Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Kamis, 11 September 2008

Pembaruan Islam di Indonesia: Pandangan Kristen

Oleh Martin Lukito Sinaga

Pembaruan a la liberal ini juga memberi titik harapan bagi Kekristenan, terutama di tataran sosial-kemasyarakatan. Sebab dengannya ihwal agama dan masyarakat tidak lagi dilihat dalam kerangka agama yang dominan akan pula menciptakan kerangka agama (syariat) untuk seluruh aspek kehidupan, tetapi agama akan dilihat sebagai aspek inspiratif bagi kehidupan bersama.

Dalam buku suntingannya, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (LP3ES,1979), Taufik Abdullah memperkenalkan debat Weberian ke dalam kancah Islam Indonesia. Dan untuk itu, ia membawa penantang Weber ternama yaitu Bryan S. Turner, demi memperlihatkan bahwa tesis Max Weber itu sebagian besar meleset dalam menganalisis ketiadaan kapitalisme dan kemajuan di dalam Islam. Dan tampaknya, Weber tidak jitu menjelaskan Islam, sebab menurut Turner, bukan soal etos-kerjalah penyebab ketertinggalan Islam, tetapi terutama soal kontradiksi-kontradiksi militer-ekonomis.

Namun, lanjut Turner, dan di sini terasa ironis, menurut kalangan pembaru muslim, ketertinggalan ekonomi Islam tadi malah dilihat sebagai sebuah persoalan teodisi atau ihwal keadilan Tuhan: jika Islam adalah agama yang sebenarnya, mengapa justru orang-orang kafir yang kini justru berhasil di dunia ini. Jawaban kaum pembaru atas situasi ketertinggalan Islam tersebut sebagaimana dikutip Turner dari tulisan Albert Hourani ialah: Orang-orang Kristen kuat, karena mereka bukan Kristen sejati, sementara orang-orang muslimin lemah karena mereka bukan Muslim sejati.

Penggalan ini menunjukkan bahwa Pembaruan Islam seakan-akan mengandung unsur Kristen di dalamnya dan orang Kristen mau tak mau sudah terlibat dalam isu pembaruan Islam. Malah boleh dikatakan, Pembaruan Islam lahir dari suasana rivalitas dengan kekristenan Barat. Namun yang juga penting ialah, ternyata secara genealogis, pembaruan Islam mengandung unsur “memurnikan” (purifikasi) agama, yang dibayangkan akan membawa kemajuan ekonomis; sebuah proses yang juga masuk ke Indonesia –sampai ke Jawa.

Kecemasan Kristen

Dan sekitar tahun 1850-1900 (menurut buku Th. Sumartana, Mission at the Crossroads, 1993), di Jawalah pertama kali pandangan Kristen Indonesia mengemuka menghadapi Pembaruan Islam, sebab baru saat itu terjadi perjumpaan yang mendalam antara Kristen dan Islam. Semula Kristen dan Islam bertemu dengan wajar, sebab keduanya tengah mencari relasi dengan ngelmu dan menghayati levenshouding (attitude to life atau sikap hidup) orang Jawa. Seorang pendeta Kristen-Jawa semisal Kiai Sadrach adalah jembatan Kristen menuju dunia mistik Jawa saat itu, setara dengan Sunan Kalijaga di dalam kasus Islam.

Namun datanglah Pembaruan Islam itu, pertama-tama lewat jalur Hadramaut dan perjalanan haji. Tanggapan Kristen (terutama para misionaris Belanda yang saat itu memimpin gereja) justru yang menarik. Mereka melarang gereja kejawen a la Kiai Sadrach, dan melihat bahwa Kristen harus berkejaran dengan efek pembaruan Islam. Dengan kata lain: mesti dicari pola unggul pem-baru-an (baca: strategi baru) dalam karya zending (lembaga misi gereja) agar lebih meyakinkan dan menarik hati orang Jawa.

Dan cara Kristen tidak lagi ngelmu (terlalu bertele-tele dan kurang efisien (menurut mereka), tetapi memilih pola pelayanan sosial modern (pendidikan dan kesehatan) sebagai jalurnya. Jadi, tanggapan Kristen saat itu atas pembaruan Islam ialah dengan memecut diri, berlari lebih cepat, demi memenangkan jiwa orang Jawa. Pembaruan Islam ditanggapi dengan rasa cemas, namun juga dengan gairah misiologis (berlomba-lomba menyebarkan Injil).

Kecemasan atas Pembaruan Islam selanjutnya makin meningkat khususnya di era pasca-Revolusi Iran. Di situ Jenderal TB Simatupang (tokoh utama Kristen tahun 1980-an, juga Ketua PGI) melihat bahwa kebangkitan atau pun revivalisme Islam mau tak mau akan mempengaruhi Indonesia. Dalam pandangannya di pertemuan gereje-gereja se-Asia (1985) ia masih melihat—sebagai obat penawar—bagaimana pun kerangka kesamaan hak warganegara akan tetap dijamin di dalam negara Pancasila. Sebab, kata Simatupang, “...Undang-undang Dasar dalam negara Pancasila bukanlah suatu hukum agama”.

Di sini, berbeda sedikit dengan pendahulunya (baca: misionaris Barat), Simatupang melihat bahwa pembaruan Islam model revivalisme haruslah dihadapi sebagai sebentuk tantangan politis, yang tak mungkin dihadapi secara konfrontatif. Dan Simatupang berkeyakinan, Pancasila sebagai kerangka bersama, menjadikan isu pembaruan Islam yang politis tadi akan ditepikan, dan sebagai gantinya dicanangkanlah usaha mencapai kesejahteraan bersama melalui pembangunan nasional (sebagai pengamalan Pancasila).
Harapan Kristen

Selanjutnya, seorang pendeta yang dikenal sebagai “ahli” Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bernama Viktor Tanja, melihat ufuk baru Pembaruan Islam. Setelah mengamati sepak terjang Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid (khususnya dengan ide sekularisasi—yang ternyata juga menggemakan pemikiran Kristen semisal Harvey Cox) ia berkesimpulan bahwa era Pembaruan Islam saat ini ialah liberal (sic!, lihat bukunya, Tiada Hidup tanpa Agama, 1988, hl. 8). Menurut Tanja: “ini berarti bahwa Islam dibebaskan dari kungkungan penafsiran hukum kaum ortodoks, dan melihat Islam sebagai sebuah nilai… Islamisasi di sini berarti suatu usaha untuk memperdalam dan menghayati secara internal ajaran-ajaran Islam, untuk memperkokoh hubungan pribadi antara Allah dan manusia.”

Pembaruan yang dipandang sebagai gerakan liberal Islam ini jelas-jelas telah mengubah persepsi Kristen atas tujuan Pembaruan Islam tersebut. Saat seperti ini jugalah untuk pertama kali orang seperti Gus Dur bisa berpidato (menjadi keynote speaker) di hadapan ribuan peserta Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Mulai saat itu, kekristenan secara antusias melakukan studi yang mendalam atas Islam, dan di sekolah-sekolah teologi Kristen, subjek Islam dipelajari sebagai pelajaran wajib; dan Islam dipelajari tidak dalam kerangka misiologi, tetapi dalam kerangka fenomenologi. Malah berkembang subjek teologi yang bernama “teologi agama-agama”, yang intinya adalah upaya mencari dalam kazanah iman Kristen dasar untuk menerima kehadiran dan kebenaran agama Islam. Pendek kata, Islam kini dihadapi dalam bentuk harapan dan dialog.

Pembaruan a la liberal ini juga memberi titik harapan bagi Kekristenan, terutama di tataran sosial-kemasyarakatan. Sebab dengannya ihwal agama dan masyarakat tidak lagi dilihat dalam kerangka agama yang dominan akan pula menciptakan kerangka agama (syariat) untuk seluruh aspek kehidupan, tetapi agama akan dilihat sebagai aspek inspiratif bagi kehidupan bersama.

Pendek kata, pergumulan agama menjadi pergumulan faith and society. Artinya, agama hadir tidak sebagai alternatif politis atas tatanan majemuk bersama, tetapi mencoba memberi insight imaniah bagi individu dan komunitasnya dalam memperkaya penyelenggaraan hidup bersama. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, pengorganisasian agama tidak lagi mengarah kepada penggumpalan politik yang sektarian, tetapi pada kerjasama inter-faith di mana kemaslahatan dan kualitas hidup bersama menjadi obsesi gerakan agama-agama tersebut.

Pada titik ini, Pembaruan a la liberal dalam Islam akan menghilangkan rasa cemas umat Kristen, dan bahkan daya-daya kreatif akibat relasi Islam-Kristen akan bermunculan. Itulah yang tampaknya sungguh kita perlukan di saat-saat sulit sekarang ini. Semoga.

* Martin Lukito Sinaga, pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan pendeta pada Gereja Kristen Protestan Simalungun.

Gus Dur: Saya Simpati pada Liberalisme Ulil Bedah Buku Menjadi Muslim Liberal

Oleh Umdah El-Baroroh

“Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam,” tulis Gus Dur dalam makalahnya. Akibatnya pun dapat terduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan.

Selasa (29/11/2005) lalu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Freedom Institute, Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Universitas Paramadina, dan Penerbit Nalar, bekerjasama menyelenggarakan bedah buku terbaru mantan koordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla, Menjadi Muslim Liberal. KH Abdurrahman Wahid, Dr. Jalaluddin Rakhmat, Dr. Yudi Latif, dan Maria Ulfah Anshor, dihadirkan untuk membedah gagasan-gagasan Ulil yang tertuang dalam buku itu. Bedah buku itu seakan-akan menjadi ”pengadilan” in absentia atas diri Ulil yang kini sedang melanjutkan studi di Universitas Boston, Amerika Serikat.

Diskusi di auditorium utama Universitas Paramadina itu dibuka setelah sambutan ala kadar dari Hamid Basyaib, Koordinatot JIL, menggantikan posisi Ulil. Sambil menunggu kedatangan Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid, pembicaraan dimulai oleh Jalaluddin Rakhmat alias Kang Jalal. “Biasanya orang yang dibesarkan dalam pendidikan Barat justru tampil menjadi Islami. Sebaliknya, orang yang dibesarkan di jalur pendidikan Islam, justru tampil menjadi pemikir Islam yang moderat. Di sinilah saya ingin meletakkan Ulil Abshar-Abdalla,” ucap Kang Jalal membuka pembicaraan.

“Ulil, sebagaimana kita tahu, besar dari keluarga pesantren tradisional yang ketat dalam menerapkan agama. Tetapi di tengah kesibukannya mempelajari teks-teks klasik agama, secara diam-diam ia dikejutkan oleh pemikiran liberal keagamaan yang berkembang di Barat,” papar Kang Jalal. Menurutnya, gagasan inilah yang konon menjadi titik tolak munculnya gerakan pencerahan di Barat. Liberalisme keagamaan, lanjut Kang Jalal, diawali oleh liberalisme politik. Ide ini telah menginspirasi munculnya pemisahan wilayah privat dari kehidupan publik.

Kang Jalal menjelaskan, gagasan liberalisme yang memengaruhi paham keagamaan, sebetulnya telah memunculkan pemikiran-pemikiran agama yang tidak ortodoks. Inilah menurutnya kunci untuk memahami pemikiran Ulil. “Hanya dengan memahami akar-akar liberalisme yang sebenarnya, kita akan bisa memahami keseluruhan pemikiran Ulil,” papar Kang Jalal.

Menurutnya, Ulil telah mengusung pemikiran Islam dengan wajah baru. “Karena Ulil bukan saja menguasai perangkat-perangkat ilmu pengetahuan modern dari Barat, tapi juga menguasai literatur klasik Islam yang tidak dikuasai intelektual semacam Mas Yudi Latif,” seloroh Kang Jalal pada pembicara lain, Yudi Latif. Seloroh itu disambut tawa lepas peserta.

Mantan presiden RI dan tokoh NU yang menjadi keynote speaker saat itu, Gus Dur, tampil setelah Kang Jalal. Gus Dur yang telah banyak memberi inspirasi bagi pemikiran Ulil, menyampaikan wejangan khasnya, diselingi guyonan dan tutur cerita. Gus Dur juga menulis komentar yang cukup panjang tentang sepak terjang pemikiran Ulil dalam makalah berjudul “Ulil Dengan Liberalismenya”.

“Saya simpati pada liberalisme Ulil, tapi juga kritis,” papar Gus Dur. Gus Dur mengaku kalau dia sebenarnya juga sudah sejak lama berpandangan liberal. “Bedanya, saya tidak menyebut diri saya liberal, dan Ulil berani untuk menyebut seperti itu,” ucap mantan ketua PBNU itu. Sambil menganalisis, Gus Dur menjelaskan bahwa pemakaian label Islam liberal itulah yang membuat Ulil ditolak di mana-mana, terutama di kalangan NU sendiri.

Gus Dur menampik anggapan NU anti-perubahan. “Di NU, sebenarnya kita bisa melakukan perubahan apapun, asalkan jangan menggunakan nama,” jelas Gus Dur penuh siasat. Ia pun lalu bercerita ihwal beberapa kyai NU yang telah melakukan pembaruan pemikiran di lingkungan NU sendiri, seperti KH. Wahid Hasyim (ayah Gus Dur), KH. Mahfudz Shidiq, dan ia sendiri. Gus Dur bercerita bahwa mereka-mereka itu memang tak serta-merta menyebut diri mereka sebagai pembaharu, apalagi liberal. Namun, dengan siasat itu, pembaruan tetap berlangsung di NU seraya mengurangi penolakan.

Selain mengeritik, Gus Dur juga mengapresiasi pemikiran-pemikiran Ulil. Menurutnya, pemikiran dan liberalisme Ulil, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Gus Dur hanya melihat Ulil risau dengan hilangnya iklim kebebasan berpikir di dunia Islam, dan ia mengkiaskan pengalaman Ulil dengan apa yang dialami Ibnu Rusyd. “Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam,” tulis Gus Dur dalam makalahnya. Akibatnya pun dapat terduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan.

Kiai nyentrik yang kaya humor itu juga menjelaskan bahwa dalam sejarah Islam, jurang antara pengikut paham sumber-sumber tertulis keilmuan Islam seperti Alqur’an dan hadis, ahlun naql, dan penganut paham perlunya memberi porsi lebih besar pada potensi akal, ahlul `aql (kaum rasionalis), memang sangat lebar. Karena itu, perdebatan antara kedua kutub itu adalah hal yang biasa, selagi masih dibingkai dalam semangat ilmiah.

Hal senada juga diungkapkan Maria Ulfah Anshor dari Fatayat NU. Menurut pembela hak-hak perempuan ini, Ulil adalah sosok pemuda yang sangat progresif dalam berpikir. Selama ini, Ulil banyak dicerca dan dimaki, bahkan dituduh telah merusak akidah Islam. Padahal, Ulil sebenarnya hanya sedang melakukan pembacaan-ulang atas teks-teks klasik Islam sebagaimana para ulama lain.

“Bedanya, para ulama umumnya mengikuti apa adanya (teks) ketika membaca teks-teks klasik, sementara Mas Ulil berusaha mengkritisi dan memilah-milah,” jelasnya. Karena itu, Ulfah menilai bahwa gerakan Ulil masih positif, karena justru ingin menjembatani jarak antara teks yang statis dengan kenyataan hidup.

Sementara itu, Yudi Latif, sebagai pembicara terakhir, mencoba melakukan analisis sosiologis atas proses pembentukan pemikiran Ulil. Menurutnya, perkembangan pemikiran Ulil juga diwarnai oleh komunitas epistemik di mana dia bergaul. “Kalau Ulil tidak di Utan Kayu dan tidak sempat bergaul dengan orang-orang seperti Goenawan Mohamad, mungkin ia tidak akan seperti itu,” jelas Yudi. Bagi Yudi, corak komunitas epistemik yang digauli akan cukup menentukan corak pemikiran seseorang.

Yang cukup menarik dari pemandangan diskusi di atas adalah kegundahan Kang Jalal atas dampak-dampak lanjutan dari pemikiran Ulil. Bila Gus Dur dan Ulfah tampak tak terlalu risau dengan sepak terjang Ulil, Kang Jalal justru sebaliknya. Pakar komunikasi asal Bandung itu merasa khawatir kalau-kalau gagasan libealisme Ulil akan kebablasan. Namun sayangnya, ia tidak menjelaskan batasan yang jelas bilamana suatu pemikiran itu dapat dianggap kebablasan dan tidak kebablasan.

Namun demikian, Kang Jalal masih merasa perlu menempatkan diri sebagai mitra dialog yang kritis. Kalau pemikiran Ulil dan kawan-kawannya dia anggap kebablasan, “…saya akan membendungnya dengan kekuatan logika, bukan logika kekuatan,” tandas Kang Jalal retoris. Namun dalam paparannya, Kang Jalal juga menyingkap letak kerisauannya. Pemikiran Ulil dia rasa akan mengancam posisi agama dan terutama agamawan. “Karena, agama direduksi terus menerus dari perannya,” ungkapnya penuh khawatir. Sambil bercanda, ia juga mempertanyakan di mana letak dan peran agamawan seperti dirinya, kelak.

Namun kekhawatiran Kang Jalal dijawab enteng oleh Gus Dur. Menurut Gus Dur, Kang Jalal terlalu berlebihan dalam menilai Ulil. Gus Dur mengingatkan letak persamaan umum antara dirinya, Ulil, dan juga Kang Jalal yang sering disebut sebagai intelektual muslim Indonesia. “Ulil sebenarnya hanya meperjuangkan kebebasan, sama dengan saya dan Kang Jalal,” kata Gus Dur mengingatkan. Gus Dur juga menyebut apa-apa yang dilakukan oleh Ulil belumlah selesai. “Ia kan masih muda. Jadi nggak usah terlalu diributkan. Pusing amat!” tandas Gus Dur pada Kang Jalal. []

Diskusi di Unisba Membedah Pluralisme Cak Nur

Oleh Umdah El-Baroroh

Meski Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil.

“Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama, seperti anggapan orang awam. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana.” Demikian papar Mohamad Monib, dosen Paramadina Mulya dalam diskusi “Membedah Pemikiran Pluralisme Nurcholis Madjid”, 22/1 lalu.
Diskusi yang diadakan di aula Universitas Islam Bandung itu juga menghadirkan dua pembicara lainnya sebagai panel. Tampak di sana Dawam Raharjo, wakil Jaringan Islam Liberal, serta Miftah Fauzi Rahmat, dosen IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.

Lebih lanjut, Monib juga menjelaskan bahwa pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil”, tandasnya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”

Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina itu, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.

Sikap seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI (Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh Monib bukan tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu terbukti dengan sikap penolakan masyarakat yang semakin lantang terhadap keberadaan Jama’ah Ahmadiyah yang juga difatwakan oleh MUI sebagai aliran sesat.

Sementara itu bagi Miftah, salah seorang pengelola IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait) aksi kekerasan yang menimpa Ahmadiyah itu dikhawatirkan akan menimpa syiah. Karena syiah juga banyak ditentang oleh sebagian masyarakat. Pada masa-masa seperti sekarang inilah kita semakin merindukan sosok Cak Nur, tegasnya. “Ia selalu membela komunitas yang minoritas dan termarginalkan.”

Lebih lanjut dosen IAIN Sunan Gunung Djati itu menjelaskan sikap Cak Nur terhadap pluralisme. “Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme”, tandasnya. “Pluralitas bagi guru besar UIN Jakarta itu adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu.”

“Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan”, tegasnya. “Dan apabila seseorang tidak dapat menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.”

Meski Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil.

Dapat diumpamakan dalam penganut teologi inklusif bahwa agama adalah sebagai cahaya-cahaya tapi yang paling terang adalah cahaya agamanya. Sementara seorang pluralis beranggapan bahwa semua agama bercahaya. Di sinilah terlihat perbedaan antara teologi inklusif dan pluralis.

Dawam menilai Cak Nur masih memandang semua agama sebagai cahaya, tetapi cahaya yang paling terang adalah Islam. Selain itu ia juga terjebak pada anggapan bahwa agama samawi lebih unggul dari agama bumi. Karena agama samawi diyakini sebagai agama pemberian Tuhan kepada manusia.

Cak Nur, lanjut Dawam, merupakan seorang teolog muslim dengan acuan Qur’an dan Sunnah (lebih khusus pada Qur’an). Dan dengan ide tauhidnya yang keras Cak Nur telah bersikap kurang adil. Di sinilah keterbatasan Cak Nur yang menurut Dawam belum sepenuhnya pluralis, tetapi baru sebagai seorang teolog inklusif. “Untuk menjadi pluralis, seseorang harus mempelajari agama-agama lain,” tegas Dawam. “Sementara Cak Nur tidak pernah mempelajari agama-agama lain.”[]

Romo Magnis: Tolak RUU APP!

Oleh Diah Utami

Menurut Magnis, porno adalah sesuatu yang bisa membangkitkan birahi. Meski definisi porno tampak jelas, tetapi pembatasannya tidak mungkin bisa didefinisikan secara tegas. Karena sesuatu yang bisa membangkitkan birahi bagi seseorang berbeda dengan yang lainnya.

“Pencampuran makna kata porno, sensual, dan terangsang dalam Undang-Undang yang akan dirancang membuat sebagian kalangan menolak RUU APP tersebut” Ungkap Romo Magnis Suseno.

Budayawan dan guru besar STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara itu dalam acara Dialog Publik “Kupas Tuntas RUU APP” 5/4 lalu menjelaskan bahwa dalam draft RUU APP terdapat kata-kata yang dicampuradukkan maknanya. Ia menyontohkan pengguanaan kata porno, sensual, dan terangsang yang sangat tumpang tindih. Menurut Magnis, porno adalah sesuatu yang bisa membangkitkan birahi. Meski definisi porno tampak jelas, tetapi pembatasannya tidak mungkin bisa didefinisikan secara tegas. Karena sesuatu yang bisa membangkitkan birahi bagi seseorang berbeda dengan yang lainnya. “Perbedaan itu tentunya dipengaruhi oleh cara pandang, budaya, agama, waktu dan tempat di mana seseorang berada”, tambahnya. Pemikiran, budaya, dan agama di Indonesia sangat beragam. Sehingga munculnya RUU APP ini menurutnya sangat problematis. Karena RUU tersebut berpotensi membatasi salah-satu pemikiran dan budaya Indonesia yang beragam.

Diskusi yang berlangsung di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia itu juga menghadirkan Dr. Luthfi Assyaukanie, aktivis Jaringan Islam Liberal, dan Ust. Abu Zaid, Kordinator HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) wilayah Depok. Luthfi Assyaukanie, pembicara dari Jaringan Islam Liberal (JIL) ini mengungkapkan bahwa dalam RUU APP yang sedang digodok itu hanya ada pelarangan, tapi tidak memberikan solusi konkret. ”RUU APP ini seperti penyakit yang salah cara mengatasinya atau salah obatnya”, ujarnya. “Pembuatan RUU seharusnya dilihat dari berbagai sisi, jangan sampai masalah pribadi rakyat dijadikan masalah negara,” lanjut dosen Fakultas Filsafat dan Agama di Universitas Paramadina tersebut.

Alumni Melbourne University ini juga menilai bahwa RUU yang ada sekarang hanya mengcover kementingan beberapa kelompok yang memiliki pemahaman sempit. Di negara-negara maju, pemerintah tidak banyak mengurus detail permasalahan pribadi rakyatnya”, ucapnya. “Negara harus memisahkan masalah pribadi rakyat dengan masalah Negara.”

Namun menurut Abu Zaid, Koordinator HIzbut Tahrir Indonesia (HTI) wilayah Depok, yang harus dilakukan terhadap RUU APP ini bukanlah mendukung atau menolak. Tapi yang diinginkan HTI sebagai institusi Islam adalah pemberantasan pornoaksi dan pornografi yang sangat meresahkan. “Oleh karenanya penggodokan RUU APP ini perlu dikawal agar sesuai dengan keinginan rakyat yang di wakili oleh ormas-ormas dan DPR”, tandasnya. Permasalahan makna pornoaksi dan pornografi baginya sudah jelas dalam Islam. “Apabila RUU tersebut belum jelas, ya definisi di RUU itu yang harus diperjelas”, tegasnya dengan nada enteng.

Diskusi yang diselenggarakan oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) komisariat Politeknik Negeri Jakarta dan UKM LOGIKA PNJ bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) ini sedianya dihadiri pula oleh Prof. Dr. Jalaludin Rahmat, cendekiawan muslim dari Bandung, serta perwakilan dari PB HMI. Namun hingga acara berlangsung, keduanya tidak tampak hadir. Meski demikian antusiasme peserta yang hadir tidak berkurang. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan yang bersifat menolak maupun mendukung RUU APP banyak dilontarkan oleh para mahasiswa dan dosen yang memenuhi Gedung Pusat Studi Jepang UI siang itu.

Menurut Ruhun Siahaan, mahasiswa Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, RUU APP ini membuktikan ketidakdewasaan Negara. Menurutnya kalau Negara ini (Indonesia-red) sudah dewasa, maka negara tidak perlu lagi mengawasi secara detail apa yang dilakukan oleh rakyat atau bangsanya. ”Ini adalah bukti negara tidak percaya lagi terhadap rakyatnya. Seperti seorang Ibu yang tidak percaya terhadap anaknya.Semua harus diatur dan dibuat peraturannya”, ujarnya.

Seorang peserta dari jurusan Ilmu Komunikasi UI, menegaskan bahwa permasalahan RUU APP ini adalah masalah moralitas dan masa depan generasi penerus bangsa. Karena menurutnya tanpa undang-undang yang mengatur media pornografi seperti sekarang ini, sudah banyak kejahatan dan tindakan pelecehan seksual akibat bebasnya pornoaksi dan pornografi. ”Saya berharap peserta dan pembicara di sini serta seluruh bangsa Indonesia lebih bijak dalam berpendapat dan memutuskan sesuatu”, ujarnya.

Meski ketiga pembicara berbeda pendapat dalam menilai RUU APP, tapi ketiganya sepakat bahwa regulasi untuk mengatur peredaran dan distribusi media serta barang pornografi mutlak dibutuhkan. RUU APP awalnya punya semangat mengatur masalah pornografi, tetapi dalam kenyataanya draft RUU ini menurut Magnis malah lari pada persoalan pengaturan individu. “Oleh karenanya harus kita tolak, tandas Profesor kelahiran Jerman ini mengakhiri pembicaraannya.[]

sunset

sunset
waktu selalu mengejar