh. Dulu Gus Dur pada saat menjadi Ketua Umum PB NU berusia 44 tahun dan KH Wahid Hasyim juga masih sangat muda.
Sejak kecil saya juga hidup, tumbuh, dan berkiprah di lingkungan NU sehingga saya merasa tidak salah jika mencalonkan diri menjadi pimpinan NU.
Yang jelas setelah bertemu dan berem­buk dengan teman-teman muda, memang ada kerinduan sebagian besar dari mereka untuk kembali kepada era Gus Dur. Era Gus Dur ini ditandai oleh kepemimpinan ide. Tentu saja Gus Dur tidak bekerja dan berpikir sendiri. Ia didukung oleh para pinisepuh.
Pada waktu NU dipimpin oleh Gus Dur, ia memang menjadi organisasi massa (ormas) yang semula dianggap se­bagai kaum sarungan yang tertinggal di pe­desaan menjadi ormas yang memiliki power di pentas nasional. Nah harga diri se­macam itu sekarang ini dirasakan hi­lang karena NU terlalu terlibat dalam di­namika politik.
Tentu saja saya tidak antipartai atau po­litik kepartaian. Boleh saja NU terjun da­lam dunia politik. Akan tetapi harus ada keseimbangan dengan wataknya yang sebagai ormas yang mengurus umat, yakni mengurus pendidikan dan ke­maslahatan umat.
Keinginan saya menjadi Ketua Umum PB NU juga didorong oleh hasrat saya mengkritik teman-teman yang telah mencitrakan lembaga ini sebagai ormas pedesaan. Ini cara memandang NU yang keliru atau tidak sepenuhnya benar. Anak-anak keluarga NU yang menempuh pendidikan di kota atau keluarga NU yang urbanisasi makin banyak. Sayang, mereka ini tidak pernah diperhitungkan. Karena itu ketika mendesain program-program apa pun yang disasar adalah warga NU yang berada di pedesaan. Warga-warga NU yang berada di perkotaan tidak pernah disapa. Akhirnya, me­reka diambil alih, direkrut, atau ”dibajak” oleh kelompok lain. Ini yang sekarang menjadi keluhan. Prinsipnya saya dan kawan-kawan muda rindu NU kembali menjadi civil society organization. Karena itu, NU harus menjadi ormas mo­derat yang membawa pemikiran segar.
Mengapa harus kembali ke era Gus Dur? Saya sendiri mendefinisikan diri sebagai orang yang lahir karena Gus Dur. Waktu NU kembali ke kittah pada 1984, saya adalah santri di Kajen yang mengikuti peristiwa itu dengan penuh perhatian. Komentar-komentar, ucapan-ucapan, dan apa pun tindakan Gus Dur saya perhatikan. Karena itu figur Gus Dur benar-benar membentuk segala tindak-tanduk saya.
Apa reaksi awal kalangan NU saat Anda mencalonkan diri?
Ada yang menyambut positif. Saya memang belum terjun di kalangan bawah tapi saya telah keliling sowan ke kiai-kiai. Selama dua bulan saya menjumpai tokoh-tokoh dan PB NU di Jawa dan luar Jawa. Saya akan silaturahim, kula nuwun kepada mereka. Saya kira saya tidak perlu mengotot menerangkan keinginan-keinginan saya. Yang penting silaturahim dulu. Nanti pada saatnya saya baru mengutarakan gagasan-gagasan atau apa yang saya pikirkan mengenai NU.
Ada juga yang keras sekali merespons tindakan saya. Namun jumlahnya sangat sedikit. Saya kaget. Saya membayangkan yang mengkritik gagasan saya akan banyak. Selama ini kan saya dianggap sebagai momok bagi pemikiran-pemikiran Islam konvensional.
Apakah keliberalisan Anda tidak menjadi persoalan?
Sudah pasti hal itu menjadi persoalan. Akan tetapi ini akan mudah dijelaskan. Selama ini pemikiran-pemikiran Islam liberal saya telah disalahpahami. Jika dicermati, seluruh pemikiran saya se­sungguhnya merupakan kritik saya terha­dap Islam radikal. Tradisi pemikiran dan tindakan mereka jauh dari segala hal yang saya kenal di NU. Perdebatan pun terjadi. Mereka memelintir ayat-ayat Allah untuk memberhalakan keradikalan dan meng­anggap salah segala yang saya pikirkan. Parahnya setelah itu mereka memprovo­kasi dan melaporkan saya kepada para kiai mana pun betapa saya telah menyimpang dari Islam dan NU. Situasi ini menajam karena saya dan anak-anak muda lain yang liberal kurang sowan dan menjelas­kan persoalan-persoalan itu kepada para kiai.
Saya yakin persoalan ini bisa terselesaikan karena saya memang sama sekali tidak mengkritik doktrin aswaja, tradisi atau ritual NU. Kritik saya, sekali lagi, tertuju pada kelompok-kelompok yang memperjuangan negara Islam atau syariat Islam di Indonesia. NU, kita tahu, secara organisatoris, tidak pernah mendukung pemberlakuan syariat Islam yang formalistik. Semangat saya dan NU sama. Pemikiran saya selama ini justru menerjemahkan semangat NU kembali ke kittah. Indonesia, kata para sesepuh NU, bukanlah negara yang harus dipertentangkan dengan Islam. Pancasila, ungkap Gus Dur, tidak harus dipersaing­kan dengan Islam. Islam dan Pancasila itu komplementer. Pemikiran-pemikiran para pinisepuh NU semacam itu sangat men­darah daging dalam diri saya. Jadi, saat saya mengkritik ide-ide pendirian ne­gara Islam, sesungguhnya merupakan ke­lanjutan dari pemikiran-pemikiran NU.
Karena itu tidak ada alasan para kiai mengkritik keliberalisan pemikiran-pemikiran saya. Kemarahan kiai terjadi karena mereka mendapatkan informasi sepihak mengenai diri saya. Saya difitnah menghalalkan minum, percaya pada Syeh Siti Jenar, dan menganjurkan tidak memberikan salam kepada umat Islam. Wah, fokus perhatian saya tidak ke hal-hal semacam itu.
Apakah tradisi NU yang meletakkan kiai sepuh sebagai segala-galanya juga tak menghambat keinginan Anda? Ba­gai­mana jika Anda tidak direstui para kiai?
Tentu saja restu kiai masih sangat perlu. Dulu Gus Dur selain memiliki ke­kuatan ide, di belakang dia ada kiai-kiai besar yang mendukung. Antara lain ada Kiai Ali Maksum dan Kiai Ahmad Syamsul Arifin. Inilah dua naga dalam NU yang mendukung mereka.
Kini memang tidak ada kiai yang memiliki reputasi semacam itu. Sekarang harus diakui ada kemerosotan kualitas kiai karena selain mereka banyak yang terjun ke politik, kualitas pendidikan di pesantren juga merosot. Waktu pendidikan di pesantren makin pendek. Tidak ada yang sampai setingkat perguruan tinggi. Generasi Kiai Ali Maksum atau Kiai Bisri Mustofa, misalnya, adalah sosok yang mondok hingga level strata tiga (S3). Sekarang segalanya sangat pragmatis.
Bukan berarti saat saya sowan ke para kiai, lantas kami tidak memiliki pandang­an yang berbeda. Akan tetapi dengan memberikan penjelasan yang detail mengenai gagasan-gagasan saya, mereka tidak akan mempermasalahkan pen­calon­an diri saya sebagai Ketua PB NU.
Bagaimana Anda ”mengatasi” atau ”berhadapan” dengan calon lain?
Saya merasa akan bisa berkompetisi dengan mereka. Saya merasa bisa fas­tabiqul khairat dengan mereka. Masing-masing punya keunggulan dan kelemah­an. Saya akan bertarung all out. An­dalannya: saya ingin meremajakan NU dari mulai PB NU. Realitasnya yang bekerja itu anak muda, tetapi mereka tidak dianggap. Kaderisasi di NU nol. Ka­de­risasinya murni alamiah. Ini harus di­ubah. Ini berbeda dari Partai Keadilan Se­jahtera (PKS) yang kaderisasinya sistematik menggunakan cara-cara metode yang canggih dan modern. Modernisasi organisasi di NU, dengan demikian tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hanya dengan begitu NU bisa ber-fastabiqul khairat dengan ormas-ormas yang lain. Dan yang bisa merasakan sense of crisis semacam ini anak-anak muda. Bukan berarti orang tua tidak diperlukan. Akan tetapi anak-anak mudalah yang bisa bergerak me­ngatasi persoalan ini.
Gus Mus tertawa saat saya bertanya mengenai pencalonan Anda. Apa makna tawa mertua Anda ini?
Ya…memang mustahil…saya menjadi Ketua Umum PB NU karena selama ini saya lebih banyak di luar negeri. Selain itu saya tidak punya modal, tak punya duit banyak. Saya juga tidak punya jaringan sebagai mana teman-teman yang kini duduk di PB NU. Semua orang akan skeptis pada saya sebagaimana Susilo Bambang Yudhoyono dulu dianggap tak mungkin mengalahkan Megawati.
Apa komentar Gus Mus pada pen­calonan Anda?
Beliau senang. Gus Mus mengatakan, ”Memang yang harus memimpin NU anak-anak muda.” Mungkin saja yang dianggap anak muda itu bukan anak muda seperti saya. Mungkin ada anak muda lain yang lebih ideal. Hanya sejauh ini tidak ada anak muda yang berani maju. Jika ada anak muda yang maju, saya tak perlu maju.
Mengapa tak ada?
Memang berat menjadi Ketua Umum PB NU. Jalan untuk menjadi pemimpin NU itu memang panjang. Itu sama dengan Anda ingin menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Anda harus punya modal dan jaringan besar dan anak-anak muda tak punya keduanya. Jadi pencalonan saya ini memang gelap dari segi apa pun. Ini seperti sebuah mimpi. Saya sangat sadar saya tengah bermimpi. Saya seperti menabrak tembok tebal. Jadi memang susah menjadi Ketua PB NU. Saya ingin mencoba sampai sejauh mana saya bisa menembus tembok. Jika Gus Dur bisa memimpin NU pada usia 44 tahun, mengapa anak muda NU sekarang tak bisa?
Tentu Gus Dur tidak bisa dibanding­kan dengan siapa pun. Namun bukankah segala sesuatu akan menjadi kenyataan yang jika dicoba.
Ada variabel lain yang membuat Anda yakin mencalonkan diri?
Kepemimpinan yang sekarang ini tidak memuaskan karena telah membawa NU ke ceruk politik terlalu jauh. Ke­tidakpuasan ini bisa menjadi jalan masuk saya untuk mengubah pola kepemim­pinan di NU. Suasana reformasi juga mem­bawa tren peremajaan yang luma­yan bergelora.
Ini membuat anak muda punya kesempatan memimpin. Yang jelas saya punya modal pendidikan (Is­lam, Barat, dan Timur) yang akan berguna untuk membawa NU menghadapi tantangan ke depan yang beranjak berperan di ranah global. Ini modal yang tak dimiliki kandidat lain. Ini modal yang harus dikapi­talisasi. (35)

Profil:

Ulil Abshar Abdala: Pati, 11 Januari 1967.

Pendidikan: Pondok Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen (Pati), Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang (Rembang), Sarjana Fakultas Syari’ah Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab (Jakarta, 1993), Master Perbandingan Agama (Boston, 2007), Kandidat Doktor Near Eastern Languages and Civilations Harvard University (AS).

Pekerjaan: Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Jakarta), Direktur Program Indonesian Conference of Religion and Peace, dan Koordinator Jaringan Islam Liberal, serta Direktur Freedom Institute (Jakarta). (35)

(Triyanto Triwikromo/)

Jumat, 31 Juli 2009

KORELASI ANTARA MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA PELAJARAN AKIDAH AKHLAK SISWA KELAS VIII MTs. NURUL ISLAM DESA SLATRI KEC. LARANGAN KAB.

KORELASI ANTARA MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA PELAJARAN AKIDAH AKHLAK SISWA KELAS VIII MTs. NURUL ISLAM DESA SLATRI KEC. LARANGAN KAB. BREBES


A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran seorang siswa akan berhasil sangat ditentukan oleh belajar. Dan dalam belajarpun motivasi yang kuat sangat diperlukan. Jika tidak ada motivasi untuk belajar maka akan sulit untuk mencapai prestasi yang baik. “ motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga makin besar motivasinya makin besar kesuksesan belajarnya”. (Abu Ahmadi, 2004:3)
Motivasi belajar yang ada pada siswa merupakan bakal yang sangat pokok untuk keberhasilan belajar. Sebab belajar yang didasarei oleh keinginan atau dorongan untuk belajar itu akan membangkitkan gairah dan semangat dalam belajar. Kehadiran motivasi belajar ini akan memberikan andil yang cukup penting dan senantiasa memberikan landasan dan kemudahan dalam upaya mencapaiutujuan belajar secara optimal. Pencapaian tujuan belajar ini dapat dilihat dari pemahaman siswa akan materi bahan ajar yang disampaikan. Pemahaman akan bahan ajar dpat disimpulkan dari hasil-hasil kuis, proses belajar mengajar sehari – hari dan tes semester. Terutama hasil dari tes semester inilah yang digunakan sebagai ukuran yang terkuat atas prestasi siswa terhadap bahan ajar.
Motivasi belajar dikatakan memberikan andil yang cukup penting itu, dapat dipandang sebagai cara-cara berfungsinya pikiran siswa dalam hubungan dengan pemahaman bahan ajar, sehingga penguasaan terhadap bahan yang disajikan lebih mudah dan efektif. Dengan demikian proses belajar mengajar itu akan berhasil baik, kalau didukung oleh faktor motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa.
Sebaliknya, tanpa adanya faktor motivasi belajar dalam diri siswa akan memperlambat proses belajar bahkan dapat pula menembah kesulitan belajar. Sebab lemahnya motivasi belajar bisa berakibat tidak bergairah dan kurang minat siswa dalam belajar, karena itu dalam otak pelajar pun tidak pernah terjadi proses berpikir sehingga timbul kesulitan belajar.
Di era sekarang, dimana batas minimal nilai Ujian Akhir Nasional meningkat tiap tahunnya, yang secara otomatis akan memberikan beban yang lebih berat kepada para siswa dan para pengajar. Terutama para siswa dituntut untuk lebih bisa menguasai dan memahami semua bahan ajar yang disampaikan, yang dalam jangka pendek diharapkan bisa memenuhi target batas minimal nilai Ujian Akhir Nasional. Dan tujuan-tujuan ini tidak akan tercapai jika di dalam diri siswa tidak ada minat belajar yang besar.
Minat atau motivasi ini tidak semata-mata tumbuh dalam diri siswa secara alami, tetapi juga dapat didorong oleh faktor – faktor dari pribadi siswa tersebut. Faktor – faktor dari luar ini bisa bisa berupa; dorongan orang tua, guru dan lingkungan. Dikarenakan dalam belajar, siswa lebih banyak berinteraksi dengan guru, maka peranan guru untuk menumbuhkan motivasi dan meningkatkan prestasi siswa sangat diperlukan.
Upaya guru dalam meningkatkan motivasi belajar dan prestasi siswa, adalah dngan cara guru dapat mengarahkan orientasi berpikir siswa kepada hal – hal yang rasional dan obyektif, menyusun teknik, metode, dan kurikulum yang bervariatifdan menarik bagi siswa. Penerapan teknik dan metode yang bervariatif ini dapat dilakukan melalui pengaitan materi – materi pelajaran dengan kehidupan sehari – hari siswa. Sehingga siswa akan tertarik dan tidak bosan dalam mengikuti proses belajar mengajar di kelas.
Meskipun telah banyak dilakukan penelitian – penelitian tentang motivasi, tetapi seperti yang disebutkan oleh Carole Ames dan Jennifer Archer (1988:1) bahwa, “Penelitian tentang motivasi lebih di fokuskan pada mengidentifikasi perbedaan jenis – jenis tujuan atau orientasi siswa, proses – proses motivasi yang berhubungan dengan perbedaan – perbedaan tujuan ini dan kondisi yang vmempengaruhinya”. Sedangkan, sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang pengaruh motivasi terhadap prestasi belajar siswa pada pelajaran Akidah Akhlak, belum pernah dilakukan. Pemilihan Akidah Akhlak sebagai fokus penelitian dikarenakan akidah akhlak adalah salah satu pelajaran wajib di sekolah – sekolah di bawah naungan departemen agama, terutama sekolah yang berbasis islam.
Dari uraian diatas maka ditemukan indikasi akan adanya hubungan antara motivasi belajar siswa dengan prestasi siswa terhadap bahan ajar dalam hal ini mata pelajaran Akidah Akhlak. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian yaqng berjudul “Korelasi Antara Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Akidah Akhlak Siswa Kelas IX di MTs Nurul Islam Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes”. Dengan harapan akan memberikan pembaca, terutama para pengajar, dorongan untuk lebih memotivasi dan menumbuhkan motivasi dalam diri siswa, untuk lebih aktif dan kreatif dalam menanggapi pelajaran dan dapat meningkatkan minat dan prestasi, khususnya pada mata pelajaran Akidah Akhlak.

B. Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Identifikasi Masalah
a. Wilayah penelitian dalam skripsi ini adalah Psikologi pendidikan
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan empirik atau studi lapangan dengan lokasi penelitian MTs Nurul Islam Slatri Larangan Brebes.
c. Jenis Masalah
Jenis masalah dalam penelitian ini adalah korelasi sejajar, yaitu penulis berusaha untuk mencari korelasi antara dua fenomena dengan menyajikan data – data yang valid untuk menunjukan ada tidaknya hubungan antara motivasi belajar siswa pada mata pelajaran Akidah Akhlak dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran yang sama.
2. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permasalahan dan memudahkan penulis dalam melakukan penelitian maka penulis akan membatasi obyek penlitian pada siswa – siswa kelas 2 saja, hal ini dikarenakan menurut pandangan penulis, siswa – siswa kelas 2 telah cukup memiliki pengetahuan tentang pelajaran Akidah Akhlak. Disamping pemilihan terhadap obyek penelitian, yang tidak kalah penting ada lah materi penelitian, karena di dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui tentang motivasi, maka yang dimaksud dalam motivasi di dalam penelitian ini adalah motivasi dalam mempalajari pelajaran Akidah Akhlak.
Untuk menghindari adanya kesalahpahamandalam pembahasan ini, maka penulis kemukakan batasan – batasan istilah sebagai berikut :
a. Korelasi : hubungan timbal balik atau sebab akibat (KBBI 2007:595)
b. Motivasi : suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan / tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan / keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan. (Arianto Sam 2008:1)
c. Belajar: berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. (KBBI 2007:15)
d. Prestasi Belajar: penguasaan pengetahuan atau ketramnpilan yang dihubungkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan dan sebagainya). (Depdikbud:895)
Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk menggambarkan hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Akidah Akhlak. Besar – kecilnya hubungan ini ditunjukan dengan angka – angka yang diperoleh melalui perhitungan dengan rumus korelasi produk momen.
3. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana motivasi belajar terhadap pelajaran Akidah Akhlak pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
b. Bagaimana Prestasi pelajaran Akidah Akhlak pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
c. Bagaimana hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi pelajaran Akidah Akhlak pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis mengadakan penelitian mengenai korelasi antara motivasi belajar dengan prestasi pelajaran Akidah Akhlak Pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes adalah :
1. Untuk mengetahui seberapa besar minat atau motivasi siswa dalam belajar pelajaran Akidah Akhlak pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
2. Untuk mengetahui prestasi belajar mata pelajaran Akidah Akhlak Pada siswa kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes
3. Untuk Mengetahui ada tidaknya hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar mata pelajaran Akidah Akhlak Pada siswa Kelas 2 MTs Nurul Islam Desa Slatri Kec. Larangan Kab. Brebes.



D. Kerangka Pemikiran
Seorang siswa itu akan berhasil dalam belajar kalau pada dirinya ada keinginan untuk belajar. Ini adalah prinsip dan hukum pertama dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran. Keingianan atau dorongan belajar inilah yang disebut dengan motivasi. (Sardiman, 1994 : 39)
“Motivasi bisa tumbuh dari siswa itu sendiri (motivasi intrinsik) ataupun dari luar seperti, guru, orang tua, lingkungan. Pada umumnya motivasi intrinsik lebih kuat atau lebih baik daripada motivasi ekstrinsik”. (Purwanto, 2004 : 820) Karena itulah motivasi yang tumbuh dalam diri siswa akan sangat mempengaruhi tingkat penguasaan materi dan presatasi siswa terhadap bahan ajar, dalam hal ini pelajaran Akidah Akhlak.
Menurut Arianto Sam (2008:3) dilihat dari sumber – sumbernya, motivasi belajar siswa dapat di bagi menjadi : 1). Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang bersumber pada faktor – faktor dari dalam, tersirat baik dari dalam tugas itu sendiri maupun pada diri siswa yang didorong oleh keinginan untuk mengetahui tanpa ada paksaan atau dorongan dari orang lain, misalnya keinginan untuk mendapat ketrampilan tertentu, memperoleh informasi dan pemahaman, mengembangkan sikap untuk berhasil, menikmati kehidupan, secara sadar memberikan sumbangan kepada kelompok, dan sebagainya.
2) Motivasi Ekstrinsik, yaitu motivasi yang bersumber akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain, sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar. Pelajar dimotivasi dengan angka, ijazah, tingkatan, hadiah, medali, pertentangan, persaingan.
Pentingnya peranan motivasi dan proses pembelajaran perlu dipahami oeh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor dari dalam maupun dari luar siswa untuk mencapai tujuan tertentu gna memenuhi atau memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pendidikan, maka kebutuhan tersebut berhubungan dengan prestasi belajar siswa.
Peranan motivasi dalam proses pembelajaran, motivasi belajar siswa dapat dianalogikan sebagai bahan bakar untuk menggerakan mesin, motivasi belajar yang memadai akan mendorong siswa berperilaku aktifuntuk berprestasi dalam kelas, tetapi motivasi yang terlalu kuat justru dapat berpengaruh negatif terhadap keefektifan uasaha belajar siswa.
Untuk lebih jelasnya, fungsi motivasi alam pembelajaran dapat dikategorikan sebagai berikut :a) Mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan, tanpa motivasi tidak akan timbul suatu perbuatan, misalnya, belajar. b) Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. c) Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya menggerakkan tingkah laku seseorang. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.
Motivasi belajar sangat berpengaruh pada prestasi siswa, hal ini dapat disimpulkan karena siswa yang memiliki motivasi dalam belajar suatu pelajaran, contohnya Akidah Akhlak, akan memperoleh prestasi yang tinggi dan juga dapat memperbaiki sikapterhadap tugas mata pelajaran yang bersangkutan. Dengan kata lain motivasi dapat membangkitkan rasa puas dan menaikan prestasi sehingga prestasinya melebihi siswa yang kurang memiliki motivasi dalam belajar.
Menurut Jeremy Harmer, motivasi bisa saja terkikis dan membutuhkan syarat – syarat tertentu sebelum motivasi tersebut bisa menjadi efekitif. Syarat – syarat ini berupa:
a) Sikap mengajar yang sesuai dan baiknya hubungan antara guru dan siswa. b) Suasana kelas yang mendukung dan menyenangkan. c) Kelopmpok belajar yang kohesif, yangf ditandai dengan norma – norma kelompok yang sesuai. Bahkan menurut Dornyei, “Keahlian pengajar dalam memotivasi pelajar adalah penyebab utama dalam kegiatan pengajaran yang efektif”. Dengan katra lain, keahlian guru dalam memotivasi siswa adalah lebih penting daripada perlengkapan proses pembelajara yang dimiliki oleh guru, seperti, Metode pengajaran, media pengajaran, bahkan kurikulum.
Prestasi belajar adalah hasil final dari aktifitas belajar mengajaryang kemudian diukur dengan norma tertentu sebagai standar untuk melihat sejauh mana penguasaan atau pemahaman siswa akan bahan ajar.
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu motivasi belajar pada mata pelajaran Akidah Akhlak, sebagai variabel independen (bebas), dan prestasi siswa pada mata pelajaran yang sama, sebagai variabel dependen (variabel terikat).
Variabel bebas adalah masalah yang menjadi fokus penelitian yang keberadaannya secara bebas dan kualitas serta ferkuensinya tidak tergantung pada variabel yang lain. Sedangkan variabel terikat kualitas dasn frekuensinya banyak dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam kasus penelitian ini, bahw motivasi belajar pada pelajaran Akidah Akhlak akan mempengaruhi peningkatan prestasi siswa pada mata pelajaran yang sama. Berdasarkan atas dua variabel ini, maka dapat dirumuskan dalam bentuk prosisi, artinya apabila motivasi belajar siswa pada pelajaran Akidah Akhlak adalah X, maka prestasi siswa pada pelajaran Akidah Akhlak dapat dirumuskan sebagai Y. Dengan menggunakan prosisi ini akan lebih mudah untuk menentukan perhitungan dan analia penelitian.
Kerangka pemikiran dapat diterangkan dalam skema:

E. Langkah – langkah Penelitian
1. Sumber Data
a. Data Teoritik
Data teoritik merupakan data yang diperoleh dari sejumlah buku bacaan yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang diteliti
b. Data Empirik
Data yang diambil dari lokasi penelitian unsur – unsur personil sekolah, yaitu Kepala Madrasah, Guru, Tata Usaha dan Siswa.


2. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi penelitian ini adalah siswa – siswi kelas 2 MTs Nurul Islam Slatri yang seluruhnya berjumlah 107 siswa. Terdiri dari 35 Siswa kelas 8 A dan 35 siswa kelas 8 B dan 37 siswa kelas 8 C.
b. Sampel
untuk mengurangi nilai kesalahan dalam pengambilan sample (sample error) maka penulis mengambil sampel sebanyak 50% dari jumlah populasi yang ada, yaitu 53 siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Gary Klass yang menyebutkan bahwa semakin tinggi atau banyak sample yang diambil maka semakin kecil pula kemungkinan kesalahan dalam pengambilan sample (sample error).
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a. Metode Angket
Yaitu penulis melakukan komunikasi secara tidak langsung, berupa pertanyaan – pertanyaan tertulis kepada responden, teknik ini diharapkan memperolehdata untuk bahan analisis dalam menjawab perumusan permasalahan yang telah ditentukan.
b. Metode Dokumentasi
Yaitu pengambilan data tertulis baik catatan, data statistik dan grafik yang berkaitan dengan obyek penelitian, dalam hal ini nilai raport siswa kelas 2 pada mata pelajaran Akidah Akhlak.
c. Study Kepustakaan
Metode ini sering digunakan penulis untuk memperoleh data yang sifatnya teoritis dari buku, majalah, surat kabar, kamus dan media tulis lainnya.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, penulis melakukan analisis data. Metode analisa yang digunakan penulis adalah dengan analisa statistikyang merupakan cara untuk memperoleh data dxan kesimpulan yang teliti dan mengambil kesimpulan dengan berbagai rumus kesimpilan yang ada.
Untuk menganalisa data ini ada beberapa tahap penganalisaan, yaitu dalam analisa awal ini penulis mengelompokkan data – data berupa jawaban angket yang ada ke dalam tabel distribusi.
Sebagaimana bentuk pertanyaan yang penulis tuangkan dalam daftar angket jawaban terdisri atas empat alternatif, yaitu a, b, c dan d :
1. untuk jawaban a, dengan jawaban ya atau selalu
2. untuk jawaban b, dengan jawaban sering
3. untuk jawaban c, dengan jawaban kadang – kadang
4. untuk jawaban d, dengan jawaban tidak pernah
Dikarenakan sifat jawaban di atas masih berupa data kualitatif, maka data – data yang bersifat kualitatif tadi harus diubah menjadi data yang bersifat kuantitatif atau data yang berbentuk angka. Dalam menganalisis data yang berasal dari angket bergradasi atau bertingkat 1 sampai dengan 4 memiliki makna setiap alternatif sebagai berikut :
1. selalu / sangat setuju, dan lain – lain menunjukan gradasi paling tinggi diberi nilai 4
2. banyak, sering, setuju dan lain – lain menunjukan peringkat yang lebih rendah dibanding kata “sangat”, oleh karena itu diberi nilai 3
3. sedikit, jarang, kadang – kadang, dan lain – lain, karena di bawah kata setuju dan sebagainya, maka diberi nilai 2
4. sangat sedikit atau sangat jarang, yang berada di gradasi paling bawah diberi nilai 1. (Suharsimi Arikunto : 215)
Dengan berpedoman pada ketentuan di atas, maka untuk jawaban ya / selalu, sering, kadang – kadang dan tidaki pernah diberi nilai angka 4, 3, 2 dan 1, jadi untuk alternatif jawaban :
a. disertakan dengan angka 4
b. disertakan dengan angka 3
c. disertakan dengan angka 2; dan
d. disertakan dengan angka 1
Untuk memperoleh jawaban dari penelitian maka penulis kemukakan analisis data sekaligus untuk mencapai tujuanpenelitian yang diinginkan. Analisa yang dimaksud adalah suatu bentuk analisa dengan memasukan nilai hasil kerja koefisien antara variabel Motivasi belajar pelajaran Akidah Akhlak (X) dengan Prestasi siswa pad pelajaran yang sama (Y) ke dalam rumus korelasi product moment untuk mendapat nilai koefisien korelasi (r) dengan tujuan pembuktian dalam penelitian untuk mendapatkan kesimpulan.
Adapun rumus yang penulis pergunakan adalah rumus korelasi product moment, yaitu,:

Keterangan : = koefisien korelasi antara variabel x dan y
N = jumlah obyek
x = nilai dari motivasi belajar siswa
y = nilai prestasi siswa berupa nilai raport
= jumlah produk x dan y
Apabila nilai “r” terdapat diantara +1 dan -1, maka nilai “r” yang diperoleh dari hasil perhitungan, dikonsultasikan pada tabel nilai “r” sebagai berikut :

Nilai r Interpretasi
0 Tidak ada hubungan
0, 01 – 0, 20 Hubungan sangat rendah
0, 21 – 0, 40 Hubungan rendah
0, 41 – 0, 60 Hubungan agak rendah
0, 61 – 0, 80 Hubungan cukup
0, 81 – 0, 99 Hubungan tinggi
1 Hubungan sangat tinggi

Kamis, 28 Mei 2009

Kesetaraan Gender: Sebagai (Salah Satu) Akses Menuju Kemajuan Bangsa

Oleh: Muhammad Arifudin Aziz

Dalam era sekarang ini, dimana setiap individu memiliki kesmpatan yang sama dalam mengakses informasi dan berekspresi dan juga mengungkapkan pandangan-pandangan mereka dalam bidang pendidikan, seni dan kebudayaan, social, politik, ekonomi hingga agama. Karena itulah seharusnya wanita sekarang memperoleh perhatian dan kepercayaan yang lebih dari para elit negarawan baik eksekutif, legislative maupun yudikatif. Sehingga mereka dapat lebih bebas dalam berekspresi dan berkarya, tidak seperti yang baru-baru ini terjadi pada Dirut pertamina yang baru, yang pada awal kepemimpinannya harus mendapatkan cercaan dan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dari para anggota legislatif menyangkut tentang perihal kemampuan dirinya dalam memimpin dan mengelola BUMN terbesar di Indonesia tersebut. Padahal sang Dirut tersebut baru saja dilantik sehingga belum bisa berbuat banyak untuk menunjukan kemampuannya tersebut. Dalam hal ini bisa kita lihat bahkan ditngkat tinggi pemeintahan masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Dan hal inilah yang harus kita perjuangkan terutama oleh para perempuan sendiri untuk menggapai cita-cita bangsa yakni maenjadi bangsa yang besar yang menghormati hak-hak setiap warga negaranya.
Padahal bagaimana mungkin sebuah negara akan maju dan berkembang jika negara tersebut mengabaikan potensi dari setengah bahkan lebih penduduknya yaitu perempuan. Dari hal inilah, seyogyanya para pemegang kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada Dirut pertamina yang baru, untuk manunjukan kemampuannya terlebih dahulu sebelum mencercanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan seperti yang terjadi dalam rapat DPR dan Pertamina beberapa waktu yang lalu.
Karena seperti yang terjadi sekarang ini, kesempatan-kesempatan dalam porsi yang lebih luas dan terbuka belum terasakan benar oleh para perempuan di negeri ini bahkan setelah hamper satu abad dari masa perjuangan ibu Kartini. Hal ini dapat terlihat dengan belum terpenuhinya kuota minimal 30 persen perempuan dari anggota DPR yang ada. Padahal setiap parpol diwajibkan paling tidak 30 persen wakil mereka yang duduk di DPR adalah perempuan. Akan tetapi kenyataannya kuota tersebut masih sangat jauh dari terpenuhi.
Untuk itulah jika kita menginginkan negara kita maju dan berkembang, maka kita harus mengoptimalkan seluruh potensi kekuatan yang dimiliki negeri ini, baik laki-laki maupun perempuan. Khusus perempuan, kita harus memberi mereka kesempatan yang l;ebih luas untuk menunjukan kemampuan mereka. Karena hal ini sesuai dengan hadis nabi yang menyebutkan bahwa perempuan adalah tiang agama. Hal ini disebabkan apabila moral perempuan di suatu negeri bobrok maka lemahlah negeri tersebut. Hal ini dapat terlihat banyaknya para pejabat yang korup karena dipaksa oleh para istri pejabat tesebut. Sebaliknya, jika moral perempuan suatu negeri baik, maka akan kokohlah negeri tersebut.
Semoga saja dengan ini kita tidak lagi melihat seseorang dari luarnya saja, terutama gendernya tetapi dari kemampuan dan keahlian yang dimiliki orang tersebut. Dan semoga hal ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama. Walaupun kedengarannya sederhana tetapi sulit untuk dilakukan, bukan?

Malang, 4 februari 2009

Kamis, 19 Maret 2009

Dua Amina

Oleh Luthfi Assyaukanie

Salah satu pandangan misoginis yang terus dipertahankan kaum Muslim adalah doktrin tentang tidak bolehnya perempuan menjadi imam salat. Ini adalah pandangan fikih yang menurut Amina bertentangan dengan semangat dasar Islam tentang kesetaraan. Islam menghargai status dan peran perempuan dan menempatkannya secara setara dengan kaum laki-laki, termasuk dalam urusan ibadah.

Ketika saya kecil, ibu saya selalu mengisahkan cerita sebelum tidur tentang berbagai tokoh Islam. Kisah nabi Muhammad adalah tema favoritnya. Dia bisa mengisahkan berbagai aspek kehidupan manusia mulia itu. Salah satu yang paling berkesan adalah kisah tentang Amina, ibunda Nabi. Entah dari mana ibu saya mendapatkan informasi tentang Amina, seorang tokoh yang tak banyak dikupas dalam sejarah Islam.

Mungkin dia memberi sedikit bumbu terhadap ceritanya, yang membuat kami --anak-anaknya-- makin bergairah setiap mendengar dongengannya. Ibu saya adalah seorang guru yang pandai bercerita. Ia tahu bagaimana membuat sebuah kisah menjadi menarik. Sosok Amina yang misteri digambarkannya seperti seorang tokoh nyata di kampung kami.

Menurut ibu saya, Amina adalah sosok wanita tegar, baik hati, dan punya pendirian. Ia adalah ibu yang mencintai keluarga dengan segenap hatinya. Suaminya meninggal dunia ketika ia hamil tua. Ia harus membesarkan Muhammad seorang diri. Cintanya kepada suaminya tak memberikan ruang buat laki-laki lain. Ia meninggal dunia di usia muda, ketika anaknya berusia enam tahun.

Saya tiba-tiba ingat sosok Amina yang tegar dan punya pendirian itu ketika baru-baru ini bertemu dengan dua figur penting bernama Amina. Yang pertama adalah Amina Rasul, seorang intelektual-aktivis asal Filipina; dan yang kedua, Amina Wadud, seorang sarjana asal Amerika.

Amina Rasul. Saya bertemu Amina Rasul dalam sebuah workshop empat hari yang diadakan di Malaysia. Saya sudah lama mendengar namanya, tapi baru kali itu saya bertemu dengannya. Amina adalah seorang ibu cantik yang memancarkan aura kecerdasan, ketegasan, dan keakraban dalam bergaul. Amina adalah tipe perempuan Muslim yang percaya diri dan tahu bagaimana menjadi modern tanpa harus mengorbankan agamanya.

Kendati sebagai seorang minoritas di negerinya, Amina tidak menampakkan inferioritas. Malah sebaliknya, dia menunjukkan kemampuannya beradaptasi dan terlibat dalam panggung politik di Filipina. Karir politiknya cukup cemerlang. Jabatan tertinggi yang pernah ia pegang adalah anggota kabinet dalam pemerintahan Presiden Fidel Ramos. Namanya masuk dalam 100 pemimpin Asean paling berpengaruh. Amina adalah tipikal wanita Muslimah ideal yang mengerti bagaimana menempatkan diri di dunia modern.

Amina sangat mencintai agamanya dan menghormati doktrin-doktrinnya. Dalam sebuah sesi di mana saya berbicara tentang pembaruan Islam, Amina adalah peserta yang paling gigih menentang saya, atau lebih tepatnya mengkritik pendekatan saya yang dinilainya terlalu radikal untuk diterapkan di dunia Islam sekarang. Saya senang berdebat dengannya, karena argumen-argumennya semakan menajamkan pikiran saya.

Amina Rasul adalah sosok perempuan Muslim yang mengerti bagaimana menjadi religius dan sekaligus modern. Dia tak tabu dengan simbol-simbol modernitas, meski memelihara komitmennya yang tinggi terhadap ajaran agama. Dalam acara perpisahan yang diiringi live music, tanpa canggung dia mengajak saya melantai, bersama peserta lainnya, mengikuti hentakan lagu Michael Buble: Save the Last Dance for Me.

Amina Wadud. Amina yang kedua adalah tipe intelektual dan sarjana dengan erudisi sangat tinggi. Ia mempelajari Islam di Universitas Michigan hingga meraih PhD. Selama masa studinya, ia pernah menjadi mahasiswa tamu di Univeristas al-Azhar, di mana ia mempelajari bahasa Arab dan mengikuti kuliah-kuliah keislaman dari para guru besar di sana. Dia menulis beberapa buku penting. Karya utamanya, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Saya telah mendengar nama Amina Wadud sejak lama, tapi baru sempat berjumpa dalam sebuah workshop yang diselenggarakan Jaringan Islam Liberal beberapa waktu lalu di Jakarta. Saya memoderatorinya dalam satu sesi yang mengangkat tema Gender dan Islam. Saya kagum dengan Amina, meski berpikiran sangat modern dan maju, ia tetap mengenakan jilbab dan melontarkan ayat-ayat al-Quran dengan sangat fasih.

Amina dikenal sebagai pembela hak-hak perempuan. Dia adalah pengkritik yang gigih pemahaman-pemahaman misoginis atas al-Quran. Menurutnya, diskriminasi hak dan peran terhadap perempuan selama ini berasal dari pemahaman misoginis yang banyak diciptakan oleh kaum laki-laki. Tugas kita sekarang adalah meluruskan pemahaman keliru itu dan meletakkannya sesuai dengan semangat dasar Islam tentang kesetaraan dan keadilan.

Salah satu pandangan misoginis yang terus dipertahankan kaum Muslim adalah doktrin tentang tidak bolehnya perempuan menjadi imam salat. Ini adalah pandangan fikih yang menurut Amina bertentangan dengan semangat dasar Islam tentang kesetaraan. Islam menghargai status dan peran perempuan dan menempatkannya secara setara dengan kaum laki-laki, termasuk dalam urusan ibadah.

Amina tak hanya berteori. Ia juga menerapkan apa yang dipahaminya, meskipun hal itu menuai kecaman yang membahayakan dirinya. Pada 18 Maret 2005, secara demonstratif dia menyelenggarakan salat Jumat di sebuah gereja di New York. Dia sendiri yang memimpin salat itu di depan jamaah campuran laki-laki dan perempuan. Acara Jumatan itu mendapat liputan dari sejumlah media di AS dan internasional. Sebagian besar tokoh Islam mengecam acara Amina. Tidak kurang dari Yusuf Qardawi mengeluarkan fatwa menyatakan sesatnya cara salat seperti itu.

Kendati mendapat kecaman dan fatwa sesat, Amina tak pernah berkecil hati. Setiap ada kesempatan menjadi imam salat, dia selalu melakukannya. Yang penting, menurutnya, jamaah merasa nyaman dengan kegiatan itu dan melakukannya bukan karena paksaan. Ia ingin menunjukkan bahwa Islam menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, bukan hanya dalam urusan politik, tapi juga dalam urusan ritual seperti mengimami salat.

Saya merasa beruntung mengenal dan bertemu dengan dua Amina itu. Menurut saya, Amina Rasul dan Amina Wadud adalah srikandi-srikandi Islam yang layak menjadi role-model bagi perempuan Muslim di dunia modern.

Oleh Ahmad Syafii Maarif Dan akan lebih bijak lagi, jika penafsiran terhadap sumber-sumber itu saling berlawanan, solusinya mudah sekali, yaitu dia

Oleh Abd. Moqsith Ghazali

Begitu tinggi kedudukan Muhammad di hadapan umat Islam, maka momen-momen penting dalam kehidupannya selalu dikenang, dirayakan, dan diperingati. Mulai dari kelahirannya, pengangkatannya sebagai nabi, pendakian spiritualnya yang tak tepermanai berupa isra’-mi`raj hingga migrasinya dari Mekah ke Madinah. Berbeda dengan kematian yang merupakan pertanda kesementaraan manusia dan juga keterbatasan seorang nabi, maka kelahiran Nabi Muhammad dianggap sebagai pertanda kehidupan baru, perubahan sosial.

Nabi Muhammad SAW adalah pusat keteladanan. Segala ucapan dan tindakannya menjadi rujukan umat Islam, dulu dan sekarang. Haditsnya menjadi sumber hukum (mashdar al-hukm) kedua setelah Alquran. Begitu tinggi kedudukan Muhammad di hadapan umat Islam, maka momen-momen penting dalam kehidupannya selalu dikenang, dirayakan, dan diperingati. Mulai dari kelahirannya, pengangkatannya sebagai nabi, pendakian spiritualnya yang tak tepermanai berupa isra’-mi`raj hingga migrasinya dari Mekah ke Madinah. Berbeda dengan kematian yang merupakan pertanda kesementaraan manusia dan juga keterbatasan seorang nabi, maka kelahiran Nabi Muhammad dianggap sebagai pertanda kehidupan baru, perubahan sosial. Itu sebabnya, jika waktu kelahirannya dirayakan, maka saat kematiannya tidak. Perihal kelahirannya, sebagian umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad lahir pada Senin pagi menjelang subuh, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (`am al-fil). Disebut begitu karena bertepatan dengan tahun penyerangan “Pasukan Gajah” pimpinan Abrahah (Gubernur Abisinia) ke Kabah.

Namun, dengan merujuk pada buku-buku sejarah, kita akan mengerti bahwa tak ada kepastian tentang jam, hari, tanggal dan bulan kelahiran Muhammad SAW. Dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (Juz II, 260-267), Ibnu Katsir menjelaskan keanekaragaman pandangan para ulama tentang kelahiran Nabi. Husain Haikal juga menjelaskan pluralitas pendapat tersebut dalam Hayat Muhammad (hlm. 102). Mengenai tahun kelahirannya misalnya terdapat beberapa pendapat. Menurut Ibnu Abbas, Muhammad lahir pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat, kelahirannya lima belas tahun sebelum peritiwa penyerangan Kabah itu. Ada yang memperkirakan beberapa hari (satu bulan, empat puluh hari, lima puluh hari), beberapa bulan, bahkan beberapa tahun setelah Tahun Gajah. Menurut Abi Ja`far al-Baqir, Muhammad lahir 55 hari setelah peristiwa pasukan bergajah itu. Yang lain menghitung sepuluh tahun, dua puluh tiga tahun, tiga puluh tahun hingga tujuh puluh tahun setelah Tahun Gajah. Abu Zakaria al-Ajalani berpendapat, Muhammad lahir empat puluh tahun setelah Tahun Gajah.

Begitu juga tentang bulan dan tanggal kelahirannya. Sebagian ulama berpendapat, Muhammad lahir pada bulan Rabiul Awal. Yang lain berpendapat, bulan Muharram, Safar, Rajab. Ibnu Abdil Birri mengutip pendapat al-Zubair ibn Bikar bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Ramadan. Sementara tanggal kelahirannya diperkirakan sebagian ulama jatuh pada tanggal 2, 9, 17 Rabiul Awal. Ibnu Hazm berpendapat, kelahiran Muhammad jatuh pada 8 Rabiul Awal. Ibnu Ishaq berpendapat pada tanggal 12 Rabiul Awal. Ulama pun berbeda pendapat, tentang waktu kelahirannya; siang atau malam. Satu ulama berpendapat siang, yang lain mengatakan malam. Begitu juga dengan hari kelahirannya. Ada yang berpendapat Senin. Yang lain berpendapat Jumat. Seorang sahabat Nabi, Ibnu Abbas, berpendapat bahwa Nabi Muhammad lahir pada hari Senin, 18 Rabiul Awal.

Artikel ini hendak menegaskan bahwa di kalangan ulama Islam klasik sendiri tak ada konsensus (ijma`) tentang waktu kelahiran Nabi Muhammad. Ini terjadi karena tak ada tradisi pencatatan waktu kelahiran seorang bayi saat itu. Baik ibunda maupun kakek Nabi tak mencatat kelahiran anak atau cucunya itu sehingga wajar kalau terjadi kesimpangsiuran waktu kelahiran Muhammad. Jelas, ketepatan dan kepersisan tanggal kelahiran seorang tokoh sekian ribu tahun lalu tak mudah ditunaikan. Tak ada kepastian tentang waktu kelahiran Nabi Isa, Nabi Musa, apalagi Nabi Ibrahim lalu Nabi Adam. Semua tanggal dan tahun kelahiran mereka ditentukan kemudian, berdasar asumsi dan prakiraan dan akhirnya membentuk keimanan. Lalu siapa sesungguhnya yang lahir di Mekah pada Senin 12 Rabiul Awal 1500 tahun lalu itu? Kita tak tahu. Namun, karena di Indonesia sudah mentradisi, secara sosio-kultural saya tetap perlu mengucapkan selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad 12 Rabiul Awal 1430 H. []

Mendudukkan Pluralisme Agama

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Dan akan lebih bijak lagi, jika penafsiran terhadap sumber-sumber itu saling berlawanan, solusinya mudah sekali, yaitu diadakan dialog yang serius dan jujur antara para pihak yang bersangkutan. Sikap menuduh dengan menggunakan kata-kata “sesat, agen zionis, agen Barat” bukanlah cara kaum yang beradab. Mari kita sama lepaskan prasangka lebih dulu, lalu kita adu argumen dengan menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dan pertama. Lalu kita gunakan sumber-sumber lain, baik yang ditulis oleh ulama klasik maupun yang kontemporer sebagai pelengkap rujukan.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Republika, 17 Maret 2009

Beberapa waktu yang lalu MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme agama di samping sekularisme, dan liberalisme. Fatwa itu telah memicu gelombang prokon (pro-kontra) dengan argumen masing-masing, tetapi sejauh pengetahuan saya, belum ada kajian yang mendalam dan meluas tentang isme-isme itu jika dilihat dari pandangan Islam. Cendekiawan muda NU Abd. Moqsith Ghazali dengan karyanya yang berjudul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta: KataKita, 2009, 401 halaman) telah mengurai masalah pluralisme agama sebagai salah satu isu yang diharamkan itu melalui pendekatan akademik yang imbang. Terbukalah peluang sekarang bagi siapa saja yang ingin melihat masalah ini dengan kaca mata yang lebih jernih tanpa emosi untuk membedah tesis-tesis Moqsith ini. Para mufti MUI saya anjurkan agar tidak ketinggalan pula menelaah karya Moqsith ini dengan hati dan otak yang terbuka. Adapun hasil telaah itu nanti bisa saja menguatkan tingkat keharamannya atau bisa juga menjurus kepada pencabutan fatwa yang telah dikeluarkan itu.

Pada ranah pemikiran Islam kontemporer bagi Indonesia, iklimnya sudah semakin kondusif untuk bertukar pendapat, demi mencari kebenaran, bukan mencari yang lain. Gelombang kebangkitan kaum intelektual muda Muslim dengan berbagai latar belakang sub-kultur sedang semakin membesar. Fenomena ini sungguh sangat membesarkan hati. Peran pesantren plus IAIN/UIN bagi kelahiran anak-anak muda pemikir ini sangat sentral. Mereka tidak hanya sibuk dengan kitab kuning, tetapi sekaligus menguasai kitab putih, baik yang ditulis oleh Muslim atau non-Muslim. Dr. Abd. Moqsith Ghazali adalah salah seorang di antara mereka yang berani berfikir bebas secara bertanggung jawab, baik dilihat dari sisi iman, maupun dari sisi disiplin ilmu.

Adapun misalnya temuan mereka ini bercanggah dengan pendapat yang telah dinilai mapan jangan cepat-cepat dihukum dengan ekskomunikasi. Jalan terbaik adalah dengan mengikuti sumber bacaan mereka, baik yang ditulis dalam bahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Dan akan lebih bijak lagi, jika penafsiran terhadap sumber-sumber itu saling berlawanan, solusinya mudah sekali, yaitu diadakan dialog yang serius dan jujur antara para pihak yang bersangkutan. Sikap menuduh dengan menggunakan kata-kata “sesat, agen zionis, agen Barat” bukanlah cara kaum yang beradab. Mari kita sama lepaskan prasangka lebih dulu, lalu kita adu argumen dengan menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dan pertama. Lalu kita gunakan sumber-sumber lain, baik yang ditulis oleh ulama klasik maupun yang kontemporer sebagai pelengkap rujukan. Karya-karya klasik umumnya ditulis dalam bahasa Arab, sedikit dalam bahasa Persi. Sedangkan bahasa yang digunakan dalam karya-karya modern jauh lebih kaya: Arab, Urdu, Turki, Persi, Indonesia, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, sedikit Itali, Spanyol, Rusia, dan lain-lain.

Karya Argumen Pluralisme Agama telah mencoba membongkar sumber-sumber klasik dan modern dalam berbagai bahasa: Arab, Inggris, dan Indonesia. Dalam endorsemennya K.H. A. Mustofa Bisri atas karya Moqsith ini, kita baca sebagai apresiasi sebagai berikut:

Buku ini tak sekadar wacana dan pernyataan karena kobaran ghirah keberagamaan atau semangat pembaruan; tapi seperti yang akan segera pembaca ketahui, merupakan hasil kerja keras penelitian. Penelitian secara ilmiah tentang sesuatu yang sebenarnya atau seharusnya bukan menjadi masalah. Tapi bagi mereka yang menjadikan kamapanan sebagai mazhab, mungkin buku yang ditulis Muslim muda, Abd. Moqsith Ghazali, ini
dianggap baru bahkan mengagetkan.

Bagi saya karya ini adalah sebuah kegigihan akademik yang bernilai tinggi dan pasti punya jangkauan jauh.

Akhirnya saya belum perlu mengupas kandungannya, tetapi ingin mengimbau para pembaca untuk mengikutinya sendiri, kemudian beri penilaian secara jujur, kritikal, dan obyektif. Jika ada pihak yang sangat keberatan dengan tesis-tesis utama pengarangnya, tulislah pula karya lain untuk membantahnya. Kemudian publik diberi kesempatan luas untuk membandingkannya. Saya merindukan lahirnya sebuah iklim intelektual kelas tinggi di kalangan umat Islam Indonesia, di mana peradaban otak dan hati dapat mengalahkan “peradaban” otot dan teriakan kasar!

Jumat, 06 Februari 2009


Operasi string begitu penting dalam dunia per-php-an. Kenapa begitu penting ? Karena melakukan pekerjaan dengan php, baik itu membangun suatu sistem informasi, membuat fasilitas searching di web, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan web development tak lepas dari operasi string. Begitu banyak fungsi operasi string yang ada, dan banyak pula fungsi string yang sering digunakan, sehingga penulis perlu membaginya menjadi beberapa artikel mengenai operasi string ini. Untuk artikel bagian pertama penulis akan menjelaskan 2 fungsi yang memiliki tugas tambahan selain dari mencari string. Antara lain :

  • substr()
  • strstr()

Substr(), memiliki fungsi untuk mengambil satu, atau banyak karakter dari suatu variable. Implementasinya seperti mengambil karakter yang dihasilkan dari fungsi DATE() –nya mysql. Contoh penggunaannya adalah sebagai berikut :

<?php
$tanggal = '012409';

$bulan = substr($date, 0, 2);
$hari = substr($date, 2, 2);
$tahun = substr($date, -2);

echo "$hari/$bulan/$tahun";
?>

Hasilnya adalah :
24/01/09

Penjelasannya adalah sebagai berikut :

$bulan = substr($date, 0, 2);
Ambil 2 karakter dari digit terdepan, hasilnya adalah 01

$hari = substr($date, 2, 2);
Ambil 2 karakter dari digit ke 3. Karena string  memiliki urutan awal 0, maka angka 2 pada variable $tanggal memiliki posisi di urutan ke 2. Hasilnya adalah 24.

Untuk membuktikannya :
<?php
$tanggal = '012409';
echo $tanggal[2];
?>

hasilnya adalah :
2

Dan yang terakhir adalah
$tahun = substr($date, -2);
Ini berarti ambil 2  karakter dari belakang. Hasilnya adalah 09.


Strstr(),  fungsi ini digunakan untuk mengembalikan semua string dibelakang string yang dicari. Misalnya ada sebuah kalimat :
"Ketampanan abadi terpancar dari Kegantengan sejati . --Al-k",
karakter yang dicari adalah "--",
maka hasil dari fungsi strstr() adalah "--Al-k"

Contoh penggunaanya :

<?php
$kalimat= "Ketampanan abadi terpancar dari Kegantengan sejati . --Al-k";
$tanda = '--';
$yangdicari = strstr ($kalimat, $tanda);
echo $yangdicari;
?>

Hasilnya adalah :
--Al-k

Implementasi penggunaan strstr() contohnya seperti ini :
<?php
$kalimat= "Ketampanan abadi terpancar dari Kegantengan sejati . --Al-k";
$tanda = '--';

if ($yangdicari = strstr ($kalimat, $tanda)) {
   echo 'Ungkapan yang keren tadi di buat oleh '."'". substr ($yangdicari , strlen ($tanda))."'";
} else {
   echo "Nggak ada ungkapan tuhh !!";
}
?>

Penjelasannya adalah sebagai berikut :

if ($yangdicari = strstr ($kalimat, $tanda)) {
jika karakter yang di cari dalam hal ini $tanda ada pada  string $kalimat, maka kembalikan string yang berada di belakang tersebut kedalam variable $yangdicari.

echo 'Ungkapan yang keren tadi di buat oleh '."'". substr ($yangdicari , strlen ($tanda))."'";

bagian intinya adalah substr ($yangdicari , strlen ($tanda))

Jika di ubah kedalam nilai sebenarnya adalah
substr ("--Al-k" , 2 )

tampilkan string yang dicari tersebut dengan melewatkan tanda --.

Hasilnya adalah :
Al-k

Sehingga hasil keutuhan dari script

<?php
$kalimat= "Ketampanan abadi terpancar dari Kegantengan sejati . --Al-k";
$tanda = '--';

if ($yangdicari = strstr ($kalimat, $tanda)) {
   echo 'Ungkapan yang keren tadi di buat oleh '."'". substr ($yangdicari , strlen ($tanda))."'";
} else {
   echo "Nggak ada ungkapan tuhh !!";
}
?>

Adalah :

Ungkapan mantap tadi di buat oleh 'Al-k'

Cukup mudah ya ? Cukup narsis juga ! :D

Artikel Lebih dalam dengan operasi string bagian pertama saya cukupkan sampai disini. Untuk bagian ke 2 dan terakhir akan penulis jelaskan di belajar php berikutnya.

Greetz : b_scorpio, abuzahra, peterpanz, kandar, phii_, syahrilrohman, ivan, dr.emi, safril, najwa, Lapak-online Team!


Sumber dari situs Ilmu Website dalam kategori php kuliah dengan judul Lebih dalam dengan operasi string bag.1

Kontra-terorisme Raja Abdullah

Oleh Saidiman

Jika semangat revolusioner dan terorisme itu semakin besar, maka yang akan dirugikan bukan hanya target-target teroris di luar Arab Saudi, melainkan juga adalah Arab Saudi sendiri. Saat ini, Arab Saudi, selain Israel, adalah sekutu utama negara-negara Barat di Timur Tengah. Amerika Serikat bahkan menempatkan pangkalan militernya di Arab Saudi, ini pulalah yang memicu gerakan protes masyarakat Islam Wahhabi Saudi sendiri.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Sinar Harapan, 28 Januari 2008

Himbauan Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz bin Saud, untuk memerangi terorisme dan diskriminasi agama patut diberi apresiasi. Pada pertemuan antar-iman Perserikatan Bangsa-bangsa, 13 November 2008, Raja Abdullah menyatakan bahwa terorisme adalah musuh semua agama, oleh karena itu semua pihak harus mengumandangkan perang terhadapnya dan menyebarkan toleransi.

Pernyataan ini sangat penting karena keluar dari penguasa sebuah negara yang hampir identik dengan ideologi garis keras yang sekarang menjadi inspirasi hampir semua kelompok garis keras di seluruh dunia. Selama bertahun-tahun, secara sistematis Kerajaan Arab Saudi mengekspor idelogi Wahhabi ke seluruh dunia melalui pendidikan dan gerakan sosial lainnya. Dukungan dana yang seolah tanpa batas menyebabkan ideologi ini berkembang pesat. Di Indonesia, mula-mula ia muncul dalam gerakan salafi yang bergerak secara kultural dengan menggunakan kata kunci dakwah. Tetapi di akhir tahun 1990-an, gerakan dakwah ini mulai muncul dalam bentuk yang lebih politis bahkan secara langsung berani menantang otoritas negara dengan gerakan-gerakan destruktif berupa penyerbuan dan perang di sejumlah wilayah Republik Indonesia. Pada titik yang paling ekstrim, mereka merancang teror bom di sejumlah tempat strategis. Meski sebagian pengikut ideologi ini masih mau berkompromi dengan sistem demokrasi dengan turut serta dalam proses Pemilihan Umum, namun sebagian lainnya, yang tidak bisa dibilang sedikit, memilih jalur yang berhadap-hadapan langsung dengan sistem. Mereka menolak demokrasi dan melancarkan kampanye anti Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tetapi apakah ini berarti bahwa Arab Saudi sudah berubah? Yang lebih penting adalah apa yang membuat perubahan itu terjadi? Secara umum, Arab Saudi memang adalah negara yang selalu berada dalam ketegangan. Negara ini terbangun atas koalisi rezim Saud dan otoritas agama, Wahhabisme. Dengan menjadikan Wahhabisme sebagai ideologi negara, Arab Saudi dituntut untuk tetap berada pada garis iman Wahhabi. Tetapi karena ideologi ini muncul dengan corak yang keras dan kaku, maka rezim sesungguhnya menghadapi tantangan paling keras dari penganut Wahhabi itu sendiri. Dua pemberontakan yang paling berdarah sepanjang kekuasaan rezim keluarga ini datang dari kekuatan inti Wahhabi itu sendiri.

Tahun 1927, tentara Wahhabi, Ikhwan, melakukan pemberontakan berdarah. Kudeta Ikhwan dilatarbelakangi ketidakpuasan mereka terhadap pemerintahan Abdul Aziz bin Saud yang tidak lagi mengedepankan semangat penaklukan, bahkan mulai mencoba bersikap lunak kepada kelompok Syi’ah. Dan yang lebih penting adalah Saudi membangun aliansi dengan Barat yang mereka anggap sebagai musuh. Mereka berhasil ditumpas dengan bantuan tentara-tentara Inggris.

Tahun 1979, sekelompok Wahhabi pimpinan Juhayman al-Utaybi (pengikut ulama terkemuka Wahhabi, Abdul Aziz bin Baz) juga mencoba melakukan kudeta dengan menyandera ribuan jemaah haji di Masjid Haram, Mekkah, tempat tersuci ummat Islam sedunia. Pemberontakan ini didasarkan pada ketidakpuasan atas perilaku para elit Saudi yang dianggap telah melenceng dari iman Wahhabi. Rezim tidak saja menjalin kerjasama dengan Amerika tetapi juga mengizinkan ratusan warga Amerika tinggal di Arab Saudi. Mereka juga mengutuk produk-produk tehnologi berupa televisi dan radio sebagai sebuah bid’ah atau inovasi sesat. Drama penyanderaan ini berakhir dua minggu kemudian ketika pasukan Prancis membantu Arab Saudi menggempur para pemberontak.

Pasca pemberontakan 1979, setelah mengeksekusi mati semua pelaku yang berumur di atas 16 tahun, rezim Saudi kemudian mengawasi secara ketat semua gerakan masyarakat Islam Arab Saudi. Represi terhadap gejala oposisi semakin ketat. Secara sadar rezim menekan semangat gerakan politis masyarakat Saudi. Itulah yang menyebabkan gerakan yang sebelumnya memiliki potensi politis kemudian berubah menjadi gerakan dakwah. Harus diingat bahwa sebelum 1979, rezim Arab Saudi menampung ribuan anggota Ikhwan al-Muslimun (organisasi Islam Mesir yang memperjuangkan gerakan politik). Rezim Saudi berusaha keras meredam semangat politis kelompok-kelompok Wahhabi-Ikhwani. Tetapi, ternyata rezim tidak sepenuhnya berhasil.

Gerakan Juhayman kemudian menginspirasi ribuan pemuda Arab Saudi untuk melakukan gerakan serupa. Karena besarnya tekanan kerajaan di dalam negeri, mereka kemudian menumpahkan energi kekerasannya pada Perang Afganistan. Pasca perang Afganistan, pemuda-pemuda inilah yang kemudian membentuk jaringan teroris internasional yang dikenal dengan nama al-Qaedah. Organisasi mematikan itu dipimpin oleh Osama bin Laden, anak pengusaha yang menjadi sahabat kerajaan Arab Saudi sendiri, Muhammad bin Laden.

Kondisi sosial Arab Saudi seperti inilah yang tidak memungkinkan rezim mendukung gerakan revolusioner apalagi terorisme. Bahkan ketika terjadi kerusuhan di Maluku, para ulama senior Arab Saudi bahkan enggan memberi restu terhadap sekelompok Muslim yang hendak melakukan ”jihad” ke daerah konflik tersebut. Baru ketika kalangan Salafi radikal yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib dan Muhammad Umar As-Sewed melakukan pendekatan intensif, beberapa ulama itu kemudian mengeluarkan fatwa jihad. Meski begitu, fatwa yang dikeluarkan oleh beberapa ulama ini tetap menekankan jihad dalam bentuk defensif atau pembelaan diri. Abd al-Razzaq ibn Abd al-Muhsin al-Abbad, misalnya, menyatakan: ”Pergi ke medan tempur di Maluku untuk membela umat Islam adalah perkara yang disyariatkan, dengan syarat kepergian kalian ke sana tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar kepada kaum muslimin dan kaum muslimin bukan sebagai pihak yang memulai tindakan permusuhan, tetapi sebagai pihak yang diserang” (Noorhaedi Hasan, 2008).

Dengan fatwa semacam itulah Laskar Jihad berangkat ke Maluku untuk terlibat dalam perang melawan kelompok Kristen. Tetapi tampak jelas bahwa para ulama Arab Saudi sendiri sangat menghindari sikap revolusioner, di mana ummat Islam sebagai pengambil inisiatif perang. Di Indonesia, Laskar Jihad menjadi organisasi marjinal di kalangan Salafi lain yang menyerukan jihad di Maluku. Abu Nida, tokoh Salafi lain, mengkritik keras sikap Ja’far Umar Thalib dan para pengikutnya. Abu Nida bersikukuh bahwa Salafi adalah gerakan dakwah, bukan gerakan politik apalagi mengebarkan perang.

Apa yang diungkap oleh Raja Abdullah sesungguhnya sudah bisa ditebak. Jika semangat revolusioner dan terorisme itu semakin besar, maka yang akan dirugikan bukan hanya target-target teroris di luar Arab Saudi, melainkan juga adalah Arab Saudi sendiri. Saat ini, Arab Saudi, selain Israel, adalah sekutu utama negara-negara Barat di Timur Tengah. Amerika Serikat bahkan menempatkan pangkalan militernya di Arab Saudi, ini pulalah yang memicu gerakan protes masyarakat Islam Wahhabi Saudi sendiri.

Saat ini, Arab Saudi membutuhkan dukungan internasional untuk menanggulangi potensi terorisme yang juga sangat mengancam eksistensi rezim Saudi itu sendiri. Jika para teroris keturunan Arab Saudi bisa meledakkan menara kembar WTC, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk meledakkan sentra-sentra ekonomi Dinasti Saud.

Senin, 26 Januari 2009

NU "Vis a Vis" Transnasionalisme

Suatu istilah yang populer belakangan ini di kalangan kaum nahdliyin adalah “transnasionalisme”. Istilah ini diperuntukkan bagi ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang lintas negara. Namun, dalam konteks NU, istilah “transnasionalisme” diacu dan dirujukkan pada ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada Kata Pengantar buku KH Masdar Farid Mas’udi, Membangun NU berbasis Masjid dan Umat (2007), mengatakan: “Sejak tahun 90-an masjid-masjid di negeri kita semakin banyak yang disatroni oleh kelompok-kelompok dakwah yang dipengaruhi bahkan menjadi perangkat dari poros-poros ideologi transnasional yang asing bagi bangsa Indonesia yang majemuk, seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, Jaula dan Hizbut Tahrir. Masjid yang menjadi basis utama kelompok-kelompok ini pada awalnya adalah masjid-masjid kampus milik publik yang diakuisisi. Namun, belakangan mereka juga masuk ke masjid di kampung-kampung yang sebagian besar merupakan masjid dan basis nahdliyin.

Maka dari itu, beberapa tahun terakhir, NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk menghadapi ancaman ideologis dan massal dari kelompok-kelompok Islam transnasional tersebut. Usaha ke arah itu sudah dirintis oleh keluarga besar kaum nahdliyyin setidak-tidaknya sejak 2006 sampai sekarang melalui penyadaran dan pengangkatan isu Islam transnasional dalam berbagai forum organisasi. Salah satunya yang terakhir adalah Konferensi Wilayah PW NU Jawa Timur, 2-4 November 2007, yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU.

Ada tiga fokus persoalan yang diangkat dalam forum ilmiah NU tersebut. Pertama, ada tidaknya dalil nash yang mengharuskan pembentukan khilafah Islamiyah. Kedua, hukum kelompok warga negara Indonesia yang berusaha untuk mengubah bentuk dan dasar hukum negara. Ketiga, apakah strategi integralisasi syariah Islam secara substantif menyalahi prinsip tathbiq (penerapan) syariah menempuh pola tadrij (bertahap).

Para ulama NU sepakat bahwa pembentukan khilafah Islamiyah tidak ada dalil nash yang mengharuskan. Bahkan mengubah bentuk dan dasar hukum negara bila diperkirakan menimbulkan mafsadah yang lebih besar hukumnya tidak boleh. Apa yang dilakukan oleh NU dalam rangka mengintegralisasikan syariah dalam hukum nasional, tidak menyalahi prinsip tathbiq syariah, bahkan dinilai lebih tepat bagi Indonesia yang majemuk ini.

Tentu, itu harus dibaca secara kritis sebagai respons NU Vis a Vis transnasionalisme yang sudah terbukti dan teruji menjadi “bahaya laten” bagi NU. Bahkan lebih luas skopnya dari NU, yaitu bagi Indonesia yang mengubah sistem pemerintahan yang berujung pada penggulingan pemerintahan. Di beberapa negara Timur Tengah, semisal di Saudi Arabiyah yang berpaham Islam puritan Wahab dan di Mesir yang berpaham Islam Moderat, sama-sama melarang ideologi dan gerakan Islam transnasional tersebut.

Padahal, NU dan Indonesia, kata KH Muchith Muzadi, memiliki hubungan yang sangat erat. Menjadi NU otomatis menjadi Indonesia. Keduanya melebur dan menyatu seperti mata uang logam yang hanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Bila dikelola dengan baik dan mengacu pada prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) akan berbuah dividen kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran yang merupakan inti dari tujuan didirikannya negara.
Tujuan Negara

Para teoritikus Fiqih Siyasah, semisal, al-Juwaini, a-Ghazali, al-Baidhawi, dan lain sebagainya, menetapkan tujuan negara sebagai institusi yang bertujuan untuk hirasati al-dini (memelihara agama), dan siyati al-dunya (mengelola negara) dalam rangka menerapkan syariat Islam, menolak kerusakan, mewujudkan kemaslahatan umum, menegakkan keadilan dan menggapai kesejahteraan dan kemakmuran lahir-batin, dunia-akhirat. Sementara soal bentuk pemerintahan, bukan yang esensial dari pendirian negara. Yang esensial adalah tujuan negara, bukan bentuk pemerintahan. Sebab, bentuk pemerintahan itu sekadar sarana untuk mencapai tujuan negara. Sistem demokrasi adalah sarana, bukanlah tujuan. Demikian pula dengan sistem negara teokrasi, hanya sekadar sarana, bukanlah tujuan.

Jadi, sebagai sarana, antara sistem demokrasi dan teokrasi di atas sudah sepantasnya dikontestasikan dalam mencapai tujuan negara. Mana yang paling visible dan prospektif? Pasar dan sejarah yang akan menentukan. Sebab sarana itu “bebas nilai” dan “netral”, ia tidak terikat dan diikat oleh nilai dan norma apa pun, pemakai sarana yang diikat dan terikat. Oleh karena itu, sangat tidak relevan dan kontekstual melabelisasi sebuah sistem dengan label Islam ataupun kufur.

Dengan demikian, memobilisasi dukungan umat terhadap sebuah sistem murni management marketing sama sekali tidak berhubungan dengan agama, apalagi menentukan keberimanan, keberislaman, dan keberihsanan seseorang. Sama halnya dengan identitas dan kualitas agama tidak dapat diukur dari ia mengendarai apa? Apakah pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus, kendaraan umum atau mobil pribadi, sepeda motor, dan lain sebagainya? Sehingga tidak masuk akal, bila menakar identitas dan kualitas agama seseorang dengan alat transportasi apa yang dipakai. Seseorang tidak lantas menjadi Islam lantaran naik pesawat terbang. Ataupun seseorang tidak lantas menjadi kafir lantaran naik kendaran pribadi.

Sudah bukan zamannya lagi memobilisasi dukungan umat dengan mempropaganda bahwa sistem ini paling Islami, dan sistem itu kufur. Sebab sistem itu seperti kendaraan. Karena itu, siapa pun yang berkepentingan harus menjual keunggulan masing-masing dalam memberikan pelayanan, kepuasan, jaminan keamanan, dan kepastian mencapai tujuan bagi umat-bangsa. Dan, apa pun yang dipilih oleh umat-bangsa dari sekian alternatif sistem, itu yang paling meyakinkan hati, menenangkan jiwa, dan sesuai dengan selera publik.

Publik nusantara memilih sistem demokrasi daripada sistem teokrasi, lagi-lagi, ini soal selera masyarakat Indonesia, dan the living law (hukum yang hidup) di tengah-tengah masyarakat lokal dan nasional. Karena itu, kita harus mengesampingkan perdebatan wacana sistem negara, dan berkonsentrasi pada pencapaian tujuan negara. Semangat yang dibangun antara komunitas umat adalah fastabiqul-khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) (QS al-Maidah/4:48).

Perbedaan respons keindonesiaan antara NU dan Islam transnasional dalam konteks ini bisa dipahami. Masing-masing memiliki akar sejarahnya sendiri-sendiri. NU berurat-akar di Tanah Air, sedangkan Islam transnasional berurat-akar di Timur Tengah. Perbedaan akar kesejarahan tersebut berimplikasi pada pandangan, sikap, dan tindakan terhadap eksistensi Indonesia. Makanya, kita bisa mafhum, apabila sense of belonging NU lebih besar daripada Islam transnasional. Hal itu lantaran, NU mempunyai investasi besar dalam membidani, merawat, dan membesarkan Indonesia dengan segala dinamika dan romantika kehidupannya. Berbeda dengan Islam transnasional, yang sama sekali tidak “berkeringat” dalam pembangunan Indonesia. Ia datang setelah Indonesia melewati tiga dekade sejarah kehidupannya.

Mungkin beda andai kondisinya terbalik, Islam transnasional memiliki akar keindonesiaan, dan NU memiliki akar Timur Tengah. Bisa dibayangkan, boleh jadi, yang mati-matian membela Indonesia adalah Islam transnasional tersebut. Nyatanya, Islam transnasional datang belakangan, sehingga kita sudah semestinya ikut membantu mereka untuk beradaptasi dengan kondisi Indonesia yang majemuk ini.

Dimuat di harian SUARA PEMBARUAN Senin, 4 Februari 2008
KH Muhyiddin Abdusshomad

Penulis adalah Ketua PCNU dan Pengasuh PP NURIS Antirogo Jember

Menyambut Ultah NU ke 83 NU dan Passing Over Pemikiran

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Gerakan purifikasi itu dikeluhkan dan ditentang para kiai pesantren karena potensial merubuhkan jenis-jenis keislaman lokal nusantara. Bagi para kiai, tak ada Islam murni dan tak murni. Islam selalu berwatak lokal dan pribumi. Dengan memodifikasi pernyataan Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.), para kiai berpendirian bahwa Islam itu warna-warni.Yang menjadi perekat dari berbagai ekspresi keislaman itu, menurut para kiai, adalah nilai-nilai dasar dari agama itu (maqashid al-syari`at).

83 tahun lalu (31/1/1926), Nahdlatul Ulama berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan (jam`iyah diniyah ijtima`iyah). Kehadirannya saat itu memiliki beberapa tujuan pokok, di antaranya: Pertama, menahan laju purifikasi Islam yang digelorakan beberapa tokoh Wahabi Indonesia. Gerakan purifikasi itu dikeluhkan dan ditentang para kiai pesantren karena potensial merubuhkan jenis-jenis keislaman lokal nusantara. Bagi para kiai, tak ada Islam murni dan tak murni. Islam selalu berwatak lokal dan pribumi. Dengan memodifikasi pernyataan Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.), para kiai berpendirian bahwa Islam itu warna-warni. La lawna lahu. Walawnuhu lawna ina’ihi. Yang menjadi perekat dari berbagai ekspresi keislaman itu, menurut para kiai, adalah nilai-nilai dasar dari agama itu (maqashid al-syari`at).

Fakta antropologis, sosiologis, dan intelektual menunjukkan bahwa pernah ada Islam Hijaz dan Islam Persia. Jika Islam Hijaz bersandar pada kekuatan dalil normatif al-Qur’an dan Hadits (dalil naqli), maka Islam Persia secara umum bertunjang pada kekuatan akal (dalil aqli). Sejumlah pengamat masih mengkategorikan Islam Persia ke dalam dua corak; Islam Kufah dan Islam Bashrah Sekiranya Islam Kufah berparadigma formalistik-rasionalistik dengan tokohnya misalnya Ibrahim al-Nakha`i (w. 95 H.), Masruq al-Hamdani (w. 63 H.), maka Islam Bashrah beraroma sufitik-spiritual dengan tokohnya Hasan al-Bashri (w. 110 H.) dan Rabi`ah al-Adawiyah (w. 185 H.). Jika rasionalisme para ulama di Kufah dipandang sebagai respons positif atas filsafat Yunani yang berkembang di sana, maka asketisme Hasan al-Bashri dan eskapisme Rabi`ah ditempuh sebagai kritik terhadap hedonisme yang menghunjam di Bashrah.

Di Indonesia juga sama. Ada Islam Aceh, Islam Minangkabau, di samping Islam Sasak dan Islam Jawa. Di Jawa pun, ekspresi keislaman bisa dibedakan antara pesisir utara Jawa yang cenderung ortodoks dan pesisir selatan Jawa yang lebih heterodoks. Kita bisa melihat tampilan keislaman di utara Jawa mulai dari Banten, Cirebon, Pekalongan, Rembang, Tuban, Surabaya, Pasuruan, hingga Situbondo yang berbeda dengan karakter keislaman selatan Jawa mulai dari Yogyakarta, Kebumen, Magelang, Ngawi, Blitar, Pacitan, Lumajang hingga Banyuwangi. Sadar akan pluralitas itu, NU tak punya ambisi untuk merangkum kaum nahdliyyin ke dalam satu cluster pemikiran yang ekslusif. Warga NU hingga hari ini dibiarkan dengan segala keanekaragamannya. Sekali lagi, yang menjadi semen perekatnya adalah maqashid al-syari`at.

Kedua, NU berdiri untuk mengedukasi masyarakat agar tak fanatik pada salah satu mazhab pemikiran. Dalam Statuten Perkoempoelan Nahdlatul Ulama pasal 2 disebutkan tentang tujuan berdirinya NU, “Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe memegang dengan tegoeh satoe dari mazhabnja imam empat jaitoe Imam Moehammad bin Idris asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah An-Ne’man, atoe Imam Ahmad bin Hanbal, dan mengedjakan apa saja yang mendjadikan kemaslahatan agama Islam”. Artinya, di tengah masyarakat yang hanya bersandar pada mazhab Syafi’i saat itu, NU membuka ruang bagi diikutinya mazhab lain bahkan yang dikenal rasional sekalipun seperti Imam Abu Hanifah.

Kini sejumlah kiai NU melakukan passing over pemikiran. Dalam berbagai kegiatan ilmiah dan bahtsul masa’il, mereka tak hanya mengutip para imam mazhab dari rumpun keislaman Sunni, melainkan juga dari kelompok lain seperti Mu`tazilah dan Syi`ah. Sejumlah kiai merujuk pada tafsir al-Zamakhsyari yang berhaluan Mu`tazilah dan fikih Ja`fari yang Syi`ah. Di beberapa pesantren, tafsir al-Kasysyaf yang ditulis al-Zamakhsyari dipelajari secara khusus oleh para santri. Saya juga berjumpa dan kenal dengan beberapa kiai NU yang secara diam-diam melahap buku-buku keislaman progresif yang ditulis misalnya oleh Hassan Hanafi, Mohamed Arkoen, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Khalil Abdul Karim. Dalam soal pemikiran keislaman, sikap para kiai NU clear-cut; “lihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan” (unzhur ma qala wa la tanzhur man qala). Kesahihan sebuah pemikiran tak diukur dari siapa yang mengatakannya, tapi apa yang dikatakannya--seperti apa argumennya dan bagaimana kemanfaatannya.

Seperti disebutkan di ujung terakhir pasal 2 Statuten Perkoempoelan NU itu, kemasalahatan adalah jangkar dari seluruh diskursus keislaman dalam NU. Pandangan ini tak asing. Sebab, mayoritas ulama Islam memang berpendirian demikian. Izz al-Din Ibn Abdi al-Salam (w. 660 H.) misalnya berkata, “seluruh ketentuan dan ajaran di dalam Islam dikembalikan sepenuhnya kepada kemaslahatan” (innama al-takalif kulluha raji`atun ila mashalih al-`ibad fi dunyahum wa ukhrahum). Akhirnya, basis kemaslahtan inilah yang menjadi parameter keabsahan sebuah pemikiran dalam Islam dan ini juga yang terus mendinamisasi pemikiran dalam tubuh Nahdlatul Ulama, dari dulu hingga sekarang. Selamat Ulang Tahun NU yang ke 83. []

Rabu, 14 Januari 2009

Asghar Ali Engineer;Alquran untuk Perempuan dan Kaum Tertindas

Oleh: Nurun Nisa’*
Anak benua India yang senantiasa bergejolak itu melahirkan seorang feminis laki-laki berpengaruh abad ini; Asghar Ali Engineer. Lahir di Rajashtan pada 1940 dari keluarga ulama terpandang, Ali memiliki pengalaman keagamaan yang unik dan menukik. Waktu itu, ayahnya menjadi pemimpin Buhra, salah satu aliran keagamaan yang berkembang pesat di India. Di saat itulah terjadi eksploitasi atas nama agama. Ia menyesalkan keadaan ini. Tapi ia tidak menemukan jalan lain.

Ali terus bergumul dengan ketidaknyamanan itu. Sampai pada satu titik, Ali menemukan kesimpulan yang memprihatinkan; bahwa institusi keagamaan dapat dijadikan sebagai pemuas ambisi penguasa. Sementara di sisi yang lain, Ali meyakini bahwa tujuan agama adalah memperkaya kehidupan batin dan mendekatkan diri kepada Allah—seperti yang didapatkannya ketika membaca Alquran. Ada kontradiksi, tetapi ia terus bergumul dengan keadaan itu.

Pergumulan ini akhirnya membentuk sebuah sintesa tiga besar sebagaimana termuat dalam artikelnya yang bertajuk What I Believe (1999). Pertama, mengenai hubungan antara akal dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, fanatisme dan sektarianisme keagamaan adalah merusak karena cenderung menggiring manusia untuk mengumandangkan truth claim—yang dengannya keyakinan tertentu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dan yang lain adalah salah. Ketiga, mengenai watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah.

Pemikiran-pemikiran ini kemudian dipadatkan menjadi tema Islam sebagai ideologi pembebasan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan keberagaman. Dua tema terdepan akan menjadi pembahasan tulisan ini.

****

Islam sebagai ideologi pembebasan ditunjukkan dalam bukunya yang bertajuk Islam and Liberation Theology (1990) yang di-Indonesia-kan menjadi Teologi Pembebasan. Teologi pembebasan ala Ali berlandaskan pada Alquran dan sejarah Nabi saw. Mungkin inilah yang membedakan dengan teologi pembebasan gaya Amerika Latin yang bersandar hanya kepada Kitab Injil semata. Teologi pembebasan yang dimaksud Ali bersifat konkret, kontekstual, dan praksis. Ia berada pada realitas kekinian dan bertolak dari kondisi sosial yang ada. Ia juga merupakan refleksi dan aksi iman dan amal—sebuah produk pemikiran yang diikuti dengan praksis pembebasan. Ia ditujukan kepada kaum mustadh’afin (kaum yang dilemahkan oleh sistem), termasuk perempuan.

Alquran dalam hal ini menekankan pada umatnya agar menyantuni anak yatim, menegakkan keadilan, dan menekankan agar kekayaan tidak hanya berputar di segelintir orang. Ini juga dipraktikkan Nabi saw. seperti termuat dalam sirah nabawiyyah. Sejarah Nabi, bagi Ali, adalah sejarah perubahan sosial untuk menentang sistem yang timpang. Penolakan masyarakat Quraisy bagi Ali, lebih dikarenakan faktor ekonomi daripada faktor agama. Mereka yang menentang takut jika hegemoni ekonomi yang ada di genggaman mereka terganggu. Dengan itu, tanpa ragu, Ali mengatakan bahwa Nabi adalah seorang revolusioner—tidak hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam tindakan. Lewat praksis ia berjuang untuk mengadakan perubahan sosial pada masanya.

Nabi, menurut Ali, adalah suara reformasi masa itu. Dalam hal ini, Nabi juga berkomitmen kepada perubahan nasib perempuan. Harkat dan martabat perempuan ditinggikan setahap demi setahap oleh Nabi; mulai dari hak mengakses ilmu dan informasi, pembatasan poligami hingga hak atas warisan yang selama kurun itu dinafikan oleh adat atau tradisi Arab.

****

Konsen Ali pada teologi pembebasan yang memihak perempuan makin kuat nuansanya, ketika lahir buku barunya dua tahun kemudian. Buku bertitel The Rights of Women in Islam (1992) itu mengkonstruksi tafsir Alquran yang pro kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Seperti diketahui, beberapa ayat Alquran merupakan ayat yang berwajah ganda. Misalnya saja ayat tentang poligami dan kepemimpinan perempuan. Poligami dianggap diperbolehkan, sementara yang lain mengatakan itu sebagai dalil monogami berdasarkan QS. al-Nisa’: 3. Demikian juga ayat tentang kepemimpinan perempuan.

Perwajahan ganda ini muncul akibat pembacaan yang tidak fair terhadap ayat-ayat Alquran. Yakni, mengambil pesan sebuah ayat sembari mengabaikan spirit yang mendasari ayat itu turun. Ali kemudian menyodorkan sebuah metodologi demi mengatasi hal ini. Ali mengajukan dua konsep: ayat normatif dan ayat kontekstual. Ayat normatif, bersifat das solen, “yang seharusnya”. Ia merupakan ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan normatif atau mengandung nilai universal sehingga berlaku sepanjang masa. Sementara ayat kontekstual adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan kontekstual atau berkait dengan keadaan masyarakat ketika itu. Ia bersifat das sein, ‘yang senyatanya’.

Tujuan pembedaan antara ayat normatif dan ayat kontekstual adalah untuk mengetahui perbedaan antara yang sebenarnya diinginkan oleh Allah dan yang dibentuk oleh realitas masyarakat pada waktu itu. Keduanya merupakan kekayaan Alquran. Sebab Kitab Suci ini tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris.

Ayat-ayat berwajah dua di atas dikategorikan oleh Ali sebagai ayat konstekstual. Ia berlaku sesuai konteks ketika ayat itu diturunkan. Poligami diperbolehkan pada zaman Nabi sebab ia diyakini jalan yang ampuh untuk mengangkat martabat perempuan yang terpuruk saat itu. Kini zaman sudah berubah. Perempuan sudah (lumayan) baik posisinya di masyarakat. Poligami menjadi sebuah anjuran atas nama memuliakan perempuan? Tidak, kata Ali. Ayat tentang penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan, dari esensi yang sama (QS. al-Nisa’: 1), pemuliaan semua anak Adam (QS. al-Isra’: 70), dan pemberian pahala yang sama bagi yang bertakwa, baik laki-laki ataupun perempuan (QS. al-Ahzab: 35) merupakan contoh ayat normatif.

Ali juga menegaskan bahwa sesungguhnya Alquran menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tapi konteks sosial ketika itu tidak dapat menerima hal demikian. Jika dipaksakan, maka dakwah Nabi akan mengalami kesulitan besar.

****

Ikhtiar Ali untuk mengentaskan perempuan dari penistaannya sebagai manusia yang bermartabat dan setara dengan laki-laki tentu patut disaluti. Tetapi, beberapa pihak tetap saja menaruh antipati kepada perjuangan lulusan teknik sipil Vikram University ini—baik secara pribadi maupun tidak.

Dalam makalah Western Feminism or Rights of Women in Islam (2003), Ali, misalnya menanggapi tuduhan bahwa feminis Islam—termasuk dirinya—telah menukil nilai-nilai Barat demi memperjuangkan kesetaraan gender. Bukan menjawab dengan emosional, tetapi ia malah balik bertanya; kalau ya, memangnya kenapa? Baginya, inspirasi untuk memperjuangkan perempuan dapat diambil dari manapun asalkan baik dan bermanfaat—termasuk dari Barat.

Ia juga mendapat tentangan dari komunitasnya, Dawood Bohra Community, bahkan ketika bakat kritisnya (baru) tumbuh. Waktu itu ia bertanya kepada kepala komunitasnya terkait prinsip keagamaan Bohra. Bukan dijawab, Ali malah diasingkan dan dieks-komunikasikan dari komunitas itu pada tahun 1977.

Toh begitu ia tetap tegar. Ia terus berjuang; menulis, berpidato, dan melakukan aksi-aksi nyata. Ali pun dianugerahi berbagai penghargaan dari bermacam kalangan berkat komitmen kuatnya atas kaum tertindas, utamanya kaum perempuan. Wallahu a’lam.]

*Warga komunitas SEROJA; Studi dan Aksi Perempuan, Ciputat. Kini bergiat di The WAHID Institute dan alumni pelatihan Tadarus Mahasiswa Rahima.

(diambil dari www.rahima.or.id, http://209.85.173.104/search?q=cache:AfG9TLSyKkAJ:www.rahima.or.id/SR/23-07/Fikrah.htm+%22Asghar+Ali%22&hl=id&ct=clnk&cd=9&gl=id)

Selamat Tahun Baru

Oleh: A. Mustofa Bisri

Kawan, Sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk
memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisabNya (A. Mustofa Bisri, Antologi Puisi Tadarus)

Tahun ini, tahun baru Hijriyah hampir bersamaan dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon.

Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak—lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak—dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.

Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”

Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin --yang merupakan mayoritas ini-- selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.
Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai..

Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.
(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).

Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan beaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.

Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program ’keagamaan’. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan ‘siraman ruhani’ dan dzikir bersama yang menghibur.

Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain.

Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan.

Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.

Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan ‘Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram.
Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak –atas nama amar ma’ruuf dan nahi ‘anil munkar-- mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.

Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini.

Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.

Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.

Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.
Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.

Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama.

Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana.

Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas.
Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak.

Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun.

Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap.

Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..

Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.

Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.

Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.

Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?

Selamat Tahun Baru !

Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis

Jakarta, wahidinstitute.org
Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa Indonesia.

Menurut KH Abdurrahman Wahid, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya bangsa Indonesia.

"Jadi menurut saya, kita juga mengalami krisis identitas," kata KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menggelar Orasi Catatan Akhir Tahun di Hotel Santika, Jakarta, Minggu (28/12/ 2008).

Di atas panggung, tampak sebagai penanggap yaitu, rohaniawan Romo Magnis Soeseno, mantan Menteri Sekretaris Negara Bondan Gunawan, mantan Juru Bicara Presiden Wimar Witoelar dan pakar komunikasi politik Effendy Ghazali. Acara yang berlangsung gayeng itu dimoderatori oleh wartawan Tempo, Wahyu Muryadi.

Salah satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, bangsa Indonesia harus membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-undang Dasar negara.

Gus Dur mengakui, batasan itu belum pernah dibicarakan bangsa. "Akibatnya terjadi pertentangan antara kelompok yang menganggap dirinya paling benar dan kelompok yang menganggap bahwa Indonesia ini merupakan kesatuan dari sejumlah pandangan-pandangan."

Namun perbedaan itu tetap harus didialogkan. "Jadi, satu sama lain kita haruslah sama-sama menenggang rasa," kata Gus Dur.

Tradisi menghargai perbedaan itu, kata Gus Dur, sudah terlihat sejak jaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya hingga ke Jawa sebelum bangsa Indonesia berdiri.

Bahkan pada masa Kerajaan Majapahit, tercetus semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Prinsip yang dicetuskan Mpu tantular ini digunakan sampai sekarang oleh bangsa Indonesia.

Menurut Gus Dur, jejak sejarah itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah lahan yang bagus untuk mengadakan perjumpaan-perjumpaan atau mengadakan toleransi yang tinggi.

"Ini adalah konsekuensi dari hidup serba plural tadi. Karenanya kalau ada yang menganggap dirinya lebih berkuasa dari lain-lain, maka namanya dia tidak mengerti kondisi Indonesia," tegas mantan Ketua Umum PBNU ini.

Romo Magnis, yang daulat sebagai penanggap pertama, menyetujui pendapat Gus Dur. "Pluralisme atau kemampuan menerima keanekaan, bukan sesuatu yang impor dari luar negri, melainkan sesuatu yang sudah lama ada di dalam masyarakat Indonesia. Sesuatu yang sudah biasa di masyarakat," kata Magnis.

Dia menjelaskan, peristiwa sejarah yang menyatukan bangsa Indonesia, seperti sumpah pemuda, proklamasi dan sebagainya terjadi karena tradisi pluralisme yang spontan.

"Saya tidak pesimistik dengan itu, karena kini parpol-parpol juga mengakui pluralisme itu. Tapi sekarang juga tumbuh tendensi-tendensi dalam masyarakat yang anti pluralis, yang memaksakan, dan tidak bisa menerima ada orang yang memiliki kepercayaan, keyakinan berbeda. Bahkan lalu diuber-uber. Itu berbahaya," tegas Magnis.

Menurut Magnis, bangsa Indonesia harus bisa belajar bahwa tidak ada kepercayaan yang sama. "Tapi ada nilai-nilai hidup bersama itu kita punyai bersama. Nilai itu penting untuk bersama-sama mengatasi masalah utama kita yaitu kemiskinan," jelasnya.
Perilaku pelaksana negara disoroti Bondan Gunawan. Menurut Bondan, mereka perlu memahami proto nasionalisme. "Darimana bangsa ini terbentuk, mengapa kita terbentuk, dan mengapa kita beraneka ragam," jelasnya.

Tanpa memahami proto nasionalisme dan metode perjuangan para founding fathers mustahil negeri ini akan bangkit kembali. "Karena hanya untuk berebut kekuasaan untuk individu bagi mereka yang maju," tegas Bondan.

Dalam catatannya, Wimar Witoelar menilai pada 2008 terjadi dua hal yang menggemparkan. "Jika di dunia Barat mempermasalahkan kapitalisme, di Indonesia mempersoalkan demokrasi," kata pria berambut keriting ini.

Namun Wimar menilai sampai kapanpun demokrasi adalah sistem yang terbaik. "Karena tidak ada sistem lain yang bisa mendatangkan hal-hal baik," katanya.

Demokrasi, kata Wimar, menjamin pluralisme, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lahir di Indonesia. "Konflik golongan, etnis, dan agama, muncul karena permainan politik dan kebodohan," jelasnya.

Pakar komunikasi politik Effendy Ghazali mengatakan issue pluralisme pada tahun 2008 ini tidak terlalu dihargai oleh media massa kita. Selain itu, kini agama sering ditunggangi kepentingan politik. Beberapa elit politik dengan mudahnya meminta fatwa kepada ulama agar golput diharamkan.

"Di sini Gus Dur memberitahu kita mana batas-batas dialog yang perlu selalu kita jaga untuk pluralisme di Indonesia," kata Effendy.[GF]

sunset

sunset
waktu selalu mengejar