Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Senin, 26 Januari 2009

NU "Vis a Vis" Transnasionalisme

Suatu istilah yang populer belakangan ini di kalangan kaum nahdliyin adalah “transnasionalisme”. Istilah ini diperuntukkan bagi ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang lintas negara. Namun, dalam konteks NU, istilah “transnasionalisme” diacu dan dirujukkan pada ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada Kata Pengantar buku KH Masdar Farid Mas’udi, Membangun NU berbasis Masjid dan Umat (2007), mengatakan: “Sejak tahun 90-an masjid-masjid di negeri kita semakin banyak yang disatroni oleh kelompok-kelompok dakwah yang dipengaruhi bahkan menjadi perangkat dari poros-poros ideologi transnasional yang asing bagi bangsa Indonesia yang majemuk, seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, Jaula dan Hizbut Tahrir. Masjid yang menjadi basis utama kelompok-kelompok ini pada awalnya adalah masjid-masjid kampus milik publik yang diakuisisi. Namun, belakangan mereka juga masuk ke masjid di kampung-kampung yang sebagian besar merupakan masjid dan basis nahdliyin.

Maka dari itu, beberapa tahun terakhir, NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk menghadapi ancaman ideologis dan massal dari kelompok-kelompok Islam transnasional tersebut. Usaha ke arah itu sudah dirintis oleh keluarga besar kaum nahdliyyin setidak-tidaknya sejak 2006 sampai sekarang melalui penyadaran dan pengangkatan isu Islam transnasional dalam berbagai forum organisasi. Salah satunya yang terakhir adalah Konferensi Wilayah PW NU Jawa Timur, 2-4 November 2007, yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU.

Ada tiga fokus persoalan yang diangkat dalam forum ilmiah NU tersebut. Pertama, ada tidaknya dalil nash yang mengharuskan pembentukan khilafah Islamiyah. Kedua, hukum kelompok warga negara Indonesia yang berusaha untuk mengubah bentuk dan dasar hukum negara. Ketiga, apakah strategi integralisasi syariah Islam secara substantif menyalahi prinsip tathbiq (penerapan) syariah menempuh pola tadrij (bertahap).

Para ulama NU sepakat bahwa pembentukan khilafah Islamiyah tidak ada dalil nash yang mengharuskan. Bahkan mengubah bentuk dan dasar hukum negara bila diperkirakan menimbulkan mafsadah yang lebih besar hukumnya tidak boleh. Apa yang dilakukan oleh NU dalam rangka mengintegralisasikan syariah dalam hukum nasional, tidak menyalahi prinsip tathbiq syariah, bahkan dinilai lebih tepat bagi Indonesia yang majemuk ini.

Tentu, itu harus dibaca secara kritis sebagai respons NU Vis a Vis transnasionalisme yang sudah terbukti dan teruji menjadi “bahaya laten” bagi NU. Bahkan lebih luas skopnya dari NU, yaitu bagi Indonesia yang mengubah sistem pemerintahan yang berujung pada penggulingan pemerintahan. Di beberapa negara Timur Tengah, semisal di Saudi Arabiyah yang berpaham Islam puritan Wahab dan di Mesir yang berpaham Islam Moderat, sama-sama melarang ideologi dan gerakan Islam transnasional tersebut.

Padahal, NU dan Indonesia, kata KH Muchith Muzadi, memiliki hubungan yang sangat erat. Menjadi NU otomatis menjadi Indonesia. Keduanya melebur dan menyatu seperti mata uang logam yang hanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Bila dikelola dengan baik dan mengacu pada prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) akan berbuah dividen kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran yang merupakan inti dari tujuan didirikannya negara.
Tujuan Negara

Para teoritikus Fiqih Siyasah, semisal, al-Juwaini, a-Ghazali, al-Baidhawi, dan lain sebagainya, menetapkan tujuan negara sebagai institusi yang bertujuan untuk hirasati al-dini (memelihara agama), dan siyati al-dunya (mengelola negara) dalam rangka menerapkan syariat Islam, menolak kerusakan, mewujudkan kemaslahatan umum, menegakkan keadilan dan menggapai kesejahteraan dan kemakmuran lahir-batin, dunia-akhirat. Sementara soal bentuk pemerintahan, bukan yang esensial dari pendirian negara. Yang esensial adalah tujuan negara, bukan bentuk pemerintahan. Sebab, bentuk pemerintahan itu sekadar sarana untuk mencapai tujuan negara. Sistem demokrasi adalah sarana, bukanlah tujuan. Demikian pula dengan sistem negara teokrasi, hanya sekadar sarana, bukanlah tujuan.

Jadi, sebagai sarana, antara sistem demokrasi dan teokrasi di atas sudah sepantasnya dikontestasikan dalam mencapai tujuan negara. Mana yang paling visible dan prospektif? Pasar dan sejarah yang akan menentukan. Sebab sarana itu “bebas nilai” dan “netral”, ia tidak terikat dan diikat oleh nilai dan norma apa pun, pemakai sarana yang diikat dan terikat. Oleh karena itu, sangat tidak relevan dan kontekstual melabelisasi sebuah sistem dengan label Islam ataupun kufur.

Dengan demikian, memobilisasi dukungan umat terhadap sebuah sistem murni management marketing sama sekali tidak berhubungan dengan agama, apalagi menentukan keberimanan, keberislaman, dan keberihsanan seseorang. Sama halnya dengan identitas dan kualitas agama tidak dapat diukur dari ia mengendarai apa? Apakah pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus, kendaraan umum atau mobil pribadi, sepeda motor, dan lain sebagainya? Sehingga tidak masuk akal, bila menakar identitas dan kualitas agama seseorang dengan alat transportasi apa yang dipakai. Seseorang tidak lantas menjadi Islam lantaran naik pesawat terbang. Ataupun seseorang tidak lantas menjadi kafir lantaran naik kendaran pribadi.

Sudah bukan zamannya lagi memobilisasi dukungan umat dengan mempropaganda bahwa sistem ini paling Islami, dan sistem itu kufur. Sebab sistem itu seperti kendaraan. Karena itu, siapa pun yang berkepentingan harus menjual keunggulan masing-masing dalam memberikan pelayanan, kepuasan, jaminan keamanan, dan kepastian mencapai tujuan bagi umat-bangsa. Dan, apa pun yang dipilih oleh umat-bangsa dari sekian alternatif sistem, itu yang paling meyakinkan hati, menenangkan jiwa, dan sesuai dengan selera publik.

Publik nusantara memilih sistem demokrasi daripada sistem teokrasi, lagi-lagi, ini soal selera masyarakat Indonesia, dan the living law (hukum yang hidup) di tengah-tengah masyarakat lokal dan nasional. Karena itu, kita harus mengesampingkan perdebatan wacana sistem negara, dan berkonsentrasi pada pencapaian tujuan negara. Semangat yang dibangun antara komunitas umat adalah fastabiqul-khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) (QS al-Maidah/4:48).

Perbedaan respons keindonesiaan antara NU dan Islam transnasional dalam konteks ini bisa dipahami. Masing-masing memiliki akar sejarahnya sendiri-sendiri. NU berurat-akar di Tanah Air, sedangkan Islam transnasional berurat-akar di Timur Tengah. Perbedaan akar kesejarahan tersebut berimplikasi pada pandangan, sikap, dan tindakan terhadap eksistensi Indonesia. Makanya, kita bisa mafhum, apabila sense of belonging NU lebih besar daripada Islam transnasional. Hal itu lantaran, NU mempunyai investasi besar dalam membidani, merawat, dan membesarkan Indonesia dengan segala dinamika dan romantika kehidupannya. Berbeda dengan Islam transnasional, yang sama sekali tidak “berkeringat” dalam pembangunan Indonesia. Ia datang setelah Indonesia melewati tiga dekade sejarah kehidupannya.

Mungkin beda andai kondisinya terbalik, Islam transnasional memiliki akar keindonesiaan, dan NU memiliki akar Timur Tengah. Bisa dibayangkan, boleh jadi, yang mati-matian membela Indonesia adalah Islam transnasional tersebut. Nyatanya, Islam transnasional datang belakangan, sehingga kita sudah semestinya ikut membantu mereka untuk beradaptasi dengan kondisi Indonesia yang majemuk ini.

Dimuat di harian SUARA PEMBARUAN Senin, 4 Februari 2008
KH Muhyiddin Abdusshomad

Penulis adalah Ketua PCNU dan Pengasuh PP NURIS Antirogo Jember

Menyambut Ultah NU ke 83 NU dan Passing Over Pemikiran

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Gerakan purifikasi itu dikeluhkan dan ditentang para kiai pesantren karena potensial merubuhkan jenis-jenis keislaman lokal nusantara. Bagi para kiai, tak ada Islam murni dan tak murni. Islam selalu berwatak lokal dan pribumi. Dengan memodifikasi pernyataan Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.), para kiai berpendirian bahwa Islam itu warna-warni.Yang menjadi perekat dari berbagai ekspresi keislaman itu, menurut para kiai, adalah nilai-nilai dasar dari agama itu (maqashid al-syari`at).

83 tahun lalu (31/1/1926), Nahdlatul Ulama berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan (jam`iyah diniyah ijtima`iyah). Kehadirannya saat itu memiliki beberapa tujuan pokok, di antaranya: Pertama, menahan laju purifikasi Islam yang digelorakan beberapa tokoh Wahabi Indonesia. Gerakan purifikasi itu dikeluhkan dan ditentang para kiai pesantren karena potensial merubuhkan jenis-jenis keislaman lokal nusantara. Bagi para kiai, tak ada Islam murni dan tak murni. Islam selalu berwatak lokal dan pribumi. Dengan memodifikasi pernyataan Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.), para kiai berpendirian bahwa Islam itu warna-warni. La lawna lahu. Walawnuhu lawna ina’ihi. Yang menjadi perekat dari berbagai ekspresi keislaman itu, menurut para kiai, adalah nilai-nilai dasar dari agama itu (maqashid al-syari`at).

Fakta antropologis, sosiologis, dan intelektual menunjukkan bahwa pernah ada Islam Hijaz dan Islam Persia. Jika Islam Hijaz bersandar pada kekuatan dalil normatif al-Qur’an dan Hadits (dalil naqli), maka Islam Persia secara umum bertunjang pada kekuatan akal (dalil aqli). Sejumlah pengamat masih mengkategorikan Islam Persia ke dalam dua corak; Islam Kufah dan Islam Bashrah Sekiranya Islam Kufah berparadigma formalistik-rasionalistik dengan tokohnya misalnya Ibrahim al-Nakha`i (w. 95 H.), Masruq al-Hamdani (w. 63 H.), maka Islam Bashrah beraroma sufitik-spiritual dengan tokohnya Hasan al-Bashri (w. 110 H.) dan Rabi`ah al-Adawiyah (w. 185 H.). Jika rasionalisme para ulama di Kufah dipandang sebagai respons positif atas filsafat Yunani yang berkembang di sana, maka asketisme Hasan al-Bashri dan eskapisme Rabi`ah ditempuh sebagai kritik terhadap hedonisme yang menghunjam di Bashrah.

Di Indonesia juga sama. Ada Islam Aceh, Islam Minangkabau, di samping Islam Sasak dan Islam Jawa. Di Jawa pun, ekspresi keislaman bisa dibedakan antara pesisir utara Jawa yang cenderung ortodoks dan pesisir selatan Jawa yang lebih heterodoks. Kita bisa melihat tampilan keislaman di utara Jawa mulai dari Banten, Cirebon, Pekalongan, Rembang, Tuban, Surabaya, Pasuruan, hingga Situbondo yang berbeda dengan karakter keislaman selatan Jawa mulai dari Yogyakarta, Kebumen, Magelang, Ngawi, Blitar, Pacitan, Lumajang hingga Banyuwangi. Sadar akan pluralitas itu, NU tak punya ambisi untuk merangkum kaum nahdliyyin ke dalam satu cluster pemikiran yang ekslusif. Warga NU hingga hari ini dibiarkan dengan segala keanekaragamannya. Sekali lagi, yang menjadi semen perekatnya adalah maqashid al-syari`at.

Kedua, NU berdiri untuk mengedukasi masyarakat agar tak fanatik pada salah satu mazhab pemikiran. Dalam Statuten Perkoempoelan Nahdlatul Ulama pasal 2 disebutkan tentang tujuan berdirinya NU, “Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe memegang dengan tegoeh satoe dari mazhabnja imam empat jaitoe Imam Moehammad bin Idris asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah An-Ne’man, atoe Imam Ahmad bin Hanbal, dan mengedjakan apa saja yang mendjadikan kemaslahatan agama Islam”. Artinya, di tengah masyarakat yang hanya bersandar pada mazhab Syafi’i saat itu, NU membuka ruang bagi diikutinya mazhab lain bahkan yang dikenal rasional sekalipun seperti Imam Abu Hanifah.

Kini sejumlah kiai NU melakukan passing over pemikiran. Dalam berbagai kegiatan ilmiah dan bahtsul masa’il, mereka tak hanya mengutip para imam mazhab dari rumpun keislaman Sunni, melainkan juga dari kelompok lain seperti Mu`tazilah dan Syi`ah. Sejumlah kiai merujuk pada tafsir al-Zamakhsyari yang berhaluan Mu`tazilah dan fikih Ja`fari yang Syi`ah. Di beberapa pesantren, tafsir al-Kasysyaf yang ditulis al-Zamakhsyari dipelajari secara khusus oleh para santri. Saya juga berjumpa dan kenal dengan beberapa kiai NU yang secara diam-diam melahap buku-buku keislaman progresif yang ditulis misalnya oleh Hassan Hanafi, Mohamed Arkoen, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Khalil Abdul Karim. Dalam soal pemikiran keislaman, sikap para kiai NU clear-cut; “lihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan” (unzhur ma qala wa la tanzhur man qala). Kesahihan sebuah pemikiran tak diukur dari siapa yang mengatakannya, tapi apa yang dikatakannya--seperti apa argumennya dan bagaimana kemanfaatannya.

Seperti disebutkan di ujung terakhir pasal 2 Statuten Perkoempoelan NU itu, kemasalahatan adalah jangkar dari seluruh diskursus keislaman dalam NU. Pandangan ini tak asing. Sebab, mayoritas ulama Islam memang berpendirian demikian. Izz al-Din Ibn Abdi al-Salam (w. 660 H.) misalnya berkata, “seluruh ketentuan dan ajaran di dalam Islam dikembalikan sepenuhnya kepada kemaslahatan” (innama al-takalif kulluha raji`atun ila mashalih al-`ibad fi dunyahum wa ukhrahum). Akhirnya, basis kemaslahtan inilah yang menjadi parameter keabsahan sebuah pemikiran dalam Islam dan ini juga yang terus mendinamisasi pemikiran dalam tubuh Nahdlatul Ulama, dari dulu hingga sekarang. Selamat Ulang Tahun NU yang ke 83. []

Rabu, 14 Januari 2009

Asghar Ali Engineer;Alquran untuk Perempuan dan Kaum Tertindas

Oleh: Nurun Nisa’*
Anak benua India yang senantiasa bergejolak itu melahirkan seorang feminis laki-laki berpengaruh abad ini; Asghar Ali Engineer. Lahir di Rajashtan pada 1940 dari keluarga ulama terpandang, Ali memiliki pengalaman keagamaan yang unik dan menukik. Waktu itu, ayahnya menjadi pemimpin Buhra, salah satu aliran keagamaan yang berkembang pesat di India. Di saat itulah terjadi eksploitasi atas nama agama. Ia menyesalkan keadaan ini. Tapi ia tidak menemukan jalan lain.

Ali terus bergumul dengan ketidaknyamanan itu. Sampai pada satu titik, Ali menemukan kesimpulan yang memprihatinkan; bahwa institusi keagamaan dapat dijadikan sebagai pemuas ambisi penguasa. Sementara di sisi yang lain, Ali meyakini bahwa tujuan agama adalah memperkaya kehidupan batin dan mendekatkan diri kepada Allah—seperti yang didapatkannya ketika membaca Alquran. Ada kontradiksi, tetapi ia terus bergumul dengan keadaan itu.

Pergumulan ini akhirnya membentuk sebuah sintesa tiga besar sebagaimana termuat dalam artikelnya yang bertajuk What I Believe (1999). Pertama, mengenai hubungan antara akal dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, fanatisme dan sektarianisme keagamaan adalah merusak karena cenderung menggiring manusia untuk mengumandangkan truth claim—yang dengannya keyakinan tertentu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dan yang lain adalah salah. Ketiga, mengenai watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah.

Pemikiran-pemikiran ini kemudian dipadatkan menjadi tema Islam sebagai ideologi pembebasan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan keberagaman. Dua tema terdepan akan menjadi pembahasan tulisan ini.

****

Islam sebagai ideologi pembebasan ditunjukkan dalam bukunya yang bertajuk Islam and Liberation Theology (1990) yang di-Indonesia-kan menjadi Teologi Pembebasan. Teologi pembebasan ala Ali berlandaskan pada Alquran dan sejarah Nabi saw. Mungkin inilah yang membedakan dengan teologi pembebasan gaya Amerika Latin yang bersandar hanya kepada Kitab Injil semata. Teologi pembebasan yang dimaksud Ali bersifat konkret, kontekstual, dan praksis. Ia berada pada realitas kekinian dan bertolak dari kondisi sosial yang ada. Ia juga merupakan refleksi dan aksi iman dan amal—sebuah produk pemikiran yang diikuti dengan praksis pembebasan. Ia ditujukan kepada kaum mustadh’afin (kaum yang dilemahkan oleh sistem), termasuk perempuan.

Alquran dalam hal ini menekankan pada umatnya agar menyantuni anak yatim, menegakkan keadilan, dan menekankan agar kekayaan tidak hanya berputar di segelintir orang. Ini juga dipraktikkan Nabi saw. seperti termuat dalam sirah nabawiyyah. Sejarah Nabi, bagi Ali, adalah sejarah perubahan sosial untuk menentang sistem yang timpang. Penolakan masyarakat Quraisy bagi Ali, lebih dikarenakan faktor ekonomi daripada faktor agama. Mereka yang menentang takut jika hegemoni ekonomi yang ada di genggaman mereka terganggu. Dengan itu, tanpa ragu, Ali mengatakan bahwa Nabi adalah seorang revolusioner—tidak hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam tindakan. Lewat praksis ia berjuang untuk mengadakan perubahan sosial pada masanya.

Nabi, menurut Ali, adalah suara reformasi masa itu. Dalam hal ini, Nabi juga berkomitmen kepada perubahan nasib perempuan. Harkat dan martabat perempuan ditinggikan setahap demi setahap oleh Nabi; mulai dari hak mengakses ilmu dan informasi, pembatasan poligami hingga hak atas warisan yang selama kurun itu dinafikan oleh adat atau tradisi Arab.

****

Konsen Ali pada teologi pembebasan yang memihak perempuan makin kuat nuansanya, ketika lahir buku barunya dua tahun kemudian. Buku bertitel The Rights of Women in Islam (1992) itu mengkonstruksi tafsir Alquran yang pro kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Seperti diketahui, beberapa ayat Alquran merupakan ayat yang berwajah ganda. Misalnya saja ayat tentang poligami dan kepemimpinan perempuan. Poligami dianggap diperbolehkan, sementara yang lain mengatakan itu sebagai dalil monogami berdasarkan QS. al-Nisa’: 3. Demikian juga ayat tentang kepemimpinan perempuan.

Perwajahan ganda ini muncul akibat pembacaan yang tidak fair terhadap ayat-ayat Alquran. Yakni, mengambil pesan sebuah ayat sembari mengabaikan spirit yang mendasari ayat itu turun. Ali kemudian menyodorkan sebuah metodologi demi mengatasi hal ini. Ali mengajukan dua konsep: ayat normatif dan ayat kontekstual. Ayat normatif, bersifat das solen, “yang seharusnya”. Ia merupakan ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan normatif atau mengandung nilai universal sehingga berlaku sepanjang masa. Sementara ayat kontekstual adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan kontekstual atau berkait dengan keadaan masyarakat ketika itu. Ia bersifat das sein, ‘yang senyatanya’.

Tujuan pembedaan antara ayat normatif dan ayat kontekstual adalah untuk mengetahui perbedaan antara yang sebenarnya diinginkan oleh Allah dan yang dibentuk oleh realitas masyarakat pada waktu itu. Keduanya merupakan kekayaan Alquran. Sebab Kitab Suci ini tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris.

Ayat-ayat berwajah dua di atas dikategorikan oleh Ali sebagai ayat konstekstual. Ia berlaku sesuai konteks ketika ayat itu diturunkan. Poligami diperbolehkan pada zaman Nabi sebab ia diyakini jalan yang ampuh untuk mengangkat martabat perempuan yang terpuruk saat itu. Kini zaman sudah berubah. Perempuan sudah (lumayan) baik posisinya di masyarakat. Poligami menjadi sebuah anjuran atas nama memuliakan perempuan? Tidak, kata Ali. Ayat tentang penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan, dari esensi yang sama (QS. al-Nisa’: 1), pemuliaan semua anak Adam (QS. al-Isra’: 70), dan pemberian pahala yang sama bagi yang bertakwa, baik laki-laki ataupun perempuan (QS. al-Ahzab: 35) merupakan contoh ayat normatif.

Ali juga menegaskan bahwa sesungguhnya Alquran menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tapi konteks sosial ketika itu tidak dapat menerima hal demikian. Jika dipaksakan, maka dakwah Nabi akan mengalami kesulitan besar.

****

Ikhtiar Ali untuk mengentaskan perempuan dari penistaannya sebagai manusia yang bermartabat dan setara dengan laki-laki tentu patut disaluti. Tetapi, beberapa pihak tetap saja menaruh antipati kepada perjuangan lulusan teknik sipil Vikram University ini—baik secara pribadi maupun tidak.

Dalam makalah Western Feminism or Rights of Women in Islam (2003), Ali, misalnya menanggapi tuduhan bahwa feminis Islam—termasuk dirinya—telah menukil nilai-nilai Barat demi memperjuangkan kesetaraan gender. Bukan menjawab dengan emosional, tetapi ia malah balik bertanya; kalau ya, memangnya kenapa? Baginya, inspirasi untuk memperjuangkan perempuan dapat diambil dari manapun asalkan baik dan bermanfaat—termasuk dari Barat.

Ia juga mendapat tentangan dari komunitasnya, Dawood Bohra Community, bahkan ketika bakat kritisnya (baru) tumbuh. Waktu itu ia bertanya kepada kepala komunitasnya terkait prinsip keagamaan Bohra. Bukan dijawab, Ali malah diasingkan dan dieks-komunikasikan dari komunitas itu pada tahun 1977.

Toh begitu ia tetap tegar. Ia terus berjuang; menulis, berpidato, dan melakukan aksi-aksi nyata. Ali pun dianugerahi berbagai penghargaan dari bermacam kalangan berkat komitmen kuatnya atas kaum tertindas, utamanya kaum perempuan. Wallahu a’lam.]

*Warga komunitas SEROJA; Studi dan Aksi Perempuan, Ciputat. Kini bergiat di The WAHID Institute dan alumni pelatihan Tadarus Mahasiswa Rahima.

(diambil dari www.rahima.or.id, http://209.85.173.104/search?q=cache:AfG9TLSyKkAJ:www.rahima.or.id/SR/23-07/Fikrah.htm+%22Asghar+Ali%22&hl=id&ct=clnk&cd=9&gl=id)

Selamat Tahun Baru

Oleh: A. Mustofa Bisri

Kawan, Sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk
memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisabNya (A. Mustofa Bisri, Antologi Puisi Tadarus)

Tahun ini, tahun baru Hijriyah hampir bersamaan dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon.

Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak—lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak—dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.

Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”

Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin --yang merupakan mayoritas ini-- selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.
Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai..

Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.
(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).

Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan beaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.

Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program ’keagamaan’. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan ‘siraman ruhani’ dan dzikir bersama yang menghibur.

Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain.

Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan.

Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.

Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan ‘Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram.
Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak –atas nama amar ma’ruuf dan nahi ‘anil munkar-- mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.

Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini.

Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.

Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.

Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.
Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.

Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama.

Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana.

Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas.
Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak.

Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun.

Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap.

Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..

Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.

Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.

Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.

Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?

Selamat Tahun Baru !

Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis

Jakarta, wahidinstitute.org
Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa Indonesia.

Menurut KH Abdurrahman Wahid, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya bangsa Indonesia.

"Jadi menurut saya, kita juga mengalami krisis identitas," kata KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menggelar Orasi Catatan Akhir Tahun di Hotel Santika, Jakarta, Minggu (28/12/ 2008).

Di atas panggung, tampak sebagai penanggap yaitu, rohaniawan Romo Magnis Soeseno, mantan Menteri Sekretaris Negara Bondan Gunawan, mantan Juru Bicara Presiden Wimar Witoelar dan pakar komunikasi politik Effendy Ghazali. Acara yang berlangsung gayeng itu dimoderatori oleh wartawan Tempo, Wahyu Muryadi.

Salah satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, bangsa Indonesia harus membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-undang Dasar negara.

Gus Dur mengakui, batasan itu belum pernah dibicarakan bangsa. "Akibatnya terjadi pertentangan antara kelompok yang menganggap dirinya paling benar dan kelompok yang menganggap bahwa Indonesia ini merupakan kesatuan dari sejumlah pandangan-pandangan."

Namun perbedaan itu tetap harus didialogkan. "Jadi, satu sama lain kita haruslah sama-sama menenggang rasa," kata Gus Dur.

Tradisi menghargai perbedaan itu, kata Gus Dur, sudah terlihat sejak jaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya hingga ke Jawa sebelum bangsa Indonesia berdiri.

Bahkan pada masa Kerajaan Majapahit, tercetus semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Prinsip yang dicetuskan Mpu tantular ini digunakan sampai sekarang oleh bangsa Indonesia.

Menurut Gus Dur, jejak sejarah itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah lahan yang bagus untuk mengadakan perjumpaan-perjumpaan atau mengadakan toleransi yang tinggi.

"Ini adalah konsekuensi dari hidup serba plural tadi. Karenanya kalau ada yang menganggap dirinya lebih berkuasa dari lain-lain, maka namanya dia tidak mengerti kondisi Indonesia," tegas mantan Ketua Umum PBNU ini.

Romo Magnis, yang daulat sebagai penanggap pertama, menyetujui pendapat Gus Dur. "Pluralisme atau kemampuan menerima keanekaan, bukan sesuatu yang impor dari luar negri, melainkan sesuatu yang sudah lama ada di dalam masyarakat Indonesia. Sesuatu yang sudah biasa di masyarakat," kata Magnis.

Dia menjelaskan, peristiwa sejarah yang menyatukan bangsa Indonesia, seperti sumpah pemuda, proklamasi dan sebagainya terjadi karena tradisi pluralisme yang spontan.

"Saya tidak pesimistik dengan itu, karena kini parpol-parpol juga mengakui pluralisme itu. Tapi sekarang juga tumbuh tendensi-tendensi dalam masyarakat yang anti pluralis, yang memaksakan, dan tidak bisa menerima ada orang yang memiliki kepercayaan, keyakinan berbeda. Bahkan lalu diuber-uber. Itu berbahaya," tegas Magnis.

Menurut Magnis, bangsa Indonesia harus bisa belajar bahwa tidak ada kepercayaan yang sama. "Tapi ada nilai-nilai hidup bersama itu kita punyai bersama. Nilai itu penting untuk bersama-sama mengatasi masalah utama kita yaitu kemiskinan," jelasnya.
Perilaku pelaksana negara disoroti Bondan Gunawan. Menurut Bondan, mereka perlu memahami proto nasionalisme. "Darimana bangsa ini terbentuk, mengapa kita terbentuk, dan mengapa kita beraneka ragam," jelasnya.

Tanpa memahami proto nasionalisme dan metode perjuangan para founding fathers mustahil negeri ini akan bangkit kembali. "Karena hanya untuk berebut kekuasaan untuk individu bagi mereka yang maju," tegas Bondan.

Dalam catatannya, Wimar Witoelar menilai pada 2008 terjadi dua hal yang menggemparkan. "Jika di dunia Barat mempermasalahkan kapitalisme, di Indonesia mempersoalkan demokrasi," kata pria berambut keriting ini.

Namun Wimar menilai sampai kapanpun demokrasi adalah sistem yang terbaik. "Karena tidak ada sistem lain yang bisa mendatangkan hal-hal baik," katanya.

Demokrasi, kata Wimar, menjamin pluralisme, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lahir di Indonesia. "Konflik golongan, etnis, dan agama, muncul karena permainan politik dan kebodohan," jelasnya.

Pakar komunikasi politik Effendy Ghazali mengatakan issue pluralisme pada tahun 2008 ini tidak terlalu dihargai oleh media massa kita. Selain itu, kini agama sering ditunggangi kepentingan politik. Beberapa elit politik dengan mudahnya meminta fatwa kepada ulama agar golput diharamkan.

"Di sini Gus Dur memberitahu kita mana batas-batas dialog yang perlu selalu kita jaga untuk pluralisme di Indonesia," kata Effendy.[GF]

Etika Israel di Gaza

Oleh Hamid Basyaib

Serangan Israel merupakan penghukuman kolektif terhadap seluruh warga Gaza karena tindakan sejumlah serdadu Hamas. Gempuran itu juga merupakan reaksi yang jauh melampaui proporsi. Ini memang doktrin Israel sejak ia berdiri: menyerang besar-besaran dengan mendefinisikannya sebagai pembalasan; atau menyerang duluan dengan dalih mencegah ancaman potensial menjadi aktual; taktik pre-emptive strike temuan Israel ini kemudian ditiru AS di Irak.

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di http://www.inilah.com, 08/01/2009

Terlalu banyak hukum internasional dan etika perang yang dilanggar Israel dalam rangkaian gempurannya atas Gaza yang, menurut Amnesty International per 7 Januari, telah menewaskan lebih dari 700 dan melukai sekitar 3.000 orang.

Korban luka yang kelak selamat pun mungkin akan mengidap kanker, karena Israel menggunakan bom gas fosfor putih. Senjata kimia ilegal ini bisa menimbulkan kerusakan fisik hingga ke tulang – atau mengubah tubuh menjadi serpihan.

Dr Mads Gilbert, anggota tim relawan medis Norwegia yang bekerja di Gaza, masih mendokumentasikan penggunaan bom-bom ilegal itu, yang terkategori Dense Inert Metal Explosive (DIME). Dr Gilbert, yang telah berpengalaman di wilayah konflik, menyatakan situasi di Gaza merupakan yang terburuk yang pernah dia saksikan.

Dua sekolah PBB terkena bom, menewaskan 30 anak di dalamnya. New York Times, Senin lalu melaporkan, rumah sakit di Gaza penuh warga sipil, bukan serdadu Hamas.

Membidik sasaran sipil melanggar Konvensi Geneva ke-4. Lontaran roket-roket Hamas ke wilayah Israel, yang tidak membedakan kombatan dan nonkombatan, adalah ilegal, meski korban aktualnya sejauh ini hanya enam orang; dan sepanjang satu tahun sebelum serangan ini tidak menewaskan satu pun warga Israel.

Jadi gempuran Israel lebih terkait dengan persaingan politik di Tel Aviv menjelang pemilu Februari. Partai Kadima yang berkuasa ingin menunjukkan ia pun bisa sekeras Likud, yang menjadikan ketidaktegasan partai Tzipi Livni (calon favorit PM) itu terhadap Palestina sebagai kartu untuk mengalahkannya.

Tapi yang dilakukan Israel, dengan gempuran udara dan daratnya, melanggar Konvensi Geneva secara sangat serius. Korban sipil terlalu banyak, sampai 25 persen dari seluruh korban, seperti terlihat dari mereka yang dirawat. Dari segi ini dalih bahwa jatuhnya warga sipil hanya ekses sulit diterima. Yang lebih mungkin: Israel tidak membedakan militer dan sipil – atau setidaknya tak cukup sungguh-sungguh membidik eksklusif serdadu Hamas.

Boleh jadi ini bagian dari strategi Israel untuk mengucilkan atau menurunkan popularitas Hamas di mata warga Palestina, atau warga Gaza khususnya. Dengan banyaknya korban jiwa dan bangunan sipil, warga Gaza akan menyalahkan Hamas, yang memang suka memprovokasi Israel (yang juga merupakan strategi Hamas agar tampak kredibel di mata warga Palestina, untuk membedakannya dari Fatah-PLO yang terkesan lunak terhadap Israel).

Serangan Israel merupakan penghukuman kolektif terhadap seluruh warga Gaza karena tindakan sejumlah serdadu Hamas. Gempuran itu juga merupakan reaksi yang jauh melampaui proporsi. Ini memang doktrin Israel sejak ia berdiri: menyerang besar-besaran dengan mendefinisikannya sebagai pembalasan; atau menyerang duluan dengan dalih mencegah ancaman potensial menjadi aktual; taktik pre-emptive strike temuan Israel ini kemudian ditiru AS di Irak.

Alasan keempat yang membuat Israel melanggar Konvensi Geneva: ia memblokade Gaza dari bantuan pangan dan obat-obatan, sehingga menimbulkan krisis kemanusiaan di wilayah mini berpenduduk 1,5 juta jiwa itu. Gempuran Israel sejak dua pekan silam sesungguhnya puncak dari blokade yang dilakukannya selama dua tahun terakhir.

AS memberikan sumbangan besar, hampir secara langsung, terhadap gempuran Israel kali ini. Menurut Marjorie Cohn, Direktur Pusat Studi Timur Tengah Universitas San Francisco, Amerika melanggar hukumnya sendiri.

AS memberi bantuan US$3 miliar per tahun kepada Israel. Dana pajak rakyat AS inilah yang digunakan Israel untuk membeli jet F-16 dan helikopter tempur Apache yang dipakai untuk menggempur Gaza sekarang. UU Bantuan Keamanan dan HAM melarang AS membantu Israel, yang terlibat pelanggaran berat HAM sebagaimana diakui oleh masyarakat internasional, dalam pola yang konsisten.

UU Pengendalian Ekspor Senjata melarang persenjataan AS digunakan selain di dalam batas negara demi membela diri.

“Mengebom gedung-gedung sekolah, kantor polisi dan stasiun penyiaran bukanlah pembelaan diri,” kata Cohn, yang juga profesor hukum dan presiden Gilda Pengacara Nasional (marjoriecohn.com).

New York Times mengutip sejumlah pakar Timur Tengah yang yakin bahwa serangan Israel kali ini sebagai “aji mumpung” – mumpung Presiden Bush masih duduk di Gedung Putih. Karena itu harapan tinggal pada presiden terpilih Barack Obama, sebagai kepala negara satu-satunya yang mampu menghentikan kebuasan Israel yang melanggar semua hukum dan etika perang.

Maka kebungkaman Obama, selain sangat disayangkan, juga aneh, mengingat begitu banyak hal yang selama ini dikomentarinya dengan tegas, termasuk isu-isu luar negeri yang panas seperti Irak dan Afghanistan.

Dunia memang tidak mungkin berharap Obama bersikap keras terhadap Israel atau berpihak pada Palestina. Tapi dunia tentu pantas berharap agar Obama memahami bahwa yang sedang terjadi di Gaza bukanlah perang, melainkan krisis kemanusiaan.

Jumat, 02 Januari 2009

Ancaman Obama untuk Indonesia

Oleh Saidiman

Latar belakang Obama sebagai minoritas akan membuatnya lebih bisa menyadari akan adanya keragaman. Masing-masing orang memiliki nalar dan kebajikannya sendiri. Nilai kebenaran tidak pernah tunggal, melainkan beragam. Obama akan lebih mudah merayakan keberagaman, ketimbang mencurigainya. Inilah keistimewaan kalangan minoritas yang berhasil menjadi pemimpin.

Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya di Sinar Harapan, 1 Desember 2008

Pemerintah Indonesia patut mewaspadai Barack Obama yang berhasil unggul dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, 4 November 2008. Kewaspadaan itu perlu mengingat perbedaan yang mungkin muncul antara cita-cita politik Obama dan haluan kebijakan pemerintah Republik Indonesia.

Kemenangan Semua Golongan

Memang banyak warga negara Indonesia yang menginginkan senator ini memenangkan pemilihan. Para pendukungnya menganggap Obama akan menjadi presiden yang memperhatikan kepentingan Indonesia dalam politik internasional. Pengalaman pernah tinggal di Indonesia diyakini akan membuka mata Obama tentang realitas masyarakat dunia yang beragam.

Dengan pemahaman seperti itu, Obama tampil sebagai kandidat yang mengusung nilai-nilai liberalisme dan pluralisme. Dalam pidato kemenangannya, Obama tigak segan menyapa semua warga Amerika: yang berkulit putih maupun hitam, yang perempuan maupun laki-laki, para agamawan, kaum gay maupun lesbian, para difable, dan seterusnya. “Kita semua adalah warga Amerika Serikat,” tegas Obama.

Dengan cara pandang semacam ini, tampak bahwa Obama tidak akan memberi toleransi terhadap praktik-pratik diskriminasi dalam bentuk dan dengan latar belakang apapun. Dia tidak akan mudah melakukan praktik yang sebetulnya selalu menjadi ancaman bagi eksistensinya sebagai kelompok minoritas kulit hitam Amerika. Latar belakang semacam ini penting untuk membangun kesadaran mengenai pluralitas.

Yang membedalan pemerintahan Bush dan Obama adalah bahwa Bush menerapkan cara pandang dualisme: di mana dunia di luar Amerika dianggap sebagai objek yang harus diubah sesuai dengan cara pandang masyarakat Amerika. Dunia ini, bagi Bush, harus di”adab”kan, apapun caranya, dan itu adalah sesuatu yang baik.

Latar belakang Obama sebagai minoritas akan membuatnya lebih bisa menyadari akan adanya keragaman. Masing-masing orang memiliki nalar dan kebajikannya sendiri. Nilai kebenaran tidak pernah tunggal, melainkan beragam. Obama akan lebih mudah merayakan keberagaman, ketimbang mencurigainya. Inilah keistimewaan kalangan minoritas yang berhasil menjadi pemimpin.

Paradigma Diskriminatif Pemerintah Indonesia

Terlalu dini jika kemudian kita simpulkan bahwa dengan bekal pengetahuan mengenai realitas Indonesia, Obama kemudian akan mengeluarkan kebijakan yang mendukung kebijakan pemerintah negeri ini. Pemerintah Indonesia justru seharusnya waspada kepada Obama mengingat beberapa kebijakan dalam negeri yang belum sesuai dengan garis haluan cita-cita Obama untuk menghapus diskriminasi.

Dalam banyak kasus, Indonesia terlihat belum cukup memuaskan dalam penanganan isu-isu penghapusan diskriminasi. Beberapa kasus besar pelanggaran hak azasi manusia yang melibatkan rezim pemerintah masih terlalu jauh dari penyelesaian: kasus pembantaian anggota PKI 1960-an, represi Orde Baru terhadap kelompok Islam, kekerasan Timor Timur, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, penculikan dan pembunuhan aktivis di akhir 1990-an, pembunuhan aktivis HAM Munir, kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah, pemenjaraan dan kekerasan terhadap tokoh-tokoh agama minoritas seperti Lia Eden, Yusman Roy, Madi, dan sebagainya.

Pemerintah Indonesia tidak hanya lalai dalam menjamin hak warga negara minoritas untuk hidup dan berekspresi sebagaimana warga negara pada umumnya, pemerintah bahkan tidak mampu membendung semangat untuk memberlakukan pelbagai aturan diskriminatif. Pelbagai peraturan daerah silih berganti muncul untuk membatasi aktivitas warga. Tiga pembantu presiden bahkan menandatangani larangan terhadap penganut ajaran Ahmadiyah untuk menyebarkan keyakinannya. Pemerintah tampak masih sangat tunduk kepada aspirasi kelompok mayoritas tetapi mengabaikan hak-hak minoritas. Dewan Perwakilan Rakyat bahkan mensahkan Rancangan Undang-undang Pornografi yang mendeskreditkan budaya beberapa kelompok masyarakat.

Pemerintah Indonesia tidak hanya melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik diskriminasi, melainkan juga acapkali terlibat sebagai pelaku diskriminasi itu sendiri. Menangkap orang-orang yang dianggap menyimpang dalam hal keyakinan agama benar-benar adalah bentuk diskriminasi. Sebab paradigma menyimpang hanya berdasar kepada pendapat kelompok mayoritas. Sementara argumentasi dan aspirasi kelompok minoritas tidak mendapat perhatian sama sekali. Dari kacamata minoritas, yang menyimpang justru adalah kelompok mayoritas.

Pada aspek pembangunan, pemerintah Indonesia jelas melakukan diskriminasi pembangunan. Pemerintah seolah tertutup pintu hatinya untuk memfokuskan pembangunan pada masyarakat Indonesia bagian Timur yang sejak lama tidak bisa menikmati akses pembangunan. Masyarakat Indonesia bagian Timur dibiarkan tenggelam dalam keterbelakangan dan kebodohan. Akibatnya, seluruh paradigma berpikir pemerintah selalu terpaku pada cara pandang masyarakat Indonesia bagian Barat.

Pelbagai kasus diskriminasi ini terjadi karena tidak adanya kesadaran mengenai keragaman. Seolah-olah dunia ini adalah satu dan seragam. Keragaman adalah sesuatu yang benar-benar nyata dan tak mungkin dipungkiri. Adonis, pemikir besar Libanon, mengemukakan bahwa asal muasal keragaman itu ada pada penciptaan awal. Tidak benar, menurut Adonis, penciptaan ini berasal dari sesuatu yang tunggal. Fakta keragaman membuktikan bahwa semuanya berasal dari yang beragam. Keragaman adalah esensi kehidupan. Oleh karenanya, menghargai dan merayakan keragaman adalah sesuatu yang semestinya. Mereka yang ingin memberangus keragaman justru adalah mereka yang ingin keluar dari logika alamiah itu sendiri.

Paradigma diskriminatif itu pasti bertolak belakang dengan paradigma yang terus menerus dijadikan bahan utama bagi kampanye Obama. Dengan demikian, jika pemerintah Indonesia tidak mau mengubah paradigma diskriminatifnya, maka bukan simpati Obama yang akan datang, melainkan ancaman.

Selamat datang, Obama!

Menyikapi Konflik Hamas-Israel

Oleh Mohamad Guntur Romli

Kita juga menjumpai adanya kemunduran pada posisi Hamas yang menguasai Jalur Gaza saat ini, yang beberapa tahun sebelum ini menjanjikan harapan dan perubahan bagi dunia internasional dengan mengikuti pemilu dan meninggalkan pendekatan senjata dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Namun, karena perpecahan internal di Palestina, khususnya Hamas dengan kelompok Fatah, Hamas seolah-olah kembali ke habitatnya yang semula. Ke depan, Hamas perlu kembali pada jalur: jihad diplomatik dan perundingan untuk meraih kembali dukungan dunia internasional.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Kompas, Rabu, 31 Desember 2008

Sampai tiga hari serangan militer Israel ke jalur Gaza telah tewas 350 orang lebih dan 1.000 orang luka-luka. Tak hanya penduduk Palestina yang banyak mati syahid, serangan militer Israel yang membabi buta itu juga menghancurkan fasilitas-fasilitas publik: universitas, masjid, rumah sakit, dan lain-lain. Dunia internasional mengecam dan mengutuk tindakan brutal militer Israel itu.

Konflik antara Hamas dan Israel ini lahir akibat dari kebuntuan politik dalam mencari solusi ke depan. Gagalnya perpanjangan gencatan senjata dua pekan sebelum ini antara Israel dan Hamas menjadi pemantik konflik ini. Kedua belah pihak saling tuding pihak mana yang mengawali konflik ini. Bagi Israel, Hamas-lah yang telah mengirimkan roket-roket yang menyerang permukiman sipil Israel. Namun, bagi Hamas, Israel-lah yang telah melanggar kesepakatan genjatan senjata sehingga Hamas tidak ingin memperpanjang kesepakatan itu.

Apa pun persoalannya, tindakan Israel yang menyerang Gaza kali ini tidak bisa dibenarkan sama sekali. Apa yang disebut sebagai ”tindakan membela diri” hanyalah dalih bagi pihak militer Israel untuk menyerang Palestina yang tujuannya meruntuhkan rezim Hamas di Gaza. Cara ini hanya didukung oleh kelompok elite konservatif dan militer di Israel yang masih percaya bahwa dengan pencaplokan dan serangan militer, keamanan bagi rakyatnya bisa dijaga.

Masih segar dalam ingatan kita, pada medio 2006, ketika ditengarai ada delapan serdadu Israel terbunuh dan dua serdadu ditawan di perbatasan Lebanon selatan oleh tentara Hizbullah, Israel malah melancarkan se- rangan membabi buta, meng- hancurkan kota-kota di Lebanon, khususnya Beirut, dan mene- waskan 1.000 orang lebih.

Pihak militer Israel dalam posisi sewenang-wenang merasa di atas hukum nurani kemanusiaan dan hukum-hukum internasional. Setiap kali Israel terdesak oleh kesepakatan damai, salah satu strategi yang ia lancarkan adalah melakukan penyerangan dan kekerasan sehingga pihak Palestina lupa akan tuntutan-tuntutan terhadap Israel tersebut dan terpaksa berhenti pada genjatan senjata saja.

Semakin lemah

Menyikapi hal ini, rakyat Palestina membutuhkan hukum internasional yang terbaru untuk menekan pihak Israel. Hukum tersebut harus berbeda dari hukum-hukum internasional sebelum ini yang tidak bisa efektif dan koersif terhadap Israel. Tentu saja hukum internasional ini belum tentu langsung berhasil, tetapi kalau tidak dilakukan, itu hanya akan terus memperkuat apatisme. Kegagalan sebelum ini tak bisa dijadikan alasan untuk terus apatis, tetapi dijadikan sebagai pelajaran agar tidak kembali gagal.

Pada konteks yang lain, rakyat Palestina saat ini, baik yang ada di Jalur Gaza maupun Tepi Barat, seperti dalam tawanan pihak-pihak yang berkuasa, baik Fatah maupun Hamas. Adanya perpecahan antara Fatah dan Hamas sejak tahun 2007 membuat posisi Palestina semakin lemah di hadapan Israel.

Menyikapi serangan Israel terhadap Gaza kali ini pun, pihak PLO dan Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Mahmoud Abbas hanya berpangku tangan dan menyalahkan Hamas. PLO dan Otoritas Palestina tidak bisa bekerja dengan efektif karena dikuasai kelompok Fatah yang korup sehingga tidak bisa mengontrol perkembangan yang ada di Gaza yang dikuasai kelompok Hamas.

Adanya persaingan Ismail Haniyah, perdana menteri versi Hamas, dengan Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, yang berujung pada penggusuran posisi Ismail Haniyah dan meng- gantinya dengan Salam Fayyad—meskipun dari pihak independen dan profesional—tetap tidak bisa mengendalikan situasi di Palestina.

Hal yang mendesak dilakukan adalah kelompok-kelompok yang bertikai di Palestina, mulai dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami, segera berkumpul dan berunding. Perpecahan di antara mereka hanya memperlemah posisi Palestina dan menguatkan posisi lawan. Lembaga Otoritas Palestina dan PLO juga perlu di- kembalikan pada fungsinya dan dihormati keberadaannya. Fatah tidak bisa secara otoriter ingin menguasai dua lembaga ini yang bisa berkomunikasi dengan dunia internasional. Menutup akses ini pada Hamas—yang telah lama diboikot dunia internasional—akan membuat Hamas bertindak sendiri dan merugikan pihak Palestina.

Jihad diplomatik

Kita juga menjumpai adanya kemunduran pada posisi Hamas yang menguasai Jalur Gaza saat ini, yang beberapa tahun sebelum ini menjanjikan harapan dan perubahan bagi dunia internasional dengan mengikuti pemilu dan meninggalkan pendekatan senjata dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Namun, karena perpecahan internal di Palestina, khususnya Hamas dengan kelompok Fatah, Hamas seolah-olah kembali ke habitatnya yang semula. Ke depan, Hamas perlu kembali pada jalur: jihad diplomatik dan perundingan untuk meraih kembali dukungan dunia internasional.

Sikap Hamas yang semakin keras justru akan membuat posisinya semakin terkucil meskipun mengucilkan Hamas adalah tindakan pengecut karena tidak memiliki keberanian untuk menekan Israel yang lebih kuat dan brutal. Sikap pengucilan ini akan semakin membuat pendukung Hamas kehilangan diri dan harapan sehingga konflik di sana akan semakin berkepanjangan. Jika hal ini terus terjadi, berarti kita telah membiarkan kekuatan rasional dan diplomatik kalah di hadapan kekuatan emosional yang destruktif.

Oleh karena itu, menyikapi konflik yang ada di Jalur Gaza sekarang ini, rakyat Palestina memerlukan selain bantuan-bantuan kemanusiaan, yang lebih penting adalah dukungan publik dunia internasional untuk menekan Israel. Bukan bantuan ”relawan jihad” karena para pejuang Palestina sangat tangguh, berani, dan berpengalaman. Sembari memberikan dukungan itu, kita perlu membantu dan mendorong agar pihak-pihak yang pecah di Palestina—dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami—berkumpul, berunding, dan mencari kesepakatan agar barisan rakyat Palestina kukuh dan tidak mudah tercerai-berai menghadapi serangan kaum konservatif Israel.

Lia Aminuddin dan Problem Penghapusan Agama

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Dengan demikian, agama baru tak boleh bersikap angkuh dengan menganulir ajaran agama sebelumnya yang telah menjadi keyakinan para pengikutnya sejak lama. Seperti halnya Lia yang tak boleh sewenang-wenang menghapus agama Islam, maka begitu juga ulama Islam tak boleh memvonis secara sepihak terhadap agama yang tumbuh sebelumnya. Injil tak bisa diadili dengan menggunakan Alquran, misalnya, karena konteks yang melatari kehadiran dua kitab suci itu jelas berbeda.

Lia Aminuddin mendirikan agama baru. Ia tak memulainya dari nol. Lia meracik agamanya dengan sejumlah ajaran dari agama lain. Sebagiannya diambilkan dari Alquran, dan sebagian yang lain dari Injil dan Taurat. Ia mengkompilasi Islam, Kristen, dan Yahudi dalam satu chapter. Ia pun menggunakan nama-nama mitis yang lazim dipakai agama-agama Timur Tengah tersebut seperti Jibril, Ruhul Kudus, Bunda Maria, Yesus Kristus, dan sebagainya. Ia bertutur, sejumlah ayat Alquran turun kembali ke haribaannya. Ia menyerap dan meratifikasi ayat-ayat dalam Injil. Dengan merujuk pada Alkitab surat Wahyu 12: 1 misalnya, Lia mengaku sebagai reinkarnasi Bunda Maria. Ia pun mengutip ayat dalam Veda dan dalam Dhammapada untuk mengukuhkan eksistensinya. Dalam periode ini, ia seakan hendak menegaskan bahwa apa yang dibawanya bukan sesuatu yang baru. Ia dan ajarannya merupakan kelanjutan logis dari ajaran para nabi dan pendiri agama sebelumnya.

Sampai di situ, Lia tak terlampau kontroversial. Karena hampir semua nabi terutama pada saat awal kehadirannya memiliki klaim sama. Yesus pernah berkata, “janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya”. (Perjanjian Baru, Matius 5: 17). Nabi Muhammad pernah diperintah mengikuti agama Ibrahim. Allah berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu: ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dia tak termasuk orang-orang Musyrik”. (QS, al-Nahl [16]: 123). Itu sebabnya Muhammad SAW tak menganggap dirinya sebagai yang pertama. Allah berfirman, “katakanlah, “aku bukanlah yang pertama di antara rasul-rasul” (qul ma kuntu bid`an min al-rusul). (QS, al-Ahqaf [46]: 9). Ungkapan serupa juga dikemukakan Lia Aminuddin ketika pertama kali memperkenalkan kenabian dirinya ke publik.

Namun, dalam perkembangan berikutnya Lia mengajukan klaim lain. Ia tak mendaku sebagai nabi dan reinkarnasi Bunda Maria lagi. Lia menyebut dirinya Jibril Ruhul Kudus, malaikat yang dikenal karena kesabarannya bolak-balik mengantar wahyu Allah kepada para nabi dan rasul. Ia berkata, “aku, Ruhul Kudus pun telah sampai pula pada saatnya dapat menjelma menjadi manusia sempurna di tengah masyarakat. Aku selalu ada sebagaimana Lia Eden yang tak pernah berpisah denganku sesaatpun. ….Sebagaimana Lia Eden itu terfungsikan sebagai jasadku, karena pada dirinyalah berada ruhku yang mapan. ..Aku menjelma secara fisik dengan sempurna demi menyatakan Kerajaan Tuhan”. (Surat Ruhul Kudus 7-8). Bagi saya, pengakuan Lia ini bukan hanya tak biasa, melainkan juga tak punya preseden. Tak pernah ada orang yang mengaku sebagai (jelmaan) Jibril. Paling jauh orang-orang dalam rumpun agama semitik seperti Islam menganggap diri sebagai sufi, wali, nabi, dan imam mahdi. Tak lebih dari itu. Mengaku wali saja cukup kontroversial apalagi mengaku nabi dan penubuhan Jibril.

Sebagai Jibril Ruhul Kudus, telah dua tahun lalu Lia memaklumatkan penghapusan agama-agama. Ia berkata, “Aku bersumpah dengan terpaksa menghapuskan semua agama-agama demi mengadili dan demi membakukan Keadilan-Ku. Dan kuhapuskan semua agama-agama demi perdamaian dan kemudahan jalan menuju surga-Ku”. (Sumpah Tuhan Yang Maha Kuasa, 18). Ia juga berkata, “Dan apabila Aku sudah menghapus agama Islam setahun yang lalu, walau tak bergaung karena tak diberitakan sehingga tak menjadi perhatian umum, tapi itu telah terlaksana sebagai Ketetapan Hukum-Ku. Demikianlah Kuperlihatkan kenaasan nasib umat Islam sedunia setelahnya”. (Sumpah Tuhan Yang Maha Kuasa, 18). Pernyataannya tentang penghapusan Islam ini telah memantik pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sejumlah ulama mengajukan keberatan. Mereka menganggap Lia dan jemaatnya telah melakukan penodaan agama sehingga pantas diadili.

Bagaimana penghapusan agama lama oleh agama baru ini? Apakah itu unik pada agama rintisan Lia? Pertama, agama baru biasanya menghapuskan sebagian ajaran agama lama dan menerima sebagian yang lain. Islam mengabrogasi sebagian syari`at agama Yahudi yang dipandang tak relevan. Tapi, juga menerima sebagian yang lain yang dinilai cocok dengan konteks zaman. Islam pernah menetapkan hukum rajam dan qishash sebagaimana Yahudi mengundangkannya. Karena itu, dalam ushul fikih disebutkan bahwa syari`at sebelum Islam (syar`u man qablana) merupakan salah satu sumber hukum Islam. Lia pun mengenal istilah pengakuan dan penebusan dosa sebagaimana kerap dilakukan umat Kristiani. Model penghapusan dan akomodasi parsial seperti ini telah banyak terjadi dan orang mudah memaklumi.

Kedua, agama baru selalu membawa semangat penyegaran dan peremajaan. Islam misalnya dianggap sebagai edisi revisi dari agama Tuhan yang diselewengkan (tahrif) dan dipalsukan oleh umat Kristiani dan Yahudi. Sebagian mufasir mengartikan orang-orang termurka (al-maghdlub `alaihim) dan tersesat (al-zhallin) dalam Alquran surat al-Fatihah sebagai orang Yahudi dan Nashrani. Kehadiran Islam diharapkan bisa memulihkan integritas agama yang hancur di tangan para pemeluk agama Yahudi dan Nashrani. Lia juga sama. Ia memandang umat Islam dan Kristiani Indonesia telah melanggar kodrat agama sebagai tangga menuju Tuhan. Islam telah menjadi tujuan padahal ia hanya sarana untuk mencapai Tuhan. Agama telah menjadi ajang konflik dan perebutan kekuasaan. Dengan argumen itu, Lia membakar “lumbung” dan bukan menjerat “tikus”.

Tindakan Lia ini mengejutkan. Tapi orang yang belajar teologi dan sejarah agama-agama tahu; sikap Lia terhadap agama sebelumnya ini agak mirip dengan sikap Kristen terhadap Yahudi serta sikap Islam terhadap Kristen dan Yahudi. Jika dahulu sebagian umat Yahudi dan Kristiani tersinggung dengan pandangan Islam yang hendak menaskh sebagian ajaran Yahudi dan Kristen, maka hal yang sama sekarang dialami sebagian ulama Islam. Mereka marah atas arogansi Lia Aminuddin yang tidak hanya menghapuskan sebagian ajaran Islam, melainkan justeru membubarkan agama Islam sendiri. Seperti otoritas Yahudi juga Romawi yang terguncang dengan kehadiran Yesus hingga ia disalibkan, maka ulama Islam Indonesia mulai geram dengan kehadiran Lia. Kemarahan orang Yahudi tak terkendalikan hingga menuduh Bunda Maria sebagai penzina dan Yesus adalah anak haram jadah. Kini kemarahan orang Islam tak tertahan hingga Lia Aminuddin nyaris dihakimi massa.

Melalui penjelasan itu, ingin saya katakan; Pertama, agama tidak melulu soal ajaran tapi juga soal keyakinan. Dengan demikian, agama baru tak boleh bersikap angkuh dengan menganulir ajaran agama sebelumnya yang telah menjadi keyakinan para pengikutnya sejak lama. Seperti halnya Lia yang tak boleh sewenang-wenang menghapus agama Islam, maka begitu juga ulama Islam tak boleh memvonis secara sepihak terhadap agama yang tumbuh sebelumnya. Injil tak bisa diadili dengan menggunakan Alquran, misalnya, karena konteks yang melatari kehadiran dua kitab suci itu jelas berbeda. Kedua, penghapusan agama lama oleh agama baru tak produktif bagi terciptanya tata kehidupan damai. Sikap seperti ini hanya akan memercikkan api perseteruan. Umat yang satu tak akan rela sekiranya agama yang diyakininya dengan sepenuh hati dievaluasi dan direndahkan begitu rupa oleh umat lain yang datang belakangan. Kolonialisasi agama seperti ini perlu segera diakhiri agar tak menimbulkan ketegangan antar-umat beragama.

Ketiga, khusus bagi umat Islam yang kini agamanya telah dihapuskan oleh Lia Aminuddin, kita tak perlu bertindak emosional. Umat Islam mesti menunjukkan bukan hanya kepada komunitas Lia Aminuddin di Jalan Mahoni No. 30 Jakarta Pusat, tapi juga kepada dunia perihal ajaran-ajaran dasar Islam yang masih relevan dan berguna buat sebesar-besarnya kemaslahatan manusia. Sebab, ketinggian dan martabat sebuah agama bukan hanya ditentukan oleh asal-usulnya yang diklaim dari langit, melainkan juga dari dampak kemalahatan yang ditimbulkannya ketika di bumi. Tak banyak gunanya ajaran agama yang dianggap dari Jibril ketika hanya berisi ancaman dan caci maki kepada yang lain.[]

ISLAM: AGAMA TERTUA SEKAIGUS TERMUDA

Agama islam sebagai agama yang turun atau muncul paling akhir yang ditandai dengan munculnya nabi Muhamad sebagai rosul terakhir yang diutus oleh Allah untuk menyebarkan agama islam sekaligus bertugas sebagai penyempurna akhlak. Kerasulan nabi muhamad sebagai rasul terakhir ini sesuai dengan yang termaktub dalam alqur’an yaitu QS………, dan juga agama islam adalah agama yang telah mencapai penyempurnaan seperti yang disebutkan didalam Alqur’an QS. Almaidah ayat 3 yang berbunyi: “….pada hari ini, telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan padamu nikmatku, dan telah ku ridhai islam itu jadi agama bagimu…..”.
Walaupun agama islam muncul paling akhir tetapi agama islam bukanlah dimaksudkan untuk mengganti atau menggugurkan kebenaran dari agama-agama yang muncul sebelum islam, hal dikuatkan oleh ayat yang sangat populer yang berbunyi “Tidak boleh ada paksaan dalam agama…” – Qs. Albaqarah ayat 256, turun kepada nabi Muhammad setelah datang kepada beliau sepasang ayah-ibu muslim bekas yahudi yang melaporkan bahwa anak mereka tidak mengikuti jejak mereka masuk islam dan mereka berniat untuk memaksanya. Dan firman Allah untuk tidak memaksakan agamanya kepada orang lain adalah firman suci yang artinya,”Jika sekarang tuhanmu menghendaki, maka pastilah beriman semua orang yang ada di bumi ini tanpa kecuali. Apakah engkau akan memaksa umat manusia sehingga mereka jadi beriman semua?!”- Q.s. Yunus ayat 99.
Karena agama islam adalah agama penyempurna bagi agama-agama yang datang sebelumnya. Hal ini berarti agama islam juga adalah agama yang tertua karena memiliki sisi-sisi yang sama dengan agama-agama tersebut sebagai implikasi dari fungsi penyempurnaannya. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa semua nabi beragama islam karena menyembah tuhan yang sama yaitu Allah, dan mereka pun melakukan ritual-ritual yang dilakukan oleh muslim sekarang, seperti puasa, sholat, haji dan bahkan sunat yang di contoh dari perbuatan nabi Ibrahim.
Disamping itu agama islam dianggap sebagai agama yang teertua karena terdapat juga beberapa ritual yang memang ada sejak agama tertua muncul walaupun ritual-ritual ini mengalami perubahan dalam segi bentuk dan cara-cara pengerjaannya tetapi essensinya tetaplah sama. Hal ini seperti puasa, zakat, penyembelihan hewan, mendoakan orang yang beresin. Hal ini lebih diperkuat oleh pendapat karen armstrong bahwa perlindungan terhadap yang lemah telah sejak lama menjadi kebijakan lazim di seluruh timur dekat purba. Sudah sejak mileniium ketiga sebelum masehi, para raja mesopotamia menekankan bahwa keadilan untuk orang miskin, anak yatim, dan janda merupakan tugas suci, dicanangkan oleh dewa shamash, yang mendengar jerit minta tolong mereka. Prolog codex Hammurabi (1728-1686 SM) menetapkan bahwa matahari akan bersinar untuk manusia diatas bumi hanya jika raja dan orang-orang yang berkuasa tidak menindas rakyat yang lemah. Raja-raja mesir juga diperintahkan untuk memerhatikan kaum yang malang , karena Re, dewa matahari, merupakan ”menteri orang miskin”. Di Ugarit, kekeringan dan kelaparan bisa dihindarkan hanya jika keadilan dan persamaan tegak di negeri itu. Di seluruh timur tengah, keadilan merupakan pilar penting agama. Keadilan juga merupakan kebijakan pragmatis yang baik. Tidak ada gunanya menaklukan negeri asing dan musuh-musuh kosmik jika kebijakan sosialmu yang bengis menciptakan musuh-musuh dirumah sendiri.
Hal ini berarti islam bukanlah agama yang benar-benar baru, sehingga bisa dikatakan jika islam memiliki dua sifat sekaligus yaitu sebagai agama yang termuda sekaligus agama yang tertua. Karena itulah seharusnya sebagai umat yang beragama, kita tidak boleh saling curiga apalagi bermusuhan secara terang-terangan. Karena bagaimanapun juga didalam semua agama terdapat benang merah yang mengharuskan kita untuk saling menghormati dan menghargai.

IJTIHAD: SEBAGAI BENTUK PEMAHAMAN DIRI TERHADAP AGAMA

Menurut sebagian kalangan pintu ijtihad telah tertutup sejak abad ke empat Hijriyah, dengan munculnya Al-asy’ari dari mazhab mu’tazilah. Apakah pintu ijtihad sudah benar-benar ditutup? Pertanyaan ini masih perlu kita kaji lebih jauh lagi. Hal ini dikarenakan bahkan rasulullah sebenarnya menganjurkan untuk selalu belajar, dari kita lahir hingga masuk liang lahat. Hal ini menunjukan bahwa pengkajian terhadap ilmu-ilmu agama adalah sebuah keniscayaan. Terutama dalam bidang fikih, karena dalam bidang inilah pertentangan-pertentangan dalam islam tumbuh, sehingga menyebabkan peradaban kita sebagai muslim tertinggal jauh dari peradaban barat.
Menurut cak Nur dalam penafsirannya terhadap Q.s. Lukman ayat 27, menyataakan bahwa cakupan ilmu tuhan (agama), itu sangatlah luas, sehingga percobaan untuk memahaminya akan tidak pernah sempurna. Namun justru usaha memahami itu adalah salah satu perintah Allah, dan kita di beri kewenangan untuk bertindak sesuai dengan pemahaman kita betapapun tidak sempurnanya pemahaman kita itu. Dan inilah hakikat dari ijtihad yang sangat dianjurkan oleh Rosulullah.
Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya Allah dan Rosulullah, menganjurkan kita untuk selalu berijtihad, sehingga secara langsung akan mematahkan pendapat bahwa pintu ijtihad tidak pernah ditutup. Dan hal ini di perkuat oleh Allah yang memerintahkan kita untuk selalu berfikir untuk mengungkap rahasia-rahasia tuhan yang berhubungan dengan agama atau sosial, yang fisik maupun metafisik.
Sehingga ketika dalam berijtihad tidak ada istilah ijtihad yang benar maupun yang salah, karena ijtihad menunjukan sejauh mana kita mengungkap rasia-rahasia atau hukum-hukum tuhan berdasarkan kedalaman pemahaman agama kita masing-masing. Tinggal disini kemauan kita untuk menyadari apakah hasil dari ijtihad kita pantas untuk disebarkan kepada orang lain ataukah cukup untuk diri kita sendiri saja. Tergantung dari kompetensi kita dalam melakukan ijtihad itu sendiri, sehingga dalam berijtihad memiliki dasar-dasar yang kuat.
Dan apabila ada orang yang kurang setuju atau menolak, sebaiknya di ungkapkan melalui tulisan artikel atau buku atau media lainnya, bukannya langsung menindak dengan kekerasan fisik, seperti yang selalu terjadi selam ini di lingkungan sekitar kita. Karena tindakan tersebut hanya akan semakin mematikan kreatifitas dalam berpikir seseoarang. Apabila kita mengaca pada sejarah, yang membuat islam mencapai punak kejayaannya adalah adanya kebebasan dalam berfikir, seperti yang terdapat pada masa-masa abad ke dua hijriyah. Dimana masyarakat memberikan kebebasan berfikir bagi setiap individu, sehingga muncullah nama-nama seperti Ibnu Sina, Al farabi,Ibnu Rusyd, dll.
Akhirnya, masih menurut Cak Nur, karena kenisbian manusia dan kemampuan-kemampuannya, termasuk intelektua maka hasil dari suatu ijtihad tidak pernah mengikat secara umum. Dan kita harus selalu ingat bahwa tidak semua kebenaran berlaku untuk selamanya, karena yang kekal adalah Allah dan perubahan itu sendiri.

sunset

sunset
waktu selalu mengejar