Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Jumat, 18 Juli 2008

Urgensi Islam Mazhab Indonesia

Oleh: Abd A’la
Islam dapat berkembang terus di bumi Nusantara karena yang dikedepankan sejak awal adalah coral Islam yang sejuk, ramah, dan mampu berdialog dengan tradisi dan budaya lokal. Beberapa studi menunjukkan, Islam yang datang pertama kali di Nusantara adalah Islam sufistik yang mampu menyapa dominasi mistik yang banyak dianut masyarakat Nusantara melalui strategi dan pola penyampaian yang juga akrab di kalangan mereka. Sejarawan Merle Ricklefs menyebutnya sebagai agama sintesis mistik (mistic syntetism). Dengan demikian, masyarakat Nusantara dapat menerimanya tanpa suatu resistensi berarti.
Dilihat dari sisi manapun, kekerasan dan kekuatan otot yang sering ditunjukkan sebagian kelompok Muslim radikal bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip Islam. Sebermula sekali, agama ini meletakkan kerahmatan sebagai fondasi keberagamaan, dan seutuhnya sangat menghargai nilai-nilai spiritualitas dan intelektualitas, serta suasana dialogis.
Kekerasan dan sejenisnya hanya akan menjadikan Islam tereduksi sebagai bayang-bayang menakutkan yang kehilangan aspek kemanusiaannya. Kesyahduan beragama lalu berbias menjadi keberingasan, dan pencerahan tersungkur menjadi keangkuhan. Keberagamaan yang sejatinya dikembangkan di atas kecerdasan emosi dan nalar argumentatif berkembang menjadi kekuatan destruktif, berwujud pentungan dan sejenisnya yang tak akan memberi dampak penyadaran dan transformasi nilai-nilai moral luhur Islam.
Model keberagamaan seperti itu bisa saja menjadikan Islam sebagai kekuatan tunggal di negeri ini, tapi kekuatan yang akan berkembang adalah kekuatan yang sangat rapuh. Di atas permukaan simbol Islam terpampang di mana-mana, tapi senyatanya tidak disangga tiang-tiang moral dan nalar agama yang kuat. Keislaman ini mudah ambruk ketika berhadapan dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa. Welfare discourse atau keinginan untuk menciptakan negara gemah ripah loh jinawi sulit tercapai dan tidak mampu tawaran-tawaran penyelesaian yang holistik dan aplikatif terhadap persoalan bangsa yang rumit dan kait mengkait.
Justru yang akan berkembang adalah jatuhnya lebih banyak korban, termasuk di kalangan umat Islam sendiri. Orang-orang Islam yang selama ini dianggap marginal akan kian terpinggirkan. Sementara itu, persolan besar terus menganga karena solusi yang dipaksakan lebih berwujud doktrin-doktrin rigid, bahkan utopis, argumen apologis, dan bayang-bayang masa lalu yang sulit untuk dilabuhkan dalam kekinian. Fenomena semacam itu merupakan realitas yang membelenggu sebagian kelompok Muslim Indonesia saat ini.
Islam Mazhab Indonesia
Keberlangsungan fenomena tersebut tentu sangat mengkhawatirkan eksistensi bangsa, dan umat Islam Indonesia secara khusus. Keberlanjutan hal itu akan membuat Islam tidak mampu mengakar kuat dalam masyarakat luas, tidak mampu menyentuh lokalitas budaya, serta tidak memberikan ruang dialog yang cukup luas bagi pengembangan tradisi luhur bangsa. Umat Islam akan menjadi asing di negeri sendiri.
Padahal, sejarah Islam Indonesia telah memberikan pelajaran berharga untuk pembumian dan pengembangan nilai-nilai Islam yang lebih mengakar. Islam dapat berkembang terus di bumi Nusantara karena yang dikedepankan sejak awal adalah coral Islam yang sejuk, ramah, dan mampu berdialog dengan tradisi dan budaya lokal. Beberapa studi menunjukkan, Islam yang datang pertama kali di Nusantara adalah Islam sufistik yang mampu menyapa dominasi mistik yang banyak dianut masyarakat Nusantara melalui strategi dan pola penyampaian yang juga akrab di kalangan mereka. Sejarawan Merle Ricklefs menyebutnya sebagai agama sintesis mistik (mistic syntetism). Dengan demikian, masyarakat Nusantara dapat menerimanya tanpa suatu resistensi berarti.
Ketika Walisongo menjadi penyebar Islam di tanah Jawa, keislaman semacam itu merupakan strategi dan pola yang terus dikembangkan. Sunan Kalijaga, misalnya, menyebarkan Islam melalui wayang kulit dan cerita wayang yang telah mengalami islamisasi sedemikian rupa. Sunan Muria berdakwah melalui gamelan. Bahkan Raden Paku merupakan pencipta gending Asmaradana dan Pucung, dan Sunan Kudus sebagai pencipta gending Maskumambang dan Mijil (Saridjo et. al, 1982: 23-24).
Selanjutnya, kearifan semacam itu menjadi dasar pengembangan Islam di dunia pesantren. Islam lalu menjadi sesuatu yang akrab dan bagian yang intrinsik dari masyarakat Nusantara. Pada saat yang sama, melalui Islam mazhab Indonesia itu masyarakat menghadapi dan menyelesaikan persoalan mereka secara arif dan self-motivated, baik dalam melawan penjajahan hingga terlibat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengisinya secara mencerahkan.
Dalam konteks kekinian, Islam mazhab Indonesia tersebut sangat signifikan untuk ditumbuh-kembangkan. Berpijak pada Islam semacam itu, umat Islam Indonesia dapat menjadi Muslim sekaligus menjadi eleman inheren bangsa Indonesia, serta memiliki potensi besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa tanpa harus mengalami keterasingan dari kehidupan konkret mereka.
Islam tidak dianggap berhubungan secara antagonistis dengan paham kebangsaan maupun khazanah budaya bangsa. Mosaik budaya bangsa Indonesia yang beraneka dan majemuk tidak menjadi penghalang bagi Islam untuk berdialog dengan sehat. Mekanisme saling meminjam dan mengisi di antara keduanya pun terjadi dengan cara-cara yang beradab. Untuk itu, hubungan antara keislaman dan kebangsaan Indonesia menjadi bersifat komplementer, saling melengkapi, bukan saling menaklukkan.
Itulah misalnya yang pernah dikemukakan pemikir-pemikir Islam terkemuka Tanah Air seperti KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lewat gagasan Pribumisasi Islam-nya. Juga gagasan-gagasan tentang kontekstualisasi yang diperjuangkan oleh banyak tokoh seperti Almarhum Nurcholish Madjid, Munawir Sadzali, dan lainnya. Islam diupayakan menjadi agama yang fleksibel, mampu berdialog secara sehat dengan kenyataan.
Menjauhi Formalisme
Untuk pengembangannya, umat Islam Indonesia saat ini tentunya perlu menghindari bentuk-bentuk formalisme telanjang sebagaimana dikembangkan generasi awal Muslim Indonesia. Demikian pula mereka jangan sampai terjebak kepada pemaknaan literalistik atas bentuk formal tersebut. Umat Islam perlu menangkap makna dasar dari Islam dan memaknainya secara transformatif ke dalam konteks kekinian.
Demi menggapainya, pengembangan komunikasi kritis adalah niscaya untuk dijadikan dasar rekonstruksi. Memodifikasi komunikasi kritis Habermas (dikutip Sindunata, Basis, November-Desember 2004: 51), umat Islam perlu menjadikan nilai kebenaran sebagai realitas konkret yang dapat diterima bangsa secara keseluruhan. Di situlah diperlukan proses objektivikasi sebagaimana dikemukakan oleh Almarhum Kuntowijoyo. Proses objektivikasi ini berguna untuk menyaring dan menapis unsur-unsur yang dianggap benar secara eksklusif oleh suatu agama guna diangkat menjadi kebenaran bersama tanpa dirasakan lagi sebagai suatu kebenaran yang eksklusif.
Dari kebenaran yang sudah diobjektivikasi itu, keadilan sejati bagi seluruh elemen bangsa perlu dilabuhkokohkan. Pada saat yang sama, umat Islam niscaya harus membangun relasi dan dialog dengan segenap unsur bangsa dan masyarakat dunia secara intens. Konkretnya, dengan nilai-nilai universal Islam dan agama-agama lainnya yang berwujud kebenaran, keadilan, keramahan, dan sejenisnya, umat Islam –bersama umat yang lain –berpeluang besar untuk membangun Indonesia yang sejahtera dan sejuk bagi semua.

Gus Dur di Mata Dunia

Oleh: Saidiman
Posisi Gus Dur sebagai politisi dan pejuang HAM sekaligus adalah sesuatu yang memang langka. Dan kemampuannya melakukan pembedaan secara jernih mengenai posisinya itu adalah sesuatu yang mengagumkan. Perjuangannya untuk tetap membela hak-hak minoritas tak pernah surut kendati tampak tidak menguntungkan secara politik. Ketika kebanyakan politisi angkat tangan dan bungkam terhadap kasus minoritas Ahmadiyah, Gus Dur justru tampil di garda depan sebagai pembela hak-haknya. Bagi Gus Dur, adalah hak pengikut Ahmadiyah untuk hidup sebagaimana rakyat Indonesia pada umumnya. Jaminannya adalah Konstitusi.
Ada yang menarik dari konferensi tahunan ketujuh yang diadakan oleh Globalization for the Common Good, From the Middle East to Asia Facific: Arc of Conflict or Dialogue of Cultures and Religions, 30 Juni – 3 Juli 2008, di Melbourne, Australia. Para peserta dan pembicara yang berasal dari universitas-universitas terkemuka pelbagai Negara ini hampir selalu menyebut nama mantan presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai contoh ideal pemuka agama tradisional yang begitu gigih memperjuangkan semangat toleransi dan perdamaian.
Prof. Muddathir Abdel-Rahim (International Institute of Islamic Thought and Civilization, Malaysia) menunjuk Gus Dur sebagai sosok yang berhasil membalik prasangka banyak kalangan tentang wajah Islam yang cenderung dipersepsi tidak ramah terhadap isu-isu toleransi dan perdamaian. Prof. Abdullah Saeed (The University of Melbourne) juga mengakui posisi penting Gus Dur dalam upaya kontekstualisasi nilai-nilai universal al-Qur’an. Dr. Natalie Mobini Kesheh (Australian Baha’i Community) mengatakan bahwa satu-satunya pemimpin Islam dunia yang begitu akomodatif terhadap komunitas Baha’i adalah Gus Dur. Prof. James Haire (Charles Stuart University, New South Wales) berkali-kali memberi pujian kepada Gus Dur yang ia nilai paling gigih dalam memberi perlindungan terhadap kelompok minoritas. Sementara Dr. Larry Marshal (La Trobe University, Australia) menyebut Gus Dur sebagai pemikir cemerlang yang memiliki pandangan luas. Marshal bahkan sangsi Indonesia bisa melahirkan pemikir-aktivis seperti Gus Dur dalam jangka waktu seratus tahun ke depan. Apresiasi dan pujian dari masyarakat intelektual dunia ini bukan sekali ini saja. Gus Dur kerapkali menerima sejumlah penghargaan dari banyak lembaga internasional yang bersimpati terhadap perjuangannya selama ini.
Apresiasi semacam itu justru agak berbeda dengan situasi mutakhir di Indonesia. Belakangan ini Gus Dur tampak sedang berada pada fase-fase yang cukup sulit. Setelah tersingkir dari jabatan struktural Nahdlatul Ulama (NU), diganti oleh bekas loyalisnya, Hasyim Muzadi, kini Gus Dur harus menghadapi tekanan politik dari kemenakannya, Muhaimin Iskandar, di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Musuh-musuh ideologisnya bahkan secara terang-terangan berani memperolok-olok mantan presiden ini di depan publik. Pada sebuah acara talk show di sebuah stasiun televisi, Rizieq Shihab menyebut Gus Dur “buta mata, buta hati.” Olok-olok dan penghinaan ini kemudian diikuti oleh pengikut-pengikut Rizieq di pelbagai daerah yang tanpa sungkan membawa poster olok-olok tersebut ke jalan-jalan.
Gus Dur tidak hanya menuai tantangan dari musuh-musuh politik dan ideologisnya. Madina, sebuah majalah yang dikenal moderat dan kerapkali menampilkan gagasan-gagasan pembaruan Islam, tidak menyebut namanya dalam daftar 25 tokoh Islam damai di Indonesia. Gus Dur tersingkir dari nama-nama beken seperti Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, atau Helfy Tiana Rosa. Bahkan di kalangan kelompok moderat Indonesia sekalipun, Gus Dur tak jarang terabaikan.
Meski begitu, apa yang terjadi pada konferensi Melbourne dan forum-forum internasional lain bukan sekedar apresiasi dan pujian, melainkan harapan. Gus Dur dianggap sebagai harapan bagi masa depan perdamaian di Indonesia dan dunia Islam pada umumnya. Melalui aktivitas pembelaan terhadap kelompok pinggiran, Gus Dur telah memberi bukti bahwa Islam juga punya semangat toleransi dan perdamaian, bahkan dalam bentuk yang paling tradisional sekalipun.
Posisi Gus Dur sebagai politisi dan pejuang HAM sekaligus adalah sesuatu yang memang langka. Dan kemampuannya melakukan pembedaan secara jernih mengenai posisinya itu adalah sesuatu yang mengagumkan. Perjuangannya untuk tetap membela hak-hak minoritas tak pernah surut kendati tampak tidak menguntungkan secara politik. Ketika kebanyakan politisi angkat tangan dan bungkam terhadap kasus minoritas Ahmadiyah, Gus Dur justru tampil di garda depan sebagai pembela hak-haknya. Bagi Gus Dur, adalah hak pengikut Ahmadiyah untuk hidup sebagaimana rakyat Indonesia pada umumnya. Jaminannya adalah Konstitusi. Perkataan Gus Dur dalam sebuah konferensi pers mungkin akan sulit dilupakan para pejuang HAM dan demokrasi: “Selama saya masih hidup, saya akan tetap membela keberadaan Jemaat Ahmadiyah, karena itu sesuai dengan amanat Konstitusi.” Bagi Gus Dur, hak hidup semua orang dengan latar belakang primordial apapun adalah harga mati.
Barangkali memang Gus Dur tidak sedang berada pada waktu dan tempat yang tepat. Aktivitas dan pemikirannya terlalu jauh meninggalkan zamannya. Hanya masyarakat maju dan tercerahkan yang bisa mengapresiasi perjuangannya. Ketika Gus Dur berjibaku dengan isu-isu perdamaian bagi negeri tercinta, antusiasme masyarakat Indonesia terhadap gagasan-gagasannya justru melemah. Dalam pelbagai survey opini publik, suara Gus Dur malah anjlok ke titik terendah. Jika di dalam negeri Gus Dur dicaci dan direndahkan, untuk masyarakat internasional pecinta perdamaian, Gus Dur adalah pemimpin.

Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren

KH Husein MuhammadNuruzzaman, et al, eds.
LkiS, Yogyakarta and Fahmina Institute
lxvi + 344 pp
Recent discussions on feminism are intense and have always found its significance, both nationally and internationally, owing to the following basic factors.First, on the praxis plane, women are still unfairly treated. Second, in their active demand for gender equality, women have indicted the patriarchal social and cultural aspects of human life; third, both men and women are now gender aware. And fourth, men have demonstrated that their strong domination over women is too rigid to break. Fifth, religion legitimizes this condition in the gender-biased interpretation of faith such as is found in the study of laws pertaining to Islamic ritual obligation, religious interpretation of Islamic books and even in theology.
Although feminism has found its way into public opinion, unfair treatment of women continues to be practiced. Gender inequalities, such as extortion and oppression of women and male domination over women, must be stopped immediately, as these practices no longer conform to the modern values of humanity.
Gender inequality are often legitimized by religion, and as such, every act of violence toward women and the exploitation of women are not considered sinful acts.
One good example is the innate sin in the legend of the fall and the murder of Habil and Qabil. In the tradition of the three Abrahamic religions — Judaism, Christianity and Islam — the legend of the fall refers to the dramatic fall of Adam and Eve, who were believed to be in Paradise.
According to this doctrine, woman is believed to be the mother of all sins, as she seduces Adam so that both fall into the abyss of darkness. The doctrine likens a woman to an evil that tempts Adam to eat the apple in the Garden of Eden, which God has forbidden them even to touch.
Many feminists consider this doctrine to be the main cause of the historical male domination over women. This legend of the fall has often been cited as the main reference for violence against women, either physically or mentally.
Religious legitimacy for every form of gender inequality has given birth to gender-biased religious teachings and laws. Several classical books written in the past by Muslim intellectuals, or ulema, either in the form of fiqh, tafsir or theology, stand testimony of strong male domination over women, a violent practice that Pierre Bourdieu (199 refers to as “symbolic violence”.
In Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren, KH Husein Muhammad attempts to expose the Islamic view of women, particularly in terms of fiqh. The author believes that this view changes continually depending on the mufassir (the interpreter of the text) and the place and time when the interpretation of the Koran is made.
It must be emphasized, however, that the Koran contains within it a message of equality and justice, and does not distinguish women and men biologically. Both men and women are equal before God; they may differ only in terms of takwa, or devotion to God.
Meanwhile, an interpretation of the Koran, such as that which we find in the tafsir and fiqh texts, is very much influenced by time and place. Therefore, when we read these works, we must also take into account the authors’ social reference and the social construct at the time it was made.
In the past, the fiqh books written by ulema were generally by men living in Middle-Eastern male-dominated societies. Understandably, it is highly likely that these books are gender-biased.
Take, for example a fiqh on marriage (munakahat). According to this Islamic law, a husband enjoys a greater right than his wife. In a fiqh on inheritance, a bigger share of the inheritance goes to men. The fiqh on politics (al-siyasah), on the other hand, restricts women’s chances to embark upon a public career such as a president.
Husein thus believes that it is inevitable that one should continuously interpret and transform the existing interpretation of religious teachings to find their relevance to the dynamically changing social conditions, especially if certain fiqh are deemed to have led to paradoxes vis-a-vis the moral message of religious teachings such as justice, equality, liberty and so forth.
Experts have conducted research on the fiqh chapters on women and found that their substance run counter to the moral message of the religion.
This condition cannot be allowed to go on. Gender-biased fiqh must be revised immediately.
To this end, it is necessary to distinguish the moral message of Islamic teachings that have a universal and absolute application — known as qath’i in the ushul fiqh vocabulary — and the specific legal rules, which are temporal in nature, known as dhanny in the ushul al-fiqh vocabulary.
It is this holy message that must serve as a guide for all fiqh experts in formulating and determining the legitimacy of political, social, economic, cultural and other fiqh.
As regards fiqh on women and in the context of Islamic moral values, a stereotypical image of women must be avoided, as such an image will only give rise to discrimination and injustices toward women. It must be borne in mind that the Koran does not emphasize gender-based superiority nor inferiority.
In fact, Husein’s attempt is nothing new. A number of other women thinkers and activists have also discussed this topic. Nasaruddin Umar, Sinta Nuriah Wahid, Masdar, Nong Darul Mahdada and several others have also shown their deep concern over women’s issues.
However, what is unique about this book is that it reviews and makes references to those classical texts that many people, particularly those from Islamic boarding schools, often place on a par with the Koran.
Who knows that deconstruction of classical Islamic texts may enliven a discussion on feminism in Indonesia. [Hatim Gazali]

SKB dan Mitos Islam Moderat

Oleh: Hatim Gazali
Karena kemunculannya yang demikian, SKB—walau tidak dikenal dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia—memberikan peluang memunculkan kekerasan dan konflik sosial. Ketika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap JAI, sejumlah kekerasan dan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah dan rumah-rumah pengikut Ahmadiyah berlangsung semarak. SKB ini potensial disalah-gunakan untuk melakukan kekerasan di Tanah Air. Dia bisa dijadikan sebagai licence to kill oleh sebagian kalangan yang ekstrem.
Beberapa hari lalu sebuah televisi swasta menayangkan debat hangat tentang SKB Ahmadiyah. Yang dihadirkan adalah kelompok yang kontra dan membela hak hidup Ahmadiyah. Dialog ini tampak kurang kondusif. Di sana-sini teriakan takbir “Allahu Akbar” menggema sehingga tampak mengganggu fokus dan konsentrasi para narasumber yang hadir. Kelompok pertama yang membela hak hidup Ahmadiyah diwakili Usman Hamid dan Abd Moqsith Ghazali, sementara kelompok kontra diwakili Mahendradata dan Adnin Armas.
Sebenarnya, yang dipersoalkan antara yang pro dan kontra Ahmadiyah tidaklah sama. Kelompok pro ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga Ahmadiyah, sementara yang kontra Ahmadiyah mempersoalkan teologi Ahmadiyah yang dianggap sesat. Memang, tak bisa dipungkiri bahwa vonis sesat terhadap Ahmadiyah bukan hanya datang dari kelompok kontra yang hadir di studio saat itu. Jauh sebelum itu, KH. Hasyim As’ary, pendiri Nahdlatul Ulama, berpendapat bahwa ajaran Ahmadiyah berbeda dengan tafsir Islam mainstream di Indonesia.
Hal subtansial yang menyebabkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dinilai sesat adalah pengakuan adanya nabi setelah nabi Muhammad. Jelas, sebagaimana ditunjukkan sejarah, orang yang mengklaim nabi bukanlah fenomena baru. Musailamah adalah salah satu dari orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi. Di Indonesia, Ahmad Mushaddeq beberapa bulan lalu juga telah memproklamirkan diri sebagai nabi, walau akhirnya melakukan pertobatan. Atas klaimnya itu, Mushaddeq telah dinyatakan bersalah dan dipenjarakan.
Sementara, kelompok yang membela hak hidup Ahmadiyah seperti Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) tidak mendasarkan pembelaanya kepada aspek teologis, tetapi lebih kepada hak-hak sipil yang mestinya dilindungi negara. Ini membuktikan bahwa pembelaan terhadap Ahmadiyah bukanlah sebuah justifikasi terhadap kebenaran teologi Ahmadiyah, melainkan sebagai perjuangan agar JAI mendapatkan hak yang sama dalam melaksanakan agama dan keyakinan bangsa Indonesia sebagaimana dijamin UUD 1945.
Penulis berpandangan bahwa AKKBB yang terdiri dari pelbagai LSM dan organisasi masyarakat itu memiliki pandangan yang berbeda dengan Ahmadiyah. Abd. Moqsith Ghazali, salah seorang narasumber dan anggota AKKBB, dalam debat itu menjelaskan hal tersebut. Bahwa dirinya memiliki pendirian teologis yang berbeda dengan Ahmadiyah. Karena itu, ketidaksetujuan FPI dan kelompok-kelompok yang menolak AKKBB tidak menukik pada pokok hal yang dipersoalkan oleh AKKBB. FPI dan organisasi di bawahnya telah menuding AKKBB sebagai anggota Ahmadiyah itu sendiri. Ini tentu perlu klarifikasi. Abdurrahman Wahid yang getol membela hak-hak sipil jemaat Ahmadiyah sebagai warga negara jelas bukan anggota atau simpatisan JAI.
Masa Depan SKB
Terlepas dari pro-kontra di atas, SKB tiga menteri yang melarang JAI menyebarkan ajaran dan keyakinannya telah keluar. Kini ia bergulir sebagai bola liar yang rentan disalahgunakan kalangan-kalangan tertentu. Kendati SKB ini tidak dengan tegas memvonis sesat dan bubar terhadap Ahmadiyah, tetapi kronologi munculnya bermula dari klaim sesat oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang terdiri dari unsur kejaksaan, kepolisian, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama.
Karena kemunculannya yang demikian, SKB—walau tidak dikenal dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia—memberikan peluang memunculkan kekerasan dan konflik sosial. Ketika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap JAI, sejumlah kekerasan dan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah dan rumah-rumah pengikut Ahmadiyah berlangsung semarak. SKB ini potensial disalah-gunakan untuk melakukan kekerasan di Tanah Air. Dia bisa dijadikan sebagai licence to kill oleh sebagian kalangan yang ekstrem. Lihat saja reaksi beberapa kelompok masyarakat di Banjarmasin, Palembang, Cianjur, Bekasi dan beberapa daerah lainnya yang menuntut pembubaran Ahmadiyah. Walaupun poin keempat SKB itu telah menyebutkan bahwa negara menjamin keselamatan anggota JAI, peluang kekerasan dan konflik sosial tak bisa ditutupi.
Karena beresikonya SKB ini, Ahmadiyah kini tengah mengajukan judicial review. Jalur-jalur hukum, diplomasi dan dialog tampaknya perlu dikembangkan sebagai pemecah persoalan, bukan dengan aksi-aksi kekerasan. Kekerasan bukan cara terbaik dalam memecahkan perbedaan pendapat dan tafsir atas agama. Kekerasan hanya relevan dalam hukum rimba dan bukan dalam hukum positif di Indonesia.
Mitos Islam Moderat
Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini telah mencoreng image keberislaman di Indonesia yang dikenal moderat dan demokratis. Bahkan sebagian orang secara ekstrem berpandangan bahwa Islam moderat di Indonesia hanya mitos belaka. Ini, saya kira, karena kelompok-kelompok pro-kekerasan makin berani unjuk kekuatan di tengah diamnya kelompok atau ormas keagamaan yang berhaluan moderat.
Citra Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang mengembangkan pandangan dan sikap moderat, terkikis oleh aksi segelintir orang yang melakukan aksi kekerasan. Akibatnya, di tengah pergaulan global, umat Islam akan semakin terkucilkan dan terisolasi karena image buruk tersebut. Sejumlah prestasi yang telah dicapai oleh NU dan Muhammadiyah pasca 11 September 2001 untuk menampilkan wajah Islam Indonesia yang ramah dan demokratis tereliminasi oleh kekerasan yang dilakukan kelompok Islam garis keras.
Hal ini membuktikan bahwa membangun Islam rahmat, santun dan anti kekerasan perlu menjadi skala prioritas di masa-masa mendatang. Tentu, tak cukup hanya dengan mengutuk tragedi Monas tersebut, melainkan disertai pula oleh langkah-langkah yang lebih maju. Di antaranya, adalah memberikan pemahaman kepada segenap umat Islam untuk menyikapi perbedaan agama dan tafsir keagamaan secara arif dan nir-kekerasan. Dalam konteks inilah, NU dan Muhammadiyah diharapkan menjadi organisasi terdepan dalam membela hak-hak sipil warga negara Indonesia, meminimalisasi kekerasan dan mengembangkan Islam rahmat lil ‘alamin. Hanya dengan cara inilah eksistensi dan citra Islam sebagai agama yang santun dan ramah akan pulih kembali. []

sunset

sunset
waktu selalu mengejar