Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Minggu, 10 Agustus 2008

Menjumpai Tuhan Lewat Perempuan

Oleh Anick H.T.

Dua kualitas yang saling melengkapi (aktif dan reseptif) yang menyatu dalam perempuan (feminin) inilah yang memungkinkan jiwa ini menjadi tempat yang paling sempurna sebagai tajalli Tuhan. Inilah yang disebut sebagai esensi dari imajinasi kreatif.

Kitab ketiga Ibn Arabi yang dikaji pada Tadarus Ramadan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) adalah Tarjumanul Asywaq, sebuah diwan, antologi puisi. Tadarus Selasa (10/10) itu menghadirkan KH Husein Muhammad (pengasuh Ponpes Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon), Umdah El Baroroh (penulis tesis tentang Ibn Arabi pada pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Abd. Moqsith Ghazali (intelektual muda NU, Dosen Universitas Paramadina).

*****

”Seluruh pengetahuan ketuhanan berada di balik Nizam,” demikian sebait puisi cinta Ibn Arabi kepada seorang perempuan kekasihnya dalam kitab Tarjumanul Asywaq (Ontologi Kerinduan). Nizam adalah anak gadis dari Abu Syuja’, guru Ibn Arabi sendiri. Deretan puisi semacam inilah yang membuat marah para ulama Aleppo, Damaskus saat itu. Mereka mencaci maki dan menghujat Ibn Arabi yang bagi mereka telah mengotori ketuhanan dengan membuat apa yang mereka sebut ”puisi-puisi cinta berahi” dalam antologi kecil itu. Bagi mereka, Ibn Arabi telah menyembunyikan cinta sensualnya kepada perempuan di sebalik ajaran tasawuf demi melestarikan kesan kesalehannya.

Menanggapi caci maki para ulama fikih itu, buru-buru Ibn Arabi menulis buku penjelasan (syarh) terhadap Tarjuman yang diberi judul Ad-Dzakhair wal A`laq (Khazanah dan Kerinduan). Bergantilah caci maki itu dengan permintaan maaf setelah Ibn Arabi mempresentasikan syarh-nya di depan mereka.

Karena itu, KH Husein Muhammad menganggap refleksi dan kontemplasi spiritualitas ketuhanan Ibn Arabi dalam Tarjuman tidak mungkin dipahami tanpa membaca syarh-nya. Bagi Kang Husein (panggilan akrab kiai Cirebon itu), semua diksi dalam Tarjuman adalah kiasan-kiasan, metafor, simbol, dan rumus-rumus yang menunjukkan makna mistis dan spiritualitas ketuhanan.

Berbeda dengan Kang Husein, Umdah El Baroroh melihat bahwa penulisan Ad-Dzakhair adalah bentuk apologi Ibn Arabi. Mengutip Reynold A. Nicholson (The Tarjuman al Asywaq, A Collection of Mystical Odes), Umdah menegaskan bahwa dalam hal ini Ibn Arabi telah terseret oleh arus kemauan para pengritiknya yang formalis. Sebab jika ditelaah lebih detail, apa yang dijelaskan Ibn Arabi dalm Ad- Dzakhair justru berbeda seratus delapan puluh derajat dari pengakuan awalnya dalam puisi-puisinya. Ungkapan perasaan ”sensual” dan kerinduan dalam puisinya berubah menjadi ajaran sakral tentang percintaan seorang hamba kepada Tuhannya melalui simbol-simbol perempuan.

Tak sekadar mengamini Umdah, Abd Moqsith Ghazali bahkan lebih tegas melihat bahwa Ibn Arabi telah terjebak dalam kerangkeng ulama ortodoks yang dominan saat itu. Menurutnya, ungkapan cinta Ibn Arabi dalam Tarjuman adalah ungkapan manusiawi dan alami dari seseorang yang sedang jatuh cinta. Terlalu berlebihan jika kemudian Ibn Arabi menulis syarh untuk menunjukkan bahwa ia sedang berbicara tentang al-hubbul ilahi (kecintaan pada Tuhan). Lebih jauh Moqsith melihat keterjebakan Ibn Arabi melalui apa yang disebutnya sebagai ”over quranisasi” dalam rangka mencari pembenaran terhadap ajaran sufismenya. Nampak bahwa Ibn Arabi khawatir benar bahwa ia akan divonis sebagai ulama yang tak merujuk pada Alquran.

Perihal perempuan

Kontroversi seputar antologi puisi seperti di atas memang terkait langsung dengan isinya yang didominasi ungkapan cinta Ibn Arabi terhadap perempuan. Barangkali Ibn Arabi adalah orang pertama yang menelurkan gagasan tentang kesempurnaan tajalli atau manifestasi Tuhan pada diri perempuan. Ciri khas ajaran tasawuf Ibn Arabi adalah wahdatul wujud (manunggaling kawula lan gusti). Dalam ajaran tersebut Ibn Arabi meyakini bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan cerminan Tuhan atau tajalli Tuhan. Tetapi pantulan Tuhan melalui alam seisinya ini bisa disaksikan dalam diri manusia. Karena manusia adalah mikrokosmos (al-`alam as-shaghir) dari alam raya (al-`alam al-kabir). Sehingga pantulan Tuhan dalam diri manusia dinilai oleh Ibn Arabi lebih sempurna dibanding pantulan atau cerminan Tuhan pada alam raya. Tetapi kesempurnaan tajalli Tuhan pada manusia kembali dirangking oleh Ibn Arabi. Di antara dua jenis manusia, yakni laki-laki dan perempuan, bagi Ibn Arabi, perempuan adalah tempat paling sempurna sebagai tajalli Tuhan. Bagaimana penjelasannya?

Umdah El Baroroh mengutip Henry Corbin (L’Imagination Creatrice dans le Soufisme d’Ibn ’Arabi) untuk menjelaskan soal tajalli, perempuan, dan seksualitas dalam pandangan Ibn Arabi ini dalam makalahnya. Tajalli Tuhan pada manusia sesungguhnya tidak muncul dalam penyaksian yang kasat mata. Menurut Corbin, tajalli hanya bisa dilakukan dengan cara mengaktifkan imajinasi kreatif sang pencinta. Sebab, imajinasi mentransmutasikan dunia inderawi dengan cara mengangkatnya kepada modalitasnya sendiri yang halus dan tak kenal rusak. Pergerakan ganda semacam ini memungkinkan adanya respon dua arah, yaitu turunnya yang ilahi dan naiknya yang inderawi (munazalah). Turunnya yang ilahi dan naiknya yang inderawi menuju satu perjumpaan dalam satu esensi ini memungkinkan adanya simpati antara dua entitas yang manunggal itu.

Perjumpaan ini dilukiskan oleh Ibn Arabi sebagai perjumpaan antara al-musytaq (merindu) dan al-musytaq ilaihi (wujud asal yang dirindukan). Pertemuan ini bukan saja harapan dari al-musytaq (manusia yang mencinta), tetapi juga harapan dari al-musytaq ilaihi (Tuhan). Karena Tuhan juga mempunyai hasrat kerinduan (al-syauq) kepada makhluk-Nya demi memanifestasikan diri-Nya pada wujud-wujud agar Dia dapat dikenali. Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fakhalaqtu al-khalqa fa bi `arafuni. Hadis ini menyiratkan adanya saling ketergantungan antara Tuhan dengan abd (hamba). Karena hanya dengan hambalah Ia disebut sebagai Tuhan. Dua-duanya seakan terlibat dalam ikatan yang saling bersinergi, yang satu memberi wujud, sementara yang lain mengungkapkannya. Keduanya menempatkan dirinya dalam ‘kepasifan’; yang satu menjadi tindakan wujud bagi yang lain.

Dalam kondisi ini, muncullah apa yang disebut Corbin sebagai unio sympathetica, yaitu pertemuan wujud yang inderawi dengan wujud yang ruhani dalam kesatuan yang saling mengagumi. Di sinilah tajalli Tuhan menemukan wujudnya. Tetapi lagi-lagi hal itu tak dapat dicapai kecuali melalui pengaktifan imajinasi kreatif. Tanpa itu, ia adalah angan-angan belaka, atau bahkan gejala gangguan jiwa.

Di mana perempuan mendapatkan posisinya dalam tajalli Tuhan? Dalam bacaan Umdah, Corbin berhasil memberikan penjelasan yang lebih clear tehadap ide Ibn Arabi tentang persoalan ini dibanding Sachiko Murata dalam The Tao of Islam. Perempuan dalam pandangan Ibn Arabi adalah simbol dari jiwa yang reseptive (munfa’il) dan yang creative (fa’il). Sementara laki-laki adalah jiwa yang creative atau aktif (fa’il) saja. Karenanya, Ibn Arabi tidak menempatkan yang feminin dan yang maskulin itu secara berhadap-hadapan. Sebaliknya, yang feminin baginya adalah jiwa yang meliputi dua unsur sekaligus.

Untuk menguatkan argumennya, Ibn Arabi menyandarkan logikanya pada proses penciptaan Adam. Adam sebagai yang maskulin sesungguhnya menurut Ibn Arabi diwujudkan dari esensi wujud yang feminin. Karena, zat atau asal usul segala sesuatu dalam bahasa Arab disimbolkan dengan sesuatu yang feminin, termasuk zat Tuhan. Setelah terciptanya Adam, Tuhan menciptakan Hawa yang feminin. Hirarki ini dimaknai Ibn Arabi sebagai kebenaran kualitas feminin yang kreatif melalui simbol Tuhan sebagai pencipta Adam dan sebagai yang reseptif melalui simbol Hawa. Sementara Adam yang maskulin kedudukannya adalah berada di tengah-tengah antara dua feminin yang kreatif dan pasif.

Dua kualitas yang saling melengkapi (aktif dan reseptif) yang menyatu dalam perempuan (feminin) inilah yang memungkinkan jiwa ini menjadi tempat yang paling sempurna sebagai tajalli Tuhan. Inilah yang disebut sebagai esensi dari imajinasi kreatif. Dan jiwa kreatif ini juga berpotensi melahirkan cinta dalam diri manusia dan nostalgia yang mampu membangkitkan imajinasinya ke seberang wujudnya yang inderawi. Sementara dari rasa cinta dan nostalgia inilah muncul rasa simpati antara yang inderawi dan yang ruhani menuju pengetahuan ilahi atau tajalli Tuhan par excellence. Bahkan, Ibn Arabi sampai pada kesimpulan bahwa tajalli Tuhan yang paling sempurna akan terwujud melalui hubungan seksual.

Berbeda dengan Umdah, Moqsith justru melihat konsepsi fa’il dan munfa’il ala Ibn Arabi ini menjebaknya untuk bersikap diskriminatif terhadap laki-laki. Menurutnya, keterpesonaan dan kekagumannya pada perempuan menyebabkan Ibn Arabi kehilangan keseimbangan, dengan cara merendahkan dirinya dan kaumnya.

Betapapun, dalam hal ini Ibn Arabi patut diapresiasi karena ia telah membuka jalan bagi para pemikir setelahnya untuk memberi ruang dan penghargaan lebih besar terhadap kalangan perempuan. Ia telah mengajari agama cinta kepada kita, seperti salah satu bait puisinya yang dikutip Kang Husein: “tidak ada di manapun agama, setinggi agama yang dibangun di atas cinta dan kerinduan.”

Meninjau Ulang Teori Kenabian

Oleh Umdah El-Baroroh
Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah, yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah tukang pos yang hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut intervensi.

“Teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan sengit yang belum berhenti hingga saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema ini tidak terlalu besar.” Demikian pernyataan Ulil Abshar-Abdalla, mahasiswa Phd Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal, 5 Juli 2007 lalu. Mantan kordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) ini mengaku prihatin dengan kemandekan pembahasan soal ini. Menurutnya, wacana kenabian terakhir kali yang ditulis secara akademis oleh sarjana muslim adalah pada tahun 1980-an, oleh Fazlur Rahman. Setelah itu nyaris tak ada lagi peninjuan ulang tentang topik ini.

Sementara itu, dampak dari perdebatan tentang wacana ini telah menarik umat Islam dalam pertikaian yang berkepanjangan dan tak jarang berujung pada benturan fisik. Kasus terakhir yang membuat Ulil termotivasi untuk mendalami wacana ini adalah peristiwa kekerasan fisik terhadap Jamaah Ahmadiyah dalam beberapa tahun terakhir. Kelompok yang berasal dari Pakistan ini mengaku bahwa kenabian tidaklah berakhir dengan Nabi Muhammad. Kenabian terus berlangsung, meski tidak membawa syariat baru. Lantaran berpendapat seperti ini, kelompok Ahmadiyah menjadi bulan-bulanan massa yang mengaku dirinya Islam yang paling benar di Indonesia. Keprihatinan Ulil atas kasus tersebut juga mendorongnya untuk menulis topik ini dalam tugas akhir kuliah masternya di Universitas Boston.

Dalam diskusi yang digelar untuk mempresentasikan hasil tesisnya itu, Ulil menjelaskan panjang lebar tentang perdebatan klasik soal kenabian. “Salah satu tokoh Islam klasik yang menaruh perhatian besar atas tema ini adalah Ibnu Sina”, jelasnya. “Dalam sejarah Islam, perdebatan tentang wacana kenabian diwakili dua kubu. Kubu pertama adalah kaum ortodoks yang direpresentasikan oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, Nabi atau kenabian merupakan sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karenanya, gelar kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Pendapat ini berbeda dari pendapat kelompok kedua, yakni kaum heterodoks yang diwakili para ahli filsafat. Mereka menyatakan bahwa kenabian sesungguhnya merupakan keniscayaan dalam kehidupan ini.”

”Wujud fisik ini tidak mungkin ada tanpa Nabi”, tandas Ulil menjelaskan pandangan kelompok kedua itu. Ibnu Sina, misalnya, mensinyalir adanya tiga kelompok manusia di dunia ini. Pertama, orang yang tidak punya kecakapan teoritis dan praktis. Kedua, orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis hanya pada dirinya sendiri dan tidak mampu menyempurnakan orang lain. Ketiga, adalah orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis sekaligus, serta mampu mentransformasikannya kepada orang lain. Inilah sesungguhnya yang disebut sebagai Nabi.

Masih mengutip Ibnu Sina, Ulil menyatakan bahwa Nabi intinya adalah seorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. “Pendeknya, seorang Nabi adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga kepada manusia. Sebab, bagi Ibnu Sina, tugas kenabian sesungguhnya juga memerankan fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya,” jelas Ulil.

Perbedaan cara pandang dua kelompok di atas terhadap kenabian, berimplikasi pada perlakuan mereka terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya. Bagi kelompok ortodoks, ajaran kenabian adalah ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya. Karena semuanya bersumber dari wahyu Tuhan. Sementara bagi kelompok kedua, yaitu kelompok heterodoks, ajaran kenabian adalah ajaran manusia biasa saja. Ia bisa punya nilai kebenaran, tapi juga dimungkinkan adanya kekurangan. Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah, yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah tukang pos yang hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut intervensi.

Meski kenabian menjadi tema penting dalam kajian Islam, tetapi itu tidak berarti terjadi pula pada agama lain. Menurut penelitian Ulil, tema kenabian hanya menjadi tema serius pada agama Islam dan Yahudi. Agama-agama timur, seperti Hindu, Buddha, Tao, dan lainya, tidak menaruh perhatian serius pada tema kenabian. Bahkan agama Kristen yang nota bene sesama agama samawi pun tidak seserius Islam dan Yahudi dalam memperbincangkan soal kenabian.

Karena itu, dalam menulis tema kenabian ini, Ulil pun melakukan perbandingan antara konsep kenabian dalam Islam dan dalam agama Yahudi. Salah satu tokoh Yahudi yang menarik perhatian Ulil adalah Maimonedes atau Musa bin Maimun. Seorang filosof Yahudi yang hidup sejaman dengan Ibn Rusyd ini berpendapat bahwa puncak kenabian sesungguhnya adalah Musa. Setelah itu tidak ada lagi Nabi, kecuali kenabian-kenabian minor. Kenabian minor, menurut penjelasan Ulil adalah kenabian yang muncul sebagai repetisi atau paling jauh penyempurna terhadap sebelumnya. Ia tidak sepenuhnya hadir dengan ajaran baru. Jadi Isa, Muhammad, serta Nabi-Nabi setelah Musa, dalam perspektif Maimonides hanya mengulang atau menegaskan ajaran yang telah dibawa Musa. Dan kenabian minor dalam pandangan Maimonedes ini bisa dicapai oleh siapa saja. Artinya, fenomena kenabian itu masih terus berlanjut dan siapapun bisa menjadi Nabi.

Tidak seperti biasanya, diskusi malam itu hanya menghadirkan nara sumber tunggal. Meski demikian, diskusi tetap mampu menarik perhatian audiens. Ruangan Teater Utan Kayu, tempat dilangsungkannya diskusi yang berkapasitas lebih kurang seratus orang, malam itu pun penuh sesak dipadati oleh peserta dari berbagai kalangan. Bahkan hingga sesi dialog berakhir, sebagian besar audiens tetap sabar mengikuti acara.

Tadarus Ramadan JIL 1428 H sesi I Siapa Yang Rancu: Para Filosof atau al-Ghazali?

Oleh Malja Abror

“Kenapa Tahafut al-Falâsifah begitu berhasil? Itu tidak lain karena sebenarnya al-Ghazali memang paham apa yang dia mau kritik,” kata Mulyadi. Ia lalu menambahkan bahwa dari kitab al-Ghazali lainnya, Al-Munqidz min al-Dlalâl, sebenarnya kita tahu posisi “epistemologis” al-Ghazali, yaitu: janganlah mengkritik sesuatu kalau anda belum memahami betul apa yang mau anda kritik.

Siapakah sebenarnya yang dihinggapi kerancuan, al-Ghazali atau para filosof (al-Farabi dan Ibnu Sina)? Itulah poin yang mengemuka dalam diskusi seri pertama Tadarus Ramadlan 2007/1428 Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bertajuk Mari Mengaji Al-Ghazali. Dalam seri pertama ini, kitab al-Ghazali yang dikaji adalah Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof). Narasumber malam itu (Selasa, 18/9/2007), terdiri dari: Dr. Zainun Kamal, Dr. Mulyadhi Kartanegara, dan Dr. Luthfi Assyaukani, yang sekaligus memberi prakata sebagai koordinator JIL yang baru sebelum diskusi berlangsung.

Pertanyaan di atas dijawab oleh Luthfi—yang sebenarnya tampil sebagai pembicara ketiga—dengan tegas: al-Ghazali-lah yang mengalami kerancuan, persis seperti yang diisyaratkan oleh judul kitab Ibnu Rusyd, Tahâfut at-Tahâfut (Rancunya [Kitab] Kerancuan). Luthfi memberi makna yang beragam pada kata kerancuan yang diatributkan kepada al-Ghazali. Al-Ghazali dianggap mengalami kerancuan, misalnya, karena sebenarnya ia tidak mengerti secara sungguh-sungguh persoalan-persoalan filsafat-metafisis yang ia tuliskan dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah.

Bahkan Luthfi mencurigai bahwa kitab al-Ghazali yang lain, yaitu Maqâshid al-Falâsifah, sebenarnya bukan karya otentik al-Ghazali. “Maqâshid al-Falâsifah adalah buku terjemahan, atau paling jauh hanya parafrase dari buku lain,” tukas Luthfi. Karenanya, yang sebenarnya dilakukan al-Ghazali adalah memukul sesuatu yang salah. Luthfi memberi contoh tentang isu ba’ts al-jasad (kebangkitan ragawi) dan pengetahuan Tuhan tentang juz’iyyât (hal-hal yang partikular) yang dipersoalkan al-Ghazali. Menurut Luthfi, sebenarnya para filosof sebelum al-Ghazali tidak berbicara tentang dua masalah tersebut persis seperti yang dikemukakan al-Ghazali. Dua masalah tersebut hanya hasil asumsi al-Ghazali belaka.

Lebih lanjut, Luthfi menyebut al-Ghazali rancu, juga karena perspektif yang digunakannya dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah, adalah perspektif polemis (jadalî), bahkan kadang terjatuh pada level khatthâbi (retoris), dan bukan perspektif kaum filosof, yakni perspektif burhânî (demonstratif). “Kita tahu,” lanjut Luthfi, “bahwa perspektif polemis (jadalî) adalah perspektif para teolog, bukan perspektif filosof. Padahal yang ia target dengan kitabnya adalah para filosof dan persoalan-persoalan filosofis-metafisis! Ini kan rancu?!” tegas Luthfi. Luthfi juga menekankan bahwa sejak awal sampai akhir hayatnya, prototipe al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Statemen ini ia simpulkan dari sebuah film semi dokumenter tentang al-Ghazali, garapan sineas Iran, The Alchemist of Happiness (Kimiya’ al-Sa’adah).

Jadi inti-diri al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Karena itu, bila dia mencoba masuk ke zona lain, maka hasilnya adalah kerancuan. Begitulah yang hendak dimaksudkan oleh statemen Luthfi di atas. Makanya, tatkala al-Ghazali mencoba bicara tentang persoalan filosofis-metafisis, ia selalu kembali lagi kepada dalil-dalil Alqur’an guna menopang pendiriannya; seolah-olah dzihniyyah (mentalitas) kesufiannya mengekang dirinya untuk menggunakan akalnya untuk bermain pada level burhânî, sebagaimana yang dilakukan para filosof. “Makanya, dalam meng-counter al-Ghazali, Ibn Rusyd pun menggunakan cara-cara al-Ghazali. Karena al-Ghazali senantiasa kembali kepada Alqur’an untuk menopang posisi ortodoksinya, maka Ibnu Rusyd pun melakukan hal yang sama, mengais-ngais ayat Alqur’an untuk mendukung posisi filosofisnya.

Dan “celakanya”, Ibnu Rusyd juga mendapatkan ayat-ayat yang bisa mendukung posisi filosofisnya. Karena Alqur’an, sebagaimana entitas lain, adalah laksana dua sisi satu keping koin. Dan dengan cara begitulah Ibnu Rusyd merasa lebih nyaman dan berhasil dalam meng-counter al-Ghazali, daripada harus capek-capek berargumen secara burhânî. Toh pada akhirnya al-Ghazali lagi-lagi kembali kepada dalil-dalil Alqur’an,” kelakar Luthfi.

Contoh yang dikemukakan Luthfi malan itu misalnya soal keazalian alam (azaliyyat al-`alam). Soal ini, al-Ghazali meyakini ex-nihilo, karena Tuhan maha kuasa. Dan untuk itu, al-Ghazali mengutip ayat, Innama amruhu idzâ arada syai’an an yaqûla lahu kun fayakun (Q.S. Yasin, 36:82). Perspektif Ibn Rusyd adalah ex-creatio, penciptaan dari sesuatu yang ada sebelumnya. Hebatnya, Ibnu Rusyd juga menemukan ayat Alqur’an yang mendukung perspektif ex-creatio. Misalnya ayat, wa huwa al-ladzî khalaqa al-samâwâti wa al-‘ardla fi sittati ayyam wa kâna`‘arsyuhu ‘ala al-mâ’i (Q.S. Hud, 11:7). Juga ayat, awalam yara al-ladzîna kafaru ‘anna al-samâwâti wa al-ardla kânatâ ratqan fafataqnâhumâ wa ja`alna min al-mâ’i kulla syai’in hayyan (Q.S. Al-Anbiya’, 21:30). Artinya pada “waktu” itu, ada Allah dan ada air. Dan sebelum Socrates, sudah ada seorang filosof, yaitu Thales, yang meyakini bahwa substansi segala sesuatu bermula dari air.

Juga ayat, tsumma istawa ila al-samâ’i wa hiya dukhân (Q.S. Fushshilat, 41:11). Jadi pada “saat” itu, situasinya tidak nihil sama sekali, tapi ada dukhan (asap/uap). Dan kebetulan ada juga filosof pra-Socrates, yakni Anaximenes yang sudah meyakini bahwa dunia ini bermula dari uap, sesuatu yang humid (lembab). Juga secara semantis, menurut Ibnu Rusyd, kata khalaqa itu selalu dipakai dalam konteks penciptaan sesuatu dari sesuatu lainnya yang sudah ada, dan itu berarti ex-creatio. Untuk itu, Ibnu Rusyd mengutip ayat, wa laqad khalaqna al-insana min sulâlatin min thîn (Q.S. Al-Mukminun, 23:12).

Luthfi juga mengkritik struktur atau sistematika penulisan kitab Tahafut Al-Falasifah yang menurutnya tidak proporsional, sebab pembahasan tentang azaliyyatul ‘alam (keazalian alam) mengambil porsi sampai seperempat kitab. Sembilan belas masalah lainnya hanya mendapat porsi sisanya, bahkan ada salah satu item masalah yang hanya dibahas dalam satu-dua halaman saja. Selain itu, Luthfi juga meragukan riwayat tentang periode skeptisisme Al-Ghazali. Menurut Luthfi, sebenarnya al-Ghazali tidak pernah mengalami skeptisisme serius seperti para filosof Ibn Sina, al-Farabi, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. “Skeptisisme itu hanya proyeksi al-Ghazali atas dirinya sendiri, seolah-olah ia pernah mengalami masa dlalal (ketersesatan),” ujar Luthfi. Proyeksi itu ia lakukan, ujung-ujungnya untuk mendukung posisi ortodoksinya; seolah-olah ia seorang warrior of God (tentara Tuhan).

Malam itu memang penuh kritik dari Luthfi atas al-Ghazali. Menjelang akhir diskusi, Luthfi baru membuka “kartu”, kenapa ia begitu “gerah” terhadap al-Ghazali. Dia mengatakan, ada semacam mekanisme dalam dirinya yang secara otomatis melakukan respon resisten terhadap figur yang dielu-elukan—baik oleh dia sendiri maupun orang lain—secara berlebihan. Dan dia sendiri mengaku pernah menjadi simpatisan al-Ghazali ketika dua tahun belajar di Malasyia, di bawah bimbingan Dr. Naguib Al-Attas. Bahkan Luthfi memperingatkan sikap dasar al-Ghazali yang amat berbahaya, yaitu takfir (pengkufuran terhadap orang lain) yang bisa diikuti preskripsi al-qatl (perintah bunuh). Sebab, mayoritas umat Islam memposisikan al-Ghazali sebagai hujjatul Islâm (jubir agama Islam). Itulah kenapa praktek apostasi, menganggap orang lain murtad, terus saja berkembang di dunia Islam sampai sekarang ini.

Luthfi kemudian beranjak membahas item-item masalah yang diulas al-Ghazali dalam Tahâfut al-Falâsifah, yang berjumlah dua puluh masalah. Enam belas masalah metafisik dan empat masalah non-metafisik (fisik). Dalam tujuh belas masalah dari dua puluh tadi, al-Ghazali menuduh para filosof telah melakukan bid’ah. Dan dalam tiga masalah, al-Ghazali menganggap para filosof telah keluar dari Islam, alias kafir. Tiga masalah krusial tersebut adalah ke-kadiman alam, Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular, dan penolakan filosofis akan adanya kebangkitan jasmani. Untuk penjelasan item- item ini, Luthfi tidak berkomentar banyak. Hanya sedikit item yang ia ulas, di antaranya tentang azaliyyat al-‘alam (pre-eternity alam). Selain itu, Luthfi juga menyinggung sedikit tentang masalah abadiyyat al-‘alam (post-eternity alam). Dalam perspektif al-Ghazali, post-eternity alam itu tidak mungkin. Tetapi dalam pandangan Ibnu Rusyd, post-eternity itu ada dalilnya di dalam Alqur’an sendiri. Makanya ia mengutipkan ayat, yauma tubaddalu al-ardlu ghaira al-ardli wa al-samâwâtu wa barazu lilLâhi al-wâhid al-qahhâr (Q.S. Ibrahim, 14:48).

Zainun Kamal–yang malam itu tampil sebagai pembicara pertama—juga tak luput mengkritik al-Ghazali dengan perspektif yang berbeda dari Luthfi. Zainun mengatakan bahwa al-ghazali-lah yang telah ikut berperan dalam membendung pemikiran rasional di dalam Islam. Universitas Nizhamiyah yang berdiri pada masanya juga ikut menjadi institusi yang menghambat pemikiran rasional Islam. Sebab yang boleh dipelajari di kampus itu, dalam bidang fikih hanya fikih Al-Syafi’i, dalam bidang teologi adalah teologinya al-Asy’ari, dan dalam bidang pemikiran adalah pemikiran al-Ghazali. “Dan inilah cermin dunia Islam sampai saat ini,” jelas Zainun. “Padahal, pada abad ke-8 M sampai abad ke-12 M, dunia Islam mengalami masa keemasannya,” sesal Zainun.

Zainun pun lalu menyarankan, “Mestinya yang lebih banyak kita pelajari adalah Ibnu Rusyd. Al-Ghazali itu kita pelajari secara sambil lalu saja. Karena al-Ghazali ini sudah jadi darah daging kita semenjak dari pesantren. Tidak belajar al-Ghazali pun, sejak kita lahir, wajah kita sudah al-Ghazali,” kelakar Zainun. Ia juga menambahkan bahwa lahirnya kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, telah memungkasi riwayat pemikiran rasional di dunia Islam dan hanya menghidupkan ilmu-ilmu agama; sesuai nama kitab tersebut. Dan al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu agama wajib dipelajari secara individual, orang per orang (fardlu ‘ain). Berbeda dengan ilmu dunia, yang bagi al-Ghazali hanya fardlu kifayah; kalau sudah ada pihak yang meng-handle, gugur sudah kewajiban kita untuk mempelajarinya. “Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din ini kan simbol pemikiran tasawuf; dan itu melemahkan dunia Islam. Lebih parah lagi, setelah al-Ghazali, pemikiran tasawuf diperkuat oleh Ibnu ‘Arabi. Tamatlah riwayat pemikiran rasional di dunia Islam,” pungkas Zainun.

Di akhir presentasinya, Pak Zainun mengutip pendapat almarhum Nurcholish Madjid dan Hassan Hanafi. Dari Hassan Hanafi, ia mengutip bahwa semestinya kita umat Islam beralih dari “persoalan langit” ke “persoalan bumi” (min al-sama’ ila al-ardl), dan juga beralih dari menghidupkan ilmu-ilmu agama ke arah menghidupkan ilmu-ilmu dunia yang sekuler (min ihya’ ‘ulum al-din ila ihya’ ‘ulum al-dunya). Dari Cak Nur, Zainun mengutip ungkapan berikut: di dunia timur, pemikiran al-Ghazali begitu mendominasi, sedang di dunia barat, yang lebih banyak berpengaruh adalah pemikiran Ibnu Rusyd. Karena itu, kalau dunia barat menjajah timur”, kata Cak Nur, “itu tidak lebih dari simbol penjajahan Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali.”

Berbeda dari dua pembicara lainnya, Mulyadhi Kartanegara yang malam itu tampil sebagai pembicara kedua, mengambil posisi yang fair terhadap al-Ghazali. Bahkan terkadang membantah kritikan atas Al-Ghazali oleh dua pembicara lainnya, sembari membela al-Ghazali. Ketika dua pembicara lainnya mengatakan al-Ghazali sebenarnya tidak memahami apa yang ia mau kritik, Mulyadhi justru membantah. “Kenapa Tahafut al-Falâsifah begitu berhasil? Itu tidak lain karena sebenarnya al-Ghazali memang paham apa yang dia mau kritik,” kata Mulyadi. Ia lalu menambahkan bahwa dari kitab al-Ghazali lainnya, Al-Munqidz min al-Dlalâl, sebenarnya kita tahu posisi “epistemologis” al-Ghazali, yaitu: janganlah mengkritik sesuatu kalau anda belum memahami betul apa yang mau anda kritik.

Mulyadhi juga menjelaskan kenapa kritik al-Ghazali terhadap para fisosof lewat Tahâfut al-Falâsifah tidak tepat sasaran–seperti dikatakan Luthfi—tapi tetap berhasil dan menang. “Itu tak lain karena kebanyakan dari kita cara berpikirnya masih teologis, bukan filosofis,” jelas Mulyadhi. Posisi fair Mulyadhi terhadap al-Ghazali nampak juga tatkala ia menyatakan sekaligus menyarankan, “jangan ikuti ­qaul-nya dong, tapi ikuti manhaj-nya.” Mulyadhi menambahkan, “kalau ada qaul (pendapat) al-Ghazali yang kurang tepat, ya kritik saja, sebab itulah manhaj (metode) yang al-Ghazali sarankan sendiri.”

Di akhir presentasinya, Mulyahdi menjelaskan bahwa memang sosok al-Ghazali ibarat dua sisi dari satu keping koin. Ia bisa punya pengaruh destruktif dan konstruktif sekaligus. Destruktif, terutama untuk perkembangan filsafat peripatetik. Dan konstruktif, sebab dia-lah yang memicu munculnya aliran filsafat isyrâqi (illuminasionisme) di dalam Islam, yang kemudian dikembangkan oleh Syuhrawardi yang sangat kagum terhadap kitab al-Ghazali, Misykât al-Anwâr. []

sunset

sunset
waktu selalu mengejar