Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Minggu, 17 Agustus 2008

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu.

Banyak hal dalam agama yang jika dibuang sebetulnya tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu. Oleh para pemeluk agama, banyak ditambahkan hal baru terhadap esensi agama itu, sekedar untuk menjaga aura agama itu agar tampak “angker” dan menakutkan di mata pemeluknya. Saya akan mengambil contoh Islam.

Satu, doktrin bahwa Nabi tidak bisa berbuat salah. Menurut saya, doktrin ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena itu kurang perlu. Jika doktrin ini dihilangkan, Islam tidak menjadi kurang nilainya sebagai sebuah agama. Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah Nabi, Rasul, Imam [dalam Syiah], Paus [dalam Katolik]) sebagai “infallible”, tidak bisa berbuat salah, jelas tak masuk akal.

Dua, doktrin bahwa sumber hukum hanya terbatas pada empat: Quran, hadis, ijma’, dan qiyas. Doktrin ini menjadi “hallmark” dari sekte Ahlussunnah waljamaah di mana-mana, sepanjang sejarah. Doktrin ini sebetulnya kurang perlu dan menjadi alat ortodoksi Islam untuk mempertahankan status quo. Sumber hukum jelas tidak bisa dibatasi dalam empat sumber itu. Islam tidak berkurang nilainya sebagai agama jika doktrin ini dihilangkan.

Tiga, doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Doktrin ini jelas “janggal” dan sama sekali menggelikan. Setiap agama, dengan caranya masing-masing, memandang dirinya sebagai “pamungkas”, dan nabi atau rasulnya sebagai pamungkas pula. Doktrin ini sama sekali kurang perlu. Apakah yang ditakutkan oleh umat Islam jika setelah Nabi Muhammad ada nabi atau rasul lagi?

Empat, doktrin bahwa sebuah agama mengoreksi atau bahkan menghapuskan agama sebelumnya. Ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam kuat dalam psike dan “mindset” umat Islam. Doktrin ini tak lain adalah cerminan “keangkuhan” sebuah agama. Kehadiran agama tidak terlalu penting dipandang sebagai “negasi” atas agama lain. Agama-agama saling melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen bisa belajar dari Islam, Islam bisa belajar dari Yahudi, Yahudi bisa belajar dari tradisi-tradisi timur, dan begitulah seterusnya.

Lima, doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah dengan rajin kerap dipandang lebih “Muslim” ketimbang mereka yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena mereka tidak beribadah secara rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui pengabdian kepada kemanusiaan.

Enam, doktrin bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan Islam atau agama orang berangkutan adalah “kafir”. Ini mekanisme yang nyaris standar dalam semua agama. Semua agama cenderung memandang bahwa mereka yang ada di luar “lingkaran penyelamatan” adalah domba-domba sesat. Doktrin ini, sekali lagi, cerminan dari arogansi sebuah agama tertentu. Sudah jelas bahwa jalan keselamatan adalah banyak sekali.

Tujuh, berkaitan dengan doktrin sebelumya, ada doktrin lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal masing-masing agama. Dalam Islam, ada doktrin tentang “sekte yang diselamatkan”, al-firqah al-najiyah. Kelompok yang menyebut dirinya ahlussunnah wal-jamaah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masuk sorga, sementara kelompok lain sesat. Begitu juga kelompok Syiah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat. Doktrin ini diteruskan oleh MUI dalam bentuk lain melalui fatwa penyesatan. Mendaku bahwa yang selamat hanya lingkaran tertentu adalah sebentuk arogansi.

Delapan, doktrin bahwa jika Kitab Suci mengatakan A, maka seluruh usaha rasional harus berhenti. Kitab Suci adalah firman Tuhan, dan firman Tuhan tak mungkin salah. Oleh karena itu, jika Tuhan sudah mengeluarkan sebuah “dekrit”, maka seluruh perbincangan harus berhenti. Doktrin ini tercermin dalam sebuah “legal maxim” atau kaidah hukum dalam teori hukum Islam yang berbunyi, “la ijtihada fi mahal al-nass”, tidak ada “independent reasoning” dalam hal-hal di mana teks Kitab Suci sudah mempunyai kata putus. Dengan kata lain, ijtihad harus dihentikan jika Kitab Suci sudah memutuskan sesuatu. Dalam diskursus filsafat modern di Amerika, hal ini disebut sebagai “discussion stopper”, agama sebagai penghenti diskusi. Sudah jelas Kitab Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan lagi karena konteks-nya berbeda.

Sembilan, doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh “syari’” atau legislator. Yang disebut legislator dalam konteks Islam adalah Tuhan, kemudian secara derivatif juga Nabi Muhammad. Para ulama atau fukaha datang belakangan sebagai penafsir atas hukum itu, dan pelan-pelan juga menempati kedudukan sebagai “pembuat hukum” atau legislator hukum agama. Doktrin ini sangat kuat tertanam dalam Islam. Doktrin ini juga kuat tertanam dalam agama Yahudi. Deklarasi Qur’an sudah sangat jelas dan sangat “kategorikal” , bahwa Adam dan seluruh keturunannya adalah “khalifah” di muka bumi. “Kekhilafahan” di sini, dalam tafsiran saya, mencakup pula kompetensi untuk menciptakan hukum yang mengatur ketertiban di muka bumi ini. Seluruh individu, dalam pandangan Islam yang saya pahami, adalah obyek dan subyek hukum sekaligus. Dengan kata lain, hukum bukan hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia.
Manusia secara generis adalah syari’, bukan saja Nabi atau ulama/fukaha.

Ini paralel dengan konsep “kewarganegaraan modern” di mana konsep “warga negara” mencakup secara intrinsik kemampun untuk membuat dan men-generate sebuah hukum. Jika ada kelebihan pada ahli hukum atau fukaha yang membuat mereka menjadi spesial kedudukannya adalah karena mereka mempunyai “training” untuk merumuskan sebuah hukum dalam prosedur yang standar. Tetapi sumber hukum bukan saja hanya ada pada Kutab Suci, sabda-sabda Nabi, atau pendapat ulama, tetapi juga manusia secara keseluruhan.

Sepuluh, doktrin bahwa Kitab Suci bersifat seluruhnya supra-historis, karena ia adalah firman Tuhan. Karena Tuhan bersifat supra-sejarah, maka firmanNya pun bersifat supra sejarah pula. Karena itu, Kitab Suci juga supra sejarah. Kebenaran Kitab Suci tak terikat dengan ruang dan waktu. Pandangan ini lagi-lagi adalah pandangan yang “angkuh”. Akan lebih proporsional jika kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang supra-sejarah dalam Kitab Suci, tetapi juga ada hal-hal lain yang cukup banyak yang terikat dengan sejarah. Bagian Kitab Suci yang “lengket sejarah” ini bisa tidak relevan sama sekali jika keadaan berubah.

Sebelas, doktrin bahwa Islam bisa menjawab semua masalah. Doktrin ini jelas hanya retorika belaka. Sebab pada kenyataannya tidak demikian. Solusi agama atau Islam, jika pun ada, juga tidak mesti sukses dan berhasil. Sebagaimana solusi-solusi sekuler, solusi Islam juga bisa gagal, seperti terbukti dalam banyak kasus.

Saya masih memiliki daftar yang panjang. Tetapi, itulah hal-hal pokok yang ingin saya kemukakan di sini. Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu. Mendaku bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi atau rasul lagi adalah berlawanan dengan etika tawadlu’. Mendaku bahwa Islam menghapuskan agama sebelumnya sama sekali tak mencerminkan sikap tawadlu’. []

Mengapa Justifikasi Agama

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.

Salah satu ciri khas manusia yang sangat menarik adalah adanya kecenderungan untuk memberikan justifikasi kepada sebagian besar tindakan yang ia lakukan. Tentu kecenderungan semacam ini tidak seluruhnya bersifat eksplisit. Biasanya kenderungan ini akan muncul pada saat orang yang bersangkutan berhadapan dengan (meminjam istilah yang sering dipakai dalam filsafat eksistensialisme) “situasi batas”.

Pada umumnya, orang bertindak setiap hari tanpa mempersoalkan apakah yang ia lakukan justifiable atau tidak. Pertanyaan soal justifikasi biasanya tidak muncul dalam konteks tindakan rutin sehari-hari. Misalnya, seorang guru sekolah melakukan kegiatan rutin setiap hari: berangat pagi-pagi ke sekolah, mengajar, menyelesaikan tugas-tugas pendidikan yang lain, sore pulang ke rumah, berlibur dengan keluarga pada akhir minggu, dsb. Pak Guru melakukan semua kegiatan rutin itu secara alamiah saja tanpa mempersoalkan justifikasi untuk tindakan-tindakan tersebut.

Tetapi, pertanyaan tentang justifikasi akan muncul saat kita berhadapan dengan situasi tak normal. Dalam kasus Pak Guru tadi, pertanyaan tentang justifikasi baru muncul manakala dia berada pada situasi yang tak lazim. Andaikan saja, dia menghadapi situasi berikut ini. Ada dua murid yang ingin mendaftar di sekolah tempat ia mengajar. Murid pertama sangat pintar tetapi datang dari keluarga miskin. Murid kedua pas-pasan dari segi kecerdasan, tetapi berasal dari keluarga kaya. Keluarga murid yang kedua menjanjikan untuk memberikan bantuan yang cukup besar untuk memperbaiki fasilitas di sekolah tersebut, dengan anak mereka diterima di sekolah tersebut. Sementara itu, Pak Guru, karena satu dan lain hal, tak bisa menerima kedua murid itu sekaligus.

Ini hanya situasi artifisial yang saya andaikan saja sekedar untuk memberi gambaran tentang situasi batas yang kadang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam situasi semacam ini, Pak Guru berhadapan dengan sebuah dilema. Untuk memutuskan menerima entah murid pertama atau kedua, dia membutuhkan justifikasi yang masuk akal, agar dia bertindak dengan tenang dan tak terganggu oleh nuraninya.

Justifikasi biasanya dicapai melalui sebuah proses yang saya sebut reasoning atau penalaran. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terus-menerus berhadapan dengan situasi-situasi baru yang kerap membutuhkan penalaran untuk mencapai justifikasi tertentu. Ini berlaku baik pada level kehidupan pribadi atau sosial.

Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.

Misalnya, kita mengandaikan bahwa norma keadilan adalah standar yang mengatur semua tindakan manusia. Atau seorang Muslim beranggapan bahwa hukum-hukum yang ada dalam Alquran dan Hadis adalah norma dasar yang menjadi landasan mereka untuk bertindak secara moral. Penalaran biasanya kita lakukan berdasarkan norma-norma semacam itu. Melalui penalaran itu, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa tindakan tertentu memenuhi standar norma tertentu, dan karena itu justifiable .

Ada dua jenis justifikasi. Pertama adalah justifikasi tradisional, dan kedua justifikasi rasional. Yang pertama adalah justifikasi yang diperoleh dengan bersandar pada sebuah otoritas tradisi tertentu, entah dalam bentuk kitab suci, adat, kebiasaan sosial, dsb. Yang kedua adalah justifikasi yang dicapai berdasarkan proses individual dengan memakai rasio kita sendiri.

Secara empiris, jarang sekali seseorang semata-mata memakai satu model justifikasi. Yang terjadi pada umumnya adalah seseorang memakai penalaran berdasarkan norma tradisional dan norma yang bersifat rasional secara serentak. Dengan kata lain, baik justifikasi tradisional dan rasional berlangsung secara simultan dalam proses yang sifatnya dialektis.

Justifikasi tradisional biasanya cenderung bersifat sosial, sementara justifikasi rasional bersifat individual. Tetapi, saya harus memberikan caveat di sini. Meskipun justifikasi rasional bersifat individual, secara empiris tidak lah demikian keadaanya. Apa yang kita sebut sebagai rasio pada dasarnya bukan sebuah wujud yang terisolasi dari proses sosial di luar dirinya. Rasio juga terbentuk dan dibatasi oleh keadaan-keadaan dalam masyarakat. Dengan demikian, saat seseorang melakukan penalaran rasional, dia bukanlah seorang individu yang secara otonom bekerja dengan rasionya, karena pada momen yang sama masyarakat juga bekerja dalam dirinya.

Di atas semua itu, sebuah justifikasi pada akhirnya bekerja dalam konteks tertentu. Justifikasi dibatasi oleh horison sosial dan individual sekaligus. Tentu batas di situ bukan sesuatu yang bersifat statis. Batas terus bergerak, dan bersamaan dengan itu justifikasi bergerak pula.

Saya hanya bisa memakai istilah yang sama sekali bersifat umum dan sangat ambigu di sini, yakni horison. Saya sendiri belum bisa menjelaskan dengan detail apa bentuk horison itu. Saya hanya membayangkan bahwa setiap justifikasi selalu bergerak dalam horison semacam itu. Justifikasi tidak bisa bekerja sepenuhnya secara transendental dan melampui horison tersebut. []

sunset

sunset
waktu selalu mengejar