Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Kamis, 24 Juli 2008

Menjaga Keseimbangan NU

Oleh Rumadi

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang terlihat lebih moderat.

SETELAH Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-30 tahun 2004 lalu, banyak kalangan menengarai bahwa bandul gerakan NU akan semakin bergeser ke kanan. Hal itu antara lain ditandai dengan semakin menguatnya arus konservatif dalam tubuh NU dan semakin jauhnya kader-kader kritis NU dari arus struktur NU. Ketika mendapat kritikan itu, Hasyim Muzadi (HM), Ketua Umum PB NU, menjawab secara diplomatis: bukan NU bergeser ke kanan, tapi karena selama ini terlalu lama berada di kiri, sehingga bergeser ke tengah dianggap ke kanan.

Ketika mendengar itu, meski dengan berat hati saya masih bisa menerima. Saya berpandangan ini cara HM untuk membuat keseimbangan baru di tubuh NU. Harus diakui, ketika HM menjadi Ketua Umum PB NU sejak 1999, pengaruh Gus Dur sangat kuat. Pelan-pelan dia mulai menggeser pengaruh Gus Dur di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU. HM cukup sukses melakukan ini. Bukan hanya menggeser orang-orang yang dianggap Gus Dur-ian, tapi juga meminggirkan anasir-anasir pemikiran Gus Dur. Sekarang, di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU, pengaruh HM cukup kuat, menggeser pengaruh Gus Dur. Hal ini antara lain bisa dilihat dari kuatnya dukungan pengurus cabang dan wilayah pada HM dalam Muktamar ke-30 lalu.

Setelah berhasil menggeser pengaruh Gus Dur, HM mulai berani beroposisi secara terbuka dengan Gus Dur. Dalam berbagai isu-isu penting, HM dan Gus Dur nyaris selalu berbeda pendapat. Bahkan, ada yang berkomentar, HM sudah sampai pada taraf “asal beda” dengan Gus Dur. Dalam konteks kebangsaan, mereka berdua memang masih dalam satu suara tentang finalnya NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara. Tidak ada keharusan mendirikan negara Islam di Indonesia. Namun, derivasi dari masalah kebangsaan ini masing-masing punya cara pandang sendiri.

Dalam kaitan itu, tulisan ini ingin memokuskan pada isu penting, yaitu soal penyikapan atas isu-isu keagamaan mutakhir, terutama menyangkut kekerasan atas nama agama. Sikap atas tragedi Monas bisa menjadi titik masuk.

NU dan Kekerasan Agama

Eksemplar terbaik untuk mengulas masalah ini adalah penyikapan atas tragedi Monas 1 Juni lalu. Dalam kasus ini Gus Dur dapat disebut sebagai tokoh terdepan dalam melawan anarkisme Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Gus Dur berteriak kencang agar keberadaan organisasi ini ditinjau ulang. Gus Dur juga mengutuk keras aksi kekerasan di Monas yang juga membuat beberapa putra terbaik NU menjadi korban. Karena sikap Gus Dur ini, Rizieq Sihab, pemimpin FPI, mengeluarkan “lidah api”-nya dalam sebuah dialog di tv swasta dengan mengatakan Gus Dur tidak tahu apa-apa karena dia buta mata dan buta hati (3/6/08). Karena ucapan ini, kantong-kantong NU yang masih setia kepada Gus Dur bergerak mendesak agar FPI dibubarkan.

Karena itu, kalau boleh saya simplifikasi, penyikapan atas tragedi Monas bisa menjadi sedemikian massif, terutama di wilayah Jawa, setidaknya karena dua hal. Pertama, karena yang menjadi korban sebagian adalah aktivis-aktivis muda NU. Kedua, karena faktor Gus Dur, terutama ucapan Rizieq Sihab yang menyakitkan itu. Saya yakin, kalau tidak ada faktor ini, tidak akan ada gerakan di kantong-kantong NU melawan FPI.

Hal yang paling menarik di tengah situasi itu adalah sikap HM. Dalam konferensi pers beberapa hari setelah tragedi Monas, dia mengatakan agar korban tragedi Monas tidak dikait-kaitkan dengan warga NU. Dia juga minta agar warga NU tidak dijadikan umpan untuk berkonfrontasi langsung melawan FPI. Alih-alih memberi simpati kepada warga NU yang menjadi korban dan menghujat FPI, HM dalam pernyataan-pernyataannya justru lebih condong memberi dukungan kepada FPI. Pernyataan demikian berulang kali dia ucapkan dalam berbagai kesempatan.

Bahkan, dalam sebuah situs internet diberitakan PB NU mengirim tim yang tergabung dalam Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) NU untuk membela Rizieq Sihab. “LPBH-NU ikut sebagai bagian tim hukum yang sudah ada untuk mendampingi dan membela Habib dalam perkaranya,” kata Ketua LPBH NU Sholeh Amin saat menjenguk Rizieq di Rutan Narkoba, Polda Metro Jaya (http://www.detik.com 9/6/2008). Sejauh ini belum ada bantahan atas berita tersebut, meskipun lewat SMS saya mendapat informasi bahwa HM meminta Sholeh Amin agar menjadi pembela Rizieq atas nama pribadi, bukan atas nama NU.

Akibat sikap HM ini, sikap masyarakat NU yang sudah geram terhadap FPI akibat tindakan-tindakan anarkisnya pun mulai terbelah. Sebagian besar pengurus struktural NU mulai termakan oleh ucapan HM. Tragedi Monas dianggap sebagai skenario kelompok sosialis untuk membenturkan NU dengan FPI. Karena mendapat angin dari HM, FPI di Jatim yang sudah tertekan merasa mendapat angin. Bahkan, FPI Jember yang sudah membubarkan diri dihidupkan lagi dan mendapat support dari seorang tokoh NU Jakarta yang sengaja datang ke Jember. Demikian juga dengan FPI Madura yang justru semakin berani “menantang” karena angin HM ini.

Sikap ini sungguh sulit diterima akal sehat. Saya tidak melihat alasan apapun dari sikap HM ini kecuali hanya sekadar ingin berbeda dengan Gus Dur. Anak-anak muda NU yang menjadi korban tragedi Monas dikenal sebagai aktivis yang dekat dengan pemikiran Gus Dur. Harus diakui juga, gerakan massif di berbagai daerah adalah kantong-kantong pendukung Gus Dur. Sebelum simpati terhadap Gus Dur menggelinding semakin besar, tidak ada pilihan lain bagi HM kecuali harus menghambatnya. Daripada sejalan dengan Gus Dur, HM lebih memilih bersimpati dan “mendukung” FPI.

Menurut saya, kasus ini merupakan degradasi sikap ke-NU-an yang luar biasa atas kelompok yang gemar mengumbar kekerasan. HM telah mendevaluasi kehormatan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dikenal moderat. Klaim Islam moderat dan rahmatan lil alamin yang dikampanyekan HM di banyak forum nasional maupun internasional seolah runtuh karena sikapnya ini. Posisinya sebagai Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sama sekali tidak tercermin.

Menjaga Keseimbangan NU

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang terlihat lebih moderat.

Situasi demikian tidak bisa dibiarkan. Harus dipikirkan bagaimana menjaga kesimbangan NU, bukan hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam gerakan praksis-nya. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, NU harus meneguhkan kembali sikapnya sebagai Islam moderat dan antikekerasan. Bukan hanya dalam retorika, tapi harus dibuktikan secara konkrit.

Kedua, pemimpin NU harus menjauhkan diri dari sikap “asal beda” dengan orang yang dianggap sebagai lawannya. Sikap asal beda ini sebenarnya menunjukkan bagaimana kualitas kepemimpinan seseorang, dan kita sulit mempercayai seorang pemimpin yang mempunyai karakter demikian. Ketiga, sudah saatnya, kader-kader NU di berbagai lapisan mulai memikirkan mencari figur pemimpin yang berani “pasang badan” untuk menjaga kehormatan NU, juga kebhinekaan Indonesia.[]

Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791)

Oleh Luthfi Assyaukanie

Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, pada tahun 1703. Masa kecilnya dilewati di kota itu. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya kemudian dianggap menyimpang.

Para pengamat pemikiran modern kerap menganggap gerakan fundamentalisme selalu berada pada margin kekuasaan yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan-kebijakan negara. Anggapan semacam ini tentu keliru jika kita mengaitkannya dengan peran Muhammad Ibn Abd al-Wahab dan para pengikutnya yang terkenal dengan sebutan Wahabiyah. Gerakan ini bukan hanya “bermain” di pusat kekuasaan, tapi juga turut memberikan pengaruh yang luar biasa bagi pembentukan dan perkembangan kerajaan Arab Saudi.

Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, pada tahun 1703. Masa kecilnya dilewati di kota itu. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya kemudian dianggap menyimpang.

Kecintaannya pada Al-Qur’an dan Hadits mendorongnya untuk menghidupkan dua sumber utama Islam ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan modern kaum Muslim. Iapun kemudian memperkenalkan jargon “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.” Ia berpendapat, selama inti dari ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits, maka seruan pemurnian ajaran keagamaan Islam harus dilandasi dengan dua kitab utama kaum Muslim ini. Abd al-Wahab tak sekadar mengajak kaum Muslim kembali kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan juga Hadits, tapi menganjurkan mereka melawan dan memusnahkan praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam dua kitab utama itu.

Abd al-Wahab adalah seorang yang pandai berbicara dan menulis. Selain memberikan cermah-ceramah keagamaan kepada para pengikutnya, ia juga menulis banyak buku. Di antaranya Kitab al-Tauhid yang menjadi rujukan utama bagi para murid dan pengikutnya, Al-Ushul al-Tsalatsah wa al-Qawa’id al-Arba’ah, Tafsir al-Fatihah, Tafsir Kalimat al-Tauhid, dan Nasihat al-Muslimin.

Karya-karya Abd al-Wahab memiliki nuansa teologis (‘ilm tauhid) yang kental. Karenanya, banyak orang yang menganggapnya lebih sebagai seorang teolog ketimbang seorang faqih (ahli fikih) atau mufassir (ahli tafsir), kendati ia juga menulis beberapa buku fikih dan tafsir. Hal ini berkaitan dengan sikap dan semangat Abd al-Wahab untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam. Dan menurutnya, pemurnian Islam tak akan bisa terlaksana selama persoalan-persoalan aqidah mereka masih tercemari.

Purifikasi Ajaran Islam. Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan penganut paham Hanbali, Abd al-Wahab adalah seorang yang puritan dalam hal praktik keagamaan. Sama seperti Ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali) sendiri dan juga pengikut-pengikutnya kemudian (seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Al-QayyimAl-Jauziyyah), Abd Al-Wahhab bersikap tegas kepada lingkungannya yang dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Dengan modal fikih mazhab Hanbali yang dikenal tegas (untuk tidak mengatakan kaku), dan sikap teologis model Ibn Taymiyyah yang keras, Abd al-Wahab bertekad memerangi segala bentuk kebida’han dalam beribadah dan kemusyrikan dalam beraqidah.

Sikap tegasnya terhadap berbagai bentuk kemusyrikan didorong oleh adanya fakta semakin meruyaknya praktik-praktik keagamaan yang menyimpang. Di pusat-pusat keagamaan seperti Makkah dan Madinah, Abd al-Wahab melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana praktik-praktik keagamaan itu sudah kelewatan. Seperti pengangung-agungan berlebihan terhadap kuburan Nabi dan para sahabatnya. Momen ziarah yang sering digunakan kaum Muslim di dua kota suci itu, menurut Abd al-Wahab, telah menjadi ajang praktik kemusyrikan dan kemaksiatan atas nama ibadah.

Ibn Abd al-Wahab sendiri tidak pernah menyuruh murid-muridnya untuk membongkar nisan-nisan kuburan para sahabat atau simbol-simbol keagamaan lainnya di tempat-tempat suci di Hijaz. Tapi para pengikutnya, khususnya setelah kerajaan Arab Saudi berdiri dan mengadopsi ajaran-ajaran Abd al-Wahab, mengambil langkah radikal dalam membersihkan praktik-praktik keagamaan masyarakat Hijaz saat itu. Mereka bukan hanya membersihkan keyakinan dan cara berpikir kebanyakan kaum Muslim di wilayah Hijaz itu. Tapi juga membersihkan tempat-tempat dan simbol-simbol keagamaan yang selama itu diagungkan, termasuk nisan-nisan kuburan para sahabat dan orang-orang suci di Madinah.

Sikapnya yang tegas terhadap praktik-praktik keagamaan yang menyimpang, khususnya praktik-praktik berbau musyrik, membuat Abd al-Wahab tidak menoleransi kaum sufi yang menurutnya sebagai sumber meluasnya praktik-praktik kemusyrikan. Sikap antagonistik terhadap sufi dan tasawuf sebetulnya tak hanya bersumber dari pengalaman pribadi Abd al-Wahab sendiri, khususnya ketika ia berkunjung ke beberapa kota di Irak dan Iran di mana ia menjumpai banyak penganut sufi dan Syi’ah yang melakukan praktik ibadat dan pemujaan di kuburan tokoh-tokoh agama. Tapi, sikap semacam itu adalah warisan aseli Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, dua tokoh Hanbali yang sangat mempengaruhi cara dan sikap berpikir Abd al-Wahab.

Abd al-Wahab tak hanya menolak praktik-praktik yang dilakukan sebagian besar kaum Sufi, khususnya menyangkut keyakinan terhadap wasilah (perantara), tapi juga menolak seluruh struktur ajaran sufi dan menganggapnya sebagai bagian dari bid’ah dan syirik. Penolakan ini adalah konsekwensi logis dari sikap teologis Abd al-Wahab yang tegas terhadap doktrin tawhid (pengesaan Allah), bahwa keyakinan terhadap keesaan Allah tidak seharusnya dikotori dengan praktik-praktik yang membawa kemusyrikan, kendati praktik-praktik itu berbau keagamaan. Satu-satunya hal yang diakui baik dari ajaran sufi adalah sikap penyucian diri. Tapi, menurut Abd al-Wahab, orang tak perlu menjadi sufi kalau hanya untuk melakukan pembersihan diri (Al-Uthaymayn. tt, hal. 125).

Salah satu praktik yang yang dibenci Abd al-Wahab adalah praktik wasilah dan kepatuhan yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh agama yang dianggap suci. Praktik ini, menurut Abd al-Wahab, selain tidak memiliki dasar perintah yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, praktik semacam itu juga merugikan umat Islam. Salah satu dampaknya adalah meluasnya sikap taqlid (pengikutan secara membabibuta) di kalangan umat Islam. Sikap taqlid, menurut Abd al-Wahab, adalah salah satu penyebab kemunduran kaum Muslim modern. Kendati tidak menganjurkan perlunya setiap orang menjadi mujtahid (pembaru fikih), inspirator negara Arab Saudi itu menganjurkan kaum Muslim agar independen dan tidak bergantung kepada pendapat orang lain.

Abd al-Wahab juga mengkritik para ulama dan kaum Muslim yang sangat bergantung kepada kitab-kitab klasik dan menganggap seolah-olah kitab-kitab itu sebagai sumber kebenaran yang sama kedudukannya dengan Al-Qur’an atau Hadits. Sikap penerimaan berlebihan terhadap kitab-kitab itu hanya akan menjauhkan umat Islam dari sumber yang seharusnya mereka jadikan acuan utama mereka. Yakni, Al-Qur’an dan Hadits.

Sikap Abd al-Wahab yang mendukung ijtihad dan menolak taqlid menempatkannya sebagai pembaru Islam sejati. Kendati banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan karya-karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, ia sendiri mengaku tidak kaku dalam mengikuti pendapat dua ulama besar itu. “Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah adalah dua ulama terpandang bagi kaum Sunni, tapi saya tidak mengikuti mereka secara ketat,” akunya dalam bukunya al-Hadyat al-Saniyyah (edited by Sulaiman Bin Sahman). Sayang, sikapnya yang independen serta sangat percaya diri ini tidak diikuti oleh para pengikutnya. Para pengikut Abd al-Wahab yang dikenal sebagai anggota Wahabi cenderung tertutup serta sangat fanatik terhadap pandangan-pandangan gurunya. Dalam beberapa hal, mereka bahkan melakukan praktik taqlid, sesuatu yang dibenci oleh Abd al-Wahab sendiri.

Ajaran-ajaran Abd al-Wahab menyebar secara luas sejak Muhammad Ibn Saud, seorang pemimpin suku di Dariyah, sebuah kawasan di Hijaz Arab, berhasil membangun kekuatan sebagai cikal-bakal negara Arab Saudi pada awal tahun 1800-an. Setelah Ibn Saud menaklukkan Mekah pada tahun 1803, ajaran-ajaran Abd al-Wahab diadopsi sebagai doktrin resmi kerajaan. Hal 1ini terus berlangsung hingga sekarang.

Citra Keliru tentang Bahasa Arab

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Sebagaimana kita tahu, kekuasaan politik Islam saat itu mencakup wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium “kafir” pra-Islam, antara lain Persia dan Romawi. Setelah Islam berhasil menaklukkan wilayah kedua imperium itu, bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi utama yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam.

Saat belajar bahasa Arab di pesantren dulu, saya mengira bahwa yang “sah” disebut dengan bahasa Arab adalah bahasa Arab standar yang sering disebut sebagai “bahasa Arab fusha”, atau “literary Arabic”. Bahasa Arab “pasaran” yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari oleh masyarakat Arab saat ini tidak pernah kami (para santri di pesantren dulu) anggap sebagai bahasa Arab “sungguhan”.

Bahasa Arab pasaran kami anggap sebagai “penyimpangan” karena tidak memakai kaidah bahasa Arab yang standar. Misalnya, bahasa Arab pasaran sama sekali, atau minimal sekali memakai “declensional case” atau “i’rab”. Bahasa Arab pasaran bisa disebut sebagai “I’rab-less Arabic”. Karena i’rab dianggap sebagai inti dari dari bahasa Arab standar, maka pelanggaran atau apalagi penghapusan sama sekali i’rab dianggap sebagai “abomination” , atau sesuatu yang kotor. Oleh karena itu, kami di pesantren dulu tak pernah menganggap bahasa Arab pasaran sebagai sesuatu yang serius. Orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di tanah Arab kemudian menguasai bahasa Arab pasaran kami anggap sebagai orang yang tak mampu berbahasa Arab dengan benar.

Kami dulu juga beranggapan bahwa bahasa Arab standar sebagaimana kami temui dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab sebagai bahasa yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari di zaman klasik. Bahkan kami juga mengira bahwa bahasa Arab “fusha” ini dipakai oleh Nabi serta para sahabat pada zamannya. Dengan kata lain, kami membayangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, Nabi serta para sahabatnya memakai bahasa Arab standar, lengkap dengan i’rab-nya. Anggapan semacam ini diperkuat karena adanya koleksi hadis-hadis Nabi yang kesemuanya memakai bahasa Arab fusha yang standar.

Lebih jauh dari itu, kami dulu juga mengira bahwa para ulama klasik Islam yang mengarang buku-buku berbahasa Arab “fusha” itu juga memakai bahasa Arab standar dalam komunikasi sehari-hari mereka. Imam Nawawi, misalnya, salah satu ulama penting dalam mazhab Syafii yang hidup pada abad 13 Masehi, kami anggap berbicara dalam bahasa Arab “fusha” dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan kata lain, bahasa Arab sebagaimana dalam kitab kuning itu kami anggap sebagai satu-satunya bahasa Arab yang hidup, “a living language”. Bahasa Arab kami anggap sebagai bahasa yang statis, tak pernah berubah.

Pertanyaannya, apakah anggapan semacam ini benar? Setelah “bergumul” dengan bahasa Arab selama ini, baik bahasa Arab “arkaik” sebagaimana dalam kitab-kitab klasik, atau bahasa Arab “modern” yang dipakai dalam kehidupan masyarakat Arab saat ini, saya akhirnya berkesimpulan bahwa anggapan-anggapan yang kami punyai di pesantren dulu banyak mengandung kekeliruan.

Apakah bahasa Arab yang dipakai pada zaman generasi Nabi dahulu? Apakah bahasa Arab standar seperti yang kita kenal dalam hadis itu? Atau sebetulnya, pada zaman itu sudah muncul bahasa Arab “pasaran” yang sama sekali tak memakai i’rab?

Penelitian sarjana linguistik modern tidak mencapai kata sepakat mengenai hal ini. Tetapi, apa yang disebut sebagai bahasa Arab standar yang kita kenal selama ini sebetulnya adalah salah satu varian dialek yang ada pada zaman Nabi. Fenomena penghilangan i’rab sebetulnya sudah dikenal sejak masa pra-Islam. Ada banyak sekali dialek yang berkembang di masyarakat Arab pada zaman pra-Islam. Karena Qur’an lebih banyak memakai dialek Hijaz (yakni kawasan sebelah barat jazirah Arab yang meliputi Mekah dan Madinah), maka dialek inilah yang kemudian dijadikan standar sebagai “cara berbahasa yang benar”.

Sebagian sarjana linguistik modern juga berkesimpulan bahwa bahasa Arab standar yang lengkap memakai i’rab itu hanyalah dipakai secara ketat dalam syair. Setelah Islam datang, bahasa Arab “puitik” ini dipakai dan kemudian dilestarikan dalam Qur’an. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Arab sebetulnya memakai jenis bahasa yang sama sekali berbeda, sekurang-kurangnya mereka berbahasa sesuai dengan dialek yang dominan dalam suku-suku bersangkutan.

Setelah kekuasaan Islam mengalami ekspansi yang begitu agresif ke luar jazirah Arab, banyak terjadi perkembangan yang luar biasa dalam bahasa Arab. Sebagaimana kita tahu, kekuasaan politik Islam saat itu mencakup wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium “kafir” pra-Islam, antara lain Persia dan Romawi. Setelah Islam berhasil menaklukkan wilayah kedua imperium itu, bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi utama yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam.

Perkecualian ada pada bahasa Persia (atau Farsi) yang berhasil mempertahankan diri dari “gempuran” bahasa Arab sehingga tetap bertahan (hingga sekarang) sebagai bahasa resmi. Belakangan, bahasa Turki (melalui kekuasaan Usmani) berhasil memantapkan diri sebagai “lingua franca”, terutama di kawasan Asia Kecil dan Asia Tengah.

Sejak zaman klasik (yakni masa ketika proses pertumbuhan ilmu-ilmu Islam berlangsung [abad 2 hingga 3 Hijriyah]), sekurang-kurangnya sudah kita jumpai dua fenomena berbahasa yang saling berdampingan, yakni bahasa Arab “tinggi” yang dipakai oleh para ulama atau sarjana; dengan kata lain bahasa kaum literati. Di pihak lain, juga ada bahasa Arab “pasaran” atau “semi-pasaran” yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Bayangan saya waktu di pesantren dulu bahwa Imam Shafi’i, misalnya, memakai bahasa Arab standar yang rumit sekali seperti ia pakai dalam kitab-kitab yang ia karang (al-Risalah atau al-Umm, misalnya) dalam percakapan sehari-hari, saya kira sama sekali tak tepat.

Salah satu “atestasi” atau bukti yang menarik mengenai hal ini adalah kisah “Alfu Lailah wa Lailah” atau 1001 malam yang terkenal itu. Dalam edisi asli kisah legendaris ini yang dilakukan oleh Prof. Muhsin Mahdi, kita jumpai corak bahasa Arab “non-fusha” yang menarik. Edisi Muhisn Mahdi mencoba mempertahankan bahasa Arab asli yang dipakai dalam kisah itu, tanpa “intervensi” apapun agar sesuai dengan bahasa Arab standar. Edisi-edisi kisah 1001 malam yang kita jumpai sekarang di toko-toko Arab banyak yang sudah mengalami revisi. Dalam edisi Muhsin Mahdi, saya menjumpai bahasa Arab yang sama sekali lain dengan bahasa Arab yang dipakai dalam puisi atau pun dalam karya-karya kesarjanaan standar. Salah satu aspek yang menarik adalah bahwa atauran-aturan berkenaan dengan i’rab kurang secara konsisten diikuti di sana. Jika kita bisa membuat hipotesa bahwa bahasa Arab yang dipakai dalam 1001 malam adalah bahasa non-kesarjanaan, atau non-standar, maka kita bisa membuat suatu dugaan bahwa bahasa semacam inilah yang lebih luas dipakai dalam kehidupan sehari-hari pada saat itu. Sebagaimana kita tahu, bahasa literer atau standar biasanya hanya dipakai dalam konteks yang resmi, seperti dalam diskursus ilmiah. Dalam konteks percakapan sehari-hari, biasanya masyarakat di manapun cenderung memakai bahasa “pasaran”, atau “al-lughah al-darijah”.

Sebagai informasi, kisah 1001 malam muncul kira-kira pada periode antara abad 9 hingga 10 Masehi, atau abad 2 dan 3 Hijriyah. Dengan kata lain, dalam masa yang masih sangat dini dalam sejarah Islam pun, corak berbahasa yang non-standar sudah muncul.

Salah satu data menarik yang saya jumpai baru-baru ini adalah sebuah naskah karya al-Tufi, salah seorang sarjana fikih dalam lingkungan mazhab Hanbali. Ia hidup pada abad 14 Masehi. Ia mengarang buku berjudul Alam al-Jadzal fi ‘Ilm al-Jadal. Dalam buku itu, saya menemukan suatu kasus yang menarik. Dalam halaman halaman 209 (edisi Wolfhart Heinrichs), saya menjumpai kata-kata berikut ini: “Ish ma’na hadza?” (Maksudnya: Apakah artinya ini?)

Kata “ish” seringkali kita jumpai dalam bahasa Arab pasaran yang dipakai saat ini. Artinya “apakah”, kependekan dari “ayyu shai’in”. Waktu di pesantren dulu, saya mengira bahwa bahasa Arab pasaran adalah praktek yang muncul belakangan sekali pada masa modern. Jika kata pasaran ini sudah dipakai pada zaman al-Thufi yang merupakan murid dari Ibn Taymiyyah itu, maka kita bisa beranggapan bahwa pada zaman itu pun bahasa Arab pasaran sebagaimana kita jumpai saat ini sudah dipakai secara luas. Sebagaimana kita tahu, salah satu ciri bahasa Arab pasaran adalah hilangnya fenomena i’rab yang merupakan inti bahasa Arab standar itu.

Salah satu ciri bahasa Arab pasaran adalah makin dominannya penggunaan “klausa nominal” atau “al-jumlah al-ismiyyah” yang terdiri dari subyek dan predikat atau mubtada’ dan khabar. Sebagaimana kita tahu, dalam bahasa Arab literer-standar, kita mengenai dua jenis klausa, yakni klausa nomina (seperti “Umar berdiri"/"Umar qa’imun") atau klausa verbal atau “al-jumlah al-fi’liyyah” (seperti “Berdiri Umar"/"Qama Umar"). Dalam bahasa Arab pasaran, bentuk klausa verbal kurang banyak dipakai.

Kalangan sarjana Arab sekarangpun sebetulnya kurang terlalu bersemangat menyambut fenomena dialek Arab pasaran. Meskipun dialek itulah yang mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mereka kurang memperhatikan fenomena ini secara sungguh-sungguh. Ini terjadi baik pada masa klasik maupun sekarang. Oleh karena itu, kita jarang sekali menjumpai karya-karya sarjana Muslim berkenaan dengan fenomena bahasa pasaran yang berlaku pada masa mereka. Yang mereka tulis selama ini adalah bahasa Arab standar yang sama sekali tak mencerminkan bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

sunset

sunset
waktu selalu mengejar