Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Minggu, 10 Agustus 2008

Meninjau Ulang Teori Kenabian

Oleh Umdah El-Baroroh
Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah, yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah tukang pos yang hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut intervensi.

“Teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan sengit yang belum berhenti hingga saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema ini tidak terlalu besar.” Demikian pernyataan Ulil Abshar-Abdalla, mahasiswa Phd Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal, 5 Juli 2007 lalu. Mantan kordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) ini mengaku prihatin dengan kemandekan pembahasan soal ini. Menurutnya, wacana kenabian terakhir kali yang ditulis secara akademis oleh sarjana muslim adalah pada tahun 1980-an, oleh Fazlur Rahman. Setelah itu nyaris tak ada lagi peninjuan ulang tentang topik ini.

Sementara itu, dampak dari perdebatan tentang wacana ini telah menarik umat Islam dalam pertikaian yang berkepanjangan dan tak jarang berujung pada benturan fisik. Kasus terakhir yang membuat Ulil termotivasi untuk mendalami wacana ini adalah peristiwa kekerasan fisik terhadap Jamaah Ahmadiyah dalam beberapa tahun terakhir. Kelompok yang berasal dari Pakistan ini mengaku bahwa kenabian tidaklah berakhir dengan Nabi Muhammad. Kenabian terus berlangsung, meski tidak membawa syariat baru. Lantaran berpendapat seperti ini, kelompok Ahmadiyah menjadi bulan-bulanan massa yang mengaku dirinya Islam yang paling benar di Indonesia. Keprihatinan Ulil atas kasus tersebut juga mendorongnya untuk menulis topik ini dalam tugas akhir kuliah masternya di Universitas Boston.

Dalam diskusi yang digelar untuk mempresentasikan hasil tesisnya itu, Ulil menjelaskan panjang lebar tentang perdebatan klasik soal kenabian. “Salah satu tokoh Islam klasik yang menaruh perhatian besar atas tema ini adalah Ibnu Sina”, jelasnya. “Dalam sejarah Islam, perdebatan tentang wacana kenabian diwakili dua kubu. Kubu pertama adalah kaum ortodoks yang direpresentasikan oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, Nabi atau kenabian merupakan sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karenanya, gelar kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Pendapat ini berbeda dari pendapat kelompok kedua, yakni kaum heterodoks yang diwakili para ahli filsafat. Mereka menyatakan bahwa kenabian sesungguhnya merupakan keniscayaan dalam kehidupan ini.”

”Wujud fisik ini tidak mungkin ada tanpa Nabi”, tandas Ulil menjelaskan pandangan kelompok kedua itu. Ibnu Sina, misalnya, mensinyalir adanya tiga kelompok manusia di dunia ini. Pertama, orang yang tidak punya kecakapan teoritis dan praktis. Kedua, orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis hanya pada dirinya sendiri dan tidak mampu menyempurnakan orang lain. Ketiga, adalah orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis sekaligus, serta mampu mentransformasikannya kepada orang lain. Inilah sesungguhnya yang disebut sebagai Nabi.

Masih mengutip Ibnu Sina, Ulil menyatakan bahwa Nabi intinya adalah seorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. “Pendeknya, seorang Nabi adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga kepada manusia. Sebab, bagi Ibnu Sina, tugas kenabian sesungguhnya juga memerankan fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya,” jelas Ulil.

Perbedaan cara pandang dua kelompok di atas terhadap kenabian, berimplikasi pada perlakuan mereka terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya. Bagi kelompok ortodoks, ajaran kenabian adalah ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya. Karena semuanya bersumber dari wahyu Tuhan. Sementara bagi kelompok kedua, yaitu kelompok heterodoks, ajaran kenabian adalah ajaran manusia biasa saja. Ia bisa punya nilai kebenaran, tapi juga dimungkinkan adanya kekurangan. Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah, yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah tukang pos yang hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut intervensi.

Meski kenabian menjadi tema penting dalam kajian Islam, tetapi itu tidak berarti terjadi pula pada agama lain. Menurut penelitian Ulil, tema kenabian hanya menjadi tema serius pada agama Islam dan Yahudi. Agama-agama timur, seperti Hindu, Buddha, Tao, dan lainya, tidak menaruh perhatian serius pada tema kenabian. Bahkan agama Kristen yang nota bene sesama agama samawi pun tidak seserius Islam dan Yahudi dalam memperbincangkan soal kenabian.

Karena itu, dalam menulis tema kenabian ini, Ulil pun melakukan perbandingan antara konsep kenabian dalam Islam dan dalam agama Yahudi. Salah satu tokoh Yahudi yang menarik perhatian Ulil adalah Maimonedes atau Musa bin Maimun. Seorang filosof Yahudi yang hidup sejaman dengan Ibn Rusyd ini berpendapat bahwa puncak kenabian sesungguhnya adalah Musa. Setelah itu tidak ada lagi Nabi, kecuali kenabian-kenabian minor. Kenabian minor, menurut penjelasan Ulil adalah kenabian yang muncul sebagai repetisi atau paling jauh penyempurna terhadap sebelumnya. Ia tidak sepenuhnya hadir dengan ajaran baru. Jadi Isa, Muhammad, serta Nabi-Nabi setelah Musa, dalam perspektif Maimonides hanya mengulang atau menegaskan ajaran yang telah dibawa Musa. Dan kenabian minor dalam pandangan Maimonedes ini bisa dicapai oleh siapa saja. Artinya, fenomena kenabian itu masih terus berlanjut dan siapapun bisa menjadi Nabi.

Tidak seperti biasanya, diskusi malam itu hanya menghadirkan nara sumber tunggal. Meski demikian, diskusi tetap mampu menarik perhatian audiens. Ruangan Teater Utan Kayu, tempat dilangsungkannya diskusi yang berkapasitas lebih kurang seratus orang, malam itu pun penuh sesak dipadati oleh peserta dari berbagai kalangan. Bahkan hingga sesi dialog berakhir, sebagian besar audiens tetap sabar mengikuti acara.

Tidak ada komentar:

sunset

sunset
waktu selalu mengejar