Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Kamis, 19 Maret 2009

Dua Amina

Oleh Luthfi Assyaukanie

Salah satu pandangan misoginis yang terus dipertahankan kaum Muslim adalah doktrin tentang tidak bolehnya perempuan menjadi imam salat. Ini adalah pandangan fikih yang menurut Amina bertentangan dengan semangat dasar Islam tentang kesetaraan. Islam menghargai status dan peran perempuan dan menempatkannya secara setara dengan kaum laki-laki, termasuk dalam urusan ibadah.

Ketika saya kecil, ibu saya selalu mengisahkan cerita sebelum tidur tentang berbagai tokoh Islam. Kisah nabi Muhammad adalah tema favoritnya. Dia bisa mengisahkan berbagai aspek kehidupan manusia mulia itu. Salah satu yang paling berkesan adalah kisah tentang Amina, ibunda Nabi. Entah dari mana ibu saya mendapatkan informasi tentang Amina, seorang tokoh yang tak banyak dikupas dalam sejarah Islam.

Mungkin dia memberi sedikit bumbu terhadap ceritanya, yang membuat kami --anak-anaknya-- makin bergairah setiap mendengar dongengannya. Ibu saya adalah seorang guru yang pandai bercerita. Ia tahu bagaimana membuat sebuah kisah menjadi menarik. Sosok Amina yang misteri digambarkannya seperti seorang tokoh nyata di kampung kami.

Menurut ibu saya, Amina adalah sosok wanita tegar, baik hati, dan punya pendirian. Ia adalah ibu yang mencintai keluarga dengan segenap hatinya. Suaminya meninggal dunia ketika ia hamil tua. Ia harus membesarkan Muhammad seorang diri. Cintanya kepada suaminya tak memberikan ruang buat laki-laki lain. Ia meninggal dunia di usia muda, ketika anaknya berusia enam tahun.

Saya tiba-tiba ingat sosok Amina yang tegar dan punya pendirian itu ketika baru-baru ini bertemu dengan dua figur penting bernama Amina. Yang pertama adalah Amina Rasul, seorang intelektual-aktivis asal Filipina; dan yang kedua, Amina Wadud, seorang sarjana asal Amerika.

Amina Rasul. Saya bertemu Amina Rasul dalam sebuah workshop empat hari yang diadakan di Malaysia. Saya sudah lama mendengar namanya, tapi baru kali itu saya bertemu dengannya. Amina adalah seorang ibu cantik yang memancarkan aura kecerdasan, ketegasan, dan keakraban dalam bergaul. Amina adalah tipe perempuan Muslim yang percaya diri dan tahu bagaimana menjadi modern tanpa harus mengorbankan agamanya.

Kendati sebagai seorang minoritas di negerinya, Amina tidak menampakkan inferioritas. Malah sebaliknya, dia menunjukkan kemampuannya beradaptasi dan terlibat dalam panggung politik di Filipina. Karir politiknya cukup cemerlang. Jabatan tertinggi yang pernah ia pegang adalah anggota kabinet dalam pemerintahan Presiden Fidel Ramos. Namanya masuk dalam 100 pemimpin Asean paling berpengaruh. Amina adalah tipikal wanita Muslimah ideal yang mengerti bagaimana menempatkan diri di dunia modern.

Amina sangat mencintai agamanya dan menghormati doktrin-doktrinnya. Dalam sebuah sesi di mana saya berbicara tentang pembaruan Islam, Amina adalah peserta yang paling gigih menentang saya, atau lebih tepatnya mengkritik pendekatan saya yang dinilainya terlalu radikal untuk diterapkan di dunia Islam sekarang. Saya senang berdebat dengannya, karena argumen-argumennya semakan menajamkan pikiran saya.

Amina Rasul adalah sosok perempuan Muslim yang mengerti bagaimana menjadi religius dan sekaligus modern. Dia tak tabu dengan simbol-simbol modernitas, meski memelihara komitmennya yang tinggi terhadap ajaran agama. Dalam acara perpisahan yang diiringi live music, tanpa canggung dia mengajak saya melantai, bersama peserta lainnya, mengikuti hentakan lagu Michael Buble: Save the Last Dance for Me.

Amina Wadud. Amina yang kedua adalah tipe intelektual dan sarjana dengan erudisi sangat tinggi. Ia mempelajari Islam di Universitas Michigan hingga meraih PhD. Selama masa studinya, ia pernah menjadi mahasiswa tamu di Univeristas al-Azhar, di mana ia mempelajari bahasa Arab dan mengikuti kuliah-kuliah keislaman dari para guru besar di sana. Dia menulis beberapa buku penting. Karya utamanya, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Saya telah mendengar nama Amina Wadud sejak lama, tapi baru sempat berjumpa dalam sebuah workshop yang diselenggarakan Jaringan Islam Liberal beberapa waktu lalu di Jakarta. Saya memoderatorinya dalam satu sesi yang mengangkat tema Gender dan Islam. Saya kagum dengan Amina, meski berpikiran sangat modern dan maju, ia tetap mengenakan jilbab dan melontarkan ayat-ayat al-Quran dengan sangat fasih.

Amina dikenal sebagai pembela hak-hak perempuan. Dia adalah pengkritik yang gigih pemahaman-pemahaman misoginis atas al-Quran. Menurutnya, diskriminasi hak dan peran terhadap perempuan selama ini berasal dari pemahaman misoginis yang banyak diciptakan oleh kaum laki-laki. Tugas kita sekarang adalah meluruskan pemahaman keliru itu dan meletakkannya sesuai dengan semangat dasar Islam tentang kesetaraan dan keadilan.

Salah satu pandangan misoginis yang terus dipertahankan kaum Muslim adalah doktrin tentang tidak bolehnya perempuan menjadi imam salat. Ini adalah pandangan fikih yang menurut Amina bertentangan dengan semangat dasar Islam tentang kesetaraan. Islam menghargai status dan peran perempuan dan menempatkannya secara setara dengan kaum laki-laki, termasuk dalam urusan ibadah.

Amina tak hanya berteori. Ia juga menerapkan apa yang dipahaminya, meskipun hal itu menuai kecaman yang membahayakan dirinya. Pada 18 Maret 2005, secara demonstratif dia menyelenggarakan salat Jumat di sebuah gereja di New York. Dia sendiri yang memimpin salat itu di depan jamaah campuran laki-laki dan perempuan. Acara Jumatan itu mendapat liputan dari sejumlah media di AS dan internasional. Sebagian besar tokoh Islam mengecam acara Amina. Tidak kurang dari Yusuf Qardawi mengeluarkan fatwa menyatakan sesatnya cara salat seperti itu.

Kendati mendapat kecaman dan fatwa sesat, Amina tak pernah berkecil hati. Setiap ada kesempatan menjadi imam salat, dia selalu melakukannya. Yang penting, menurutnya, jamaah merasa nyaman dengan kegiatan itu dan melakukannya bukan karena paksaan. Ia ingin menunjukkan bahwa Islam menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, bukan hanya dalam urusan politik, tapi juga dalam urusan ritual seperti mengimami salat.

Saya merasa beruntung mengenal dan bertemu dengan dua Amina itu. Menurut saya, Amina Rasul dan Amina Wadud adalah srikandi-srikandi Islam yang layak menjadi role-model bagi perempuan Muslim di dunia modern.

Oleh Ahmad Syafii Maarif Dan akan lebih bijak lagi, jika penafsiran terhadap sumber-sumber itu saling berlawanan, solusinya mudah sekali, yaitu dia

Oleh Abd. Moqsith Ghazali

Begitu tinggi kedudukan Muhammad di hadapan umat Islam, maka momen-momen penting dalam kehidupannya selalu dikenang, dirayakan, dan diperingati. Mulai dari kelahirannya, pengangkatannya sebagai nabi, pendakian spiritualnya yang tak tepermanai berupa isra’-mi`raj hingga migrasinya dari Mekah ke Madinah. Berbeda dengan kematian yang merupakan pertanda kesementaraan manusia dan juga keterbatasan seorang nabi, maka kelahiran Nabi Muhammad dianggap sebagai pertanda kehidupan baru, perubahan sosial.

Nabi Muhammad SAW adalah pusat keteladanan. Segala ucapan dan tindakannya menjadi rujukan umat Islam, dulu dan sekarang. Haditsnya menjadi sumber hukum (mashdar al-hukm) kedua setelah Alquran. Begitu tinggi kedudukan Muhammad di hadapan umat Islam, maka momen-momen penting dalam kehidupannya selalu dikenang, dirayakan, dan diperingati. Mulai dari kelahirannya, pengangkatannya sebagai nabi, pendakian spiritualnya yang tak tepermanai berupa isra’-mi`raj hingga migrasinya dari Mekah ke Madinah. Berbeda dengan kematian yang merupakan pertanda kesementaraan manusia dan juga keterbatasan seorang nabi, maka kelahiran Nabi Muhammad dianggap sebagai pertanda kehidupan baru, perubahan sosial. Itu sebabnya, jika waktu kelahirannya dirayakan, maka saat kematiannya tidak. Perihal kelahirannya, sebagian umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad lahir pada Senin pagi menjelang subuh, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (`am al-fil). Disebut begitu karena bertepatan dengan tahun penyerangan “Pasukan Gajah” pimpinan Abrahah (Gubernur Abisinia) ke Kabah.

Namun, dengan merujuk pada buku-buku sejarah, kita akan mengerti bahwa tak ada kepastian tentang jam, hari, tanggal dan bulan kelahiran Muhammad SAW. Dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (Juz II, 260-267), Ibnu Katsir menjelaskan keanekaragaman pandangan para ulama tentang kelahiran Nabi. Husain Haikal juga menjelaskan pluralitas pendapat tersebut dalam Hayat Muhammad (hlm. 102). Mengenai tahun kelahirannya misalnya terdapat beberapa pendapat. Menurut Ibnu Abbas, Muhammad lahir pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat, kelahirannya lima belas tahun sebelum peritiwa penyerangan Kabah itu. Ada yang memperkirakan beberapa hari (satu bulan, empat puluh hari, lima puluh hari), beberapa bulan, bahkan beberapa tahun setelah Tahun Gajah. Menurut Abi Ja`far al-Baqir, Muhammad lahir 55 hari setelah peristiwa pasukan bergajah itu. Yang lain menghitung sepuluh tahun, dua puluh tiga tahun, tiga puluh tahun hingga tujuh puluh tahun setelah Tahun Gajah. Abu Zakaria al-Ajalani berpendapat, Muhammad lahir empat puluh tahun setelah Tahun Gajah.

Begitu juga tentang bulan dan tanggal kelahirannya. Sebagian ulama berpendapat, Muhammad lahir pada bulan Rabiul Awal. Yang lain berpendapat, bulan Muharram, Safar, Rajab. Ibnu Abdil Birri mengutip pendapat al-Zubair ibn Bikar bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Ramadan. Sementara tanggal kelahirannya diperkirakan sebagian ulama jatuh pada tanggal 2, 9, 17 Rabiul Awal. Ibnu Hazm berpendapat, kelahiran Muhammad jatuh pada 8 Rabiul Awal. Ibnu Ishaq berpendapat pada tanggal 12 Rabiul Awal. Ulama pun berbeda pendapat, tentang waktu kelahirannya; siang atau malam. Satu ulama berpendapat siang, yang lain mengatakan malam. Begitu juga dengan hari kelahirannya. Ada yang berpendapat Senin. Yang lain berpendapat Jumat. Seorang sahabat Nabi, Ibnu Abbas, berpendapat bahwa Nabi Muhammad lahir pada hari Senin, 18 Rabiul Awal.

Artikel ini hendak menegaskan bahwa di kalangan ulama Islam klasik sendiri tak ada konsensus (ijma`) tentang waktu kelahiran Nabi Muhammad. Ini terjadi karena tak ada tradisi pencatatan waktu kelahiran seorang bayi saat itu. Baik ibunda maupun kakek Nabi tak mencatat kelahiran anak atau cucunya itu sehingga wajar kalau terjadi kesimpangsiuran waktu kelahiran Muhammad. Jelas, ketepatan dan kepersisan tanggal kelahiran seorang tokoh sekian ribu tahun lalu tak mudah ditunaikan. Tak ada kepastian tentang waktu kelahiran Nabi Isa, Nabi Musa, apalagi Nabi Ibrahim lalu Nabi Adam. Semua tanggal dan tahun kelahiran mereka ditentukan kemudian, berdasar asumsi dan prakiraan dan akhirnya membentuk keimanan. Lalu siapa sesungguhnya yang lahir di Mekah pada Senin 12 Rabiul Awal 1500 tahun lalu itu? Kita tak tahu. Namun, karena di Indonesia sudah mentradisi, secara sosio-kultural saya tetap perlu mengucapkan selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad 12 Rabiul Awal 1430 H. []

Mendudukkan Pluralisme Agama

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Dan akan lebih bijak lagi, jika penafsiran terhadap sumber-sumber itu saling berlawanan, solusinya mudah sekali, yaitu diadakan dialog yang serius dan jujur antara para pihak yang bersangkutan. Sikap menuduh dengan menggunakan kata-kata “sesat, agen zionis, agen Barat” bukanlah cara kaum yang beradab. Mari kita sama lepaskan prasangka lebih dulu, lalu kita adu argumen dengan menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dan pertama. Lalu kita gunakan sumber-sumber lain, baik yang ditulis oleh ulama klasik maupun yang kontemporer sebagai pelengkap rujukan.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Republika, 17 Maret 2009

Beberapa waktu yang lalu MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme agama di samping sekularisme, dan liberalisme. Fatwa itu telah memicu gelombang prokon (pro-kontra) dengan argumen masing-masing, tetapi sejauh pengetahuan saya, belum ada kajian yang mendalam dan meluas tentang isme-isme itu jika dilihat dari pandangan Islam. Cendekiawan muda NU Abd. Moqsith Ghazali dengan karyanya yang berjudul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta: KataKita, 2009, 401 halaman) telah mengurai masalah pluralisme agama sebagai salah satu isu yang diharamkan itu melalui pendekatan akademik yang imbang. Terbukalah peluang sekarang bagi siapa saja yang ingin melihat masalah ini dengan kaca mata yang lebih jernih tanpa emosi untuk membedah tesis-tesis Moqsith ini. Para mufti MUI saya anjurkan agar tidak ketinggalan pula menelaah karya Moqsith ini dengan hati dan otak yang terbuka. Adapun hasil telaah itu nanti bisa saja menguatkan tingkat keharamannya atau bisa juga menjurus kepada pencabutan fatwa yang telah dikeluarkan itu.

Pada ranah pemikiran Islam kontemporer bagi Indonesia, iklimnya sudah semakin kondusif untuk bertukar pendapat, demi mencari kebenaran, bukan mencari yang lain. Gelombang kebangkitan kaum intelektual muda Muslim dengan berbagai latar belakang sub-kultur sedang semakin membesar. Fenomena ini sungguh sangat membesarkan hati. Peran pesantren plus IAIN/UIN bagi kelahiran anak-anak muda pemikir ini sangat sentral. Mereka tidak hanya sibuk dengan kitab kuning, tetapi sekaligus menguasai kitab putih, baik yang ditulis oleh Muslim atau non-Muslim. Dr. Abd. Moqsith Ghazali adalah salah seorang di antara mereka yang berani berfikir bebas secara bertanggung jawab, baik dilihat dari sisi iman, maupun dari sisi disiplin ilmu.

Adapun misalnya temuan mereka ini bercanggah dengan pendapat yang telah dinilai mapan jangan cepat-cepat dihukum dengan ekskomunikasi. Jalan terbaik adalah dengan mengikuti sumber bacaan mereka, baik yang ditulis dalam bahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Dan akan lebih bijak lagi, jika penafsiran terhadap sumber-sumber itu saling berlawanan, solusinya mudah sekali, yaitu diadakan dialog yang serius dan jujur antara para pihak yang bersangkutan. Sikap menuduh dengan menggunakan kata-kata “sesat, agen zionis, agen Barat” bukanlah cara kaum yang beradab. Mari kita sama lepaskan prasangka lebih dulu, lalu kita adu argumen dengan menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dan pertama. Lalu kita gunakan sumber-sumber lain, baik yang ditulis oleh ulama klasik maupun yang kontemporer sebagai pelengkap rujukan. Karya-karya klasik umumnya ditulis dalam bahasa Arab, sedikit dalam bahasa Persi. Sedangkan bahasa yang digunakan dalam karya-karya modern jauh lebih kaya: Arab, Urdu, Turki, Persi, Indonesia, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, sedikit Itali, Spanyol, Rusia, dan lain-lain.

Karya Argumen Pluralisme Agama telah mencoba membongkar sumber-sumber klasik dan modern dalam berbagai bahasa: Arab, Inggris, dan Indonesia. Dalam endorsemennya K.H. A. Mustofa Bisri atas karya Moqsith ini, kita baca sebagai apresiasi sebagai berikut:

Buku ini tak sekadar wacana dan pernyataan karena kobaran ghirah keberagamaan atau semangat pembaruan; tapi seperti yang akan segera pembaca ketahui, merupakan hasil kerja keras penelitian. Penelitian secara ilmiah tentang sesuatu yang sebenarnya atau seharusnya bukan menjadi masalah. Tapi bagi mereka yang menjadikan kamapanan sebagai mazhab, mungkin buku yang ditulis Muslim muda, Abd. Moqsith Ghazali, ini
dianggap baru bahkan mengagetkan.

Bagi saya karya ini adalah sebuah kegigihan akademik yang bernilai tinggi dan pasti punya jangkauan jauh.

Akhirnya saya belum perlu mengupas kandungannya, tetapi ingin mengimbau para pembaca untuk mengikutinya sendiri, kemudian beri penilaian secara jujur, kritikal, dan obyektif. Jika ada pihak yang sangat keberatan dengan tesis-tesis utama pengarangnya, tulislah pula karya lain untuk membantahnya. Kemudian publik diberi kesempatan luas untuk membandingkannya. Saya merindukan lahirnya sebuah iklim intelektual kelas tinggi di kalangan umat Islam Indonesia, di mana peradaban otak dan hati dapat mengalahkan “peradaban” otot dan teriakan kasar!

sunset

sunset
waktu selalu mengejar