Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Minggu, 24 Agustus 2008

Sang Pemimpin

Oleh: A. Mustofa Bisri

Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan diri, katanya: “Lepaskan aku! Siapa ini?”

Orang yang memeluknya tidak melepaskannya justru berteriak: “Siapa mau membeli budak saya ini?” Begitu mendengar suaranya, Zahir pun sadar siapa orang yang mengejutkannya itu. Ia pun malah merapatkan punggungnya ke dada orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu katanya riang: “Lihatlah, ya Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual.”

“Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi;” sahut lelaki yang memeluk dan ‘menawarkan’ dirinya seolah budak itu yang ternyata tidak lain adalah Rasulullah, Muhammad SAW.

Zahir Ibn Haram dari suku Asyja’, adalah satu di antara sekian banyak orang dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tentang Zahir ini, Rasulullah SAW pernah bersabda di hadapan sahabat-sahabatnya, “Zahir adalah orang-dusun kita dan kita adalah orang-orang-kota dia.”


***


Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda akan sulit membayangkannya bercanda di pasar dengan salah seorang rakyatnya seperti kisah yang saya tuturkan (berdasarkan beberapa kitab hadis dan kitab biografi para sahabat, Asad al-ghaabah- nya Ibn al-Atsier ) di atas.

Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Dari kisah di atas, Anda tentu bisa merasakan betapa bahagianya Zahir Ibn Haram. Seorang dusun, rakyat jelata, mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari pemimpinnya. Lalu apakah kemudian Anda bisa mengukur kecintaan si rakyat itu kepada sang pemimpinnya? Bagaimana seandainya Anda seorang santri dan mendapat perlakuan demikian akrab dari kiai Anda? Atau Anda seorang anggota partai dan mendapat perlakuan demikian dari pimpinan partai Anda? Atau seandainya Anda rakyat biasa dan diperlakukan demikian oleh --tidak usah terlalu jauh: gubernur atau presiden—bupati Anda?
Anda mungkin akan merasakan kebahagiaan yang tiada taranya; mungkin kebahagiaan bercampur bangga; dan pasti Anda akan semakin mencintai pemimpin Anda itu.

Sekarang pengandaianya dibalik: seandainya Anda kiai atau, pimpinan partai, atau bupati; apakah Anda ‘sampai hati’ bercanda dengan santri atau bawahan Anda seperti yang dilakukan oleh panutan agung Anda, Rasulullah SAW itu?

Boleh jadi kesulitan utama yang dialami umumnya pemimpin, ialah mempertahankan kemanusiaanya dan pandangannya terhadap manusia yang lain. Biasanya, karena selalu dihormati sebagai pemimpin, orang pun menganggap ataukah dirinya tidak lagi sebagai manusia biasa, atau orang lain sebagai tidak begitu manusia.


***


Kharqaa’, perempuan berkulit hitam itu entah dari mana asalnya. Orang hanya tahu bahwa ia seorang perempuan tua yang sehari-hari menyapu mesjid dan membuang sampah. Seperti galibnya tukang sapu, tak banyak orang yang memperhatikannya. Sampai suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW tiba-tiba bertanya kepada para sahabatnya, “Aku kok sudah lama tidak melihat Kharqaa’; kemana gerangan perempuan itu?”

Seperti kaget beberapa sahabat menjawab: “Lho, Kharqaa’ sudah sebulan yang lalu meninggal, ya Rasulullah.” Boleh jadi para sahabat menganggap kematian Kharqaa’ tidak begitu penting hingga perlu memberitahukannya ’ kepada Rasulullah SAW. Tapi ternyata Rasulullah SAW dengan nada menyesali, bersabda: “Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku? Tunjukkan aku dimana dia dikuburkan?”. Orang-orang pun menunjukkan kuburnya dan sang pemimpin agung pun bersembahyang di atasnya, mendoakan perempuan tukang sapu itu.

***


Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda pasti akan sulit membayangkan bagaimana pemimpin seagung beliau, masih memiliki perhatian yang begitu besar terhadap tukang sapu, seperti kisah nyata yang saya ceritakan (berdasarkan beberapa hadis sahih) di atas.

Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Urusan-urusan besar tidak mampu membuatnya kehilangan perhatian terhadap rakyatnya, yang paling jembel sekalipun.


***


Anas Ibn Malik yang sejak kecil mengabdikan diri sebagai pelayan Rasulullah SAW bercerita: “Lebih Sembilan tahun aku menjadi pelayan Rasulullah SAW dan selama itu, bila aku melakukan sesuatu, tidak pernah beliau bersabda, ‘Mengapa kau lakukan itu?’ Tidak pernah beliau mencelaku.”

“Pernah, ketika aku masih kanak-kanak, diutus Rasulullah SAW untuk sesuatu urusan;” cerita Anas lagi, “Meski dalam hati aku berniat pergi melaksanakan perintah beliau, tapi aku berkata, ‘Aku tidak akan pergi.’ Aku keluar rumah hingga melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar. Tiba-tiba Rasulullah SAW memegang tengkukku dari belakang dan bersabda sambil tertawa, ‘Hai Anas kecil, kau akan pergi melaksanakan perintahku?’ Aku pun buru-buru menjawab, ‘Ya, ya, ya Rasulullah, saya pergi.’”

Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, dapatkah Anda membayangkan kasih sayangnya yang begitu besar terhadap abdi kecilnya? Tapi pasti Anda dapat dengan mudah membayangkan betapa besar kecintaan dan hormat si abdi kepada ‘majikan’nya itu.

Waba’du; apakah saya sudah cukup bercerita tentang Nabi Muhammad SAW, sang pemimpin teladan yang luar biasa itu? Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salamNya kepada beliau, kepada keluarga, para sahabat, dan kita semua umat beliau ini.
Amin.

Kekerasan Itu

Oleh: A. Mustofa Bisri*
Lagi-lagi kita disuguhi tontonan yang sulit dimengerti oleh pikiran waras kaum beriman yang berpancasila. Sekelompok orang brutal memamerkan kebengisan dan kekerasannya kepada sesama bangsanya. Kali ini yang menjadi sasaran adalah kelompok Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Yang lebih memprihatinkan, terutama bagi kaum muslimin yang memiliki nurani, mereka yang memamerkan keangkuhan dan keganasannya itu berpakaian busana Nabi agung Muhammad SAW dan menggunakan label Pembela Islam. Allahummahdihim. Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka dan terutama kepada imam-imam mereka.

Mereka yang seperti kalap itu pastilah orang-orang awam yang tidak begitu mengerti tentang Islam dan tidak mengenal kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tidak mengerti bahwa Islam adalah agama damai dan kasih sayang. Agama yang mengecam kezaliman dan kekerasan. Tidak mengerti bahwa kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemimpin yang bassaam, ramah dan murah senyum.

Seperti sudah diketahui –kecuali oleh mereka yang tidak mengerti dan mereka yang tertutup hatinya karena takabur—Islam adalah agama rahmatan lil 'aalamiin. Yang diutus membawanya adalah seorang manusia pilihan yang paling beradab dan penuh kasih sayang. Nabi Muhammad SAW. Seorang nabi yang menurut penuturan shahabat Abdullah Ibn 'Umar (diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan imam Muslim), tidak kasar dan tidak pernah melampaui batas; nabi yang bersabda: "Inna khiyaarakum ahsanukum akhlaaqan." (Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian ialah mereka yang berakhlak paling baik). Shahabat Ibn 'Umar juga menuturkan (riwayat Imam Bukhari) bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW tidak kaku, tidak bengis, tidak suka bersuara keras di pasar, dan tidak membalas keburukan dengan keburukan melainkan memaafkan dan mengampuni.

Tentang orang Islam, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Almuslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi" (H.R. Imam Muslim dari shahabat Jabir) "Muslim sejati ialah orang yang menjaga lisan dan tangannya sehingga orang-orang muslim lain selamat dari daripadanya."

Mungkin mereka yang melakukan kekerasan itu sekedar wayang-wayang yang terbakar oleh provokasi imam-imam mereka. Mereka diyakinkan, misalnya, bahwa kelompok AKKBB itu pembela kaum sesat Ahmadiyah atau antek-antek Yahudi dan Amerika. Tapi apapun alasannya tindakan anarki dan kekerasan tidak dibenarkan baik oleh akal sehat, oleh Islam, dan oleh Negara.

Negara ini adalah negara hukum. Saya sungguh khawatir kekerasan-kekerasan yang terjadi seperti kemarin itu justru akan membuat konflik horizontal berkepanjangan yang ujung-ujungnya akan merugikan umat Islam sendiri, Islam, dan Indonesia. Apalagi saat ini 'tensi masyarakat' sedang sangat tinggi. Karena itu pemerintah -sebagai pihak yang paling utama bertanggungjawab yang mengemban amanat dan memiliki perangkat untuk menyelesaikan permasalahan seperti konflik horizontal ini— hendaknya segera bertindak sesuai kewenangannya serta sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku di negeri ini.

Sementara itu kaum muslimin sebagai mayoritas di negeri ini, terutama para pimpinan mereka –termasuk dalam rangka memperjuangkan prinsip mulia apapun- hendaklah tetap mengedepankan sikap tidak berlebih-lebihan, sikap kearifan dan kesantunan seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak justru mengikuti cara-cara munkar yang seharusnya kita cegah. Semangat membela Islam dan amar makruf nahi munkar, mestilah dilakukan dengan cara-cara Islami.

Semoga Allah menunjukkan kita ke jalan yang benar yang Ia ridhai. Amin. []

*A. Mustofa Bisri, pengasuh Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang.

(gusmus.net)

Ekstremisme Musuh Agama-agama

Oleh Ahmad Fawaid Sjadzili*
Dalam forum KTT luar biasa OKI tiga tahun lalu, Raja Abdullah ibn Abdul Aziz menegaskan perlunya kerja kolektif umat Islam memerangi ekstremisme dan keterbelakangan. Menurutnya, upaya ini hanya mungkin dilakukan dengan meluruskan dan membersihkan nalar dari pandangan yang menyimpang, bukan dengan tindakan kekerasan (Ahram/8/12/05).

Fenomena kekerasan yang terjadi hampir di semua belahan dunia Islam menjadi saksi betapa rapuhnya komitmen bersama, di samping rendahnya pemahaman umat akan makna persatuan dan rasa cinta. "Persatuan Islam hanya mungkin terlaksana dengan keimanan, rasa cinta, dan ketulusan dalam kata dan tindakan, bukan dengan pertumpahan darah," tegasnya.

Penegasan serupa disampaikan kembali dalam Konferensi Dialog Antar Agama di Madrid. Menurutnya, perbedaan tidak harus menjurus pada konflik. Bahwa konflik yang terjadi dalam sejarah umat manusia itu adalah fakta, namun, itu semua bukan lantaran keragaman agama-agama, melainkan karena ekstremisme yang menghinggapi penganut umat beragama dan pengikut ideologi politik. (Asharq al-Awsath/17/7/08). Lihat juga: sambutan Raja Abdullah bin Abdulaziz.

Memang fenomena ekstremisme dalam agama-agama masih menjadi api dalam sekam yang setiap saat meluap menjadi kobaran api konflik yang tak terkendali. Begitulah dalam sejarah agama-agama, konflik akibat kecuriganan satu kelompok agama terhadap lainnya, diakibatkan fanatisme yang berlebihan dari penganut agama bersangkutan.

Dalam konteks semacam ini, Raja Abdullah merasa perlu menegaskan perlunya menebar ajaran Islam yang toleran dan moderat. Karena ia sadar bahwa ada penganut Islam -atau agama lainnya- yang berwatak ekstrem. "Islam agama moderat dan toleran yang mengajak umatnya untuk mengedepankan dialog." Pernyataan ini tentu menjadi angin sejuk yang berembus dari orang nomor satu di Tanah Suci Mekah, sebuah negara yang kerap distigmatisasi sebagai lahan konservatisme dan ekstremisme.

Tentu saja upaya memerangi ekstremisme tidak mungkin terlaksana tanpa komitmen kolektif negara-negara di dunia. Tanpa itu semua, mustahil untuk menyongsong masa depan damai jika masing-masing tidak memiliki keinginan politik yang sama, mewujudkan perdamaian. Dan perdamaian hanya bisa dicapai dengan cara melucuti ekstremitas yang menggerogoti agama-agama dan kebijakan politik negara-negara.

Posisi Setara
Sayangnya, harapan mulia ini harus berhadapan dengan hegemoni satu negara terhadap yang lain. Impian terciptanya komitmen kolektif untuk perdamaian dunia harus berhadapan dengan arogansi suatu negara dalam memperlakukan negara lain. Potret perseteruan Amerika Serikat dengan Iran di satu pihak, dan arogansi Israel di pihak lain, menjadi "duri" dalam proses melapangkan misi damai ini.

Hal ini ditambah dengan prilaku elite politik yang kerap menjadi isu sensitif agama sebagai manuvernya. Kasus film Fitna gubahan Geert Wilders, misalnya, menjadi contoh nyata dari ekstremisme yang diperankan politisi Belanda ini. Begitu juga perilaku kekerasan Front Pembela Islam di Tanah Air terhadap kelompok lain, merupakan fakta belum utuhnya komitmen bersama membangun perdamaian.

Padahal, upaya mewujudkan perdamaian hanya mungkin digapai bila semua diperlakukan secara setara. Perdamaian mensyaratkan posisi setara antara satu kelompok dan lainnya, antara satu negara dan negara lainnya. Adalah tidak mungkin memimpikan perdamaian di tengah situasi yang timpang dan tidak setara, terlebih di tengah hegemoni negara yang satu pada lainnya.

Di sinilah kita secara arif harus bisa menghargai adanya perbedaan. Dengan perbedaan, kita bisa mengenal yang lainnya untuk memahaminya. Tentu saja dialog-dialog dikedepankan untuk bisa saling memahami.

Usulan Mohamad Khatami akan perlunya dialog antarperadaban (dialogue of civilizations) sebagaialternatif dari prediksi naif Samuel P Huntington dengan benturan antaran antarperadaban (clash of civilizations) patut dipertimbangkan untuk menggapai dunia damai.

Peran NU
Sebagai salah satu ormas terbesar di negara yang mayoritas berpenduduk Muslim ini, Nahdlatul Ulama (NU) sejatinya ambil bagian dalam mempengaruhi kebijakan internasional untuk membangun perdamaian. Tentu saja ini diawali dengan konsolidasi internal untuk kemudian terlibat dalam penyelesaian per- soalan regional dan internasional.

Harus diakui, dalam era transisi menuju demokrasi, seperti saat ini, labilitas negara diuji dengan beragam peristiwa konfliktual. Sebagaimana diingatkan Guillarmo O'Donnel (1993), bahwa transisi menuju demokrasi tidak selalu berlangsung mulus. Pengalaman sejumlah negara yang melalui masa transisi demokrasi setelah tumbangnya rezim otoriter, tidak serta merta berhasil menjadi negara yang demokratis.

Alih-alih berhasil mencapai demokratisasi, yang terjadi malah otoritarianisme baru yang tidak kalah otoriternya dengan rezim sebelumnya. Bahkan dalam struktrur politik yang mapan sekalipun masa transisi akan melahirkan krisis legitimasi sesaat. Bahkan kalau proses transisi tidak dikawal dengan konsolidasi, bukan tidak mungkin krisis legitimasi itu berlangsung abadi. Maraknya konflik kekerasan berbasis agama yang terjadi pascareformasi hingga saat ini, merupakan gumpalan konflik lama yang baru menemukan ruangnya saat ini.

Di tengah situasi semacam ini, NU sebagai organisasi sosial keagamaan, seharusnya menjadi jembatan yang memperantarai kesenjangan-kesenjangan komunikasi yang kerap menjadi pemicu konflik. Dengan modal teologis NU sebagai ormas yang berasas Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah yang mengusung nilai-nilai moderatisme (at-tawassuth wal i'tidal), kesetaraan (al-musawah), dan toleran (at-tasamuh) ini, sangat mungkin NU berperan aktif dalam upaya membangun perdamaian dengan meminimalisasi serta mencegah kemungkinan terjadi konflik berkepanjangan.

Dengan Forum International Conference of Islamic Scholars (ICIS) III yang dilaksanakan 29 Juli-1 Agustus 2008 di Jakarta, NU diharapkan menjadi media alternatif untuk menjembatani kesenjangan- kesenjangan itu, untuk kemudian merumuskan agenda-agenda strategis guna mewujudkan perdamaian di seantero jagad ini, sebagaimana tema yang diusung, Upholding Islam as Rahmatan lil 'Alamin : Peace Building and Conflict Prevention.[]

*Penulis adalah aktivis PP Lakpesdam NU

(Suara Pembaruan, 1 Agustus 2008)

Sambutan Raja Abdullah bin Abdulaziz

Madrid – Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, yang telah mewahyukan dalam Kitab Suci-Nya: "Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.”

Damai dan rahmat atas Nabi Muhammad dan atas seluruh nabi dan rasul.

Yang Mulia, sahabatku, Juan Carlos, Raja Spanyol:

Sahabat-sahabat yang terhormat: Selamat datang, dan saya ucapkan terima kasih kepada Anda yang telah menjawab undangan kami dan hadir dalam dialog ini. Saya menghargai segala upaya yang anda lakukan dalam melayani kemanusiaan. Saya haturkan penghargaan setinggi-tingginya kepada sahabat-sahabat saya, Yang Mulia Raja Juan Carlos dan Kerajaan Spanyol, serta rakyatnya yang penuh keramahan menyambut berkumpulnya kita dalam konferensi ini di tanah air mereka, sebuah wilayah yang memiliki warisan bersejarah dan peradaban di antara umat-umat beragama, dan yang telah menjadi saksi koeksistensi antara rakyat dari berbagai suku bangsa, agama, dan kebudayaan, dan yang memberi sumbangan, bersama peradaban-peradaban lain, bagi kemajuan umat manusia.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: saya datang kepada Anda dari tempat yang dekat dengan hati semua Muslim, tanah tempat Dua Masjid Suci, membawa sebuah pesan dari dunia Islam, yang mewakili para sarjana dan pemikirnya yang belum lama ini bertemu dalam lingkup Baitullah. Pesan ini menyatakan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang tidak berlebih-lebihan dan bertenggang rasa; sebuah pesan yang menyerukan bagi dialog konstruktif di antara umat beragama; sebuah pesan yang berjanji membuka sebuah halaman baru bagi umat manusia yang di dalamnya – Insya Allah – musyawarah akan menggantikan konflik.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: Kita semua percaya pada Tuhan yang Maha Esa, yang mengirimkan para utusan-Nya demi kebaikan umat manusia di dunia ini dan akhirat nanti. Sudah kehendak-Nya, Maha Besar Allah, bahwa manusia harus berbeda dalam keyakinan. Jika Allah Yang Maha Kuasa berkehendak, semua manusia akan memiliki agama yang sama. Kita bertemu hari ini untuk menegaskan bahwa agama-agama yang dikehendaki Allah Yang Maha Kuasa demi kebahagiaan umat seharusnya menjadi sarana untuk memastikan terwujudnya kebahagiaan itu.

Karena itu wajib hukumnya bagi kita untuk menyatakan kepada dunia bahwa perbedaan tidak harus menyebabkan konflik dan konfrontasi, dan untuk menyatakan bahwa tragedi-tragedi yang telah terjadi dalam sejarah manusia tidak ada hubungannya dengan agama, tetapi merupakan akibat dari ekstremisme yang sebagian umat dari setiap agama ilahiah, dan dari setiap ideologi politik, telah pernah mengalaminya.

Umat manusia dewasa ini sedang menderita akibat hilangnya nilai-nilai dan kerancuan konseptual, dan sedang melalui sebuah tahapan kritis di mana, terlepas dari segala kemajuan ilmu pengetahuan yang ada, kita sedang menyaksikan berkembang biaknya kejahatan, meningkatnya terorisme, terpecahnya keluarga, pemberontakan pikiran-pikiran kaum muda akibat penyalahgunaan obat-obatan, pemerasan yang lemah oleh yang kuat, dan kecenderungan-kecenderungan rasis penuh kebencian. Ini semua merupakan akibat dari kekosongan spiritual yang diderita orang karena mereka melupakan Tuhan, dan Tuhan menyebabkan mereka melupakan diri mereka sendiri. Tidak ada penyelesaian bagi kita selain menyepakati sebuah kesatuan pendekatan, melalui dialog di antara agama dan peradaban.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: Kebanyakan dialog di masa lalu gagal karena mereka telah terpuruk menjadi tempat saling menuding yang memusatkan perhatiannya pada perbedaan-perbedaan yang ada dan melebih-lebihkannya; dengan upaya-upaya mandul yang justru semakin memperburuk dan bukannya meredakan ketegangan, atau karena mereka mencoba untuk mencampurkan agama dan keyakinan dengan alasan untuk mempererat persatuan mereka.

Ini adalah sebuah upaya yang sama-sama tidak akan membuahkan hasil karena umat tiap-tiap agama memiliki iman yang teguh terhadap keyakinan mereka masing-masing, dan tidak akan menerima pilihan lain yang ditawarkan. Jika kita ingin pertemuan bersejarah ini berhasil, kita harus memusatkan perhatian pada persamaan-persamaan yang menyatukan kita, yaitu iman yang kuat kepada Tuhan, prinsip-prinsip yang mulia, dan nilai-nilai moral yang tinggi, yang merupakan intisari agama.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: Manusia dapat menjadi penyebab kehancuran planet ini dan semua yang ada di dalamnya. Tapi manusia juga mampu mengubahnya menjadi sebuah oasis perdamaian dan ketenangan tempat para umat berbagai agama, keyakinan, dan filosofi dapat hidup berdampingan, dan orang dapat bekerja sama satu dengan yang lain dalam sikap saling menghormati, dan mengatasi berbagai permasalahan melalui dialog, bukan kekerasan.

Manusia juga mampu – dengan rahmat Allah – memusnahkan kebencian dengan cinta, dan kemunafikan dengan toleransi, yang dengan demikian memungkinkan semua umat manusia menikmati martabat yang telah dianugerahkan Yang Maha Kuasa kepada mereka semua.

Sahabat-sahabatku yang terhormat: Marilah kita jadikan dialog kita sebagai sebuah kemenangan keyakinan atas ketidakyakinan, kebajikan atas kejahatan, keadilan atas ketidakadilan, perdamaian atas konflik dan perang, dan persaudaraan manusia atas rasisme.

Karena itu, bersama Tuhan kita memulai, dan kepada-Nya kita memohon pertolongan. Saya mengulurkan sambutan dan menghaturkan penghargaan tulus saya kepada Anda semua.

Terima kasih dan damai bagi kita.

* Raja Abdullah bin Abdulaziz adalah Raja Kerajaan Arab Saudi. Konferensi Dunia tentang Dialog berlangsung di Madrid pada 16-18 Juli 2008.

**Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Pendidikan Lintas Generasi

Oleh Dian Nafi’*
Nabi Musa AS dan Firaun hidup di dalam dua generasi, meskipun satu zaman. Ketika Firaun sudah kuat berkuasa, Musa AS baru lahir. Firaun sudah menebar kelaliman saat Musa AS sedang menjalani penyelamatan dalam keranjang bayi yang diapungkan di sungai.

Kesenjangan generasional terlihat di situ, namun kualitas untuk menjembatani kesenjangan itu menarik sebagai pelajaran kita sekarang. Dan dari QS Al-Qashash kita banyak belajar.

Beliau kemudian diambil sebagai anak asuh Firaun, hanya mau disusui oleh dan dengan air susu ibu kandungnya, menjalani sejumlah tes naluriah kanak-kanak dan hingga tumbuh menjelang dewasa.

Kelaliman Firaun bersumber dari kekafirannya. Dengan itu Firaun memusatkan kekuasaan hanya kepadanya. Bahkan kekuasaan itu ia rohanikan, sehingga pelan tetapi pasti ia membangun citra diri menyesatkan. Ia mengaku sebagai tuhan.

Akibat yang menyertai kelaliman Firaun adalah perkelahian-perkelahian antarpenduduk beda suku. Yang dekat dengan Firaun merasa lebih berhak atas lebih banyak kemudahan daripada lainnya.

Nabi Musa AS sempat menyesal, upaya beliau melerai pertengkaran dua pemuda mengakibatkan tewasnya salah satu. Beliau menyangkal bahwa itu merupakan tindakan yang seharusnya.

Dan itu diikuti dengan tekad untuk tidak memihak kepada pelaku dosa. Di situlah Nabi Musa AS memasuki gerbang baru untuk menjadi diri sendiri. Fakta tidak disangkal, beliau hasil “didikan” keluarga Firaun, tetapi bukanlah fotokopi mereka.

Memphis, ibukota pemerintahan Firaun, telah menorehkan bekas mendalam dalam diri Nabi Musa AS muda. Masalah kemanusiaan sudah dipahami, tetapi kecakapan untuk menjawabnya belum cukup dikuasai. Penduduk menyarankan beliau menambah pengalaman.

Perjalanan pun ditempuh. Dipilihlah Kota Madyan, jaraknya delapan malam perjalanan kaki dari Mesir. Di sana berdiam Nabi Syuaib AS dan umat beliau. Demikian Al-Alusi menjelaskan dalam tafsirnya (Juz 15: 101).

Pengalaman pertama di Madyan terjadi. Beliau menolong perempuan yang dikalahkan dari antrean di sumur komunitas tempat warga menimba air, termasuk memberi minum ternak.

Setelah itu belajar kepada Rasul senior, yang merekam lebih banyak pengalaman dan kearifan. Nabi Syuaib AS mengambil beliau sebagai menantu. Manajemen peternakan dipelajari sebagai penopang ekonomi keluarga. Hingga tiba saatnya tempaan spiritual dijalani dengan perjumpaan yang menyejarah di Bukit Tursina.

Diplomasi
Ada kesinambungan dalam pendidikan yang dijalani Nabi Musa AS. Dari Firaun, Nabi Musa AS terbiasa dengan diplomasi berkelas tinggi. Juga belajar tentang kerja tim, terbukti beliau memohon kepada Allah agar saudaranya, Harun AS, diangkat sebagai Nabi dan Rasul yang menemani dalam misi. Dari si Firaun, terlihat kerapian manajemen layanan publik. Dari Nabi Syuaib AS, diperoleh muatan kurikulum bagi layaknya seorang Nabi dan Rasul. Yang dengan itu kelaliman Firaun hendak dikoreksi.

Untuk kerja besar dan sekaligus meniadakan korban sia-sia dari kalangan masyarakat luas, maka pendidikan lintas generasi penting adanya. Model pendidikan ini memberikan hak kepada Nabi Musa AS untuk menguasai muatan kurikulum “di atas” yang dipelajari Firaun.

Dalam model itu, Nabi Musa AS dididik sebagaimana umumnya anak-anak dan pemuda sebaya beliau dengan tambahan muatan tanggung jawab melebihi kebanyakan orang seusia beliau. Dan di balik itu adalah rahasia-Nya, bahwa kelak Sang Nabi harus mendampingi umat beliau, Bani Israil, berkelana di padang Tiih selama empat puluh tahun (QS Al-Maidah: 26), untuk membangun tabiat/karakter mereka (Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, Juz 1: 321).[]

* Pengasuh Ponpes Al Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo
(www.sopolos.co.id, Jum'at, 08 Agustus 2008).

Jaudat Said dan Tafsir La Ikraha Fi al-Din

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Dengan alasan itu, mereka melakukan pemaksaan bahkan kekerasan agar orang lain masuk ke dalam agama yang dipeluk dirinya. Orang seperti ini, menurut Jaudat Said, mengidap penyakit jiwa (maradl nafsiy). Orang yang berjiwa sehat adalah mereka yang berupaya bagi tegaknya kebebasan beragama. Bahkan, Said menegaskan bahwa jihad disyari’atkan untuk menghapuskan pemaksaan (al-ikrah) dan membiarkan seluruh manusia merdeka dalam memilih sesuatu yang dianggapnya benar.

Jaudat Said lahir di Suriah, tahun 1931. Ia pernah belajar di Universitas al-Azhar Mesir. Ketika di Mesir ini, ia banyak bersentuhan dengan berbagai macam pemikiran Islam yang dikemukakan tokoh-tokoh seperti Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Mawdudi, Hasan al-Banna, dan Sayyid Quthb. Walau sebentar, ia sempat mengagumi pemikiran Hasan al-Banna. Itu sebabnya, ia pernah bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.

Dalam perkembangan berikutnya, ia melepaskan diri dari sang pemikir fundamentalis itu. Ia kemudian terkagum pada Malik Bennabi dan Muhammad Iqbal. Ketika selesai kuliah, dia membaca Syuruth al-Nahdlah buah karya Malik Bennabi. Ketika membaca buku ini, Jaudat terhipnotis dan mengalami ekstasi seperti yang pernah dialami Jalaluddin Rumi ketika bertemu dengan Syamsuddin al-Tabrizi. Metode pembacaan al-Qur’an Jaudat Said lebih banyak mengadopsi metode Bennabi dan Muhammad Iqbal. Ia telah membaca buku Bennabi yang berjudul al-Zhahirah al-Qur’aniyah. Ia jujur berkata bahwa Bennabi telah membantu dirinya untuk membaca al-Qur’an dengan perspektif dan format baru.

Jaudat Said telah menulis beberapa buku. Di antaranya adalah Lima Hadza al-Ra`ab min al-Islam, Madzhab Ibnu Adam al-Awwal: Musykilat al-`unf fi al-`Amal al-Islami, al-Insan Hiyna Yakunu Kullan wa `Adlan, Hatta Yughayyiru Ma bi Abfusihim, Fuqdan al-Tawazun al-Ijtima`, Iqra’ wa Rabbuka al-Akram, kemudian La Ikraha fi al-Din: Dirasah wa Abhats fiy al-Fikr al-Islami. Buku yang terakhir itu terbit pada tahun 1997. Setebal 190 halaman untuk menjelaskan kebebasan berfikir dan beragama, Hak Asasi Manusia, Reorientasi Jihad, sampai pada soal teks dan problem peradaban bahkan juga tentang relasi bahasa dan realitas. Buku ini terdiri dari 8 bab. Tergolong ringkas untuk mengelaborasi gagasan-gagasan besar dan rumit. Karena itu, anda jangan berharap akan menemukan bahasan-bahasan detail menyangkut satu pokok soal. Buku ini mungkin lebih tepat disebut sebagai manifesto kekebasan beragama ketimbang sebuah karya akademis. Dari segi diksi yang dipilihnya yang cenderung bombastik bahkan provokatif, buku ini agak mirip dengan Ma`alim fi al-Thariq yang ditulis Sayyid Quthb.

Namun, bagaimanapun, buku ini tetap menarik untuk dikaji dalam konteks kebebasan beragama di Indonesia Indonesia yang kian terancam. Memang, Jaudat Said dalam buku ini sempat memuji kerukunan Indonesia. Menurutnya, Islam di Indonesia tak didakwahkan dengan pedang. Tapi, kini Islam Indonesia sering dijalankan dengan pentungan.

Tafsir La Ikraha fi al-Din

Pada mulanya adalah firman Allah berikut: “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan”. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui” (Al-Baqarah: 251). Jawdat Said menyebut ayat di atas (lâ ikrâha fî al-dîn, qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy) sebagai âyat kabîrat jiddân (ayat universal). Apalagi, menurut Jaudat Said, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang dianggap sebagai salah satu ayat paling utama. Jika ayat kursi mengandung ajaran penyucian Allah, maka ayat tersebut mengandung penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah menjamin hak kebebasan beragama.

Dalam menafsirkan ayat ini, Said menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemaksaan (al-ikrâh) adalah al-ghayy dan ini adalah jalan salah (al-tharîq al-khâthi`). Sedang yang dimaksud dengan tanpa paksaan (allâ ikrâh) adalah al-rusyd dan ini adalah jalan benar (al-tharîq al-shahîh). Pengertian ayat itu adalah “tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh sudah jelas (perbedaan) antara tanpa paksaan dan pemaksaan”. Berbeda dengan kebanyakan para mufasir, Jaudat Said menafsir kata “thâghût” dalam lanjutan ayat itu sebagai orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada orang lain, dan membunuh orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.

Perihal ayat tersebut, Said mengemukakan pandangannya. Pertama, ayat itu memberi jaminan kepada orang lain untuk tidak mendapatkan paksaan dari seseorang. Ayat itu juga memberi jaminan agar seseorang tak dipaksa orang lain tentang sesuatu hal, termasuk dalam hal agama. Kedua, ayat itu bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalâm insyâ’î) dan sebagai kalimat informatif (kalâm ikhbârî). Sebagai kalimat perintah, ia menyuruh seseorang untuk tak melakukan pemaksaan kepada orang lain. Sebagai kalâm ikhbâri, ayat itu memberitahukan bahwa seseorang yang dipaksa masuk pada suatu agama sementara hatinya menolak, maka orang itu tak bisa dikatakan telah memeluk agama itu. Ini karena agama ada di dalam kemantapan hati, bukan dalam ungkapan lisan. Ketiga, tidak ada paksaan dalam soal agama sama dengan tidak ada paksaan dalam soal cinta. Menurut Said, cinta tak datang dengan paksaan. Ia hanya mungkin terwujud dengan kebaikan. Begitu juga dengan agama yang tak boleh dijalankan dengan paksaan. Karena itu, demikian Said, bisa dikatakan bahwa tak ada agama dengan paksaan sebagaimana tak ada cinta dengan paksaan.

Keempat, ayat ini melarang membunuh orang pindah agama, karena ayat itu turun untuk melarang pemaksaan dalam soal agama. Said menambahkan, para perawi hadits yang memerintahkan membunuh orang murtad tak pernah menjelaskan sebab kehadiran (sabab al-wurûd) hadits tersebut. Jika memang benar itu sebuah hadits, dalam konteks apa ia diucapkan Nabi. Lebih dari sekedar hadits âhâd, Said menilai hadits itu sebagai dla`îf karena bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam yang menjamin kebebasan beragama. Jika bisa disebut sebagai hadits, maka itu berarti larangan kepada seseorang untuk masuk pada suatu agama sekedar untuk main-main, bukan atas dasar keimanan. Menurut Jaudat Said, sejak mula Islam memperkenalkan kebebasan beragama.

Kelima, orang yang tak menerima gagasan kebebasan beragama adalah orang yang tak percaya dengan agama yang dianutnya. Bahwa agamanya tak akan berkembang pesat sekiranya tak dijalankan dengan pemaksaan. Dengan alasan itu, mereka melakukan pemaksaan bahkan kekerasan agar orang lain masuk ke dalam agama yang dipeluk dirinya. Orang seperti ini, menurut Jaudat Said, mengidap penyakit jiwa (maradl nafsiy). Orang yang berjiwa sehat adalah mereka yang berupaya bagi tegaknya kebebasan beragama. Bahkan, Said menegaskan bahwa jihad disyari’atkan untuk menghapuskan pemaksaan (al-ikrah) dan membiarkan seluruh manusia merdeka dalam memilih sesuatu yang dianggapnya benar.

Dengan ayat la ikraha fi al-din, tegas ia menyimpulkan bahwa tak ada anjuran di dalam Islam untuk membunuh orang lain yang berbeda pemikiran, agama, dan keyakinan. Pemaksaan dalam agama tak dibenarkan. Menjadi hak setiap orang untuk percaya bahwa agamanya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Sebab, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi (qadliyat syahshiyyat) dari setiap orang, sehingga tak boleh ada paksaan. Argumen-argumen normatif-teologis Said ini kiranya bisa dijadikan modal intelektual untuk mengukuhkan kebebasan beragama di Indonesia.[]

Melihat Dunia (Islam) setelah Olimpiade Beijing

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Kepada kaum Islamis yang “sok yakin” dan “ge-er” bahwa Islam akan menjadi kekuatan dunia baru, saya mengatakan: tengoklah India dan Cina itu! Mereka bekerja keras untuk membangun ekonomi, merebut peluang dalam pasar global, bukan mengumbar retorika semata. Jika Islam hendak maju, tiada cara lain kecuali bekerja keras seperti dua negeri tersebut, bukan bekerja keras untuk mendirikan sebuah “khilafah” yang tak jelas juntrungannya itu. Kesampingkan mimpi kalian itu, wahai kaum Islamis! Bangunlah, sebab negeri-negeri lain mencapai kemajuan bukan dengan mimpi semata, tetapi dengan kerja keras.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Koran Tempo, 16 Agustus 2008

PADA tahun 80an, setelah hancurnya Uni Soviet, banyak kalangan ideolog gerakan Islamisme yang meramal bahwa kapitalisme di mana Amerika menjadi simbol utamanya akan segera rontok. Dari reruntuhan dua “ideologi” dan kekuatan besar itu, mereka meramalkan (atau “wishful thinking”?) bahwa Islam akan tampil sebagai kekuatan baru yang menggantikan keduanya.

Apakah mimpi mereka itu sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda akan terwujud? Marilah kita tengok dunia sekitar. Yang paling gampang adalah dengan melihat event yang sekarang sedang digelar di Cina, yaitu Olimpiade Beijing 2008. Pembukaan Olimpiade di Beijing pada 8/8/08 yang lalu begitu megah sekali, seolah-olah negeri Cina hendak mendeklarasikan diri bahwa kami adalah kekuatan baru di panggung dunia. Apa yang dikatakan oleh negeri Cina itu bukan sekedar mimpi atau “wishful thinking”, tetapi kata-kata yang disokong dengan sebuah bukti nyata.

Sekarang kita lihat sendiri, kekuatan baru yang akan menjadi pesaing utama Amerika Serikat tampaknya bukan negeri-negeri Islam atau “Islam” secara umum. Pesaing baru itu datang dari dua negeri yang jauh dari tradisi Islam, yakni Cina dan India.

Fareed Zakaria menulis buku baru (yang tampaknya kurang terlalu sukses), “Post American World”, dunia paska-Amerika. Menurut dia, konstelasi kekuatan dunia saat ini pelan-pelan mulai memperlihatkan gejala baru, yaitu merosotnya peran Amerika, dan dari sanalah lahir dunia baru, dunia paska-Amerika. Tetapi, dunia baru ini bukan ditandai dengan merosotnya peran Amerika secara total, atau “the declining West”. Yang terjadi adalah munculnya beberapa kekuatan baru dalam bidang-bidang tertentu atau “the emerging rest”. Dunia tidak lagi uni-polar, tetapi multipolar.

Visi dunia yang dibayangkan kalangan Islamis masih “old-fashioned”, alias kuno dan antik, yaitu dunia dengan kekuatan tunggal yang dominan di semua bidang. Kalangan Islamis bermimpi Islam atau “negeri Islam” memerankan kekuatan hegemonik seperti yang diperankan oleh Amerika sekarang. Dengan kata lain, dengan seluruh kebencian mereka terhadap Amerika, mereka sebetulnya “kesengsem” atau jatuh cinta pada peran yang dimainkan Amerika saat ini, dan karena itu mereka bermimpi suatu saat Islam akan menggantikan peran itu.

Saya kira, mimpi seperti itu menjadi tidak relevan dalam jangka panjang. Pertama, mimpi itu sendiri jelas “mimpi”, sebab hingga sekarang kita belum melihat tanda-tanda sedikitpun bahwa negeri-negeri Islam akan menjadi kekuatan baru, entah dalam bidang militer, teknologi, kebudayaan, apalagi ekonomi, terlebih-lebih olah-raga.

Hingga sekarang, negeri seperti Saudi Arabia masih bergelut dengan pertanyaan utama: bolehkah perempuan ikut olah-raga? Dalam Olimpiade Beijing saat ini, kontingen olah-raga Saudi Arabia sama sekali tak menyertakan perempuan. Alasannya jelas karena masalah agama: menurut Islam versi mereka, perempuan tak layak, atau tepatnya diharamkan ikut olah-raga.

Dalam bidang ekonomi, tak ada satu negeri Islampun yang bisa disebut sebagai kekuatan yang signifikan saat ini. Negeri-negeri Arab teluk seluruhnya menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada sumber alam, yaitu minyak, bukan karena kerja keras penduduknya sendiri. Secara budaya, kita juga jarang melihat produk-produk budaya “populer” yang meng-global yang berasal dari dunia Islam. Dalam bidang sastra misalnya, karya-karya yang mampu menembus pasar dunia yang muncul dari luar tradisi kesusasteraan Barat umumnya berasal dari para penulis India. Penulis Muslim yang mampu menembus pasar itu adalah Orhan Pamuk yang berasal dari Turki, negeri Muslim yang sekuler yang justru dibenci oleh kalangan Islamis di mana-mana.

Dalam pandangan saya, visi dunia ke depan yang lebih masuk akal dan realistis adalah dunia yang multi-polar, dunia dengan sejumlah kekuatan yang menyebar. Hingga saat ini, Amerika masih menjadi kekuatan utama dalam hampir semua bidang. Tetapi, kekuatan-kekuatan baru mulai pelan-pelan muncul ke permukaan. Dalam jangka panjang, kekuatan-kekuatan baru yang lain tentu akan bermunculan. Setelah Cina dan India, mungkin akan muncul kekuatan-kekuatan lain dari kawasan Amerika Latin. Begitu seterusnya.

Dalam konstelasi dunia yang cenderung multi-polar itu, kita belum belihat negeri-negeri Islam muncul ke permukaan sebagai calon “kekuatan baru”. Jangankan menjadi calon kekuatan “tunggal”, bahkan kekuatan yang setara dengan Cina atau India sekarang pun tidak sama sekali. Oleh karena itu, ramalan kaum Islamis bahwa Islam akan menggantikan komunisme dan kapitalisme sebagai satu-satunya kekuatan baru di panggung dunia hanyalah mimpi yang mendekati “wishful thinking”.

Ada dua tantangan besar yang dihadapi oleh dunia Islam saat ini sebelum berharap menjadi kekuatan atau “kutub” baru dalam konstelasi kekuatan dunia. Pertama di sektor ekonomi. Pelajaran yang bisa kita ambil dari Cina dan India –keduanya saat ini berhasil menjadi contoh kesuksesan baru di bidang ekonomi– adalah keduanya berhasil mengintegrasikan diri dalam pasar globar, merebut peluang-peluang baru di sana, tanpa kehilangan kemandirian sebagai suatu entitas politik yang memiliki kepentingan nasionalnya sendiri.

Saya belum melihat model Amerika Latin yang menempuh suatu eksperimen baru melalui apa yang disebut dengan “neo-sosialisme” –model yang beberapa hari lalu dipuji oleh harian Kompas itu– sebagai model yang “workable” dan masih terlalu dini untuk dinilai. Terus terang, saya skeptis dengan model Amerika Latin itu. Sebagaimana diperlihatkan oleh Venezuela melalui figur utamanya Hugo Chavez, model sosialisme (entah lama atau baru) selalu membutuhkan kekuatan negara yang besar untuk mengontrol arah kebijakan ekonomi yang dipaksa mengikuti jalur tertentu.

Dengan kata lain, dalam sosialisme (sekali lagi, entah lama atau baru) selalu ada kecenderungan kepada “planisme” atau peran negara yang besar sekali sebagai “perancang utama”. Kekuatan negara di sini secara empiris tentu diterjemahkan melalui kekuatan yang besar yang diberikan kepada kepala negara. Itulah yang menjelaskan kenapa tahun lalu Hugo Chavez meminta kekuasaan yang lebih besar melalui serangkaian amandemen atas konstitusi. Kekuatan negara yang besar semacam ini, sebagaimana kita ketahui dari pengalaman selama ini, akan berujung kepada hal yang sederhana: korupsi. Petuah lama dalam dunia politik berlaku di sini: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely!

Contoh yang diperlihatkan oleh Cina dan India sekali lagi memperlihatkan bahwa kedua negara itu sukses sebagai kekuatan ekonomi bukan karena memerankan diri sebagai “trouble maker” dalam pergaulan ekonomi global. Mereka menjadi sahabat yang baik, membuka diri pada pasar global, merebut peluang di sana, seraya tak kehilangan independensi. Dengan kata lain, mereka sukses bukan dengan memusuhi pasar, tetapi justru mengintegrasikan diri di dalamnya. Model Cina dan India patut dipertimbangkan oleh negeri-negeri Islam.

Kepada kaum Islamis yang “sok yakin” dan “ge-er” bahwa Islam akan menjadi kekuatan dunia baru, saya mengatakan: tengoklah India dan Cina itu! Mereka bekerja keras untuk membangun ekonomi, merebut peluang dalam pasar global, bukan mengumbar retorika semata. Jika Islam hendak maju, tiada cara lain kecuali bekerja keras seperti dua negeri tersebut, bukan bekerja keras untuk mendirikan sebuah “khilafah” yang tak jelas juntrungannya itu. Kesampingkan mimpi kalian itu, wahai kaum Islamis! Bangunlah, sebab negeri-negeri lain mencapai kemajuan bukan dengan mimpi semata, tetapi dengan kerja keras.

Tantangan kedua adalah di bidang politik. Dunia Islam cepat atau lambat harus membangun suatu sistem yang demokratis. Sistem otoriter yang sekarang ini ada di hampir semua negeri-negeri Islam menjadi batu sandungan yang amat serius yang merintangi gerak mereka untuk tampil kekuatan yang dipertimbangkan dalam dunia internasional.

Meskipun Cina sukses sebagai kekuatan ekonomi, saya masih menyimpan keragu-raguan, karena negeri itu masih diperintah oleh satu partai, dan karena itu sistem politik mereka masih berwatak otoriter.

Saya sendiri berpandangan bahwa kebebasan ekonomi tak bisa terus-menerus ditegakkan dalam sistem politik yang tak bebas. Kebebasan hanya bisa hidup dalam sebuah sistem politik yang bebas. Oleh karena itu, kapitalisme tidak bisa tidak kecuali hidup dalam sistem demokrasi. Sebab, keduanya mewakili ide dan cita-cita yang sama, yaitu kebebasan. Kapitalisme adalah lambang kebebasan ekonomi, sementara itu demokrasi adalah lambang kebebasan politik. Kedua kebebasan itu seharusnya dilengkapi dengan kebebasan lain di bidang ekpresi budaya. Itulah sebabnya ide tentang multikulturalisme menjadi sangat penting (meskipun ide ini di beberapa negeri Barat mendapat serangan hebat karena menimbulkan sikap-sikap “political correctness” yang cenderung relativis).

Dalam tesis saya, ketiga sistem itu saling sejalan dan “kongruen”. Oleh karena itu, kesuksesan ekonomi di Cina saat ini adalah model yang tak seimbang, karena kebebasan ekonomi tak disertai dengan kebebasan politik. Cepat atau lambat, kebebasan ekonomi yang sekarang diterapkan di tanah Cina akan membawa dampak yang tak terhindarkan, yaitu tuntutan untuk membuka kebebasan di sektor politik. Jika seseorang sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, sudah tentu daftar kebutuhan dia akan bertambah lagi, termasuk kebutuhan untuk memiliki kebebasan di sektor politik.

Seorang teman saya dari Malaysia beberapa tahun lalu bilang bahwa justru karena masyarakat sudah kenyang perutnya, mereka tidak peduli pada hal-hal yang lain; mereka justru menjadi apatis dan apolitis. Perkembangan politik di Malaysia sekarang, saya kira, menolak apa yang ia katakan itu. Setelah Malaysia secara relatif berhasil mencapai kemakmuran, masyarakat di sana mulai menuntut sistem politik yang lebih longgar.

Saya menunggu fase baru di Cina, yaitu geliat demokrasi yang tak bisa dihindarkan justru karena mereka sukses secara ekonomi. Sambil menunggu fase itu, negeri-negeri Islam tetaplah layak menengok Cina sebagai suatu model yang sukses di bidang ekonomi. Tentu bukan model yang ditiru mentah-mentah, tetapi model yang bisa menjadi bahan perbandingan.

Yang jelas, tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah kemiskinan. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi menjadi masalah utama yang harus mereka pecahkan. Meminjam istilah yang populer di Amerika, “It’s economy, stupid!”[]

sunset

sunset
waktu selalu mengejar