Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Senin, 26 Januari 2009

NU "Vis a Vis" Transnasionalisme

Suatu istilah yang populer belakangan ini di kalangan kaum nahdliyin adalah “transnasionalisme”. Istilah ini diperuntukkan bagi ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang lintas negara. Namun, dalam konteks NU, istilah “transnasionalisme” diacu dan dirujukkan pada ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada Kata Pengantar buku KH Masdar Farid Mas’udi, Membangun NU berbasis Masjid dan Umat (2007), mengatakan: “Sejak tahun 90-an masjid-masjid di negeri kita semakin banyak yang disatroni oleh kelompok-kelompok dakwah yang dipengaruhi bahkan menjadi perangkat dari poros-poros ideologi transnasional yang asing bagi bangsa Indonesia yang majemuk, seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, Jaula dan Hizbut Tahrir. Masjid yang menjadi basis utama kelompok-kelompok ini pada awalnya adalah masjid-masjid kampus milik publik yang diakuisisi. Namun, belakangan mereka juga masuk ke masjid di kampung-kampung yang sebagian besar merupakan masjid dan basis nahdliyin.

Maka dari itu, beberapa tahun terakhir, NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk menghadapi ancaman ideologis dan massal dari kelompok-kelompok Islam transnasional tersebut. Usaha ke arah itu sudah dirintis oleh keluarga besar kaum nahdliyyin setidak-tidaknya sejak 2006 sampai sekarang melalui penyadaran dan pengangkatan isu Islam transnasional dalam berbagai forum organisasi. Salah satunya yang terakhir adalah Konferensi Wilayah PW NU Jawa Timur, 2-4 November 2007, yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU.

Ada tiga fokus persoalan yang diangkat dalam forum ilmiah NU tersebut. Pertama, ada tidaknya dalil nash yang mengharuskan pembentukan khilafah Islamiyah. Kedua, hukum kelompok warga negara Indonesia yang berusaha untuk mengubah bentuk dan dasar hukum negara. Ketiga, apakah strategi integralisasi syariah Islam secara substantif menyalahi prinsip tathbiq (penerapan) syariah menempuh pola tadrij (bertahap).

Para ulama NU sepakat bahwa pembentukan khilafah Islamiyah tidak ada dalil nash yang mengharuskan. Bahkan mengubah bentuk dan dasar hukum negara bila diperkirakan menimbulkan mafsadah yang lebih besar hukumnya tidak boleh. Apa yang dilakukan oleh NU dalam rangka mengintegralisasikan syariah dalam hukum nasional, tidak menyalahi prinsip tathbiq syariah, bahkan dinilai lebih tepat bagi Indonesia yang majemuk ini.

Tentu, itu harus dibaca secara kritis sebagai respons NU Vis a Vis transnasionalisme yang sudah terbukti dan teruji menjadi “bahaya laten” bagi NU. Bahkan lebih luas skopnya dari NU, yaitu bagi Indonesia yang mengubah sistem pemerintahan yang berujung pada penggulingan pemerintahan. Di beberapa negara Timur Tengah, semisal di Saudi Arabiyah yang berpaham Islam puritan Wahab dan di Mesir yang berpaham Islam Moderat, sama-sama melarang ideologi dan gerakan Islam transnasional tersebut.

Padahal, NU dan Indonesia, kata KH Muchith Muzadi, memiliki hubungan yang sangat erat. Menjadi NU otomatis menjadi Indonesia. Keduanya melebur dan menyatu seperti mata uang logam yang hanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Bila dikelola dengan baik dan mengacu pada prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) akan berbuah dividen kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran yang merupakan inti dari tujuan didirikannya negara.
Tujuan Negara

Para teoritikus Fiqih Siyasah, semisal, al-Juwaini, a-Ghazali, al-Baidhawi, dan lain sebagainya, menetapkan tujuan negara sebagai institusi yang bertujuan untuk hirasati al-dini (memelihara agama), dan siyati al-dunya (mengelola negara) dalam rangka menerapkan syariat Islam, menolak kerusakan, mewujudkan kemaslahatan umum, menegakkan keadilan dan menggapai kesejahteraan dan kemakmuran lahir-batin, dunia-akhirat. Sementara soal bentuk pemerintahan, bukan yang esensial dari pendirian negara. Yang esensial adalah tujuan negara, bukan bentuk pemerintahan. Sebab, bentuk pemerintahan itu sekadar sarana untuk mencapai tujuan negara. Sistem demokrasi adalah sarana, bukanlah tujuan. Demikian pula dengan sistem negara teokrasi, hanya sekadar sarana, bukanlah tujuan.

Jadi, sebagai sarana, antara sistem demokrasi dan teokrasi di atas sudah sepantasnya dikontestasikan dalam mencapai tujuan negara. Mana yang paling visible dan prospektif? Pasar dan sejarah yang akan menentukan. Sebab sarana itu “bebas nilai” dan “netral”, ia tidak terikat dan diikat oleh nilai dan norma apa pun, pemakai sarana yang diikat dan terikat. Oleh karena itu, sangat tidak relevan dan kontekstual melabelisasi sebuah sistem dengan label Islam ataupun kufur.

Dengan demikian, memobilisasi dukungan umat terhadap sebuah sistem murni management marketing sama sekali tidak berhubungan dengan agama, apalagi menentukan keberimanan, keberislaman, dan keberihsanan seseorang. Sama halnya dengan identitas dan kualitas agama tidak dapat diukur dari ia mengendarai apa? Apakah pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus, kendaraan umum atau mobil pribadi, sepeda motor, dan lain sebagainya? Sehingga tidak masuk akal, bila menakar identitas dan kualitas agama seseorang dengan alat transportasi apa yang dipakai. Seseorang tidak lantas menjadi Islam lantaran naik pesawat terbang. Ataupun seseorang tidak lantas menjadi kafir lantaran naik kendaran pribadi.

Sudah bukan zamannya lagi memobilisasi dukungan umat dengan mempropaganda bahwa sistem ini paling Islami, dan sistem itu kufur. Sebab sistem itu seperti kendaraan. Karena itu, siapa pun yang berkepentingan harus menjual keunggulan masing-masing dalam memberikan pelayanan, kepuasan, jaminan keamanan, dan kepastian mencapai tujuan bagi umat-bangsa. Dan, apa pun yang dipilih oleh umat-bangsa dari sekian alternatif sistem, itu yang paling meyakinkan hati, menenangkan jiwa, dan sesuai dengan selera publik.

Publik nusantara memilih sistem demokrasi daripada sistem teokrasi, lagi-lagi, ini soal selera masyarakat Indonesia, dan the living law (hukum yang hidup) di tengah-tengah masyarakat lokal dan nasional. Karena itu, kita harus mengesampingkan perdebatan wacana sistem negara, dan berkonsentrasi pada pencapaian tujuan negara. Semangat yang dibangun antara komunitas umat adalah fastabiqul-khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) (QS al-Maidah/4:48).

Perbedaan respons keindonesiaan antara NU dan Islam transnasional dalam konteks ini bisa dipahami. Masing-masing memiliki akar sejarahnya sendiri-sendiri. NU berurat-akar di Tanah Air, sedangkan Islam transnasional berurat-akar di Timur Tengah. Perbedaan akar kesejarahan tersebut berimplikasi pada pandangan, sikap, dan tindakan terhadap eksistensi Indonesia. Makanya, kita bisa mafhum, apabila sense of belonging NU lebih besar daripada Islam transnasional. Hal itu lantaran, NU mempunyai investasi besar dalam membidani, merawat, dan membesarkan Indonesia dengan segala dinamika dan romantika kehidupannya. Berbeda dengan Islam transnasional, yang sama sekali tidak “berkeringat” dalam pembangunan Indonesia. Ia datang setelah Indonesia melewati tiga dekade sejarah kehidupannya.

Mungkin beda andai kondisinya terbalik, Islam transnasional memiliki akar keindonesiaan, dan NU memiliki akar Timur Tengah. Bisa dibayangkan, boleh jadi, yang mati-matian membela Indonesia adalah Islam transnasional tersebut. Nyatanya, Islam transnasional datang belakangan, sehingga kita sudah semestinya ikut membantu mereka untuk beradaptasi dengan kondisi Indonesia yang majemuk ini.

Dimuat di harian SUARA PEMBARUAN Senin, 4 Februari 2008
KH Muhyiddin Abdusshomad

Penulis adalah Ketua PCNU dan Pengasuh PP NURIS Antirogo Jember

Menyambut Ultah NU ke 83 NU dan Passing Over Pemikiran

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Gerakan purifikasi itu dikeluhkan dan ditentang para kiai pesantren karena potensial merubuhkan jenis-jenis keislaman lokal nusantara. Bagi para kiai, tak ada Islam murni dan tak murni. Islam selalu berwatak lokal dan pribumi. Dengan memodifikasi pernyataan Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.), para kiai berpendirian bahwa Islam itu warna-warni.Yang menjadi perekat dari berbagai ekspresi keislaman itu, menurut para kiai, adalah nilai-nilai dasar dari agama itu (maqashid al-syari`at).

83 tahun lalu (31/1/1926), Nahdlatul Ulama berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan (jam`iyah diniyah ijtima`iyah). Kehadirannya saat itu memiliki beberapa tujuan pokok, di antaranya: Pertama, menahan laju purifikasi Islam yang digelorakan beberapa tokoh Wahabi Indonesia. Gerakan purifikasi itu dikeluhkan dan ditentang para kiai pesantren karena potensial merubuhkan jenis-jenis keislaman lokal nusantara. Bagi para kiai, tak ada Islam murni dan tak murni. Islam selalu berwatak lokal dan pribumi. Dengan memodifikasi pernyataan Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.), para kiai berpendirian bahwa Islam itu warna-warni. La lawna lahu. Walawnuhu lawna ina’ihi. Yang menjadi perekat dari berbagai ekspresi keislaman itu, menurut para kiai, adalah nilai-nilai dasar dari agama itu (maqashid al-syari`at).

Fakta antropologis, sosiologis, dan intelektual menunjukkan bahwa pernah ada Islam Hijaz dan Islam Persia. Jika Islam Hijaz bersandar pada kekuatan dalil normatif al-Qur’an dan Hadits (dalil naqli), maka Islam Persia secara umum bertunjang pada kekuatan akal (dalil aqli). Sejumlah pengamat masih mengkategorikan Islam Persia ke dalam dua corak; Islam Kufah dan Islam Bashrah Sekiranya Islam Kufah berparadigma formalistik-rasionalistik dengan tokohnya misalnya Ibrahim al-Nakha`i (w. 95 H.), Masruq al-Hamdani (w. 63 H.), maka Islam Bashrah beraroma sufitik-spiritual dengan tokohnya Hasan al-Bashri (w. 110 H.) dan Rabi`ah al-Adawiyah (w. 185 H.). Jika rasionalisme para ulama di Kufah dipandang sebagai respons positif atas filsafat Yunani yang berkembang di sana, maka asketisme Hasan al-Bashri dan eskapisme Rabi`ah ditempuh sebagai kritik terhadap hedonisme yang menghunjam di Bashrah.

Di Indonesia juga sama. Ada Islam Aceh, Islam Minangkabau, di samping Islam Sasak dan Islam Jawa. Di Jawa pun, ekspresi keislaman bisa dibedakan antara pesisir utara Jawa yang cenderung ortodoks dan pesisir selatan Jawa yang lebih heterodoks. Kita bisa melihat tampilan keislaman di utara Jawa mulai dari Banten, Cirebon, Pekalongan, Rembang, Tuban, Surabaya, Pasuruan, hingga Situbondo yang berbeda dengan karakter keislaman selatan Jawa mulai dari Yogyakarta, Kebumen, Magelang, Ngawi, Blitar, Pacitan, Lumajang hingga Banyuwangi. Sadar akan pluralitas itu, NU tak punya ambisi untuk merangkum kaum nahdliyyin ke dalam satu cluster pemikiran yang ekslusif. Warga NU hingga hari ini dibiarkan dengan segala keanekaragamannya. Sekali lagi, yang menjadi semen perekatnya adalah maqashid al-syari`at.

Kedua, NU berdiri untuk mengedukasi masyarakat agar tak fanatik pada salah satu mazhab pemikiran. Dalam Statuten Perkoempoelan Nahdlatul Ulama pasal 2 disebutkan tentang tujuan berdirinya NU, “Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe memegang dengan tegoeh satoe dari mazhabnja imam empat jaitoe Imam Moehammad bin Idris asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah An-Ne’man, atoe Imam Ahmad bin Hanbal, dan mengedjakan apa saja yang mendjadikan kemaslahatan agama Islam”. Artinya, di tengah masyarakat yang hanya bersandar pada mazhab Syafi’i saat itu, NU membuka ruang bagi diikutinya mazhab lain bahkan yang dikenal rasional sekalipun seperti Imam Abu Hanifah.

Kini sejumlah kiai NU melakukan passing over pemikiran. Dalam berbagai kegiatan ilmiah dan bahtsul masa’il, mereka tak hanya mengutip para imam mazhab dari rumpun keislaman Sunni, melainkan juga dari kelompok lain seperti Mu`tazilah dan Syi`ah. Sejumlah kiai merujuk pada tafsir al-Zamakhsyari yang berhaluan Mu`tazilah dan fikih Ja`fari yang Syi`ah. Di beberapa pesantren, tafsir al-Kasysyaf yang ditulis al-Zamakhsyari dipelajari secara khusus oleh para santri. Saya juga berjumpa dan kenal dengan beberapa kiai NU yang secara diam-diam melahap buku-buku keislaman progresif yang ditulis misalnya oleh Hassan Hanafi, Mohamed Arkoen, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Khalil Abdul Karim. Dalam soal pemikiran keislaman, sikap para kiai NU clear-cut; “lihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan” (unzhur ma qala wa la tanzhur man qala). Kesahihan sebuah pemikiran tak diukur dari siapa yang mengatakannya, tapi apa yang dikatakannya--seperti apa argumennya dan bagaimana kemanfaatannya.

Seperti disebutkan di ujung terakhir pasal 2 Statuten Perkoempoelan NU itu, kemasalahatan adalah jangkar dari seluruh diskursus keislaman dalam NU. Pandangan ini tak asing. Sebab, mayoritas ulama Islam memang berpendirian demikian. Izz al-Din Ibn Abdi al-Salam (w. 660 H.) misalnya berkata, “seluruh ketentuan dan ajaran di dalam Islam dikembalikan sepenuhnya kepada kemaslahatan” (innama al-takalif kulluha raji`atun ila mashalih al-`ibad fi dunyahum wa ukhrahum). Akhirnya, basis kemaslahtan inilah yang menjadi parameter keabsahan sebuah pemikiran dalam Islam dan ini juga yang terus mendinamisasi pemikiran dalam tubuh Nahdlatul Ulama, dari dulu hingga sekarang. Selamat Ulang Tahun NU yang ke 83. []

sunset

sunset
waktu selalu mengejar