Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Jumat, 01 Agustus 2008

Salahkah Geert Wilders? Tanggapan untuk Tulisan Ulil Abshar-Abdalla “Tentang Film ‘Fitna’”

Oleh Taufik Damas
Ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis cukup banyak yang membenarkan pandangan Wilders. Sebagian muslim menepisnya dengan berbagai cara. Antara lain dengan mengatakan bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis “negatif” tidak dapat dipahami begitu saja: jika ayat, maka tidak boleh dipahami secara religious illiteracy; jika hadis, maka dapat dipastikan (atau dianggap) tidak sahih.
Fenomena Geert Wilders dengan film Fitna-nya membuat umat Islam berang. Fitnah yang digambarkan Wilders dalam film itu ditepis mati-matian oleh umat Islam sebagai tuduhan tidak mendasar yang tidak lain adalah bentuk kebencian seorang Wilders terhadap Islam. Dapat dipastikan bahwa kebencian yang ada dalam pikiran seorang Wilders mewakili pandangan sebagian masyarakat Barat, besar atau kecil. Hal ini bisa dimaklumi. Peradaban Barat yang berdiri di atas rasionalitas-manusiawi, setelah berjuang keras menegakkannya, tentu sangat khawatir melihat arus budaya irasional yang mulai mengambil tempat di Barat dengan meningkatnya populasi kaum muslim di sana.
Saya tidak kunjung mampu mengatakan bahwa apa yang digambarkan oleh Wilders dalam filmnya itu sebagai kecerobohan semata. Fakta yang mendukung pandangannya teramat banyak untuk disebutkan. Ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis cukup banyak yang membenarkan pandangan Wilders. Sebagian muslim menepisnya dengan berbagai cara. Antara lain dengan mengatakan bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis “negatif” tidak dapat dipahami begitu saja: jika ayat, maka tidak boleh dipahami secara religious illiteracy; jika hadis, maka dapat dipastikan (atau dianggap) tidak sahih.
Mungkin cara “pembelaan” seperti inilah yang ingin dikemukakan Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya itu. Dalam tulisan itu, tersirat bahwa Ulil mengatakan bahwa Wilders salah dalam memahami Islam karena sikap religious illiteracy-nya terhadap ayat-ayat Alquran. Yang jadi pertanyaan, sejauh mana pendekatan terhadap Alquran dengan sikap tidak religious illiteracy diterima oleh kalangan muslim sendiri? Terlalu sedikit “muslim” yang menyikapi Alquran tidak menggunakan pola religious illiteracy.
Kata muslim terakhir sengaja saya beri tanda petik karena ingin menegaskan bahwa ketika seseorang membaca ayat-ayat Alquran dengan sikap yang bukan religious illiteracy, sering kali ia dituduh sebagai “kurang Islam”, atau bahkan “musuh Islam”. Dalam hal ini saya bisa memberikan seribu alasan, baik historis maupun tekstual. Dan saya pikir Ulil jauh lebih mampu memberikan alasannya. Sebab, tanggapan ini tidak bermaksud mengoreksi, tapi sekadar mengingatkan posisi orang-orang seperti Ulil dalam peta Islam.
Kasus Kardinal Rowan William, Uskup Canterbury di Inggris yang memberi peluang penerapan syariat dalam komunitas Islam Inggris, sebaiknya dipandang sebagai kesalahan fatal jika itu benar-benar terjadi. Apakah ia tidak menyadari, betapa bahayanya agama bagi sekularisme yang menjadi prinsip hidup masyarakat Barat? Sekali agama mendapat tempat, suatu saat semua tempat akan dirampasnya. Dikasih hati ngerogoh jantung. Ini watak agama yang tidak perlu lagi ditutup-tutupi. Contoh paling jelas cukup dipetik dari Indonesia. Pada zaman Orde Baru, gerakan Islam tidak mendapatkan tempat pada rezim berkuasa, terutama gerakan Islam politik. Bertahun-tahun rezim Orde Baru menjalankan doktrin ini. Setelah Orde Baru runtuh, Orde Reformasi lahir. Seiring lahirnya Reformasi, gerakan Islam politik menggeliat. Dan kini sangat jelas bagaimana mereka ingin merebut ruang-ruang publik kita dengan berbagai cara. Perda-perda syariat, contohnya!
Pada 23 September 2005, The Council on American Islamic Relations (CAIR) menerbitkan edaran yang memohon muslim dan “orang-orang yang peduli” untuk menulis kepada anggota dewan perwakilan untuk memaksa Kongres Amerika Serikat agar mengakui Islam sebagai “agama besar di dunia dan layak untuk dihargai sebesar-besarnya.” Unik bukan? Mengapa kita masih merasa perlu mendapatkan konfirmasi dari orang lain akan kebesaran agama kita?
Sebagian orang tidak sadar bahwa sejatinya Islam adalah gerakan politik sejak awal lahirnya. Bedanya dengan gerakan politik yang lain, Islam mengklaim gerakannya berlandaskan titah Tuhan. Maka, wajar jika kemudian lahirlah fallacies di dalam Islam.
Ulil menulis “Kita harus bedakan antara Islamisme dan Islam. Islamisme mungkin bertentangan secara diametral dengan budaya pencerahan. Tetapi, Islam, saya rasa, tidak, meskipun tidak seluruhnya ada kesejajaran antara keduanya.” Komentar saya: sulit membedakan Islam dengan Islamisme. Islam sering kali justru diwakili oleh orang-orang yang memang bertentangan dengan tradisi pencerahan. Penganut islamisme mengaku mendasarkan pandangan-pandangannya kepada Islam itu sendiri. Dalam ungkapan di atas, ada kesan keragu-raguan pada Ulil dengan kata-katanya sendiri. Itu sebabnya Ulil menggunakan kata “saya rasa” bukan “saya pikir”.
Fitna yang dikatakan oleh Geert Wilders lewat film itu bisa jadi benar adanya. Jika ada orang yang meragukan, maka menjadi tugasnya untuk menjelaskan kesalahan Wilders secara teoretis, dan lebih berat lagi, ia harus membuktikannya secara faktual. Orang yang meragukan Fitna Wilders dari sekarang harus menelaah Alquran, hadis-hadis, dan sejarah Islam dengan akal yang sesehat-sehatnya.

Partai islam, antara kepentingan dan dakwah

Agama sering dimanfaatkan serta digunakan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan duniawi. Dengan menyitir ayat-ayat alquran mereka menggembar-gemborkan bahwa kita harus mewaspadai “sekularisme”. Tapi siapa yang sebenarnya sekularis?Partai Islam selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukan serta menjadi programnya semuanya berdasarkan syariat Islam. Dan seolah-olah mereka yang paling mewakili kelompok Islam.

Disini kita melihat bahwasanya agama digunakan serta dimanfaatkan untuk memperoleh dukungan massa. Agama dibawa serta dijadikan kendaraan untuk menuju panggung kekuasaan, serta tidak segan-segan para juru kampanye menyitir ayat-ayat al-Quran yang bertujuan untuk kepentingan partai tersebut.

Kita tentu masih ingat di mana sebelum Megawati duduk menjadi presiden, kelompok partai yang berasaskan Islam berlomba-lomba menjegal Megawati untuk menjadi presiden. Dengan menggunakan isu bahwa perempuan haram untuk menjadi seorang pemimpin, dengan menyebutkan beberapa ayat-ayat alquran yang membicarakan masalah tersebut. Bahkan dalam berkampanye mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa seseorang yang beragam Islam, tetapi tidak memilih partai Islam maka orang tersebut akan masuk neraka. Tapi setelah kepentingan bermain dengan adanya bargaining politik yang dapat menguntungkan partai tersebut maka dengan sendirinya isu-isu tersebut pun menjadi hilang. Mereka balik membela serta mendukung dengan masih menggunakan ayat-ayat Alquran. Hal ini tentu bukan tanpa maksud, karena maksudnya adalah satu yaitu: kepentingan, kekuasaan dan golongan. Hal ini terjadi khususnya di desa-desa, di mana masyarakat yang seharusnya mendapatkan pembelajaran dalam hal menghormati kelompok lain, serta pembelajaran dalam berdemokrasi justru malah diprovokasi oleh juru kampanye. Sehingga, apa yang terjadi konflik horisontal dengan menggunakan nama Tuhan serta agama. Hal ini tentu mencemarkan nama Islam yang sesungguhnya. Islam yang menjunjung tinggi demokrasi, Islam yang menghormati adanya perbedaan, berubah menjadi Islam yang menakutkan. Di sini seharusnya Islam diletakkan dalam hati kita masing-masing. Kita tidak perlu mengaku Islam kalau perbuatan kita tidak menunjukkan keislaman, yang malah dapat mencemari serta menodai kesucian Islam itu sendiri. Islam itu kelakuan bukan pengakuan. Di sini jargon yang terkenal dari pak Nurcholis Majid bahwa beliau mengatakan “Islam Yes, Partai Islam No” patut dijadikan contoh, meskipun beberapa kalangan menganggap hal tersebut diucapkan dari seorang yang sekuler.
Wallahua’lam Bisshawaab.

sunset

sunset
waktu selalu mengejar