Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Kamis, 24 Juli 2008

Menjaga Keseimbangan NU

Oleh Rumadi

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang terlihat lebih moderat.

SETELAH Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-30 tahun 2004 lalu, banyak kalangan menengarai bahwa bandul gerakan NU akan semakin bergeser ke kanan. Hal itu antara lain ditandai dengan semakin menguatnya arus konservatif dalam tubuh NU dan semakin jauhnya kader-kader kritis NU dari arus struktur NU. Ketika mendapat kritikan itu, Hasyim Muzadi (HM), Ketua Umum PB NU, menjawab secara diplomatis: bukan NU bergeser ke kanan, tapi karena selama ini terlalu lama berada di kiri, sehingga bergeser ke tengah dianggap ke kanan.

Ketika mendengar itu, meski dengan berat hati saya masih bisa menerima. Saya berpandangan ini cara HM untuk membuat keseimbangan baru di tubuh NU. Harus diakui, ketika HM menjadi Ketua Umum PB NU sejak 1999, pengaruh Gus Dur sangat kuat. Pelan-pelan dia mulai menggeser pengaruh Gus Dur di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU. HM cukup sukses melakukan ini. Bukan hanya menggeser orang-orang yang dianggap Gus Dur-ian, tapi juga meminggirkan anasir-anasir pemikiran Gus Dur. Sekarang, di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU, pengaruh HM cukup kuat, menggeser pengaruh Gus Dur. Hal ini antara lain bisa dilihat dari kuatnya dukungan pengurus cabang dan wilayah pada HM dalam Muktamar ke-30 lalu.

Setelah berhasil menggeser pengaruh Gus Dur, HM mulai berani beroposisi secara terbuka dengan Gus Dur. Dalam berbagai isu-isu penting, HM dan Gus Dur nyaris selalu berbeda pendapat. Bahkan, ada yang berkomentar, HM sudah sampai pada taraf “asal beda” dengan Gus Dur. Dalam konteks kebangsaan, mereka berdua memang masih dalam satu suara tentang finalnya NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara. Tidak ada keharusan mendirikan negara Islam di Indonesia. Namun, derivasi dari masalah kebangsaan ini masing-masing punya cara pandang sendiri.

Dalam kaitan itu, tulisan ini ingin memokuskan pada isu penting, yaitu soal penyikapan atas isu-isu keagamaan mutakhir, terutama menyangkut kekerasan atas nama agama. Sikap atas tragedi Monas bisa menjadi titik masuk.

NU dan Kekerasan Agama

Eksemplar terbaik untuk mengulas masalah ini adalah penyikapan atas tragedi Monas 1 Juni lalu. Dalam kasus ini Gus Dur dapat disebut sebagai tokoh terdepan dalam melawan anarkisme Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Gus Dur berteriak kencang agar keberadaan organisasi ini ditinjau ulang. Gus Dur juga mengutuk keras aksi kekerasan di Monas yang juga membuat beberapa putra terbaik NU menjadi korban. Karena sikap Gus Dur ini, Rizieq Sihab, pemimpin FPI, mengeluarkan “lidah api”-nya dalam sebuah dialog di tv swasta dengan mengatakan Gus Dur tidak tahu apa-apa karena dia buta mata dan buta hati (3/6/08). Karena ucapan ini, kantong-kantong NU yang masih setia kepada Gus Dur bergerak mendesak agar FPI dibubarkan.

Karena itu, kalau boleh saya simplifikasi, penyikapan atas tragedi Monas bisa menjadi sedemikian massif, terutama di wilayah Jawa, setidaknya karena dua hal. Pertama, karena yang menjadi korban sebagian adalah aktivis-aktivis muda NU. Kedua, karena faktor Gus Dur, terutama ucapan Rizieq Sihab yang menyakitkan itu. Saya yakin, kalau tidak ada faktor ini, tidak akan ada gerakan di kantong-kantong NU melawan FPI.

Hal yang paling menarik di tengah situasi itu adalah sikap HM. Dalam konferensi pers beberapa hari setelah tragedi Monas, dia mengatakan agar korban tragedi Monas tidak dikait-kaitkan dengan warga NU. Dia juga minta agar warga NU tidak dijadikan umpan untuk berkonfrontasi langsung melawan FPI. Alih-alih memberi simpati kepada warga NU yang menjadi korban dan menghujat FPI, HM dalam pernyataan-pernyataannya justru lebih condong memberi dukungan kepada FPI. Pernyataan demikian berulang kali dia ucapkan dalam berbagai kesempatan.

Bahkan, dalam sebuah situs internet diberitakan PB NU mengirim tim yang tergabung dalam Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) NU untuk membela Rizieq Sihab. “LPBH-NU ikut sebagai bagian tim hukum yang sudah ada untuk mendampingi dan membela Habib dalam perkaranya,” kata Ketua LPBH NU Sholeh Amin saat menjenguk Rizieq di Rutan Narkoba, Polda Metro Jaya (http://www.detik.com 9/6/2008). Sejauh ini belum ada bantahan atas berita tersebut, meskipun lewat SMS saya mendapat informasi bahwa HM meminta Sholeh Amin agar menjadi pembela Rizieq atas nama pribadi, bukan atas nama NU.

Akibat sikap HM ini, sikap masyarakat NU yang sudah geram terhadap FPI akibat tindakan-tindakan anarkisnya pun mulai terbelah. Sebagian besar pengurus struktural NU mulai termakan oleh ucapan HM. Tragedi Monas dianggap sebagai skenario kelompok sosialis untuk membenturkan NU dengan FPI. Karena mendapat angin dari HM, FPI di Jatim yang sudah tertekan merasa mendapat angin. Bahkan, FPI Jember yang sudah membubarkan diri dihidupkan lagi dan mendapat support dari seorang tokoh NU Jakarta yang sengaja datang ke Jember. Demikian juga dengan FPI Madura yang justru semakin berani “menantang” karena angin HM ini.

Sikap ini sungguh sulit diterima akal sehat. Saya tidak melihat alasan apapun dari sikap HM ini kecuali hanya sekadar ingin berbeda dengan Gus Dur. Anak-anak muda NU yang menjadi korban tragedi Monas dikenal sebagai aktivis yang dekat dengan pemikiran Gus Dur. Harus diakui juga, gerakan massif di berbagai daerah adalah kantong-kantong pendukung Gus Dur. Sebelum simpati terhadap Gus Dur menggelinding semakin besar, tidak ada pilihan lain bagi HM kecuali harus menghambatnya. Daripada sejalan dengan Gus Dur, HM lebih memilih bersimpati dan “mendukung” FPI.

Menurut saya, kasus ini merupakan degradasi sikap ke-NU-an yang luar biasa atas kelompok yang gemar mengumbar kekerasan. HM telah mendevaluasi kehormatan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dikenal moderat. Klaim Islam moderat dan rahmatan lil alamin yang dikampanyekan HM di banyak forum nasional maupun internasional seolah runtuh karena sikapnya ini. Posisinya sebagai Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sama sekali tidak tercermin.

Menjaga Keseimbangan NU

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang terlihat lebih moderat.

Situasi demikian tidak bisa dibiarkan. Harus dipikirkan bagaimana menjaga kesimbangan NU, bukan hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam gerakan praksis-nya. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, NU harus meneguhkan kembali sikapnya sebagai Islam moderat dan antikekerasan. Bukan hanya dalam retorika, tapi harus dibuktikan secara konkrit.

Kedua, pemimpin NU harus menjauhkan diri dari sikap “asal beda” dengan orang yang dianggap sebagai lawannya. Sikap asal beda ini sebenarnya menunjukkan bagaimana kualitas kepemimpinan seseorang, dan kita sulit mempercayai seorang pemimpin yang mempunyai karakter demikian. Ketiga, sudah saatnya, kader-kader NU di berbagai lapisan mulai memikirkan mencari figur pemimpin yang berani “pasang badan” untuk menjaga kehormatan NU, juga kebhinekaan Indonesia.[]

Tidak ada komentar:

sunset

sunset
waktu selalu mengejar