Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Tampilkan postingan dengan label gagasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gagasan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 November 2011

Tatkala Tuhan Memerintah* Beberapa Pemikiran Al-Razi

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Perintah Tuhan tidaklah sesuatu yang sederhana. Di dalamnya ada dimensi-dimensi semantis dan kebahasaan yang rumit. Kenapa hal ini terjadi? Saya kira alasannya adalah karena perintah Tuhan disampaikan melalui medium bahasa manusia yang mengandung elemen ambiguitas di dalamnya. Saat Tuhan memakai bahasa manusia, tidak dengan sendirinya watak bahasa itu berubah total hanya gara-gara Dia telah memakainya. Bahasa manusia tetaplah bahasa manusia seperti apa adanya. Pesan Tuhan, dalam bentuk “bayan” seperti dikatakan Al-Shafii, terpaksa harus tunduk pada hukum-hukum kebahasaan yang terkandung dalam bahasa manusia itu. Usaha para sarjana ushul fiqh untuk memahami firman Tuhan dalam bentuk perintah seperti saya sebutkan di atas, hanyalah cerminan dari usaha manusia untuk menjadikan firman itu bisa masuk akal, dapat dipahami, dalam konteks konvensi kebahasaan yang sudah ada pada bahasa manusia itu sendiri.

Di sini berlangsung apa yang pernah disebut oleh Prof. Hamid Abu Zayd sebagai dialektika antara teks dan konteks (jadaliyyat al-nass wa al-waqi’). Atau, kita bisa mengatakan: dialektika antara kehendak Tuhan dan realitas empiris dalam sejarah manusia; dialektika antara yang transenden dan immanen.

Apakah Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia? Menurut keyakinan orang-orang beriman, tentu jawabannya jelas: Ya. Dalam konsepsi umat beriman, Tuhan terlibat aktif dalam mengarahkan kehidupan manusia, memberikan panduan moral dan etis untuknya, serta memberikan ancaman-ancaman agar manusia tidak berjalan melenceng, walau seincipun, dari panduan itu. Ini berbeda, misalnya, dengan Tuhan kaum deis: Tuhan yang istirahat total setelah menciptakan alam dan segala isinya, sebab alam, termasuk manusia di dalamnya, bisa berjalan dengan sendirinya (bak sebuah otomaton) sesuai dengan hukum-hukum tertentu yang sudah pasti – kerap disebut dengan hukum alam atau hukum kodrat.

Bagaimana Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia? Sebagaimana diyakini oleh umat-umat agama lain, umat Islam memiliki kepercayaan, Tuhan adalah Mutakallim, Zat Yang Mengujar – speech producing God. Tuhan berbicara kepada manusia. Secara teologis, ini menimbulkan soalan yang menjadi bahan perdebatan panjang dalam khazanah ilmu kalam atau teologi Islam. Jika Tuhan berbicara, maka dalam bahasa apakah Dia berbicara? Jika jawabannya, Tuhan berbicara dalam bahasa A, taruhlah bahasa Arab, pertanyaan yang segera menunggu di belokan gang adalah: Apakah Tuhan mempunyai bahasa? Pertanyaan berikutnya lagi: bukankah bahasa apapun yang dipakai Tuhan adalah bahasa manusia? Jika Tuhan memakai bahasa itu, bukankah Tuhan terperangkap dalam suatu “wadah duniawi” yang serba terbatas? Bukankah Tuhan adalah Maha Tak Terbatas? Dengan memakai bahasa tertentu, bukankah Tuhan akan terjebak dalam suatu finitude, keterbatasan?

Ini perdebatan teologis yang pada suatu zaman di masa lampau menimbulkan heboh bahkan gejolak politik yang disebut dengan mihnah atau inkwisisi – yakni pengadilan atas keyakinan. Kita tak usah terseret terlalu jauh dalam labirin perdebatan ini, toh tak terlalu banyak manfaatnya. Yang lebih menarik adalah melihat bagaimana sarjana dan ulama Islam meletakkan dasar-dasar dalam memahami ujaran atau firman Tuhan. Dalam disipilin pengetahuan yang disebut ushul fiqh (teori hukum Islam), firman Tuhan biasa disebut dengan khithab atau wacana. Persisnya, khithab adalah proses suatu pesan disampaikan dari satu ujung (yaitu pengujar) kepada ujung yang lain (pendengar atau lawan bicara – interlocutor).

Usaha pertama untuk membuat teoretisasi atas khithab atau firman Tuhan dilakukan oleh Al-Shafii (w. 820), pendiri mazhab Shafii yang terkenal itu. Al-Shafii berangkat dari pertanyaan dasar: kenapa Tuhan berbicara kepada manusia? Apa tujuan pokoknya? Jawabannya adalah karena Tuhan ingin menjelaskan suatu pesan tertentu kepada manusia. Istilah “menjelaskan” menjadi kata kunci di sini. Dia menciptakan istilah yang ia pinjam dari Quran, yaitu bayan. Kata itu secara harafiah artinya adalah keterangan, atau menerangkan, atau bisa juga membuat sesuatu yang semula remang-remang menjadi terang, alias klarifikasi.

Kita simak bagaimana Al-Shafii menjelaskan pengertian bayan dalam traktatnya yang terkenal, Al-Risalah. Kata Al-Shafii, bayan adalah istilah yang mencakup pengertian yang begitu bermacam-macam, meskipun bisa dirangkum dalam konsep-konsep kunci tertentu (ism jami’ li ma’an mujtami’at al-ushul, mutasha’’ibat al-furu’). Penjelasan Al-Shafii ini sangat menarik karena mengandung embrio yang belakangan akan dikembangkan oleh para pengikutnya menjadi suatu arsitekur teori yang canggih tentang bagaimana memahami ujaran Tuhan. Dalam khithab Tuhan, terdapat keragaman, tetapi juga ada buhul-buhul yang mempersatukannya. Ada pokok, ada cabang. Ada ushul, ada furu’. Inilah pesan pokok yang dapat kita tangkap dari penjelasan Al-Shafii tersebut. Dengan kata lain, Tuhan berbicara kepada manusia dengan sebuah perantara linguistis yang disebut bahasa. Tuhan berbicara kepada manusia dengan bahasa karena hendak menyampaikan suatu keterangan, bayan. Bagaimana bayan itu terselenggara melalui medium bahasa, bisa bermacam-macam (mutasha’’ib). Tetapi manusia bisa menemukan pokok-pokok (ushul mujtami’a) yang dengannya ia bisa memahami firman Tuhan itu dengan masuk akal.

Kata “masuk akal” di atas sangat penting. Kata itu saya pakai di sini sebagai padanan untuk istilah yang biasa dipakai dalam bahasa Inggris: intellegibility – kenyataan bahwa suatu ujaran bisa dipahami. Jika Tuhan hendak menyampaikan suatu bayan kepada manusia, maka asumsi dasar yang harus diterima adalah bahwa khithab atau ujaran Tuhan itu bisa dipahami oleh manusia. Jika firman gelap total seperti kaca yang tak tembus pandang, maka apa gunanya ia diujarkan kepada manusia. Di sini juga terkandung suatu asumsi lain bahwa Tuhan bertindak karena suatu alasan yang masuk akal. Tuhan menyampaikan ujaran kepada manusia karena ada alasan yang masuk akal—bahwa firman itu mengandung potensi untuk bisa dipahami, tentu oleh manusia.

Ushul fiqh sebetulnya adalah upaya manusia, dalam hal ini para sarjana fikih, untuk melakukan konseptualisasi atas cara-cara yang mungkin dan sistematis guna memahami bayan atau keterangan Tuhan. Sejak awal, para fukaha’ sadar bahwa dalam firman Tuhan terkandung keragaman, tetapi juga sekaligus kesatuan. Keragaman itu bisa kita lihat dalam berbagai segi; yang paling utama adalah segi tematik. Ada banyak hal yang dibicarakan dalam kanon yang menghimpun firman Tuhan, yaitu Kitab Suci atau Quran. Ada ayat-ayat yang berbicara tentang fenomena alam, sejarah masa lampau, eskatologi atau akhir zaman; tetapi ada juga ayat tentang petunjuk moral bagi manusia agar bisa bertindak secara benar dan tepat. Keragaman juga bisa ditinjau dari segi yang lain, yaitu segi literer: secara kebahasaan, sejumlah tema-tema di atas disamapaikan dengan strategi kebahasaan yang bermacam-macam. Keragaman ini tentu akan membingungkan kalau tak diikat dengan pengikat tertentu yang bisa menyatukan keseluruhannya. Di sinilah ushul fiqh masuk.

Sejauh menyangkut firman Tuhan yang berkaitan dengan tuntutan moral, ada dua jenis khithab Tuhan: firman yang menuntut, dan firman yang membiarkan. Yang pertama biasa disebut dengan iqtidha’, yang kedua takhyir. Ada firman yang menuntut untuk bertindak (ini melahirkan konsep tentang wajib), atau menuntut untuk menjauhi sesuatu (ini melahirkan konsep tentang haram). Ada juga firman yang tak muntuntut apa-apa, tetapi membiarkan suatu tindakan dalam keadaan primitifnya, keadaan asalnya: yakni netral, boleh dijalankan atau diabaikan (dari sini lahir konsep tentang mubah [netralitas total], makruh [netralitas yang mendekati pendulum haram] dan mandub [netralitas yang mendekati pendulum wajib]).

Fokus utama para juris Islam adalah pada jenis firman yang pertama itu – firman yang memuat kandungan etis dan moral yang tinggi, firman yang menuntut (khithab al-iqtidha’). Jika firman Tuhan menuntut sesuatu dari kita, entah secara positif (perintah) atau negatif (larangan), maka bagaimana firman itu harus dipahami? Apa hakikat dari suatu perintah? Bagaimana perintah itu diungkapkan? Apa jenis-jenis perintah itu? Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut saya, merupakan salah satu bagian yang paling menarik dalam disiplin ushul fiqh. Ini dijelaskan dalam bab tentang amr dan nahy, tentang perintah dan larangan. Al-Razi (w. 1209) mengulas masalah ini dalam jilid kedua dari Al-Mahsul (dalam edisi Taha Jabir ‘Alwani) dengan judul: Al-Kalam fi al-Awamir wa al-Nawahi (pembahasan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan).

Isu pertama yang langsung menyergap kita dalam pembahasan ini adalah karakter dari perintah: apakah perintah itu harus diujarkan, atau bisa sekedar dicontohkan dalam tindakan. Pertanyaan ini tampak seolah-olah sepele, tapi baru terlihat penting saat kita berhadapan dengan contoh yang empirik. Jika Nabi melakukan sesuatu, misalnya makan dan minum, apakah itu sebuah perintah, dan karena itu harus dicontoh, atau bukan. Pendapat sebagian besar sarjana Sunni, termasuk Al-Razi, adalah bahwa perintah pada dasarnya adalah suatu kategori ujaran. Oleh karena itu, pengertian tahap pertama (makna konototatif/haqiqat) dari suatu perintah adalah bahwa ia haruslah sebuah ujaran, bukan tindakan. Tindakan bisa dipahami sebagai sebuah perintah, tapi dalam pengertiannya yang metaforik (makna kelas dua, majazi).

Tuhan bisa disebut sebagai “menuntut sesuatu” jika itu diselenggarakan dalam suatu kerangka linguistis, dalam bentuk ujaran. Nabi, sebagai otoritas kedua setelah Tuhan dalam konteks meletakkan dasar-dasar moral dan etis bagi tindakan seorang beriman, bisa pula disebut “menuntut sesuatu” secara moral jika tuntutannya itu dikemukakan dalam suatu ujaran. Di sini, kita melihat suatu konstruksi ontologis yang menarik tentang ujaran dan tindakan. Dalam konstruski ini, ujaran mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada tindakan. Karena itu, dari sudut hirarki moral, ujaran berada satu tingkat di atas tindakan. Ini tentu nyaris serupa dengan hirarki epistemologis dalam filsafat Yunani, di mana teori diletakkan dalam level yang lebih tinggi daripada praksis.

Konstruksi semacam ini sebetulnya tidak terlalu mengejutkan, sebab bisa kita pahami dalam konteks kehidupan sehari-hari yang kongkret. Kalau saya berkata kepada seseorang, “Ambilkan buku!” dengan nada tertentu yang dapat dipahami sebagai suatu perintah, maka ujaran itu memiliki kandungan “moral” yang jelas: yakni perintah mengambil buku kepada orang tersebut. Akan tetapi, jika di hadapan orang itu saya menulis suatu pesan pendek di telpon genggam, maka tindakan saya itu tak punya kandungan moral apa-apa, alias kosong: bukan suatu perintah, bukan pula suatu larangan. Paling jauh, jika ada suatu kandungan tertentu yang bisa dikeluarkan dari tindakan saya itu, ialah bahwa menulis pesan pendek di telpon genggam adalah tindakan yang boleh-boleh saja. Ini pun masih harus dikaitkan dengan konteks yang ada di sekitar. Jika di samping saya ada tanda “Dilarang menulis sms di ruangan ini”, maka tindakan saya itu memang mengandung kandungan moral, tetapi dalam pengertian yang negatif, yakni saya melanggar larangan untuk menulis pesan pendek di sebuah tempat.

Tetapi apakah sesungguhnya perintah itu? Tatkala kita mendengar ucapan “Bacalah”, tanpa kita ketahui siapa pengujar kalimat itu, apakah itu bisa disebut perintah? Jika saya berkata kepada teman sejawat saya di kantor, “Ambilkan laptop itu”, bisakah ini disebut sebagai perintah, atau hanyalah permohonan biasa saja? Ternyata perkara perintah yang di permukaan kelihatan sepele dan ringan ini, menimbulkan kerumitan jika kita masuk ke dalamnya dan mencoba melakukan konseptualisasi teoritis. Dan, aha!, memang segala hal yang nampak sepele di permukaan tidak selalu demikian dalam kenyataannya.

Al-Razi menyebut dua versi definisi tentang perintah, pertama dari tokoh penting dalam sekte Ashariyyah, yaitu Al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani (w. 1013). Al-Baqillani mengatakan: Perintah ialah ujaran yang menuntut seseorang yang di-perintah untuk menaatinya dengan cara melakukan apa yang di-perintah-kan oleh ujaran itu (al-qawl al-muqtadli tha’at al-ma’mur bi fi’l al-ma’mur bihi).

Definisi di atas, sekilas, tentu baik-baik saja dan masuk akal, tapi tidak di mata Al-Razi. Di manakah letak persoalannya? Adalah karena ia memuat kata yang sama dengan kata yang dedefinisikan. Fungsi definisi adalah menjelaskan suatu konsep tertentu. Karena itu, jika definisi memuat kata yang sama dengan kata yang hendak didefinisikan, maka akan terjadi “lingkaran setan” atau siklus bolak-balik tanpa henti (al-dawr). Mari kita telaah definisi di atas: di sana terkandung kata perintah diulang-ulang sebanyak dua kali – “diperintah” dan “diperintahkan”. Kita sedang ingin mencari kejelasan tentang apa makna “perintah”, tetapi kata perintah dipakai untuk menjelaskan dirinya sendiri. Ini tentu tak masuk akal. Sesuatu tak bisa menjelaskan dirinya sendiri. Penjelasan harus diambil dari sumber eksternal. Begitulah aturan main yang dibuat oleh kaum logician, ahli logika Aristotelian. Karena itu, harus dicari definisi lain yang jauh lebih “cespleng”.

Muncul definisi kedua dari kalangan Mu’tazilah. Perintah, bagi mereka, ialah ucapan seseorang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah, “Lakukanlah!” atau kata lain yang pengertiannya sama. Definisi yang di permukaan tampak baik-baik saja ini, oleh Al-Razi juga dianggap mengandung soalan. Mari kita dengarkan bagaimana dia mengajukan keberatan. Pertama: taruhlah kata “Lakukanlah” itu tidak mengandung makna apa-apa dari sudut konvensi kebahasaan, kata yang kosong makna (muhmal), apakah seseorang yang mengucapkan kata itu bisa dianggap memerintah? Tentu tidak. Ini jelas. Keberatan kedua: seandainya kata “Lakukanlah” itu diucapkan oleh seseorang yang sedang tidur, dianggap perintahkah ia? Tentu tidak. Jadi, ucapan “Lakunkanlah” yang menjadi kunci dalam definisi kelompok Mu’tazilah itu tak memiliki bobot apa-apa.

Jadi, bagaimana definisi perintah yang paling baik menurut Al-Razi? Perintah, menurut dia, ialah: menuntut (seseorang) melakukan sesuatu melalui ujaran dengan cara meninggi (thalab al-qawl bi ‘l-fi’l ‘ala sabil al-isti’la’). Yang dimaksud “meninggi” di sini bukan nada ujaran, tetapi ujaran itu disampaikan dengan cara yang mengindikasikan bahwa seorang pengujar memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari lawan bicara yang diujari. Dengan kata lain, perintah mengandaikan situasi komunikasi yang hirarkis – si pembicara berada pada level yang lebih tinggi dari lawan bicara. Ada empat elemen penting dalam perintah: ujaran (qawl), tuntutan (thalab), tindakan (fi’l), hirarki (isti’la’).

Jika perintah adalah tuntutan atau thalab, apakah tuntutan itu? Apakah ia itu sesuatu yang terkandung secara intrinsik dalam sutau ujaran, ataukah ia pengertian eksternal yang bersemayam dengan damai di luarnya, sementara ujaran hanyalah ia pakai sebagai baju untuk mengungkapkan diri agar keluar dari dunia kegaiban ke dunia pencerapan yang bisa dirasakan oleh indera kita? Kita coba ikuti konseptualisasi yang dibuat Al-Razi.

Menurut dia: pengertian tuntutan yang dikandung dalam suatu ujaran (misalnya tuntutan minum dalam ujaran “Minumlah!”) bukanlah sesutau yang terdapat secara intrinsik dalam ujaran itu. Kenapa? Sebab pengertian tuntutan yang terkandung dalam satu ujaran bersifat universal dan seragam dari bahasa satu ke bahasa lain. Entah anda mengatakan “Minumlah!” (bahasa Indonesia), “Drink!” (Inggris), “Trinke!” (Jerman), “Ishrab!” (Arab) – semuanya memuat pengertian yang sama, yakni tuntutan untuk minum, meskipun diujarkan dalam bentuk luaran yang berbeda-beda. Dengan demikian, kata Al-Razi, pengertian yang terkandung dalam perintah tidak terdapat secara intrinsik dalam suatu ujaran atau bahasa, tetapi berada di luarnya. Konsepsi Al-Razi ini bisa diungkapkan dengan cara lain: Hubungan antara pengertian dan kata adalah arbitrer. Persis seperti dalam konsepsi modern yang pernah diungkapkan oleh kaum linguis-strukturalis seperti Ferdinand de Saussure.

Ada soal kecil yang menyangkut perkara perintah ini dan menjadi pertengkaran antara kaum Sunni dan Mu’tazilah. Saya ingin menyinggung sedikit di sini. Soal yang diperdebatkan mereka ialah: apakah perintah (amr) sama dengan kehendak (iradah). Jika Tuhan memerintahkan sesuatu, apakah Dia juga menghendakinya? Jika saya mengatakan kepada anak saya, “Bacalah!” apakah saya menghendaki tindakan membaca dari anak saya atau tidak?

Jawaban yang segera meloncar ke pikiran awam kita adalah: Tentu saja. Manakala seseorang memerintahkan sesuatu, sudah tentu ia menghendaki sesautu itu terjadi. Apalah gunanya ia memerintah kalau tak menghendakinya. Kalau anda berpendapat demikian, dan inilah pendapat yang paling sesuai dengan akal sehat secara selintas, maka anda, tanpa anda sadari, telah bergabung dengan kubu Mu’tazilah. Al-Razi, juga para sarjana Sunni yang lain, bersikeras menolak identifikasi antara perintah dengan kehendak. Jika Tuhan memerintahkan sesuatu, salat atau puasa, misalnya, maka itu bukan berarti Dia menghendakinya. Kenapa demikian? Marlah kita dengar penjelasan kubu Sunni di bawah ini.

Kita semua tahu, Tuhan memerintahkan orang-orang kafir untuk beriman, salat, puasa, dan sebagainya. Tetapi Tuhan tak menghendaki mereka untuk melakukan itu semua. Sebab, jika Tuhan menghendaki, maka kehendakNya sudah pasti terjadi. Karena orang-orang itu tetap saja kafir, tak salat, tak puasa, walaupun sudah menerimah perintah dari Tuhan, maka, demikian nalar yang dipakai oleh Al-Razi dan kubu Sunni, perintah dan kehendak tak identik, tetapi dua hal yang berbeda. Jika keduanya identik, maka begitu mendapatkan perintah beriman dari Tuhan, orang-orang kafir itu akan dengan sendirinya langsung berubah sikap, dari kekafiran menuju kepada keimanan. Tapi yang terjadi toh tidaklah demikian. Ini memperlihatkan bahwa kehendak dan perintah bukanlah dua hal yang sama.

Perbedaan ini sebetulnya bersumber dari wawasan teologis yang berbeda yang memandu pandangan kaum Sunni dan Mu’tazilah, tentang status tindakan manusia. Apakah manusia menciptakan tindakan mereka sendiri, memiliki kehendak sendiri yang bebas, atau tindakan dan kehendak mereka seluruhnya diciptakan oleh Tuhan? Dengan kata lain, perbedaan pandangan mengenai status perintah dan kehendak itu berkaitan dengan wawasan teologis soal kehendak bebas (hurriyyat al-iradah, free will).

Kubu Mu’tazilah, sebagaimana kita tahu, menganut pandangan bahwa manusia punya kehendak bebas. Jika Tuhan memerintahkan sesuatu, maka Dia juga sekaligus menghendakinya. Tetapi karena manusia memiliki kehendak sendiri yang terpisah dari kehendak Tuhan, maka ia bisa menolak perintah itu. Dalam pandangan semacam ini, tidak ada masalah untuk menyamakan antara kehendak dan perintah. Dalam pandangan kubu Sunni, kehendak seluruhnya berada pada tangan Tuhan. Manusia tak mampu menciptakan atau menimbulkan kehendak dari dirinya sendiri. Karena itu, identifikasi antara kehendak dan perintah, jika dilihat dari sudut pandang teologis seperti ini, menjadi bermasalah. Itulah sebabnya, para sarjana Sunni seperti Al-Razi memisahkan antara perintah dan kehendak. Dalam hampir semua literatur klasik ushul fiqh, kita akan menjumpai pembahasan soal perintah dan kehendak ini. Di permukaan, isu ini tampak abstrak serta tak mengandung konsekwensi praktis apapun. Tetapi, isu ini menjadi bahan debat yang sengit, karena menyangkut –meminjam istilah yang kerap kita dengar akhir-akhir ini—“pokok keyakinan” yang mendasar mengenai status kehendak bebas manusia.

Jika kita mengejar lebih jauh lagi dengan sebuah pertanyaan: kenapa soal kehendak bebas ini menjadi isu yang penting? Apakah konsekwensi praktis dari sana? Tentu saja sudah jelas dengan sendirinya bahwa tak ada konsekwensi praktis dari pertanyaan-pertanyaan abstrak semacam ini. Namun, di sana, soal yang lebih mendasar dipertengkarkan, yakni soal konsepsi ketuhanan. Pandangan dunia Sunni disusun begitu rupa sehingga menempatkan Tuhan sebagai Agen Kehendak yang sepenuhnya bebas, bahkan Tuhan sendiri tak bisa diatur dan diikat oleh hukum alam yang Ia ciptakan sendiri. Hanya dengan konsepsi tentang Tuhan Yang Maha Bebas seperti inilah, kaum Sunni bisa menjelaskan kenapa ada mukjizat yang menjadi fondasi kebenaran fenomena kenabian (nubuwwah). Menghilangkan konsep tentang Kehendak Bebas pada Tuhan sama saja menghancurkan seluruh bangunan keyakinan Islam itu sendiri.

Perdebatan-perdebatan semacam ini jelas menunjukkan bahwa disiplin ushul fiqh seperti dikerjakan oleh para sarjana seperti Al-Razi dan umumnya para ulama di lingkungan mazhab Syafii, mencampuradukkan antara isu hukum dan teologi. Praksis intelektual semacam ini jauh berbeda dengan apa yang kita lihat pada sarjana ushul fiqh di lingkungan mazhab Hanafi yang cenderung meminimalisir diskusi isu-isu teologis dalam ushul fiqh. Ini yang menjelaskan adanya dua pendekatan dalam disiplin ushul fiqh: pendekatan para mutakallimun atau teolog, seperti pada kasus Al-Razi dan lain-lain, dan pendekatan para fuqaha’ seperti yang kita lihat pada karya ushul fiqh yang dikarang oleh sarjana mazhab Hanafi Al-Dabbusi (w. 1039) berjudul Taqwim al-Adillah fi Ushul al-Fiqh.

****


Fondasi utama dalam hukum Islam, sekali lagi, adalah tuntutan, baik secara positif dalam bentuk perintah, atau negatif dalam bentuk larangan. Entah perintah atau larangan hanya bisa diketahui melalui petanda kebahasaan (signifier) yang disebut perintah. Tetapi di sini, muncul pertanyaan: jika suatu ujaran “Minumlah!” diucapkan oleh seseorang yang derajatnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah, apakah ia dengan sendirinya bermakna perintah yang mengharuskan? Ataukah ada makna-makan lain yang dikandungnya?

Menurut Al-Razi, sekurang-kurangnya tiga pendapat utama: pendapat pertama, ujaran “Lakukanlah” atau semacamnya, jika dilepaskan dari konteks apapun, maka ia mengandung makna keharusan (wujub); kedua, ia mengandung makna anjuran saja (nadb); ketiga, kandungan maknanya tak jelas, dan karena itu kita tak bisa memastikannya.Yang paling banyak diikuti oleh para sarjana ushul fiqh adalah pendapat yang pertama. Pandangan yang ketiga memang nampak nihilistis, karena tak memberikan isyarat yang jelas tentang kandungan semantis dari ujaran perintah. Tetapi, kelompok ketiga ini tentu tak hanya berhenti pada sikap “nihil” yang total. Mereka berpendapat bahwa kandungan semantis suatu perintah hanya bisa diketahui melalui konteksnya. Ia bisa mengandung makna keharusan, atau sekedar anjuran saja, tergantung konteks yang spesifik.

Dengan kata lain, perintah Tuhan tidaklah sesuatu yang sederhana. Di dalamnya ada dimensi-dimensi semantis dan kebahasaan yang rumit. Kenapa hal ini terjadi? Saya kira alasannya adalah karena perintah Tuhan disampaikan melalui medium bahasa manusia yang mengandung elemen ambiguitas di dalamnya. Saat Tuhan memakai bahasa manusia, tidak dengan sendirinya watak bahasa itu berubah total hanya gara-gara Dia telah memakainya. Bahasa manusia tetaplah bahasa manusia seperti apa adanya. Pesan Tuhan, dalam bentuk “bayan” seperti dikatakan Al-Shafii, terpaksa harus tunduk pada hukum-hukum kebahasaan yang terkandung dalam bahasa manusia itu. Usaha para sarjana ushul fiqh untuk memahami firman Tuhan dalam bentuk perintah seperti saya sebutkan di atas, hanyalah cerminan dari usaha manusia untuk menjadikan firman itu bisa masuk akal, dapat dipahami, dalam konteks konvensi kebahasaan yang sudah ada pada bahasa manusia itu sendiri.

Di sini berlangsung apa yang pernah disebut oleh Prof. Hamid Abu Zayd sebagai dialektika antara teks dan konteks (jadaliyyat al-nass wa al-waqi’). Atau, kita bisa mengatakan: dialektika antara kehendak Tuhan dan realitas empiris dalam sejarah manusia; dialektika antara yang transenden dan immanen.

Saya hanya mengambil sampel kecil saja dari sejumlah tema yang dibahas dalam ushul fiqh, yaitu tema tentang perintah. Sebab inilah fondasi hukum agama sebagaimana kita kenal dalam fikih Islam selama ini. Sampel kecil ini memperlihatkan suatu watak penting dalam teks Kitab Suci. Kaum fundamentalis agama, pada umumnya, memandang teks agama sebagai sesuatu yang transparan, tembus pandang, tanpa mengandung ambiguitas dan keremang-remangan sedikitpun. Prinsip yang kerap dipakai oleh kelompok fundamentalis dalam agama apapun adalah apa yang disebut “perspicuitas”: bahwa Kitab Suci sudah terang-benderang maknanya. Prinsip ini pertama kali dikenalkan oleh para kaum reformis Protestan pada abad ke-16. Prinsip ini, meskipun dikemukakan pertama-partama oleh kalangan Protestan, tetapi ia ada sebagai tendensi yang dominan dalam hampir semua gejalan keagamaan yang fundamentalistis dalam agama manapun.

Asumsi yang terkandung di balik prinsip perspikuitas ialah bahwa teks agama tak bisa ditafsirkan dengan cara yang beragam. Makna teks agama sudah jelas, seperti kaca tembus pandang, hanya satu saja. Keragaman pemahaman harus diusir jauh-jauh. Kesatuan makna dalam sebuah teks dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk menjamin kesatuan sosiologis-empiris, yakni kesatuan umat Islam. Keragaman pemahaman akan mengancam kesatuan semacam itu.

Sebagaimana kita lihat dalam pembahasan mengenai tema perintah dalam ushul fiqh, kita melihat sautu petualangan hermeneutis yang dilakukan oleh sarjana ushul fiqh untuk memahami kandungan semantis dari ujaran yang sederhana, “Lakukanlah!”, ujaran yang mengandung pengertian perintah atau tuntutan (thalab). Hasil petualangan mereka ini menghasilkan khazanah intelektual yang sangat menarik sekali, serta membawa pesan yang sangat sederhana: betapa tak sederhananya perkara perintah Tuhan itu. Ini terjadi karena perintah Tuhan “terperangkap” dalam formula kebahasaan yang bersumber dari konvensi masyarakat manusia, dengan seluruh kerumitan di dalamnya, juga evolusi di dalamnya yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

Dengan kata lain, Tuhan memerintah manusia, melalui medium bahasa, dengan cara yang ternyata tak sederhana. Manusia harus merumuskan skema tertentu agar perintah itu bisa dipahami dengan masuk akal. Apa yang berasal dari Tuhan kemudian juga harus dioleh melalui suatu medium historis yang bernama “human agency”, keagenan manusia. Yang transenden dan immanen bertaut-berkelindan dalam cara yang unik: absolut dan relatif sekaligus.[]

*Makalah ini disampaikan dalam diskusi bulan Ramadan di Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang Fakhr al-Din al-Razi pada Jumat, 12 Agustus 2011 di Utan Kayu.

Rabu, 24 September 2008

Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009

Oleh Burhanuddin Muhtadi

Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca Orde Baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua penelitian pada skala nasional. Pertama, studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri.

Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable pada tingkat grassroot. Dengan data hasil Pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis seperti PDIP mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, maka perlu redefinisi politik aliran. Bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afialiasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “apakah anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi.

Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.

Karakteristik partai Islam biasanya dilihat dari dua hal, asas dan basis massa. Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKB dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena meskipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis massa muslim. Namun, partai Islam tak homogen. PKS, PPP, dan PBB bisa dikategorikan Islamis. Ketiganya memosisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologis, tapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Tak heran jika ketiga partai itu masih memiliki agenda semisal penerapan Piagam Jakarta atau mendukung pelaksanaan perda Syariat. Sebaliknya, PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai niversal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta.

Uniknya, perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tak terlalu berpengaruh dalam perolehan suara partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Baswedan, suara PDI-P beralih ke partai nasionalis. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai berbasis Islam (PAN dan PPP). Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.

Kesimpulan Baswedan di atas sejalan dengan exit polls yang diadakan LP3ES pada hari pemilu 5 April 2004; bahwa peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Sebanyak 16 persen PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Tingkat loyalitas pemilih tertinggi juga jatuh ke PKS (56%), disusul pendukung PKB (54%). Ini menunjukkan, kenaikan suara satu partai Islam lebih disebabkan turunnya suara partai Islam lain. Papartai Islam tidak atau belum berhasil meluaskan pangsa pasarnya. Hubungan antara satu partai Islam dengan partai Islam yang lain bersifat zero-sum game.

Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009? Hasil survei opini publik yang diadakan lembaga jajak pendapat menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS Jakarta misalnya, bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat pemilu tahun depan. Benar bahwa suara yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) masih cukup besar, 30%. Ini artinya, jika ditanyakan partai apa yang dipilih pada saat survei itu digelar, sepertiga pemilih belum menentukan pilihan. Di antara yang sudah menentukan pilihan, menurut survei CSIS, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% sudah menyatakan pilihannya ke PKS. Pemilih yang sudah menentukan pilihan ke PKB sebesar 6.8%, PD sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%.

Sementara itu, dilihat dari tingkat loyalitas pemilih, pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Sementara tingkat loyalitas PAN terhitung rendah; 31% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PAN pada 2009 nanti. Uniknya, ada sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS pada pemilu 2009 nanti. Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat.

Suara PKS yang menanjak menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Ini berarti, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain; PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah.

Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional Islam. Cara yang paling tepat adalah dengan membidik suara pemilih pemuda karena segmen suara inilah yang relatif bebas dari historical baggage dan immune dari polarisasi Islam dan nasionalis. Apakah partai-partai Islam mampu mengembangkan jaringan suaranya? Kita lihat hasilnya nanti!

Selasa, 09 September 2008

Achmad Chodjim: Kita Selalu Butuh Tafsir yang Sesuai Zaman

Katakanlah kita melihat ada ayat, ”Bunuhlah dan perangilah orang-orang kafir itu!” Ayat ini kalau mau kita angkat bukan untuk mencari sosok si kafir, tapi bagaimana kita harus bisa membunuh sifat ketertutupan manusia di dalam hidup yang semakin maju ini.

Ramadan juga dikenal sebagai Bulan Alquran (Syahr Al-Quran) karena di dalam bulan ini kitab suci itu diturunkan. Pada kesempatan ini, KUIK melakukan wawancara dengan Achmad Chodjim yang saat ini sedang menulis tafsir Alquran. Pak Chodjim ini juga dikenal sebagai penulis buku-buku best seller seperti Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Berikut petikan wawancara Novriantoni dengan beliau.

Pak Chodjim, Anda bukan orang yang secara spesialis yang menekuni pendidikan agama, tapi tertarik menulis tafsir Alquran. Apa yang motivasi Anda?

Begini, kita ketahui bahwa Alquran diturunkan kepada manusia ini tidak ada lain sebagai petunjuk, dan di dalamnya memang dijelaskan sebagai petunjuk. Alquran juga memuat penjelasan tentang petunjuk itu. Namun demikian ketika seseorang membaca Alquran, akan dihadapkan banyak kesulitan bagaimana memahami rangkaian ayat-ayat itu. Mengapa bisa terjadi demikian, karena kita mengetahui bahwa Alquran itu diwahyukan tidak di dalam komposisi kronologisnya. Alquran sendiri tidak sistematis. Selain itu bahasa Alquran juga tidak memiliki titik koma atau tanda baca. Bahasa Alquran juga banyak mengandung metafor-metafor, dan juga banyak kata-kata yang tidak eksplisit. Inilah yang mendorong saya menafsirkan Alquran sehingga satu surat Alquran itu memiliki makna sehingga menjadi petunjuk bagi yang membacanya.

Kalau boleh tahu, apa modal Anda dalam melakukan tafsir Alquran?

Secara umum modal untuk menafsirkan Alquran itu banyak. Pertama, bahasa Arab. Kita harus paham bahasa Arab, termasuk sastranya, meskipun secara pasif. Kedua, kita juga harus punya modal sejarah (sîrah) Nabi. Sebab kita tahu bahwa ayat-ayat Alquran itu diturunkan tidak lepas dari ruang dan waktu. Ketiga, kita juga harus memiliki kamus berbahasa Arab. Tentu saja makin banyak kamus bahasa Arab yang kita miliki akan sangat membantu di dalam memahami ayat-ayat Alquran. Karena kenyataannya banyak ayat-ayat Alquran itu yang satu kata digunakan oleh satu suku misalnya suku Quraisy, tetapi tidak digunakan di suku yang lain. Padahal di dalam Alquran dinyatakan bahwa Alquran itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Tentu pengertian yang jelas harus kita selidiki dan kita tinjau lebih jauh. Kalau sesuatu dikatakan jelas berarti seseorang pasti akan menemukan rujukannya tidak mungkin tidak.

Kalau kita menggunakan kategori konvensional ilmu tafsir, misalnya tafsir bil ma’tsur atau tafsir yang berdasarkan riwayat-riwayat hadits dan ada juga tafsir bi al-ra’yi, bagaimana dengan metode tafsir Pak Chodjim?

Dalam menafsirkan Alquran kita tetap mengikuti urut-urutan. Pertama-tama adalah tafsir itu harus kita terjemahkan ayat dengan ayat, mengapa? Karena di dalam Alquran disebutkan bahwa Alquran itu diturunkan yang sifatnya mutasyâbih dan makânî. Itu ada di surah al-Zumar ayat 23. Kalau kita pahami Alquran itu ayat-ayatnya mutasyabih itu artinya, ayat-ayat itu saling terkait antara satu kata atau satu ayat di satu surat, satu kata atau satu ayat di surat yang lainnya. Lalu makânî maksudnya ayat-ayat itu diturunkan selama 23 tahun, dan terjadi pengulangan-pengulangan dan kalau kita pahami sering ayat-ayat itu sering kali diungkapkan beberapa kali. Misalnya kata al-’aql (akal) saja diulang sampai lebih dari 40 kali. Nah, dengan adanya mutasyabih yang saling terkait dan pengulangan ini maka yang pertama adalah mencoba memahami satu ayat dan dicari kaitannya atau relasinya ayat yang lain. Setelah itu misalkan kita temukan lalu kita lihat kaitan kata itu dengan kondisi sosial pada waktu itu. Kita lihat misalnya penggunakan kata-kata yang ada pada waktu itu. Lalu kita lihat juga sejarah yang ada waktu itu. Nah setelah itu kita mencoba menyelidiki atau melihat satu ayat itu berdasarkan sejauh mana makna yang diungkapkan dalam ayat atau surat itu. Sebab boleh jadi kata itu bersifat lahiriah tapi yang dituju malah batiniah dan fenomena ini banyak sekali. Misalnya kita ambil contoh, pada surah al-Isra’ ayat 72. Kalau dibaca di sana orang yang membaca itu buta lahiriahnya. Tapi konsekuensinya kalau buta lahiriah akan buta di akhirat. Itu tentu tidak senada dengan ayat-ayat Alquran yang lain. Misalnya, orang yang mengeluh, ”Ya Allah kenapa saya di dunia dahulu hidup tidak buta tetapi sekarang saya buta”. Di sinilah mata rantainya lalu jika sudah dilihat semuanya itu apakah ayat yang kita tafsirkan itu sesuai dengan akal pikiran atau tidak. Sebab selama ini orang cenderung mengabaikan akal, padahal kita tidak melanggar pernyataan Allah bahwa kita harus menggunakan akal. Misalnya, ada sumpah Tuhan Tuhan di dalam Alquran, wal-’ashri (demi waktu asar), atau sumpah Tuhan misalnya qiyamah, di sini adalah sumpah padahal kalau kita melihat, mengamati dan memperhatikan apa yang dipakai Tuhan untuk sumpah itu bukan sesuatu yang diluar akal pikiran manusia. Misalkan kiamat tidak bisa tidak dipelajari maka kita mencoba menyelidiki. Kalau kiamat itu pengertiannya hancurnya alam semesta, ya tidak ada gunanya Tuhan bersumpah. Sebab kalau Tuhan bersumpah itu artinya ada sesuatu yang harus diperhatikan manusia, tidak bisa tidak. Maka kita langsung mencari makna kiamat di situ. Bagaimana ayat-ayat yang berkaitan di dalam sumpah kiamat itu apakah memang betul-betul terlepas atau bisa kita kaitkan dengan ilmu pengetahuan.

Bagaimana posisi tafsir-tafsir yang sudah dikarang oleh ulama sebelumnya? Apakah tafsir-tafsir itu relevan dan menjadi kutipan dalam tafsir Anda?

Kalau melihat tafsir-tafsir yang lalu pertama-tama kita pikirkan cara mereka menafsirkan. Umumnya cara mereka menafsirkan adalah hanya terpaku ayat dengan ayat. Misalnya yang dilakukan oleh Ibn Katsir, Jalalayn. Padahal kalau kita perhatikan dengan kenyataan perkembangan alam semesta ini, kalau hanya ayat dengan ayat tanpa menggunakan akal pikiran akan sia-sia. Maka di sini kita anggap terlalu banyak misalnya memuat hal-hal yang sifatnya sudah lampau. Tapi juga ada orang yang menafsir mencoba memahamkan dengan hal yang sifatnya kontekstual. Misalnya yang dilakukan Muhammad Abduh, atau tafsir al-Jawâhir yang juga banyak mengangkat hal-hal yang sifatnya ilmiah. Maka semuanya akan kita gunakan sebagai landasan yang bisa cocok ayat yang sedang kita tafsirkan itu. Bahkan kalau perlu tafsir yang sangat sufistik itu bisa menonjol pada ayat-ayat tertentu kalau memang kaitannya di situ. Misalnya tafsir surat al-Baqarah yang berkaitan dengan memotong sapi betina, kalau itu dilakukan secara lahiriah kita tetap tidak akan pernah nyambung. Jadi pasti harus ada nuansa sufistik di dalamnya.

Zaman sekarang para ahli tafsir menggunakan tafsiran tematik atas ayat Alquran, kenapa Pak Chodjim menggunakan tafsir surah persurah, bukan tematik?

Saya memang sadar sepenuhnya bahwa sekarang ini mulai banyak orang yang melakukan penafsiran Alquran yaitu tafsir tematik atau al-mawdlû’î. Namun kita harus paham bahwa masyarakat Islam pada umumnya tetap masyarakat yang sufatnya itu dapat kita katakan sebagai masyarakat yang masih konvensional. Artinya masyarakat konvensional itu tetap menganggap bahwa Alquran itu murni pemahaman satu surat secara utuh. Jadi ini yang saya sadari. Jadi kalau tafsir-tafsir tematik di toko buku misalnya itu tidak terlalu banyak menarik minat orang-orang yang ingin mendalami Alquran secara keseluruhan. Atau orang-orang dari pesantren, atau orang-orang yang ngaji di banyak peguruan. Mereka tidak tertarik, katakanlah, terhadap buku tafsir tentang masalahnya ekosistem. Karena pikirannya adalah orang tinggal melihat ekosistem itu siapa yang menulis. Kalau di sana kok banyak Alquran maka mereka yang bekerja di ilmu ekosistem. Ya, dia akan mencari sumber yang bersifat ilmu pengetahuan yang ekologi. Begitu pula ada tafsir tentang ilmu kelautan misalnya tapi bagi yang memang betul-betul berminat tentang kelautan jelas akan belajar ilmu kelautan lebih spesifik. Hanya orang-orang yang misalnya sekedar menambah wawasan yang mencoba mengaitkan antara ajaran yang ada di dalam Alquran dengan yang ada di dalam tema-tema kehidupan sehari-hari. Makanya inilah yang mendorong saya tidak tertarik untuk menulis tafsir tematik tetapi lebih tertarik menulis surah. Nah, tentu surat itu akan saya tafsirkan secara berbeda. Kalau yang lain-lain itu biasa ditafsirkan secara tahlîlî: ayat demi ayat, saya pun melakukan itu tetapi saya bagi berdasarkan tema-tema. Jadi surat ini mengandung berapa tema maka saya tidak lepas dari tema-tema yang ada. Nah, ketika kita menyebut tentang tema tentu kita akan tarik ayat-ayat yang lain di luar ayat yang kita tafsirkan itu.

Bagaimana Anda melihat problem subjektivitas penafsir yang memiliki preseden? Apakah hal ini lumrah, atau seorang penafsir itu tidak boleh memiliki motif dan preseden?

Ketika kita menafsirkan Alquran pertama-tama kita harus memahami pesan seluruh Alquran. Jadi kita tidak bisa tanpa memahami pesan yang ada di dalamnya secara keseluruhan. Jadi dulu misalnya dari awal sudah ada tafsi-tafsir itu berorientasi golongan, misalnya bagaimana kalangan Muktazilah menulis Alquran di situ nuansanya yang mendukung pola rasional Muktazilah. Orang Syi’ah juga mendukung orang Syi’ah, namun kalau kita kembali ke sana kita menjadi kadaluarsa.

Tapi misalnya, apakah tidak mungkin menafsirkan misalnya lebih mendorong ke arah toleransi dalam hidup? Di sini yang harus kita ambil adalah pesan mana yang saat ini relevan dalam membangun kemajuan umat saat ini. Oh, ternyata Alquran mengatakan kepada Nabi Muhammad, ”Tidaklah engkau (Muhammad) diutus kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Nah, tentu kita pengikut Muhammad, kita memiliki misi menjadi rahmat bagi seluruh alam. Menjadi rahmat bagi seluruh alam harus dicari di seluruh ayat yang berkaitan dengan rahmat, termasuk bagaimana sikap orang yang bertoleransi, bagaimana sikap hidup orang Islam punya solidaritas terhadap sesama, dan bagaimana orang Islam itu mencintai orang-orang karena kedalaman hatinya. Jadi tetap kita perhatikan itu. Tafsir-tafsir yang telah saya tulis tidak lepas dari sifat tasamuh, toleransi, bagaimana bekerja sama, bagaimana melakukan kritik pada kecurangan-kecurangan dan sebagainya.

Kita mengenal beberapa tafsir Alquran dengan corak-corak tertentu, misalnya Zamakhsyari dan Abduh lebih banyak berbicara tentang rasionalitas, al-Jawâhir, pada tafsir saintifik atas Alquran. Kalau tafsir Anda sendiri bagaimana?

Yang ada dalam pikiran saya, bagaimana menulis tafsir sesuai dengan perkembangan zamannya. Jadi karena di masa sekarang ini masa globalisasi, maka tafsir yang saya suguhkan tentu harus bernuansa pandangan yang meyeluruh, yang tidak merupakan kumpulan dari serpihan-serpihan. Katakanlah kita melihat ada ayat, ”Bunuhlah dan perangilah orang-orang kafir itu!” Ayat ini kalau mau kita angkat bukan untuk mencari sosok si kafir, tapi bagaimana kita harus bisa membunuh sifat ketertutupan manusia di dalam hidup yang semakin maju ini. Jadi saya justru akan menekankan kepada bagaimana menjalani misi hidup di zaman yang sudah holistik ini. Jadi kita tidak menjadi bagian dari yang parsial tapi menjadi bagian yang universial.

Dalam khazanah tafsir kita mengenal tafsir sufi, seperti Ibn ’Arabi dan beberapa penafsir sufi lainnya. Apakah Anda juga melakukan tafsir ini?

Oh, tentu saja di dalam tulisan-tulisan saya itu akan saya ungkapkan tidak semata-mata hanya berdasarkan riwayatnya, tapi betul-betul akan saya lihat kajian itu bagaimana kepercayaan itu berkembang. Misalnya siksa kubur, saya ulas itu di dalam surah al-Nas. Di sana saya sebutkan misalnya kapan pemahaman tentang orang di dalam kubur itu disiksa. Kapan misalnya di dalam Alquran ada kata jahannam, padahal kita tahu kata jahannam itu bukan kosa kata Arab asli. Jadi saya telusuri dari kata apa itu. Lalu kenapa Alquran kok mencoba menyerap kata jahannam. Nah, dari situ kita akan memaknai lebih jauh tidak hanya konvensional. Ini yang perlu kita pahami, sehingga kalau kita bicara tentang neraka maka kita tidak sekedar percaya sebagaimana neraka yang digambarkan, karena itu pun persepsi. Padahal di Alquran sendiri misalnya di surah al-Ra’ad 35 atau di surat 47 ayat 15 misalnya di situ dijelaskan dengan jelas apa yang dicantumkan di dalam neraka atau di surga itu adalah matsal, berarti perumpamaan. Nah, di situ kita bisa menarik keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang surga dan neraka. Begitu pula yang berkaitan dengan siksa kubur.

Tafsir kita ini sudah banyak, dan sering menimbulkan konflik. Bagaimana Anda tetap menulis tafsir di tengah banyaknya tafsir ini?

Kita harus tahu bahwa kita hidup itu adalah sebuah realitas, kita tidak mungkin banyak tafsir tetapi itu kalau kita coba lihat kaitkan dengan kaitan yang ada itu tidak ketemu. Malah seringkali ayat-ayat Alquran hanya digunakan sebagai pengkonfirmasi tindakan atau kepentingan. Ini tidak boleh terjadi. Contoh, kalau kita melihat ayat-ayat katakanlah poligami, orang langsung mencomot ayat itu dari semua konteks. Jadi tentang poligami hanya diambil dari surah al-Nisa’ ayat 3, seolah-olah hanya itulah makna dari ayat itu. Padahal tidak demikian. Kita perlu menjelaskan kepada masyarakat sehingga satu ayat tidak disalahartikan demi untuk memenuhi kepentingan pribadi atau nafsunya. Dan inilah yang memotivasi saya untuk menjelaskan. Ada satu contoh lain bahwa ada orang shaleh dan ia mukmin niscaya dia akan dimasukkan ke surga. Ayat ini kan kelihatannya ditujukan kepada laki-laki, padahal ini adalah ayat untuk pengertian umum. Sehingga siapa saja kalau mukmin akan masuk surga, dan siapa saja yang masuk surga akan mendapat bidadari. Makna bidadari ini juga masih bias jender, jadi, ini pentingnya kita menulis kembali tafsir.

Saya kira yang penting dalam hal ini, ketika membaca Alquran itu pikiran kita mestinya terbuka sepenuhnya. Yang kedua cobalah kita timbang, apakah yang ditafsirkan orang itu sesuai dengan kondisi yang ada atau memang ayat itu sudah tidak sesuai lagi diterapkan di zaman sekarang karena masanya sudah berbeda. Nah, di sini kita diingatkan, hati kita pun harus tenang, pikiran kita terbuka, lalu kita harus banyak-banyak untuk menimba berbagai wacana. Khususnya pembaca Alquran tidak boleh melulu yakin kalau membaca Alquran itu sudah mendapatkan petunjuk dari situ. Mengapa? Karena di surat al-Waqi’ah dinyatakan ”Tak ada yang mampu menggapainya atau menyentuhnya kecuai dirinya telah disucikan”. Nah, menyucikan diri kan kita tidak mengikatkan pada ego kita sendiri. Kita harus bebaskan kebencian, kedengkian, dendam dan sebagainya. Nah, itu adalah salah satu syarat penting.

Kamis, 28 Agustus 2008

NU, Ru’yah, dan Reformasi Penanggalan

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Padangan-pandangan dalam mazhab fikih yang hampir sebagian besar mengukuhkan metode ru’yah itu hanyalah kelanjutan saja dari tradisi dalam masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, hampir semua mazhab Islam lahir dalam konteks di mana tradisi ru’yah memang lazim
berlaku. Dengan kata lain, metode ini bukan sesuatu yang tidak bisa ditinjau ulang.

NU selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang berpegang pada metode ru’yah dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadan. Sementara Muhammadiyah dikenal mengikuti metode hisab. Fenomena ini agak janggal, sebab, secara logis, mestinya Muhammadiyah mengikuti metode ru’yah, karena itulah yang jelas-jelas sesuai dengan makna literal sebuah hadis yang terkenal, “shuumuu li ru’yatihi, wa afthiruu li ru’yatihi, fi in ghumma ‘alaikum fa-akmilu ‘l-’iddata tsalaatsiina”. Bukankah selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai ormas yang mengumandangkan ide kembali kepada Qur’an dan Sunnah? Metode ru’yah, sebaliknya, justru diikuti oleh NU yang selama ini lebih dikenal mengikuti fikih mazhab, ketimbang kembali langsung kepada sunnah.

Tetapi, sikap NU dalam mengikuti ru’yah ini juga tak lepas dari semacam kontradiksi, atau tepatnya inkonsistensi. Penentuan awal bulan dengan ru’yah hanya diikuti oleh NU dalam kasus awal dan akhir Ramadan, tetapi tidak dalam bulan-bulan lain sepanjang tahun. Di PBNU sendiri ada lajnah falakiyyah yang salah satu tugasnya adalah membuat penanggalan atau kalender seluruh bulan dalam setahun, tentu dengan metode hisab. Dengan kata lain, dalam kasus bulan Ramadan, NU memakai metode ru’yah, sementara untuk bulan-bulan yang lain, memakai metode hisab. Ini yang saya sebut sebagai sikap yang inkonsisten.

Selain berpatokan pada fikih mazhab, argumen NU untuk memakai metode ru’yah jelas adalah berpegangan pada hadis terkenal di atas. Secara harafiah, hadis di atas memang hanya berbicara tentang bulan Ramadan. Tetapi apakah ru’yah atau melihat bulan hanya dipakai oleh Nabi dalam kasus awal Ramadan saja? Jelas jawabannya tidak. Pada masa Nabi belum ada ilmu falak untuk menentukan penanggalan dengan hisab. Dengan kata lain, metode penanggalan dalam masa Nabi adalah ru’yah dan ini berlaku sepanjang tahun. Setiap menjelang akhir bulan, para sahabat selalu mengintip bulan di cakrawala. Jika mereka melihat bulan, maka tahulah mereka bahwa bulan baru telah tiba. Jika tidak, mereka menyempurknakan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari. Itulah adat yang berlaku di masyarakat Arab dan kemudian dieskplisitkan oleh Nabi melalui statemen di atas.

Tetapi, satu hal mestilah ditambahkan di sini sebagai semacam warning. Sebagaimana sudah saya sebut, metode ru’yah adalah tradisi yang berlaku dalam masyarakat Arab pada zaman itu, dan bukan sesuatu yang bersifat khas Islam. Dengan memakai ru’yah, Nabi hanya melanjutkan tradisi yang sudah ada. Kalender Hijriyah yang berdasarkan sistem lunar atau rembulan, bukan solar atau matahari seperti dalam sistem Gregorian, adalah tradisi masyarakat Arab. Sistem lunar ini juga diikuti dalam sistem penanggalan Yahudi.

Kembali kepada soal NU dan ru’yah: mestinya, jika NU mengikuti sunnah yang diajarkan Nabi secara kurang lebih konsisten, maka sistem penanggalan harus memakai ru’yah untuk bulan-bulan sepanjang tahun, bukan hanya untuk bulan Ramadan sahaja. Kenapa NU hanya memakai ru’yah untuk bulan Ramadan saja, dan tidak bulan-bulan lain, tidak pernah jelas alasannya. Saya sendiri tak pernah mendengar argumennya secara langsung dari para pakar falak dalam NU. Informasi mengenai ini juga tidak saya temukan dalam sebuah risalah pendek tentang ru’yah yang ditulis oleh Allah Yarham Kiai Rodli Soleh, salah satu pemikir falak dalam Lajnah Falakiyyah NU dulu. [Mohon dikoreksi, jika saya keliru].

Saya menduga, alasannya adalah berkaitan dengan kepraktisan saja. Tentu sangat mahal dan tidak praktis jika metode ru’yah dipakai sepanjang tahun. Karena penentuan awal Ramadan berkaitan dengan soal ibadah puasa, maka metode ru’yah ditempuh untuk tujuan ihtiyath, atau hati-hati, sebuah konsep yang sangat luas dikenal dalam lingkungan mazhab Syafi’i. Sementara metode hisab dipakai untuk bulan-bulan lain sebab di sana tidak ada peristiwa ritual atau peribadatan.

Yang kurang jelas bagi saya adalah bulan Dzul Hijjah atau Bulan Besar dalam istilah santri Jawa: apakah penentuan bulan itu memakai ru’yah atau tidak, sebab jelas dalam bulan itu ada peristiwa penting, yakni wuquf di Arafah dan Idul Adha, dua ritual yang sangat penting dalam Islam karena berkaitan dengan rukun atau pilar Islam yang kelima. Setahu saya, NU sendiri jarang--untuk tak mengatakan tak pernah--menempuh ru’yah untuk penentuan awal bulan Dzul Hijjah. Dalam hal ini, alasannya juga kurang jelas, kenapa demikian. Dugaan saya, mungkin karena even haji tidak berlangsung di Indonesia, maka tugas ru’yah kurang urgen dilakukan di negeri ini. Mungkin ru’yah dipandang sebagai tugas pemerintah Saudi ketimbang ormas-ormas atau pemerintah Islam di negeri lain.

Pada tahun-tahun awal berdirinya NU hingga beberapa dekade setelah itu, masalah ru’yah dan hisab memang menjadi bagian dari semacam politik identitas dan karena itu juga merupakan semacam titik selisih antara NU dan Muhammadiyah. Masalah ini menjadi bagian dari sejumlah masalah lain yang dipertengkarkan antara kedua ormas itu selama bertahun-tahun, antara lain soal ziarah kubur, talqin, tahlil, qunut, dll.

Setelah berlalu sekian generasi, saya melihat telah terjadi pergeseran sosial dan generasional yang cukup penting. Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah sudah tidak tajam lagi, dan mood di lingkungan aktivis kedua ormas itu justru menunjukkan keinginan untuk saling mendekat dan membangun hubungan yang harmonis. Corak berpikir yang dominan di dalam dua ormas itu dalam memandang masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan juga sama sekali tak menunjukkan perbedaan yang tajam. Dengan kata lain, garis demarkasi antara dua ormas itu tidak lagi setajam pada masa-masa lampau.

Dengan melihat perkembangan ini, saya memandang bahwa di lingkungan NU perlu ada upaya untuk meninjau masalah ru’yah. Dalam pandangan saya, metode ru’yah sudah sama sekali tak relevan dipakai saat ini, dengan pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, metode ini sama sekali tak berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya “Islami”, meskipun metode itu diperintahkan secara eksplisit dalam sebuah hadis. Sebagaimana saya katakan di atas, tradisi ru’yah hanyalah tradisi yang berlaku di masyarakat Arab pada zaman itu. Karena itu, metode ini tak usah disucikan sebagai semacam doktrin keagamaan. Akan lebih proporsional jika ru’yah dipandang sebagai salah satu perkembangan dalam teknik penanggalan yang berlaku dalam sejarah penanggalan umat manusia. Karena ini hanyalah menyangkut soal teknik, maka ru’yah juga sebaiknya dipandang sebagai metode yang relevan dalam batas-batas waktu tertentu. Karena teknik penanggalan berkembang terus, maka ada baiknya jika metode baru dipertimbangkan, apalagi jika metode baru itu lebih baik dan bermanfaat, sesuai dengan prinsip yang berlaku di kalangan NU, “al-muhaafadzah ‘ala ‘l-qadiim al-shaalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-jadiid al-ashlah”.

Kedua, metode ru’yah memang dimantapkan sebagai metode standar dalam lingkungan mazhab Syafi’i, dan juga sebagian besar mazhab-mazhab lain. Dalam lingkungan mazhab Syafi’i, metode ru’yah dipandang sebagai satu-satunya cara yang bisa dipakai sebagai dasar penentuan tangggal oleh pemerintah Islam, sementara hisab hanya boleh diikuti oleh haasib atau pakar hisab secara pribadi, dan tidak boleh dikampanyekan kepada masyarakat. Inilah yang terjadi dulu pada Kiai Turaihan Kudus, salah satu ulama falak penting di lingkungan NU. Kiai Turaihan seringkali berlebaran tidak bersamaan dengan masyarakat NU lain, karena berpegangan “ijtihad hisab” yang ia percayai. Ulama-ulama NU yang lain dapat menolerir sikap Kiai Turaihan itu dengan berpegangan pada konsep fikih Syafi’i tersebut di mana haasib diberikan kelonggaran untuk mengikuti hisab yang ia percayai.

Tetapi, dalam pandangan saya, pendapat dalam mazhab bukan sesuatu yang suci. Padangan-pandangan dalam mazhab fikih yang hampir sebagian besar mengukuhkan metode ru’yah itu hanyalah kelanjutan saja dari tradisi dalam masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, hampir semua mazhab Islam lahir dalam konteks di mana tradisi ru’yah memang lazim
berlaku. Dengan kata lain, metode ini bukan sesuatu yang tidak bisa ditinjau ulang.

Ketiga, metode ru’yah sangat rentan terhadap kemungkinan perpecahan dalam tubuh umat Islam, meskipun metode hisab juga mengandung kemungkinan yang sama. Tetapi kemungkinan perpecahan itu lebih kuat ada pada metode ru’yah. Karakter metode ru’yah adalah kemendadakan. Kemungkinan ru’yah hanya berlangsung beberapa saat saja di akhir bulan. Waktu untuk memverifikasi ru’yah juga berlangsung dengan singkat, sebab keputusan untuk mulainya tanggal baru harus segera diambil pada hari yang sama. Jika terjadi ru’yah yang berbeda-beda di sejumlah tempat dalam negara yang sama, waktu yang dibutuhkan untuk menilai hasil ru’yah itu juga tidak cukup lama.

Bayangkanlah situasi berikut ini: Pada tanggal 29 Sya’ban, tim A, B dan C dikirim ke sejumlah tempat dan ditugasi untuk melakukan ru’yah. Meskipun tidak sering, tetapi kemungkinan adanya perbedaan hasil ru’yah tetap ada. Tim A melihat bulan, sementara tim B dan C tidak melihatnya. Hasil itu akan dibawa ke pusat untuk didiskusikan. Tetapi, waktu diskusi jelas tidak cukup lama, sebab keputusan harus diambil malam itu juga. Di sinilah kemungkinan lain bisa terjadi: sekelompok masyarakat yang mendengar bahwa tim A telah melihat bulan di sebuah tempat, boleh jadi mengikuti hasil ru’yah tim itu, walaupun keputusan di pusat tidak memakai hasil ru’yah tim tersebut. Yang terjadi akhirnya adalah perbedaan awal bulan Ramadan atau Syawwal. Kejadian ini berlangsung berkali-kali sepanjang pengetahuan saya. Waktu kecil dulu, tidak satu kali saya mendengar bahwa ru’yah sudah terjadi di Cakung, atau Aceh, atau Madura, sehingga sebagian masyarakat di daerah bersangkutan sudah berlebaran, sementara di tempat saya, Pati, lebaran belum terjadi. Peristiwa ini bahkan masih saja terjadi tahun lalu, di mana PWNU Jawa Timur berlebaran secara berbeda dengan keputusan resmi PBNU yang dikukuhkan oleh Depag RI.

Kemungkinan perselisihan ini lebih bisa dieliminir dalam kasus hisab, sebab hasil hisab sudah bisa didiskusikan jauh-jauh hari, bahkan sejak awal tahun, dan keputusan pun bisa diambil sejak awal, sehingga prediksi awal dan akhir Ramadan sudah bisa dilakukan sejak awal. Karakter kehidupan modern adalah adanya prediktabilitas untuk tujuan kepraktisan. Metode hisab lebih bisa menjamin prinsip prediktabilitas ini ketimbang ru’yah.

Keempat, dalam konteks masyarakat Amerika, bahkan masalah ru’yah atau dikenal di lingkungan masyarakat Muslim Amerika sebagai “moon sighting”, bisa menimbulkan masalah yang agak serius. Masyarakat Muslim di Amerika berjuang untuk menjadikan Idul Fitri sebagai hari libur nasional, atau sekurang-kurangnya menjadi hari libur di negara bagian di mana koloni masyarakat Islam cukup besar, seperti misalnya negara bagian Michigan. Tetapi upaya ini menghadapi sejumlah kendala, antara lain tidak adanya kepastian tanggal awal bulan Syawwal karena menunggu adanya bulan. Hari libur nasional di Amerika harus ditetapkan minimal setengah tahun sebelum kalender tahun baru dimulai, demi keperluan penanggalan di lingkungan kantor-kantor pemerintah, sekolah dan institusi pendidian, dan, tentu, bisnis. Jika tidak ada kepastian kapan Idul Fitri berlangsung, jelas hal ini akan menyulitkan pihak pemerintah untuk menyusun kalender kegiatan tahunan yang jelas membutuhkan semacam kepastian dan prediktibilitas, dua hal yang tak bisa diberikan oleh metode ru’yah.

Kelima, Idul Fitri, dalam pandangan saya, adalah ritual keagamaan yang lebih mempunyai dimensi sosial dan karnaval, karena melibatkan perayaan sosial yang dalam konteks masyarakat Indonesia mempunyai makna yang sangat penting, bukan saja secara keagamaan, tetapi lebih-lebih lagi secara kebudayaan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, keseragaman tanggal dalam merayakan event sosial itu sangatlah penting. Perbedaan tanggal Idul Fitri, walau bisa ditolerir oleh sebagian masyarakat Islam, jelas menimbulkan rasa saling curiga, kadang terpendam, kadang meledak keluar menjadi perselisihan publik yang mengganggu karnaval sosial dan kegembiraan masyarakat.

Dalam hal ini, saya rasa, kita tak bisa atau kurang relevan memakai argumen pluralisme, yakni pluralisme lebaran, dalam pengertian perbedaan tanggal Idul Fitri. Meskipun, tentu, saya tetap bisa menghargai pihak-pihak yang memakai argumen itu. Alasan-alasan yang saya kemukakan di atas jauh lebih kuat, dalam pandangan saya, ketimbang alasan pluralisme.

Dengan pertimbangan- pertimbangan ini, saya hendak mengatakan bahwa saatnya NU menempuh suatu reformasi penanggalan dengan mengadopsi metode hisab secara konsisten, atau metode penanggalan modern lain yang lebih bisa menjamin asas kepastian dan prediktibilitas, dua hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern. Toh, metode hisab tersebut sudah dipakai selama bertahun-tahun dalam menentukan awal bulan-bulan lain di luar Ramadan sepanjang tahun.[]

Minggu, 17 Agustus 2008

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu.

Banyak hal dalam agama yang jika dibuang sebetulnya tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu. Oleh para pemeluk agama, banyak ditambahkan hal baru terhadap esensi agama itu, sekedar untuk menjaga aura agama itu agar tampak “angker” dan menakutkan di mata pemeluknya. Saya akan mengambil contoh Islam.

Satu, doktrin bahwa Nabi tidak bisa berbuat salah. Menurut saya, doktrin ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena itu kurang perlu. Jika doktrin ini dihilangkan, Islam tidak menjadi kurang nilainya sebagai sebuah agama. Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah Nabi, Rasul, Imam [dalam Syiah], Paus [dalam Katolik]) sebagai “infallible”, tidak bisa berbuat salah, jelas tak masuk akal.

Dua, doktrin bahwa sumber hukum hanya terbatas pada empat: Quran, hadis, ijma’, dan qiyas. Doktrin ini menjadi “hallmark” dari sekte Ahlussunnah waljamaah di mana-mana, sepanjang sejarah. Doktrin ini sebetulnya kurang perlu dan menjadi alat ortodoksi Islam untuk mempertahankan status quo. Sumber hukum jelas tidak bisa dibatasi dalam empat sumber itu. Islam tidak berkurang nilainya sebagai agama jika doktrin ini dihilangkan.

Tiga, doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Doktrin ini jelas “janggal” dan sama sekali menggelikan. Setiap agama, dengan caranya masing-masing, memandang dirinya sebagai “pamungkas”, dan nabi atau rasulnya sebagai pamungkas pula. Doktrin ini sama sekali kurang perlu. Apakah yang ditakutkan oleh umat Islam jika setelah Nabi Muhammad ada nabi atau rasul lagi?

Empat, doktrin bahwa sebuah agama mengoreksi atau bahkan menghapuskan agama sebelumnya. Ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam kuat dalam psike dan “mindset” umat Islam. Doktrin ini tak lain adalah cerminan “keangkuhan” sebuah agama. Kehadiran agama tidak terlalu penting dipandang sebagai “negasi” atas agama lain. Agama-agama saling melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen bisa belajar dari Islam, Islam bisa belajar dari Yahudi, Yahudi bisa belajar dari tradisi-tradisi timur, dan begitulah seterusnya.

Lima, doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah dengan rajin kerap dipandang lebih “Muslim” ketimbang mereka yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena mereka tidak beribadah secara rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui pengabdian kepada kemanusiaan.

Enam, doktrin bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan Islam atau agama orang berangkutan adalah “kafir”. Ini mekanisme yang nyaris standar dalam semua agama. Semua agama cenderung memandang bahwa mereka yang ada di luar “lingkaran penyelamatan” adalah domba-domba sesat. Doktrin ini, sekali lagi, cerminan dari arogansi sebuah agama tertentu. Sudah jelas bahwa jalan keselamatan adalah banyak sekali.

Tujuh, berkaitan dengan doktrin sebelumya, ada doktrin lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal masing-masing agama. Dalam Islam, ada doktrin tentang “sekte yang diselamatkan”, al-firqah al-najiyah. Kelompok yang menyebut dirinya ahlussunnah wal-jamaah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masuk sorga, sementara kelompok lain sesat. Begitu juga kelompok Syiah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat. Doktrin ini diteruskan oleh MUI dalam bentuk lain melalui fatwa penyesatan. Mendaku bahwa yang selamat hanya lingkaran tertentu adalah sebentuk arogansi.

Delapan, doktrin bahwa jika Kitab Suci mengatakan A, maka seluruh usaha rasional harus berhenti. Kitab Suci adalah firman Tuhan, dan firman Tuhan tak mungkin salah. Oleh karena itu, jika Tuhan sudah mengeluarkan sebuah “dekrit”, maka seluruh perbincangan harus berhenti. Doktrin ini tercermin dalam sebuah “legal maxim” atau kaidah hukum dalam teori hukum Islam yang berbunyi, “la ijtihada fi mahal al-nass”, tidak ada “independent reasoning” dalam hal-hal di mana teks Kitab Suci sudah mempunyai kata putus. Dengan kata lain, ijtihad harus dihentikan jika Kitab Suci sudah memutuskan sesuatu. Dalam diskursus filsafat modern di Amerika, hal ini disebut sebagai “discussion stopper”, agama sebagai penghenti diskusi. Sudah jelas Kitab Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan lagi karena konteks-nya berbeda.

Sembilan, doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh “syari’” atau legislator. Yang disebut legislator dalam konteks Islam adalah Tuhan, kemudian secara derivatif juga Nabi Muhammad. Para ulama atau fukaha datang belakangan sebagai penafsir atas hukum itu, dan pelan-pelan juga menempati kedudukan sebagai “pembuat hukum” atau legislator hukum agama. Doktrin ini sangat kuat tertanam dalam Islam. Doktrin ini juga kuat tertanam dalam agama Yahudi. Deklarasi Qur’an sudah sangat jelas dan sangat “kategorikal” , bahwa Adam dan seluruh keturunannya adalah “khalifah” di muka bumi. “Kekhilafahan” di sini, dalam tafsiran saya, mencakup pula kompetensi untuk menciptakan hukum yang mengatur ketertiban di muka bumi ini. Seluruh individu, dalam pandangan Islam yang saya pahami, adalah obyek dan subyek hukum sekaligus. Dengan kata lain, hukum bukan hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia.
Manusia secara generis adalah syari’, bukan saja Nabi atau ulama/fukaha.

Ini paralel dengan konsep “kewarganegaraan modern” di mana konsep “warga negara” mencakup secara intrinsik kemampun untuk membuat dan men-generate sebuah hukum. Jika ada kelebihan pada ahli hukum atau fukaha yang membuat mereka menjadi spesial kedudukannya adalah karena mereka mempunyai “training” untuk merumuskan sebuah hukum dalam prosedur yang standar. Tetapi sumber hukum bukan saja hanya ada pada Kutab Suci, sabda-sabda Nabi, atau pendapat ulama, tetapi juga manusia secara keseluruhan.

Sepuluh, doktrin bahwa Kitab Suci bersifat seluruhnya supra-historis, karena ia adalah firman Tuhan. Karena Tuhan bersifat supra-sejarah, maka firmanNya pun bersifat supra sejarah pula. Karena itu, Kitab Suci juga supra sejarah. Kebenaran Kitab Suci tak terikat dengan ruang dan waktu. Pandangan ini lagi-lagi adalah pandangan yang “angkuh”. Akan lebih proporsional jika kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang supra-sejarah dalam Kitab Suci, tetapi juga ada hal-hal lain yang cukup banyak yang terikat dengan sejarah. Bagian Kitab Suci yang “lengket sejarah” ini bisa tidak relevan sama sekali jika keadaan berubah.

Sebelas, doktrin bahwa Islam bisa menjawab semua masalah. Doktrin ini jelas hanya retorika belaka. Sebab pada kenyataannya tidak demikian. Solusi agama atau Islam, jika pun ada, juga tidak mesti sukses dan berhasil. Sebagaimana solusi-solusi sekuler, solusi Islam juga bisa gagal, seperti terbukti dalam banyak kasus.

Saya masih memiliki daftar yang panjang. Tetapi, itulah hal-hal pokok yang ingin saya kemukakan di sini. Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu. Mendaku bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi atau rasul lagi adalah berlawanan dengan etika tawadlu’. Mendaku bahwa Islam menghapuskan agama sebelumnya sama sekali tak mencerminkan sikap tawadlu’. []

Mengapa Justifikasi Agama

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.

Salah satu ciri khas manusia yang sangat menarik adalah adanya kecenderungan untuk memberikan justifikasi kepada sebagian besar tindakan yang ia lakukan. Tentu kecenderungan semacam ini tidak seluruhnya bersifat eksplisit. Biasanya kenderungan ini akan muncul pada saat orang yang bersangkutan berhadapan dengan (meminjam istilah yang sering dipakai dalam filsafat eksistensialisme) “situasi batas”.

Pada umumnya, orang bertindak setiap hari tanpa mempersoalkan apakah yang ia lakukan justifiable atau tidak. Pertanyaan soal justifikasi biasanya tidak muncul dalam konteks tindakan rutin sehari-hari. Misalnya, seorang guru sekolah melakukan kegiatan rutin setiap hari: berangat pagi-pagi ke sekolah, mengajar, menyelesaikan tugas-tugas pendidikan yang lain, sore pulang ke rumah, berlibur dengan keluarga pada akhir minggu, dsb. Pak Guru melakukan semua kegiatan rutin itu secara alamiah saja tanpa mempersoalkan justifikasi untuk tindakan-tindakan tersebut.

Tetapi, pertanyaan tentang justifikasi akan muncul saat kita berhadapan dengan situasi tak normal. Dalam kasus Pak Guru tadi, pertanyaan tentang justifikasi baru muncul manakala dia berada pada situasi yang tak lazim. Andaikan saja, dia menghadapi situasi berikut ini. Ada dua murid yang ingin mendaftar di sekolah tempat ia mengajar. Murid pertama sangat pintar tetapi datang dari keluarga miskin. Murid kedua pas-pasan dari segi kecerdasan, tetapi berasal dari keluarga kaya. Keluarga murid yang kedua menjanjikan untuk memberikan bantuan yang cukup besar untuk memperbaiki fasilitas di sekolah tersebut, dengan anak mereka diterima di sekolah tersebut. Sementara itu, Pak Guru, karena satu dan lain hal, tak bisa menerima kedua murid itu sekaligus.

Ini hanya situasi artifisial yang saya andaikan saja sekedar untuk memberi gambaran tentang situasi batas yang kadang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam situasi semacam ini, Pak Guru berhadapan dengan sebuah dilema. Untuk memutuskan menerima entah murid pertama atau kedua, dia membutuhkan justifikasi yang masuk akal, agar dia bertindak dengan tenang dan tak terganggu oleh nuraninya.

Justifikasi biasanya dicapai melalui sebuah proses yang saya sebut reasoning atau penalaran. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terus-menerus berhadapan dengan situasi-situasi baru yang kerap membutuhkan penalaran untuk mencapai justifikasi tertentu. Ini berlaku baik pada level kehidupan pribadi atau sosial.

Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.

Misalnya, kita mengandaikan bahwa norma keadilan adalah standar yang mengatur semua tindakan manusia. Atau seorang Muslim beranggapan bahwa hukum-hukum yang ada dalam Alquran dan Hadis adalah norma dasar yang menjadi landasan mereka untuk bertindak secara moral. Penalaran biasanya kita lakukan berdasarkan norma-norma semacam itu. Melalui penalaran itu, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa tindakan tertentu memenuhi standar norma tertentu, dan karena itu justifiable .

Ada dua jenis justifikasi. Pertama adalah justifikasi tradisional, dan kedua justifikasi rasional. Yang pertama adalah justifikasi yang diperoleh dengan bersandar pada sebuah otoritas tradisi tertentu, entah dalam bentuk kitab suci, adat, kebiasaan sosial, dsb. Yang kedua adalah justifikasi yang dicapai berdasarkan proses individual dengan memakai rasio kita sendiri.

Secara empiris, jarang sekali seseorang semata-mata memakai satu model justifikasi. Yang terjadi pada umumnya adalah seseorang memakai penalaran berdasarkan norma tradisional dan norma yang bersifat rasional secara serentak. Dengan kata lain, baik justifikasi tradisional dan rasional berlangsung secara simultan dalam proses yang sifatnya dialektis.

Justifikasi tradisional biasanya cenderung bersifat sosial, sementara justifikasi rasional bersifat individual. Tetapi, saya harus memberikan caveat di sini. Meskipun justifikasi rasional bersifat individual, secara empiris tidak lah demikian keadaanya. Apa yang kita sebut sebagai rasio pada dasarnya bukan sebuah wujud yang terisolasi dari proses sosial di luar dirinya. Rasio juga terbentuk dan dibatasi oleh keadaan-keadaan dalam masyarakat. Dengan demikian, saat seseorang melakukan penalaran rasional, dia bukanlah seorang individu yang secara otonom bekerja dengan rasionya, karena pada momen yang sama masyarakat juga bekerja dalam dirinya.

Di atas semua itu, sebuah justifikasi pada akhirnya bekerja dalam konteks tertentu. Justifikasi dibatasi oleh horison sosial dan individual sekaligus. Tentu batas di situ bukan sesuatu yang bersifat statis. Batas terus bergerak, dan bersamaan dengan itu justifikasi bergerak pula.

Saya hanya bisa memakai istilah yang sama sekali bersifat umum dan sangat ambigu di sini, yakni horison. Saya sendiri belum bisa menjelaskan dengan detail apa bentuk horison itu. Saya hanya membayangkan bahwa setiap justifikasi selalu bergerak dalam horison semacam itu. Justifikasi tidak bisa bekerja sepenuhnya secara transendental dan melampui horison tersebut. []

Jumat, 08 Agustus 2008

Reorientasi Dakwah Islam dan Pengabaran Injil

Oleh Abd Moqsith Ghazali
Agama--terutama agama-agama besar dunia--merupakan gerakan kritik pada upaya penistaan atas manusia. Jika prinsip-prinsip dasar ajaran ini menjadi muatan dakwah dan misi Islam dan Kristen, maka kedua agama itu bisa saling melengkapi dan mempersyaratkan. Yang diuntungkan dari dakwah dan misi seperti ini tentu bukan hanya umat Islam dan Kristiani, melainkan seluruh umat manusia, terutama yang tertindas atau teraniaya.

Islam dan Kristen adalah dua agama paling gencar dalam menyampaikan ajaran-ajarannya ke tengah masyarakat. Penyampaian ajaran itu dalam Islam disebut dakwah, dan dalam Kristen disebut misi atau pengabaran injil. Dalam Islam, perintah penyebaran ajaran itu tertuang dalam Alqur’an dan hadits Nabi Muhammad. Allah berfirman, “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmat-kebijaksanaan, nasehat yang baik, dan dialog yang konstruktif (wa jadilhum billati hiya ahsan)” [QS, al-Nahl (16): 125]. Nabi Muhammad pun pernah bersabda, “Sampaikanlah sekalipun satu ayat dari ajaranku” [ballighu `anni walaw ayatan].

Sementara dalam Kristen, Matius 28: 19-20 adalah ayat yang paling kerap dijadikan pegangan sebagai landasan pengabaran itu. Yesus berkata, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Pada dasarnya, pengabaran ajaran agama adalah baik. Saya percaya, baik di dalam Alqur’an maupun Injil, terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti perintah berbuat adil, mengasihi-mencintai sesama, maupun membantu kelompok-kelompok lemah-tertindas. Tidak ada agama yang datang sebagai ekspresi kesenangan dan kenikmatan hidup. Agama--terutama agama-agama besar dunia--merupakan gerakan kritik pada upaya penistaan atas manusia. Jika prinsip-prinsip dasar ajaran ini menjadi muatan dakwah dan misi Islam dan Kristen, maka kedua agama itu bisa saling melengkapi dan mempersyaratkan. Yang diuntungkan dari dakwah dan misi seperti ini tentu bukan hanya umat Islam dan Kristiani, melainkan seluruh umat manusia, terutama yang tertindas atau teraniaya.

Namun, tak bisa disangkal, bahwa di dalam kitab-kitab itu tercantum pula partikular-partikular ajaran yang sekiranya diimplementasikan secara harafiah akan potensial menimbulkan petaka dan ketegangan antar-umat beragama. Dengan ayat-ayat partikular itu, tak sedikit orang berpendirian perihal pentingnya melakukan islamisasi dan kristenisasi. Banyak orang bangga dan merasa puas ketika berhasil mengkristenkan atau mengislamkan orang lain. Seakan pahala Tuhan ada dalam genggaman begitu seseorang berhasil membaptis dan men-syahadat-kan orang lain, tak peduli walau itu dilakukan dengan paksaan dan intimidasi. Untuk mengukuhkan agendanya itu, Matius 28 pun disitir lepas dari konteksnya. Begitu juga, tidak sedikit tokoh Islam dengan menyitir satu-dua ayat Alqur’an yang memerintahkan mengungguli umat agama lain dengan alasan mereka kafir dan musyrik.

Mengabarkan dan mendakwahkan ayat-ayat yang eksklusif-radikal seperti itu jelas kontra-produktif bagi terciptanya kerukunan umat beragama di Indonesia. Hemat saya, yang perlu dikabarkan buat bangsa Indonesia yang lagi mengalami multi-krisis bukan Matius 28, melainkan Matius 19: 16-20 yang memuat ajaran kasih dan etika sosial. Disebutkan, “Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata; ’Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?’ Jawab Yesus: ’Apa sebabnya engkau bertanya kepadaku tentang apa yang baik? Hanya satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah’. Orang itu kembali bertanya kepada-Nya, ’Perintah yang mana?’ Kata Yesus, ’Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihanilah sesamu manusia seperti dirimu sendiri’.”

Yesus Kristus pernah ditanya seorang ahli Taurat tentang hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat. Yesus menjawab,”Kasihanilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.” Lalu Yesus ditanya kembali tentang hukum kedua yang sama dengan itu. Yesus menjawab, “Kasihanilah sesamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” [Matius 22: 36-40]. Ayat-ayat itu sebagai bukti kuat keberpihakan dan komitmen Kristen terhadap tegaknya etika sosial dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Di tengah angka pengangguran, kebuta-hurufan, dan kemiskinan yang tinggi di Indonesia, ayat-ayat dalam Injil tersebut makin menemukan relevansi dan signifikansinya untuk diterapkan.

Selanjutnya, dalam konteks Indonesia yang lembek dalam penegakan hukumnya, umat Islam lebih relevan mendakwahkan ayat-ayat keadilan Alqur’an ketimbang ayat-ayat yang menyuruh membunuh orang-orang kafir dan kaum musyrik. Allah berfirman, “Berbuat adillah karena keadilan itu lebih dekat pada ketakwaan” (QS, al-Ma’idah [5]: 8). Penegakan keadilan yang dikehendaki Alqur’an meliputi keadilan sosial, ekonomi, politik, dan keadilan di bidang hukum. Allah menegaskan, keadilan merupakan ukuran kualitas ketakwaan seseorang. Alqur’an pun mengatakan bahwa penegakan keadilan itu bukan hanya spesifik syariat Islam, melainkan juga mencakup pada seluruh syariat agama-agama semitik lainnya.

Sekiranya ayat-ayat pembebasan yang lebih diutamakan sebagai materi dakwah-misi para pengkhotbah agama di Indonesia, saya kira ketegangan yang kerap menyertai hubungan antar-umat beragama di Indonesia bisa dikurangi. Sebab, fokus perhatian muballigh dan missionaris tidak lagi pada penambahan jumlah keanggotaan suatu agama, melainkan pada kerja sama untuk advokasi dan pembebasan masyarakat tertindas. Namun, jika tetap tak ada perubahan fokus pada misi dan dakwah Islam dan Kristen, maka kekisruhan yang menyertakan penganut dua agama tersebut akan tetap sulit untuk akhiri. Untuk itu, kita tidak hanya perlu menelaah kembali makna dakwah, misi atau pengkabaran Injil, tapi juga perlu melakukan reorientasi dan perubahan fokusnya. []

Sabtu, 19 Juli 2008

Irshad Manji: "Saya Seorang Pluralis Bukan Relativis"

Pengetahuan kita amatlah terbatas, sehingga kita tidak bisa berlagak laiknya Tuhan. Hanya Tuhan lah Tuhan. Sementara kita di atas bumi ini harus menciptakan sebuah tatanan masyarakat di mana kita dapat berbeda, berdebat, dan bertentangan satu sama lain secara damai, beradab dan tanpa rasa takut. Jika kita melakukan itu, berarti kita sedang memuja Tuhan, karena dengan demikian berarti kita menyadari bahwa hanya Allah-lah yang memiliki kebenaran mutlak.
Akhir bulan April 2008 lalu, Irshad Manji berkunjung ke Jakarta untuk meluncurkan terjemahan buku bestseller internasionalnya, The Trouble with Islam Today. Edisi bahasa Indonesianya berjudul “Beriman Tanpa Rasa Takut”, dapat juga diunduh secara gratis dari situs http://www.irshadmanji.com. Jaringan Islam Liberal mengundang jurnalis, feminis dan aktivis HAM yang sangat berani dan cemerlang ini ke sebuah diskusi singkat di Utan Kayu. Ia berbicara secara lugas dan terbuka tentang mengapa ia bukan seorang muslim moderat, perlunya pembaruan Islam, Quran, imperialisme budaya Arab dan ijtihad yang merupakan tradisi pemikiran kritis Islam. Berikut ini bagian dari pembicaraan tersebut:
A: Bagaimana respon masyarakat terhadap karya anda?
B: Saat The Trouble with Islam Today diterbitkan kurang lebih 5 tahun yang lalu, kontroversi pun segera merebak. Tiga minggu setelah penerbitannya, buku tersebut menduduki puncak jumlah penjualan buku terbanyak. Para tokoh Islam pun pada akhirnya menyadari bahwa orang-orang tidak membutuhkan persetujuan mereka untuk membaca buku ini. Bahkan, akibat begitu kerasnya mereka mengutuk buku ini, banyak orang yang malah memutuskan untuk mulai membacanya. Para tokoh Islam itu pada akhirnya terpaksa melibatkan diri mereka dalam perdebatan – yang sebelumnya mereka kira bisa diabaikan begitu saja mengingat merekalah yang selama ini menentukan apa yang otentik dan apa yang tidak otentik. Faktanya, orang-orang mulai membaca gagasan-gagasan saya serta tak peduli dengan pendapat para tokoh tersebut. Lebih jauh lagi, semakin banyak yang mulai melibatkan diri dalam perbincangan mengenai pembaruan Islam, bahkan tanpa persetujuan dari para ulama.
Banyak kaum muda Muslim yang mengirim e-mail pada saya dan mengungkapkan bahwa mereka sebelumnya merasa tidak akan mungkin mengemukakan isu-isu tersebut di rumah, madrasah ataupun masjid. Mereka pun bakal dikecam gara-gara mendiskusikan gagasan-gagasan saya dan mengutarakan pendapat mereka secara bebas. Saya menyarankan agar mengkambinghitamkan saya begitu mereka dicaci maki oleh keluarga mereka – sehingga dengan begitu mereka dapat berdiskusi tanpa terbebani oleh stigma pribadi. Saya berani mengambil risiko ini karena satu-satunya persetujuan yang saya butuhkan hanyalah dari Pencipta saya – dan nurani saya. Itu saja, selain itu adalah politik belaka.
Setelah buku saya terbit, saya menerima banyak e-mail dari kaum muda Muslim di Timur Tengah yang meminta saya menerjemahkan buku ini ke bahasa Arab dan memuatnya di website. Sehingga mereka bisa membaca buku ini secara pribadi dan aman. Mereka mengatakan, “Kami mungkin saja tidak bersepakat dengan poin anda, namun paling tidak kami dapat memperdebatkannya begitu kami mendapat akses menuju informasi tersebut.” Para pemuda itu benar-benar menginginkan perdebatan yang sejujurnya mengenai Islam.
Akhirnya, selain ke bahasa Arab, buku tersebut juga dierjemahkan ke bahasa Urdu dan Persia. Di Iran, buku ini dilarang total. Delapanbelas bulan kemudian, terjemahan Arabnya telah diunduh sekitar setengah juta kali, yang mengindikasikan adanya dahaga untuk meliberalisasi pola pikir kaum Muslim. Sayangnya, tidak banyak yang berani bersuara secara terbuka dan nyaring.
Ketakutan untuk berbicara terbuka tidak hanya terjadi di dunia Islam tradisional, namun juga di Amerika Serikat – di kalangan anak muda Muslim kelahiran Amerika yang masih saja bergumul dengan pengaruh budaya tribal Arab yang diterapkan oleh keluarga mereka.
A: Pernahkah terbersit di benak anda untuk meninggalkan Islam?
B: Sejak usia belia, saya kerap mempertanyakan bukan tentang apa yang saya yakini, namun tentang apa yang diajarkan pada saya di madrasah. Misalnya, saya diberitahu bahwa perempuan itu inferior atau lebih rendah dari lelaki dan karena itulah mereka tidak boleh mengimami sholat. Saya lalu teringat pada ibu saya yang membesarkan tiga anak perempuan dan mengusahakan agar ketiganya mendapat makanan, pakaian, dan rumah yang layak dari gaji seorang tukang bersih-bersih. Bahkan di usia belia, saya tahu betul hal itu membutuhkan otak dan nyali. Saya fikir ibu saya tidak mungkin inferior daripada lelaki.
Dengan mengamati kenyataan yang ada, saya mengerti bahwa sebenarnya yang selama ini diajarkan pada saya di madrasah bukanlah iman, namun dogma. Bedanya adalah bahwa iman cukup aman ketika dihadapkan pada pertanyaan dan tidak pernah merasa terancam olehnya. Akan tetapi dogma -baik itu sosialis, Islamis, kapitalis, atheis ataupun feminis- sangatlah lemah dan rigid. Ia merasa silau di bawah sinaran pertanyaan.
Tidak mengherankan jika di usia 14 tahun, setelah mengajukan banyak pertanyaan yang salah, saya pun dikeluarkan dari madrasah. Saya kerap bergurau dengan kawan atheis bahwa dikeluarkan dari sekolah tersebut adalah satu-satunya bukti yang saya perlukan akan keberadaan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang! (tertawa)
Setelah dikeluarkan dari madrasah, saya pun berfikir: mengapa saya masih membutuhkan agama? Saya bisa saja membebaskan diri – berdiri sendiri, berfikir kritis, mencintai ilmu dan pendidikan yang saya dapat dari sekolah umum dan bergerak maju. Namun kemudian saya menyadari, bahwa bisa jadi semua yang dikatakan oleh guru madrasah saya tentang Islam hanyalah kebohongan belaka. Atau bisa jadi ia memang seorang pengajar yang payah. Supaya adil pada iman saya, saya perlu mempelajari Islam sendiri dan saya harus melihat personalitas Islam yang otentik.
20 tahun selanjutnya saya gunakan untuk mempelajari Islam secara otodidak. Selama itu, saya mempelajari sisi feminis Islam yang tidak akan pernah diperkenalkan pada saya jika tetap bertahan di madrasah. Misalnya, saya belajar bahwa di masa Nabi Muhammad, pernah ada seorang imam shalat perempuan –dan nabi mendukungnya.
Saya mempelajari bahwa istri pertama Nabi Muhammad, Khadijah, adalah seorang pedagang kaya yang merupakan majikan Nabi selama bertahun-tahun. Bahkan menurut sejarah Islam tradisional, ialah yang melamar Nabi.
Saya juga mendengar tentang figur perempuan kuat lainnya, Rabiah. Menurut tradisi Islam, ia diberi pilihan empat orang lelaki untuk dijadikannya suami. Ia pun memutuskan untuk mewawancarai yang terpandai di antaranya, namun menyimpulkan bahwa orang itupun bahkan tidak cukup pandai untuknya. Akhirnya ia memilih untuk membujang, mengingat Quran memberi semua perempuan pilihan untuk begitu.
Semakin saya mempelajari sejarah kesetaraan dalam Islam, saya semakin sadar bahwa sebetulnya saya tidak perlu meninggalkan iman saya demi memiliki integritas. Yang saya perlu lakukan adalah menggunakan suara saya – suara yang tidak memerlukan perjuangan berdarah-darah untuk mendapatkannya. Saya telah dianugerahi kebebasan yang sangat berharga sehingga setiap pagi, saya harus bertanya pada diri sendiri tentang apa yang bisa saya perbuat dengan kebebasan ini.
A: Apakah kemewahan untuk mengkritisi Islam dikarenakan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, oleh tiadanya sistim kependetaan dalam Islam?
B: Saya kira pernyataan mengenai tidak adanya otoritas agama dalam Islam sebagaimana paus dalam agama Katolik -sehingga Katolik lebih bersifat doktriner- tidaklah sepenuhnya benar. Secara teori, memang benar. Tetapi kenyataannya bahkan sampai detik ini, sebagai seorang Katolik, anda bisa menjadi seorang pemberontak. Meskipun karenanya seseorang akan dicerca atau dipojokkan, namun ia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan hidupnya.
Hal yang sama terjadi dalam agama Yahudi. Teman baik saya, seorang pembuat film Yahudi yang kontroversial, membuat sebuah film berjudul “Trembling before God” – di mana ia mengungkapkan bagaimana kaum Yahudi ultra orthodoks yang homoseksual mendamaikan kedua identitas tersebut. Ia memang menerima surat penuh dengan nada kebencian dan caci maki, namun tidak ada seorangpun yang mencoba mengancam nyawanya.
Dalam Islam, kita punya masalah dengan sensor dan kurangnya pemberontakan yang lebih besar daripada kaum Kristen dan Yahudi. Namun bukan berarti semua hal dalam kedua agama tersebut baik. Keduanya memiliki masalah tersendiri, dan saya sangat menghargai hal tersebut. Walaupun begitu, jika anda adalah pengikut kedua agama tersebut, anda dapat memberontak tanpa harus khawatir akan kehilangan nyawa karenanya. Karena itulah saya menyuarakan pentingnya pembaruan dalam Islam.
A: Bagaimanakah pandangan anda tentang al-Quran, dan sejauhmana kritik terhadapnya dapat dilakukan?
B: Saya sadar poin ini membuat banyak orang Islam menganggap saya bukanlah seorang Muslim. Namun bagi saya itu tidak mengapa, karena Quran sendiri mengatakan hanya Tuhanlah yang tahu siapa yang benar-benar beriman. Saya meyakini bahwa Quran terinspirasi secara ilahi (divinely inspired). Saya ingin melakukan lompatan iman tersebut. Saya tidak bisa, dengan menggunakan nalar saya, mengklaim dengan penuh keyakinan bahwa Quran ditulis secara ilahi (divinely authored), atau ditulis dari awal sampai akhir hanya oleh Allah.
Saya mengambil kesimpulan tersebut mengingat saya adalah seorang sejarahwan. Saya tahu bahwa Quran dikompilasi, pertama-tama, oleh manusia yang bisa melakukan kesalahan. Kedua, ayat-ayat atau wahyu yang diterima Nabi kemudian ditulis pada apapun yang ditemukan oleh para sahabatnya: dedaunan, serpihan kayu, bebatuan dll. Siapa dapat mengatakan bahwa di dalam proses mengumpulkan semua itu tidak terjadi suatu kesalahan?
Banyak yang tidak tahu bahwa para filsof Muslim selama ratusan tahun telah berbicara mengenai “ayat-ayat setan”, di mana Nabi menerima ayat-ayat Quran yang kemudian beliau sadari lebih memuja para berhala ketimbang Tuhan. Nabi lalu menghapus ayat-ayat tersebut – beliau mengedit Quran. Pertanyaan saya adalah: jika Muslim yang baik meneladani kehidupan Nabi dan Sunnah Nabi, maka bagian dari Sunnah adalah bahwa beliau mengedit Quran. Siapa dapat mengatakan para sahabatnya tidak mengikuti teladan tersebut? Siapa bisa mengatakan dalam proses kompilasi tersebut mereka tidak mengedit Quran?
Kita tidak memiliki jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan di atas, dan justru itulah yang seharusnya membuat kita rendah hati. Hal tersebut menimbulkan rasa malu mengingat pengetahuan kita amatlah terbatas, sehingga kita tidak bisa berlagak laiknya Tuhan. Hanya Tuhan lah Tuhan. Sementara kita di atas bumi ini harus menciptakan sebuah tatanan masyarakat di mana kita dapat berbeda, berdebat, dan bertentangan satu sama lain secara damai, beradab dan tanpa rasa takut. Jika kita melakukan itu, berarti kita sedang memuja Tuhan, karena berarti kita menyadari bahwa hanya Allah-lah yang memiliki kebenaran mutlak.
A: Bagaimana pembaruan dapat dilakukan? Haruskah kita kembali pada sumber-sumber primer Islam, atau kita abaikan saja?
B: Saya kira kita harus bangga pada tradisi tertentu dalam Islam yang memungkinkan kita menjadi fleksible dan maju. Ijtihad adalah tradisi kedinamisan, mobilitas intelektual dan spiritual dalam Islam. Karena itulah saya adalah pendukung utama semangat ijtihad.
Banyak orang Islam mengatakan- anda kira anda itu siapa mau melakukan ijtihad? Mana titel anda? Sebetulnya saya tidak mengajak kaum Muslim awam untuk melakukan tradisi hukum ijtihad. Saya mengingatkan kaum Muslim pada umumnya bahwa Allah telah memberi mereka izin bahkan kewajiban untuk berfikir kritis. Saya ingin semua orang di dunia Islam, terutama perempuan, mendapat hak untuk berfikir. Apa yang mereka simpulkan selanjutnya melalui kebebasan itu adalah urusan mereka.
Sebagian umat Islam tidak memahami bahasa sekuler seperti “Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia”. Salah satu contoh isu HAM adalah soal LGBT (lesbian, gay, bisexual dan transgender/transexual). Apa pendapat anda tentang hak LGBT dan Islam?
Sebagaimana anda ketahui, saya adalah seorang lesbian dan saya tidak meminta persetujuan kaum Muslim atas orientasi seksual saya. Saya hanya meminta persetujuan dari dua entitas saja: Sang Pencipta dan nurani saya.
Karena itu, kita bisa meneliti kemungkinan kesesuaian (compatibility) antara Islam dan homoseksualitas. Quran sendiri mengandung lebih banyak ayat yang mendukung keragaman daripada ayat yang menghujat homoseksualitas. Quran mengatakan bahwa semua yang diciptakan oleh tuhan “sempurna”, tidak ada ciptaannya yang “sia-sia” dan bahwa tuhan menciptakan “siapapun menurut yang dikehendakinya”.
Hal ini berarti Yang Maha Kuasa tahu apa yang dilakukanNya saat menciptakan gay dan lesbian. Maka, ketika kaum Muslim mainstream mengatakan bahwa Islam melarang homoseksualitas, ini menandakan bahwa mereka meyakini Tuhan telah melakukan kesalahan. Apakah mereka mau mengakui bahwa Tuhan melakukan kesalahan?
Ada tiga kali lipat jumlah ayat Quran yang menyuruh kita untuk berfikir, menganalisa, dan merenung, daripada jumlah ayat yang memberi tahu apa yang secara mutlak benar atau salah. Kita dapat menggunakan prinsip berfikir dan menerapkannya pada kisah Nabi Luth. Kisah Luth inilah yang paling banyak digunakan kaum Muslim untuk menghujat homoseksualitas. Penelitian menunjukkan bahwa kisah Luth bukanlah tentang hubungan homoseksual yang konsensual atau sukarela, namun tentang pengainayaan seksual. Kita dapat mempertanyakan apa yang sebetulnya dihujat Tuhan di sini – apakah Ia menghujat homoseksualitas, ataukah menghujat penggunaan kekerasan dan pemaksaan dalam seks, termasuk di antara lelaki? Jawaban saya adalah: saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah bahwa setiap bab dalam Quran, kecuali satu, dimulai dengan menyatakan Allah sebagai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Menurut saya jika kita semua lebih peduli mengenai di mana posisi Sang Maha Pencipta daripada posisi manusia, kita akan menyadari adanya banyak ruang dalam Quran untuk mendebat dan berbeda. Artinya meskipun anda berhak untuk tidak setuju dengan saya, anda tidak diizinkan untuk menyakiti saya karena berbeda dari anda.
A: Menurut anda, bagaimanakah respon umat Islam terhadap kekerasan yang dilakukan atas nama Islam?
B: Di Amerika Utara, selalu ada pembedaan antara Muslim ekstrimis dan Muslim moderat. Menurut saya pembedaan yang jauh lebih penting sebetulnya adalah antara Muslim moderat dan Muslim reform-minded. Alih alih menjadi solusi, muslim moderat sendiri adalah bagian dari persoalan. Muslim moderat dipojokkan oleh pandangan publik sehingga mereka pada akhirnya mengutuk kekerasan yang dilakukan atas nama Islam. Namun begitu, mereka akan membantah peran agama dalam kekerasan yang dilakukan atas namanya.
Masalah dengan argumentasi tersebut ada dua. Pertama, ini adalah suatu bentuk ketidakjujuran. Kita telah menyaksikan video para pemuda dan pemudi yang ingin mati syahid – dan mengutip Quran untuk membenarkan kekerasan yang mereka lakukan. Meskipun mereka mengeksploitasi dan memanipulasi ayat-ayat tersebut, faktanya ayat-ayat itu memang ada. Karena itu, agama memiliki peranan.
Ketika tragedi WTC terjadi, banyak kaum Muslim moderat di Amerika yang menyatakan bahwa Quran jelas-jelas mengatakan- “jika engkau membunuh seorang manusia, ia seperti membunuh seluruh umat manusia”. Padahal sebetulnya, Quran mengatakan lebih jauh: ““jika engkau membunuh seorang manusia, ia seperti membunuh seluruh umat manusia. kecuali pembunuhan itu dilakukan sebagai hukuman atas pembunuhan atau kejahatan di muka bumi”. Pengecualian inilah yang digunakan oleh para jihadi untuk membenarkan tindak kekerasan mereka.
Kedua, mengatakan bahwa Islam tidak ada sangkut pautnya dengan (kekerasan) ini juga berbahaya, karena kita berarti menyerahkan keyakinan kita pada Muslim ekstrimis. Ini berarti mengatakan pada kaum ekstrimis: “Silahkan mendefinisikan Islam. Kami hanya akan mengatakan bahwa Islam berarti damai dan berharap dunia mempercayai kami. Namun kami tidak akan menyaingi penafsiran ayat-ayat tersebut karena jika begitu, berarti kami mengakui bahwa agama berperan dan kami tidak akan melakukannya”. Inilah pola pikir kaum Muslim moderat. Karena itulah saya bukan Muslim moderat. Dan hal ini mengejutkan orang-orang Amerika karena hanya itulah yang mereka tahu.
Dengan rendah hati saya mengingatkan kaum Muslim yang menilai pandangan saya tidak Islami atau bahkan anti Islam – bahwa dalam Quran ayat yang mengajak kita untuk berfikir, menganalisa dan merenung tiga kali lipat lebih banyak daripada ayat yang mengajarkan apa yang benar atau salah. Ayat yang mendorong pemikiran kritis tiga kali lipat lebih banyak daripada tentang kepatuhan buta. Dengan perhitungan itu saja, penafsiran ulang lebih dari sekedar hak – ia adalah kewajiban. Karena itulah saya berpendapat bahwa Muslim reform-minded sama otentiknya dengan Muslim moderat – bahkan mungkin lebih konstruktif. Kami mencoba maju lebih jauh ke depan daripada sekedar menyaksikan apa yang terjadi atas nama Islam, dan berharap ia akan hilang dengan sendirinya.
A: Saat ini, beberapa unsur radikal di kalangan umat Islam Indonesia mendesak pemerintah untuk melarang Ahmadiyah. Bagimana pendapat anda?
B: Menurut saya hal yang menyatukan semua umat Islam adalah keyakinan pada Tuhan yang Maha Esa, Tuhan yang memiliki kebenaran mutlak, dan bahwa manusia hanya memiliki pengetahuan terbatas. Bagaimana saya bisa tahu tidak ada nabi lain setelah Muhammad? Karena itu, monoteisme adalah kunci utama Islam saat awal pendiriannya. Kaum Ahmadiyah tidak melanggar prinsip tersebut mengingat mereka percaya pada Tuhan yang Maha Esa, dan itulah hakekat Islam.
Melarang mereka adalah suatu bentuk kesombongan kalangan Muslim mainstream yang mengambil alih peran Tuhan. Jika kita meyakini ada kebenaran final dan hanya Tuhan yang berhak menghukum orang yang tidak beriman atau memberi pahala pada mereka yang beriman, lalu siapakah kita ini sehingga menganggap orang lain tidak beriman?
Saya sadar orang bisa dengan mudah menganggap saya sebagai seorang relativis yang menganggap semua boleh. Namun tidak demikian halnya. Ada beberapa poin yang tidak dapat ditawar dalam keyakinan ini (Islam). Saya adalah seorang pluralis dan bukan seorang relativis.
Seorang pluralis menghargai berbagai perspektif dalam kebenaran. Adapun seorang relativis mendukung apa saja, karena ia sebenarnya tidak memiliki pendirian apapun. Pertanyaan kunci bagi masyarakat terbuka manapun adalah: dapatkah sebuah masyarakat demokratis menghasilkan pluralis tanpa menghasilkan relativis? Saya akan menjawab pertanyaan tersebut dalam buku saya selanjutnya.
A: Mengapa anda memberi banyak perhatian pada isu Israel dan Yahudi dalam buku anda?
B: Poin sederhana saya ketika mengangkat isu Israel adalah bahwa ketika anda melakukan penelitian, anda tidak dapat menyalahkan Israel atas semua permasalahan dunia Islam. Tiga dari empat Khulafa’ ar Rasyidin, para khalifah penerus Nabi Muhammad, dibunuh oleh sesama Muslim. Negara Israel belum berdiri saat itu. Pertikaian berdarah demi kekuasaan telah berkobar di dunia Islam sebelum penjajahan Barat dan negara Israel lahir, sebelum CIA, MTV, McDonald, dan Britney Spears ada.
Saya juga ingin menjelaskan mengapa kita tidak dapat mengkambinghitamkan Israel atas semuanya – dengan pergi ke sana dan melihat kondisinya dengan mata kepala sendiri. Umat Islam telah berkonspirasi melawan satu sama lain selama berabad-abad. Ada banyak hal terjadi di dunia Islam yang tidak ingin kita akui. Jika kita terus menggunakan Israel sebagai alasan atas mengapa kita tidak dapat melakukan reformasi, kita tidak akan memiliki legitimasi yang cukup ketika mengarahkan telunjuk kita pada dunia luar.
A: Apakah pembaruan Islam dapat dicapai melalui politik?
B: Saya pribadi meyakini bahwa politik adalah jalan yang paling sedikit efektif untuk mereformasi pola pikir umat Islam. Akan selalu ada agenda-agenda yang bertentangan dan terkadang anda dipaksa untuk mengurangi integritas anda hanya supaya dapat terpilih. Bisakah anda mengatakan apa yang seharusnya dikatakan dan melakukan apa yang diperlukan ketika anda menjadi politisi? Bagi saya, jawabannya adalah tidak.
Saya memilih untuk bekerja di luar sistim politik pemilu dan lebih meraih pengaruh daripada kekuasaan. Kekuasaan bersifat singkat dan anda menggunakannya di titik tertentu untuk mendapat hasil yang spesifik. Pengaruh berarti orang mendengar anda sampai jangka panjang. Ini baik untuk saya karena berarti saya bisa tidur di malam hari dan tahu saya telah jujur pada dunia tentang apa yang saya yakini. Saya tidak harus berpura-pura hanya agar bisa melaju ke jenjang selanjutnya.
Bagaimanapun, dunia sangat kompleks. Dan ia membutuhkan banyak orang untuk melakukan perubahan. Maka jika anda punya strategi khusus yang menurut anda dapat benar-benar diterapkan agar dapat terpilih: lakukan! Kami memerlukan anda! Pertanyaannya adalah, apakah anda punya rencana nyata ketika anda betul-betul masuk ke dunia politik? Jika tidak, maka terus terang, saya kira anda akan dikecewakan oleh betapa sedikit yang bisa anda raih dalam politik.
A: Apakah pembaruan Islam mungkin dilaksanakan?
B: Sebagaimana saya telah katakan di awal, meskipun dahaga akan gagasan-gagasan pembaruan ada, namun rasa takut untuk mendukung dan menciptakan gerakan nyata juga ada.
Meski demikian, kemajuan sedang berlangsung: suatu kali seorang reporter New York Times yang selama enam bulan tinggal di Lebanon, Siria, dan Yordania untuk membuat laporan tentang pembunuhan dan kekerasan atas nama kehormatan memberi tahu saya bahwa ia telah menanyai perempuan muda Muslim darimana mereka mendapatkan keberanian untuk berbicara tentang isu-isu tabu tersebut. Ia mengatakan bahwa sebagian besar merujuk pada terjemahan buku saya yang dimuat di website.
Dio mana hanya ada sedikit kebebasan, penghargaan atas kebebasan meningkat. Hal ini mengingatkan saya pada anda semua di Indonesia, di mana anda memiliki kebebasan relatif lebih banyak daripada di Timur Tengah. Saya sangat berharap, dan mungkin saya naif, bahwa anda dapat meluncurkan berbagai gagasan segar ke seluruh penjuru dunia melalui media dan teknologi digital.
Saya kira mentalitas tribal “kita lawan mereka” yang muncul di banyak negara di timur Tengah akan tergantikan oleh pemikiran yang lebih pluralis. Indonesia mewarisi tradisi pluralisme tersebut. Indonesia dapat menjadi sumber kepemimpinan baru bukan sekedar bagi umat Islam, namun bagi kemanusiaan secara menyeluruh. Prinsip Pancasila, yang merupakan landasan utama negeri ini, sama persis dengan prinsip prinsip konstitusi Amerika Serikat.
jika and kira gagasan kebebasan dan demokrasi Amerika memberi harapan bagi kepemimpinan, hak asasi manusia, demokrasi dan kebebasan, maka ingatlah bahwa Undang Undang Dasar 1945 juga bisa melakukan hal yang sama. Penduduk dunia akan menarik nafas lega mengetahui bahwa kaum muda Muslim di negeri ini berjuang untuk mengembalikan kebebasan, demokrasi dan pemikiran kritis bagi kepemimpinan politis. Saya yakin hal ini akan terjadi di Indonesia.
Namun umat Islam Indonesia kini menghadapi tantangan besar – yaitu pengaruh Wahhabi. Anda menyebutnya sebagai imperialisme budaya Arab…
Ya, bukan hanya imperialisme Amerika yang sedang dihadapi oleh kebanyakan umat Islam di dunia. Sebenarnya, penjajahan yang lebih besar adalah mentalitas tribal yang datang dari budaya padang pasir Arab Saudi. Hal ini termasuk prinsip kehormatan yang menjadikan perempuan sebagai properti lelaki di komunitas mereka, dan menghilangkan individualitas mereka.
Karena penjajahan Wahhabi yang mengancam nilai pluralisme Indonesia inilah, perlawanan terhadap imperialisme budaya Arab semakin penting. Dalam beberapa tahun mendatang, pemerintah anda akan mencoba meningkatkan pemasukan dari wisatawan asal Timur tengah. Karena itu, orang Indonesia akan disarankan untuk tidak menyinggung sensibilitas budaya para wisatawan Arab. Untuk itu, akan diberlakukan lebih banyak lagi undang-undang untuk membatasi kebebasan. Sangat penting untuk menyadari konsekuensi-konsekuensinya jika tidak menerapkan kepemimpinan pluralistik.
15/

sunset

sunset
waktu selalu mengejar