Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Selasa, 09 September 2008

Achmad Chodjim: Kita Selalu Butuh Tafsir yang Sesuai Zaman

Katakanlah kita melihat ada ayat, ”Bunuhlah dan perangilah orang-orang kafir itu!” Ayat ini kalau mau kita angkat bukan untuk mencari sosok si kafir, tapi bagaimana kita harus bisa membunuh sifat ketertutupan manusia di dalam hidup yang semakin maju ini.

Ramadan juga dikenal sebagai Bulan Alquran (Syahr Al-Quran) karena di dalam bulan ini kitab suci itu diturunkan. Pada kesempatan ini, KUIK melakukan wawancara dengan Achmad Chodjim yang saat ini sedang menulis tafsir Alquran. Pak Chodjim ini juga dikenal sebagai penulis buku-buku best seller seperti Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Berikut petikan wawancara Novriantoni dengan beliau.

Pak Chodjim, Anda bukan orang yang secara spesialis yang menekuni pendidikan agama, tapi tertarik menulis tafsir Alquran. Apa yang motivasi Anda?

Begini, kita ketahui bahwa Alquran diturunkan kepada manusia ini tidak ada lain sebagai petunjuk, dan di dalamnya memang dijelaskan sebagai petunjuk. Alquran juga memuat penjelasan tentang petunjuk itu. Namun demikian ketika seseorang membaca Alquran, akan dihadapkan banyak kesulitan bagaimana memahami rangkaian ayat-ayat itu. Mengapa bisa terjadi demikian, karena kita mengetahui bahwa Alquran itu diwahyukan tidak di dalam komposisi kronologisnya. Alquran sendiri tidak sistematis. Selain itu bahasa Alquran juga tidak memiliki titik koma atau tanda baca. Bahasa Alquran juga banyak mengandung metafor-metafor, dan juga banyak kata-kata yang tidak eksplisit. Inilah yang mendorong saya menafsirkan Alquran sehingga satu surat Alquran itu memiliki makna sehingga menjadi petunjuk bagi yang membacanya.

Kalau boleh tahu, apa modal Anda dalam melakukan tafsir Alquran?

Secara umum modal untuk menafsirkan Alquran itu banyak. Pertama, bahasa Arab. Kita harus paham bahasa Arab, termasuk sastranya, meskipun secara pasif. Kedua, kita juga harus punya modal sejarah (sîrah) Nabi. Sebab kita tahu bahwa ayat-ayat Alquran itu diturunkan tidak lepas dari ruang dan waktu. Ketiga, kita juga harus memiliki kamus berbahasa Arab. Tentu saja makin banyak kamus bahasa Arab yang kita miliki akan sangat membantu di dalam memahami ayat-ayat Alquran. Karena kenyataannya banyak ayat-ayat Alquran itu yang satu kata digunakan oleh satu suku misalnya suku Quraisy, tetapi tidak digunakan di suku yang lain. Padahal di dalam Alquran dinyatakan bahwa Alquran itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Tentu pengertian yang jelas harus kita selidiki dan kita tinjau lebih jauh. Kalau sesuatu dikatakan jelas berarti seseorang pasti akan menemukan rujukannya tidak mungkin tidak.

Kalau kita menggunakan kategori konvensional ilmu tafsir, misalnya tafsir bil ma’tsur atau tafsir yang berdasarkan riwayat-riwayat hadits dan ada juga tafsir bi al-ra’yi, bagaimana dengan metode tafsir Pak Chodjim?

Dalam menafsirkan Alquran kita tetap mengikuti urut-urutan. Pertama-tama adalah tafsir itu harus kita terjemahkan ayat dengan ayat, mengapa? Karena di dalam Alquran disebutkan bahwa Alquran itu diturunkan yang sifatnya mutasyâbih dan makânî. Itu ada di surah al-Zumar ayat 23. Kalau kita pahami Alquran itu ayat-ayatnya mutasyabih itu artinya, ayat-ayat itu saling terkait antara satu kata atau satu ayat di satu surat, satu kata atau satu ayat di surat yang lainnya. Lalu makânî maksudnya ayat-ayat itu diturunkan selama 23 tahun, dan terjadi pengulangan-pengulangan dan kalau kita pahami sering ayat-ayat itu sering kali diungkapkan beberapa kali. Misalnya kata al-’aql (akal) saja diulang sampai lebih dari 40 kali. Nah, dengan adanya mutasyabih yang saling terkait dan pengulangan ini maka yang pertama adalah mencoba memahami satu ayat dan dicari kaitannya atau relasinya ayat yang lain. Setelah itu misalkan kita temukan lalu kita lihat kaitan kata itu dengan kondisi sosial pada waktu itu. Kita lihat misalnya penggunakan kata-kata yang ada pada waktu itu. Lalu kita lihat juga sejarah yang ada waktu itu. Nah setelah itu kita mencoba menyelidiki atau melihat satu ayat itu berdasarkan sejauh mana makna yang diungkapkan dalam ayat atau surat itu. Sebab boleh jadi kata itu bersifat lahiriah tapi yang dituju malah batiniah dan fenomena ini banyak sekali. Misalnya kita ambil contoh, pada surah al-Isra’ ayat 72. Kalau dibaca di sana orang yang membaca itu buta lahiriahnya. Tapi konsekuensinya kalau buta lahiriah akan buta di akhirat. Itu tentu tidak senada dengan ayat-ayat Alquran yang lain. Misalnya, orang yang mengeluh, ”Ya Allah kenapa saya di dunia dahulu hidup tidak buta tetapi sekarang saya buta”. Di sinilah mata rantainya lalu jika sudah dilihat semuanya itu apakah ayat yang kita tafsirkan itu sesuai dengan akal pikiran atau tidak. Sebab selama ini orang cenderung mengabaikan akal, padahal kita tidak melanggar pernyataan Allah bahwa kita harus menggunakan akal. Misalnya, ada sumpah Tuhan Tuhan di dalam Alquran, wal-’ashri (demi waktu asar), atau sumpah Tuhan misalnya qiyamah, di sini adalah sumpah padahal kalau kita melihat, mengamati dan memperhatikan apa yang dipakai Tuhan untuk sumpah itu bukan sesuatu yang diluar akal pikiran manusia. Misalkan kiamat tidak bisa tidak dipelajari maka kita mencoba menyelidiki. Kalau kiamat itu pengertiannya hancurnya alam semesta, ya tidak ada gunanya Tuhan bersumpah. Sebab kalau Tuhan bersumpah itu artinya ada sesuatu yang harus diperhatikan manusia, tidak bisa tidak. Maka kita langsung mencari makna kiamat di situ. Bagaimana ayat-ayat yang berkaitan di dalam sumpah kiamat itu apakah memang betul-betul terlepas atau bisa kita kaitkan dengan ilmu pengetahuan.

Bagaimana posisi tafsir-tafsir yang sudah dikarang oleh ulama sebelumnya? Apakah tafsir-tafsir itu relevan dan menjadi kutipan dalam tafsir Anda?

Kalau melihat tafsir-tafsir yang lalu pertama-tama kita pikirkan cara mereka menafsirkan. Umumnya cara mereka menafsirkan adalah hanya terpaku ayat dengan ayat. Misalnya yang dilakukan oleh Ibn Katsir, Jalalayn. Padahal kalau kita perhatikan dengan kenyataan perkembangan alam semesta ini, kalau hanya ayat dengan ayat tanpa menggunakan akal pikiran akan sia-sia. Maka di sini kita anggap terlalu banyak misalnya memuat hal-hal yang sifatnya sudah lampau. Tapi juga ada orang yang menafsir mencoba memahamkan dengan hal yang sifatnya kontekstual. Misalnya yang dilakukan Muhammad Abduh, atau tafsir al-Jawâhir yang juga banyak mengangkat hal-hal yang sifatnya ilmiah. Maka semuanya akan kita gunakan sebagai landasan yang bisa cocok ayat yang sedang kita tafsirkan itu. Bahkan kalau perlu tafsir yang sangat sufistik itu bisa menonjol pada ayat-ayat tertentu kalau memang kaitannya di situ. Misalnya tafsir surat al-Baqarah yang berkaitan dengan memotong sapi betina, kalau itu dilakukan secara lahiriah kita tetap tidak akan pernah nyambung. Jadi pasti harus ada nuansa sufistik di dalamnya.

Zaman sekarang para ahli tafsir menggunakan tafsiran tematik atas ayat Alquran, kenapa Pak Chodjim menggunakan tafsir surah persurah, bukan tematik?

Saya memang sadar sepenuhnya bahwa sekarang ini mulai banyak orang yang melakukan penafsiran Alquran yaitu tafsir tematik atau al-mawdlû’î. Namun kita harus paham bahwa masyarakat Islam pada umumnya tetap masyarakat yang sufatnya itu dapat kita katakan sebagai masyarakat yang masih konvensional. Artinya masyarakat konvensional itu tetap menganggap bahwa Alquran itu murni pemahaman satu surat secara utuh. Jadi ini yang saya sadari. Jadi kalau tafsir-tafsir tematik di toko buku misalnya itu tidak terlalu banyak menarik minat orang-orang yang ingin mendalami Alquran secara keseluruhan. Atau orang-orang dari pesantren, atau orang-orang yang ngaji di banyak peguruan. Mereka tidak tertarik, katakanlah, terhadap buku tafsir tentang masalahnya ekosistem. Karena pikirannya adalah orang tinggal melihat ekosistem itu siapa yang menulis. Kalau di sana kok banyak Alquran maka mereka yang bekerja di ilmu ekosistem. Ya, dia akan mencari sumber yang bersifat ilmu pengetahuan yang ekologi. Begitu pula ada tafsir tentang ilmu kelautan misalnya tapi bagi yang memang betul-betul berminat tentang kelautan jelas akan belajar ilmu kelautan lebih spesifik. Hanya orang-orang yang misalnya sekedar menambah wawasan yang mencoba mengaitkan antara ajaran yang ada di dalam Alquran dengan yang ada di dalam tema-tema kehidupan sehari-hari. Makanya inilah yang mendorong saya tidak tertarik untuk menulis tafsir tematik tetapi lebih tertarik menulis surah. Nah, tentu surat itu akan saya tafsirkan secara berbeda. Kalau yang lain-lain itu biasa ditafsirkan secara tahlîlî: ayat demi ayat, saya pun melakukan itu tetapi saya bagi berdasarkan tema-tema. Jadi surat ini mengandung berapa tema maka saya tidak lepas dari tema-tema yang ada. Nah, ketika kita menyebut tentang tema tentu kita akan tarik ayat-ayat yang lain di luar ayat yang kita tafsirkan itu.

Bagaimana Anda melihat problem subjektivitas penafsir yang memiliki preseden? Apakah hal ini lumrah, atau seorang penafsir itu tidak boleh memiliki motif dan preseden?

Ketika kita menafsirkan Alquran pertama-tama kita harus memahami pesan seluruh Alquran. Jadi kita tidak bisa tanpa memahami pesan yang ada di dalamnya secara keseluruhan. Jadi dulu misalnya dari awal sudah ada tafsi-tafsir itu berorientasi golongan, misalnya bagaimana kalangan Muktazilah menulis Alquran di situ nuansanya yang mendukung pola rasional Muktazilah. Orang Syi’ah juga mendukung orang Syi’ah, namun kalau kita kembali ke sana kita menjadi kadaluarsa.

Tapi misalnya, apakah tidak mungkin menafsirkan misalnya lebih mendorong ke arah toleransi dalam hidup? Di sini yang harus kita ambil adalah pesan mana yang saat ini relevan dalam membangun kemajuan umat saat ini. Oh, ternyata Alquran mengatakan kepada Nabi Muhammad, ”Tidaklah engkau (Muhammad) diutus kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Nah, tentu kita pengikut Muhammad, kita memiliki misi menjadi rahmat bagi seluruh alam. Menjadi rahmat bagi seluruh alam harus dicari di seluruh ayat yang berkaitan dengan rahmat, termasuk bagaimana sikap orang yang bertoleransi, bagaimana sikap hidup orang Islam punya solidaritas terhadap sesama, dan bagaimana orang Islam itu mencintai orang-orang karena kedalaman hatinya. Jadi tetap kita perhatikan itu. Tafsir-tafsir yang telah saya tulis tidak lepas dari sifat tasamuh, toleransi, bagaimana bekerja sama, bagaimana melakukan kritik pada kecurangan-kecurangan dan sebagainya.

Kita mengenal beberapa tafsir Alquran dengan corak-corak tertentu, misalnya Zamakhsyari dan Abduh lebih banyak berbicara tentang rasionalitas, al-Jawâhir, pada tafsir saintifik atas Alquran. Kalau tafsir Anda sendiri bagaimana?

Yang ada dalam pikiran saya, bagaimana menulis tafsir sesuai dengan perkembangan zamannya. Jadi karena di masa sekarang ini masa globalisasi, maka tafsir yang saya suguhkan tentu harus bernuansa pandangan yang meyeluruh, yang tidak merupakan kumpulan dari serpihan-serpihan. Katakanlah kita melihat ada ayat, ”Bunuhlah dan perangilah orang-orang kafir itu!” Ayat ini kalau mau kita angkat bukan untuk mencari sosok si kafir, tapi bagaimana kita harus bisa membunuh sifat ketertutupan manusia di dalam hidup yang semakin maju ini. Jadi saya justru akan menekankan kepada bagaimana menjalani misi hidup di zaman yang sudah holistik ini. Jadi kita tidak menjadi bagian dari yang parsial tapi menjadi bagian yang universial.

Dalam khazanah tafsir kita mengenal tafsir sufi, seperti Ibn ’Arabi dan beberapa penafsir sufi lainnya. Apakah Anda juga melakukan tafsir ini?

Oh, tentu saja di dalam tulisan-tulisan saya itu akan saya ungkapkan tidak semata-mata hanya berdasarkan riwayatnya, tapi betul-betul akan saya lihat kajian itu bagaimana kepercayaan itu berkembang. Misalnya siksa kubur, saya ulas itu di dalam surah al-Nas. Di sana saya sebutkan misalnya kapan pemahaman tentang orang di dalam kubur itu disiksa. Kapan misalnya di dalam Alquran ada kata jahannam, padahal kita tahu kata jahannam itu bukan kosa kata Arab asli. Jadi saya telusuri dari kata apa itu. Lalu kenapa Alquran kok mencoba menyerap kata jahannam. Nah, dari situ kita akan memaknai lebih jauh tidak hanya konvensional. Ini yang perlu kita pahami, sehingga kalau kita bicara tentang neraka maka kita tidak sekedar percaya sebagaimana neraka yang digambarkan, karena itu pun persepsi. Padahal di Alquran sendiri misalnya di surah al-Ra’ad 35 atau di surat 47 ayat 15 misalnya di situ dijelaskan dengan jelas apa yang dicantumkan di dalam neraka atau di surga itu adalah matsal, berarti perumpamaan. Nah, di situ kita bisa menarik keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang surga dan neraka. Begitu pula yang berkaitan dengan siksa kubur.

Tafsir kita ini sudah banyak, dan sering menimbulkan konflik. Bagaimana Anda tetap menulis tafsir di tengah banyaknya tafsir ini?

Kita harus tahu bahwa kita hidup itu adalah sebuah realitas, kita tidak mungkin banyak tafsir tetapi itu kalau kita coba lihat kaitkan dengan kaitan yang ada itu tidak ketemu. Malah seringkali ayat-ayat Alquran hanya digunakan sebagai pengkonfirmasi tindakan atau kepentingan. Ini tidak boleh terjadi. Contoh, kalau kita melihat ayat-ayat katakanlah poligami, orang langsung mencomot ayat itu dari semua konteks. Jadi tentang poligami hanya diambil dari surah al-Nisa’ ayat 3, seolah-olah hanya itulah makna dari ayat itu. Padahal tidak demikian. Kita perlu menjelaskan kepada masyarakat sehingga satu ayat tidak disalahartikan demi untuk memenuhi kepentingan pribadi atau nafsunya. Dan inilah yang memotivasi saya untuk menjelaskan. Ada satu contoh lain bahwa ada orang shaleh dan ia mukmin niscaya dia akan dimasukkan ke surga. Ayat ini kan kelihatannya ditujukan kepada laki-laki, padahal ini adalah ayat untuk pengertian umum. Sehingga siapa saja kalau mukmin akan masuk surga, dan siapa saja yang masuk surga akan mendapat bidadari. Makna bidadari ini juga masih bias jender, jadi, ini pentingnya kita menulis kembali tafsir.

Saya kira yang penting dalam hal ini, ketika membaca Alquran itu pikiran kita mestinya terbuka sepenuhnya. Yang kedua cobalah kita timbang, apakah yang ditafsirkan orang itu sesuai dengan kondisi yang ada atau memang ayat itu sudah tidak sesuai lagi diterapkan di zaman sekarang karena masanya sudah berbeda. Nah, di sini kita diingatkan, hati kita pun harus tenang, pikiran kita terbuka, lalu kita harus banyak-banyak untuk menimba berbagai wacana. Khususnya pembaca Alquran tidak boleh melulu yakin kalau membaca Alquran itu sudah mendapatkan petunjuk dari situ. Mengapa? Karena di surat al-Waqi’ah dinyatakan ”Tak ada yang mampu menggapainya atau menyentuhnya kecuai dirinya telah disucikan”. Nah, menyucikan diri kan kita tidak mengikatkan pada ego kita sendiri. Kita harus bebaskan kebencian, kedengkian, dendam dan sebagainya. Nah, itu adalah salah satu syarat penting.

Gagasan Pluralisme Dewa

Oleh Saidiman

Filsuf abad Pencerahan, Imanuel Kant, membagi kebenaran dalam dua kutub besar: kebenaran fatamorgana (baca: fenomena) yang dicerap oleh potensi subjektif kemanusiaan, dan kebenaran hakiki (baca: numena) yang objektif dan tak terjangkau oleh potensi kemanusiaan. Ketika seseorang menyatakan sebuah kebenaran objektif, maka sesungguhnya itu hanyalah klaim kebenaran subjektif.

Ideas have wings, no one can stop their flight (Film Destiny)

Memperjuangkan idealisme adalah barang langka dalam kesenian populer Indonesia, terutama seni musik. Teramat jarang ditemui insan-insan musik yang berkesenian untuk mempertahankan sebuah idealisme, kendatipun itu mendobrak premis mayor mainstream masyarakat. Kebanyakan pemusik hanyalah serpihan budaya massa yang kaku dan tak berjati diri. Teramat langka pemusik Indonesia yang mencoba bertanya kepada sebuah realitas: bertanya, dalam hal ini, adalah mencoba untuk kritis, dan mungkin untuk melawan.

Di zaman Orde Baru, kita hanya menemukan satu nama, Iwan Fals, selebihnya tidak. Pasca Orde Baru, ketika kekuatan penindas tidak terpusat pada negara, melainkan diambil-alih oleh masyarakat mayoritas, maka perlawanan terhadap ketertindasan bukan lagi dialamatkan kepada negara semata-mata, melainkan kepada mayoritas penindas. Masyarakat bukanlah harga mati bagi sebuah kebenaran. Eforia demokrasi memang kerapkali membawa kekuatan mayoritas sebagai penafsir tunggal kebenaran. Kekuatan-kekuatan kecil, dengan kebenarannya masing-masing, kerapkali ditindas oleh kekuatan golongan besar.

Ironi Demokrasi

Inilah salah satu ironi demokrasi. Dan hal seperti inilah yang nyata dalam fakta kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Berbagai peristiwa yang tersiar ke masyarakat umum memperjelas arogansi kebenaran mayoritas terhadap minoritas: kasus M. Yusman Roy yang diadili karena mengajarkan salat dwi-bahasa, protes terhadap grup musik Dewa karena dianggap menghina Allah, juga berbagai peristiwa kekerasan atas nama agama di Jawa Timur, dan lain sebagainya.

Pada kondisi seperti ini, grup musik Dewa, walau agak sungkan, muncul dengan paradigma perlawanan terhadap dominasi kebenaran mayoritas melalui lirik-lirik lagunya yang pluralis, disamping religius, filosofis, dan nasionalis-patriotis. Coba kita bedah bait-bait lagu album terakhir Dewa, Laskar Cinta, yang baru-baru ini menuai kontroversi. “Katamu kau cinta aku/ Demi Tuhan kau bersumpah/ Katamu kau akan setia/ Demi Tuhan kau berjanji/ Begitu mudah mulutmu berkata/ Atas Nama Tuhan/ Demi kepentinganmu/ Atas nama cinta saja/ Jangan bawa-bawa Nama Tuhan/ Apapun cara kau tempuh untuk dapatkan yang kau mau/ Meski kau harus jual murah ayat-ayat suci Tuhan (Atas Nama Cinta).”

Bait-bait itu mencerminkan prinsip sekularisasi, dimana Dewa berusaha mensakralkan Tuhan dan agama pada posisi di luar urusan duniawi. Ahmad Dhani (pemimpin Dewa) mencoba kritis terhadap budaya kepalsuan dan kemunafikan di negeri ini yang begitu mudah menjustifikasi segala kepentingan atas nama Tuhan: entah itu kepentingan di dunia politik, ekonomi, budaya, dan di dalam hubungan personal antar sesama manusia.

Bagi Dewa, kebenaran tidak dipatenkan hanya milik sekelompok orang, sebab setiap kepala memiliki keunikannya sendiri. “Hidup ini punya sejuta warna/ Tak hanya hitam putih/ Begitu adanya/ Apa yang kamu yakini sebagai sebuah kebenaran/ mungkin…/ bukanlah sebuah kebenaran buat yang lainnya (Shine On).”

Dalam realitas majemuk yang selalu berubah, relativitas kebenaran subjektif adalah sebuah pengandaian yang tak terbantahkan. Tapi di luar relativitas kebenaran subjektif, ada kebenaran objektif yang hakiki. “Tak ada kebenaran hakiki/ Yang ada Cuma hanya/ Kamu di sana…/ Dan akulah milikMu/ Keyakinan akan sebuah kebenaran/ Bukanlah kebenaran/ Kebenaran yang sejati/ Bila tak benar…diuji kebenarannya (Nonsens).”

Konsep Kebenaran

Filsuf abad Pencerahan, Imanuel Kant, membagi kebenaran dalam dua kutub besar: kebenaran fatamorgana (baca: fenomena) yang dicerap oleh potensi subjektif kemanusiaan, dan kebenaran hakiki (baca: numena) yang objektif dan tak terjangkau oleh potensi kemanusiaan. Ketika seseorang menyatakan sebuah kebenaran objektif, maka sesungguhnya itu hanyalah klaim kebenaran subjektif. Setiap orang memiliki kebenaran subjektifnya masing-masing. Oleh karenanya, keraguan atau kesangsian adalah hal wajar dalam kehidupan duniawi.

“Bila…ada adalah…tidak ada/ Bila…apa yang…kau tahu salah/ Bila…apa yang…kau dengar bohong/ Apakah langit…/ Memang ada di atas kita/ Apakah langit…/ Memang biru-biru warnanya/ Apakah langit…/ Memang benar-benar adanya (Nonsens).” Lalu bila dicermati lebih jauh, dan orang mau jujur tentang itu, bait-bait lagu Dewa ini berasal dari sebuah refleksi yang tidak dangkal. Butuh perenungan panjang, mungkin juga pergulatan batin, untuk melahirkannya: bukan hanya karena kedalaman maknanya, melainkan juga karena ia merupakan bentuk perlawanan terhadap epistema mayoritas masyarakat Indonesia.

Tidak mudah melakukan perlawanan terhadap realitas yang begitu menindas, apalagi atas nama kekuatan absolute, Tuhan. Untuk itulah, bisa dipahami ketika Dewa melunak ketika dituntut untuk mengganti gambar sampul album terakhirnya. Jauh lebih bermanfaat semua lapisan masyarakat mau mendengarkan bait-bait lagunya dari pada berrebut soal gambar sampul. Gambar sampul hanyalah simbol, sementara inti dari misinya ada di dalam bait-bait yang memukau itu. Dan mungkin Dhani dan kawan-kawan ingin menunjukkan, bahwa simbol dimana-mana selalu tak terlalu penting.

Puncak dari rangkaian refleksi perlawanan Dewa tercermin dalam lagu Satu, lagu yang diaku terinspirasi dari capaian religiusitas Abu Mansyur al-Hallaj. Lagu ini disebut banyak kalangan sebagai refleksi paham keagamaan panteisme, wihdlatul wujud. Cinta hamba kepada Tuhan, pada tingkat tertinggi, membentuk ketiadaan jarak antara keduanya. Kemuliaan prilaku sebagai hamba di dunia ini hanyalah instrumen untuk mendekati kemuliaan Tuhan. Semulia-mulianya manusia adalah yang mampu merefleksikan kemuliaan Tuhan secara sempurna.

Penyatuan hamba dengan Tuhan adalah kondisi di mana segala urusan dan kepentingan pribadi ditanggalkan semata-mata karena Tuhan. “Aku ini…adalah dirim(M)u/ Cinta ini…adalah cintam(M)u/ Aku ini…adalah dirim(M)u/ Jiwa ini…adalah jiwam(M)u/ Rindu ini…adalah rindum(M)u/ Darah ini adalah darahm(M)u/ Tak… ada yang lain…selain dirim(M)u/ Yang selalu kupuja…ouo…/ ku…sebut namam(M)u/ Di setiap hembusan nafasku/ Kusebut namam(M)u…/ kusebut namamu…/ Dengan tanganm(M)u…aku menyentuh/ Dengan kakim(M)u…aku berjalan/ Dengan matam(M)u… kumemandang/ Dengan telingam(M)u…kumendengar/ Dengan lidahm(M)u…aku bicara/ Dengan hatim(M)u…aku merasa (Satu).”

Politik dan Kekuasaan

Paham wihdlatul wujud memang pernah dianggap sebagai aliran sesat dalam Islam. Dua orang penganut fanatiknya, al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, bahkan dibunuh oleh rezim penguasa pada masanya karena menganut dan mengajarkan paham ini. Tapi satu hal yang tidak bisa diingkari, di samping berbagai alasan politis yang melatarbelakangi eksekusi itu, adalah kondisi sosial politik yang menjadi anutan kekuasaan saat itu.

Al-Hallaj dan Syech Siti Jenar tidak hidup di masa modern di mana nilai-nilai demokrasi dan pengakuan terhadap perbedaan ditegakkan; bahwa ada prinsip kebebasan bagi siapa saja untuk menganut paham keagamaan apa saja, karena religiusitas adalah perkara yang sangat pribadi. Dalam hal ini, kalau betul bangsa ini sedang mencoba menerapkan segala prinsip negara demokratis, kebebasan Dewa adalah contoh untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya.

Apa yang dilakukan Dewa saat ini adalah barang langka yang harus terus dijaga agar tidak punah oleh tangan-tangan jahil kaum “jahiliah.” Bukan berarti Dewa telah membawa kebenaran sejati, tapi setidaknya Dewa telah memberikan pengakuan terhadap keragaman umat manusia. Dewa mengemukakan pendapat, tetapi tidak mengklaim benar sendiri.

“Maafkanlah slalu… salahku/ Karena kau memang pemaaf/ Dan aku hanya… manusia… (Hidup Ini Indah).” Hidup dalam keragaman bukanlah petaka, melainkan masa depan keindahan ummat manusia. “Shine on…shine on/ Let’s make harmony… for a better future (Shine On).

Menuju Pluralisme Global

Oleh Moh. Shofan

Pluralisme selalu menjadi problem, baik ketika menyangkut sistem ekonomi, ideologi-politik maupun struktur sosial, apalagi masalah agama-agama. Munculnya truth claim dan salvation claim yang mengatanamakan iman (baca: agama) merupakan fenomena yang marak kita jumpai di masyarakat kita.

Wacana tentang pluralisme masih begitu penting dan krusial, karena terkait dengan hal penting dan sensitif, yaitu masalah teologis. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan ada kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran kitab suci masing-masing agama selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agama kita yang paling benar. Namun, dalam beberapa hal, kitab suci masing-masing agama secara tersirat menyatakan adanya ‘jalan lain’ di luar agamanya, yang bisa jadi merupakan jalan yang absah juga untuk dilalui dalam prosesi menuju Tuhan.

Di Indonesia yang pluralistis ini, penting mengkaji dan memahami konsep pluralisme. Buku Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan Pandangan Alqur’an, setidaknya menjadi bahan kajian ilmiah yang sangat menarik. Buku ini ditulis oleh seorang profesor yang luas wawasan keilmuannya dan mampu memahami dasar-dasar teologis tentang pluralisme. Lebih dari itu, penulisnya mampu menyajikan data-data historis bagaimana mesranya hubungan Islam dengan agama-agama lain yang punya sejarah panjang menjalankan pluralisme.

Walau bukan satu-satunya rujukan, buku ini memberi kontribusi besar dalam upaya membangun pluralisme global dewasa ini. Pluralisme selalu menjadi problem, baik ketika menyangkut sistem ekonomi, ideologi-politik maupun struktur sosial, apalagi masalah agama-agama. Munculnya truth claim dan salvation claim yang mengatanamakan iman (baca: agama) merupakan fenomena yang marak kita jumpai di masyarakat kita. Menurut analisis Pradana Boy, konflik tersebut sudah mengalami perluasan dimensi yang tidak saja berputar-putar pada masalah discourse tetapi sudah masuk ke aspek tindakan dalam bentuk kekerasan.

Menurut Hugh Goddard, dalam Christians & Muslim: From Double Standards to Mutual Understanding, apa yang membuat hubungan Islam-Kristen berkembang jadi kesalahpahaman dan rasa saling terancam adalah berlakunya standar ganda. Baik orang Kristen maupun Islam, keduanya menerapkan standar-standar berbeda untuk menilai dirinya—biasanya bersifat ideal dan normatif—sedangkan terhadap yang lain, mereka memakai standar yang bersifat realistis dan historis. Untuk itu, konsep suatu agama dalam menilai agama lain perlu dipaparkan secara terbuka.

Konsep Alqur’an tentang Pluralisme

Setidaknya ada empat tema pokok yang jadi katagori utama Alqur’an tentang pluralisme agama. Pertama, tidak ada paksaan dalam beragama. Embrio paham bertumpu pada ayat Alqur’an surat al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Secara eksplisit, Alqur’an mengajarkan bahwa dalam memilih agama, manusia diberi kebebasan untuk mempertimbangkannya sendiri.

Dalam pandangan almarhum Cak Nur (1993) pada dasarnya ajaran ini merupakan pemenuhan alam manusia yang secara pasti telah diberi kebebasan oleh Allah, sehingga pertumbuhan perwujudannya selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh—apalagi dipaksakan–dari luar. Keberagamaan hasil paksaan luar tidak pernah otentik karena kehilangan dimensinya yang paling dasar dan dalam, yakni kemurnian atau keikhlasan.

Kedua, pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan Alqur’an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 62: “Orang-orang beriman (orang-orang Muslim), Yahudi, Kristen, dan Shabi’in yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, serta melakukan amal kebajikan akan beroleh ganjaran dari Tuhan mereka. Tidak ada yang harus mereka khawatirkan, dan mereka tidak akan berduka”. Titik tekan ayat ini ada pada aktivitas kongkret umat beragama yang harus berada dalam katagori amal saleh. Itu berarti, masing-masing agama ditantang untuk berlomba-lomba menciptakan kebaikan dalam bentuknya yang nyata.

Ketiga, kesatuan kenabian. Konsep ini bertumpu pada surat al-Syura ayat 13: “Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama sebagaimana yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya”. Lewat ayat ini, Fathi Osman menegaskan bahwa salah satu pokok keimanan Islam adalah kepercayaan bahwa iman kepada sekalian nabi dan rasul itu mempunyai makna teologis yang mendalam dan menjadi prinsip pluralisme Islam.

Keempat, kesatuan pesan ketuhanan. Konsep ini berpijak surat al-Nisa’ ayat 131. “Dan kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, dan (juga) kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah”.

Menghidupkan yang Normatif

Pandangan normatif tentang pluralisme di atas, tidak boleh dibiarkan berhenti pada lembaran-lembaran teks, tetapi perlu dipahami dengan kerangka metodologis dalam menafsirkan dan mentransformasikannya. Untuk melakukan itu, bagi Kuntowijoyo (1991) dibutuhkan kerja intelektual dan usaha untuk mengangkat teks itu ke tingkat penafsiran yang bebas dari beban-beban atau bias-bias historisnya.

Itu diperlukan sebagai salah satu syarat menuju pluralisme global di kalangan beragam manusia. Di samping kerja intelektual, mewujudkan pluralisme global memerlukan keberanian untuk berdialog dengan pemeluk agama-agama lain. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika dari masing-masing bersikap partisipan dan tidak bersedia membuka diri, saling memberi dan menerima secara sukarela dan antusias. Sikap menutup diri dari dialog itu, menurut Kautsar Azhari Noor (Gaus AF: 1998), bukan merupakan suatu kekokohan dasar sejati dalam beriman, tapi merupakan kegoyahan. Kekokohan yang sejati tidak memerlukan ‘benteng’ ketertutupan.

Dialog konstruktif untuk menghindari salah paham antaragama merupakan tuntutan yang tak bisa ditunda. Karena itu, kita harus tetap menghargai agama dan kepercayaan lain tanpa dihantui anggapan “menyamakan semua agama”. Setiap agama tentu punya ciri. Masing-masing agama punya paham dan konsepsi mengenai siapa yang disembah. Tapi dalam hal etika dan moral, titik persamaan akan lebih banyak tampak pada semua agama. Di situlah visi global pluralisme agama bisa berkecambah. []

Puasa dan Nilai Kemanusiaan

Oleh Kautsar Azhari Noer

Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan.

Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa adalah mencapai ketakwaan (QS, 2:183). Ketakwaan adalah memelihara diri dari segala yang membahayakan dan menyengsarakan hidup, dengan melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ketakwaan dapat dipandang sebagai ukuran derajat kemanusiaan manusia. Semakin tinggi ketakwaan seseorang, semakin tinggi derajat kemanusiaannya. Manusia yang paling mulia di mata Tuhan adalah manusia yang paling tinggi ketakwaannya (Q 49:13). Ketakwaan dalam arti sebenarnya mencerminkan bukan hanya kesalehan individual, yang berguna untuk diri sendiri, tetapi juga melahirkan kesalehan sosial, yang berguna bagi orang banyak. Kesalehan individual sejati adalah daya penggerak kesalehan sosial. Kesalehan individual yang tak berguna untuk orang banyak bukan kesalehan sejati.

Kita dapat mengatakan bahwa manusia yang mulia di mata Tuhan adalah manusia yang saleh yang bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak. Orang yang tidak bermanfaat bagi orang banyak bukan orang saleh dan bukan pula orang bertakwa. Maka manfaat bagi orang banyak adalah ukuran atau bukti kebaikan, yang sekaligus adalah ukuran ketakwaan dan kesalehan. Nabi Muhammad mengatakan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak. Tetapi harus diingat bahwa semua perbuatan yang dilakukan untuk kesalehan harus disertai dengan niat untuk mengabdi kepada Tuhan. Jika suatu perbuatan tidak disertai niat untuk mengabdi kepada Tuhan, akan timbul godaan kuat untuk pamer diri (riya’).

Puasa yang berhasil mencapai tujuannya, yaitu ketakwaan, melahirkan sifat-sifat terpuji seperti kejujuran, kesabaran, ketabahan, kepedulian sosial, kedermawanan, kasih sayang, keramahan, dan toleransi. Ini adalah adalah sifat-sifat insani, yang berbeda dengan sifat-sifat hewani. Sifat-sifat insani mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Sebaliknya, sifat-sifat-hewani menjatuhkan derajat kemanusiaan kepada derajat kebinatangan. Dalam konteks itu, puasa dapat dipandang sebagai sebuah cara negatif (negative way): meniadakan sifat-sifat hewani atau sifat-sifat tercela. Puasa yang lebih tinggi kualitasnya bukan hanya menahan diri dari perbuatan yang membatalkannya, tetapi juga menahan diri dari perbuatan-perbuatan tercela seperti: berbohong, menipu, memfitnah, bergunjing, smendengar yang tidak bermanfaat, melakukan kekerasan, menghina, dan mencaci-maki.

Menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang membatalkan, perbuatan-perbuatan tercela, dan segala sesuatu yang memalingkan diri dari menyaksikan Tuhan, adalah “cara negatif”: tidak melakukan makan, tidak minum, tidak bersetubuh, tidak berbohong, tidak menipu, tidak memfitnah, dan sebagainya. “Cara negatif” adalah sifat hakiki puasa. Karena itu, Ibn ‘Arabi (w. 1264), mengatakan bahwa puasa pada hakikatnya adalah meninggalkan, bukan melakukan (tark la ‘amal). “Ciri negatif” inilah yang menghilangkan kemiripan (mitsliyyah) puasa dengan ibadah-ibadah lain. Allah, kata Ibn Arabi, meninggikan puasa dengan menafikan kemiripannya dengan ibadah lain. Ibn Arabi merujuk hadis, “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa tak memiliki kemiripan (lā mitsla lahu).”

Puasa sebagai cara negatif adalah suatu “beban yang diwajibkan” (maktūbah), yang berlawanan dengan fitrah manusia seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, dan marah ketika dicaci-maki. Puasa mengekang fitrah manusia. Puasa adalah “beban yang diwajibkan” untuk kehidupan asketik dalam kehidupan manusia. Tanpa unsur pengorbanan kepentingan diri (self-denial) dan asketisisme, tidak mungkin ada kehidupan spiritual. Seyyed Hossein Nasr, pemikir Sufi asal Iran, mengatakan bahwa orang harus adakalanya menarik diri dari kehidupan penuh dari indra-indra agar mampu menikmati buah tangkapan daya indrawi. Seperti dinyatakan dengan tegas oleh perkataan Taois, kata Nasr, ruang kosong rodalah yang membuatnya menjadi roda.

Puasa adalah pengosongan diri dari sifat-sifat hewani agar diri menjadi ruang bagi sifat-sifat insani. Apabila sifat-sifat hewani telah hilang dari diri orang yang berpuasa, maka yang tersisa dalam dirinya adalah sifat-sifat insani. Orang seperti ini akan menjadi orang jujur, sabar, peduli sosial, dermawan, ramah, dan toleran. Orang seperti ini tak akan melakukan penipuan dan mengambil yang bukan haknya. Orang seperti ini tak akan membiarkan orang-orang yang terpinggirkan menderita kelaparan. Orang seperti ini tak akan mencaci-maki agama lain atau aliran lain karena itu akan menyakiti para penganutnya. Orang seperti ini tak akan melakukan kekerasan, meskipun atas nama kebenaran dan Tuhan.

Melalui puasa, para penganut agama-agama lain dan pengamal spiritualitas, sebagaimana kaum Muslim, dapat pula melakukan pembersihan diri dari sifat-sifat buruk dan penahanan diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan.

Cara puasa Islam jelas berbeda dengan puasa Gandhi, tetapi keduanya mempunyai titik-temu: pengendalian diri. Kaum muslim tidak perlu meniru cara puasa Gandhi dan para penganut agama-agama lain. Yang penting bagi kaum muslim adalah agar puasa yang dilakukan mencapai tujuannya: ketakwaan. Apalagi ketika bangsa kita sedang besiap menghadapi pemilu 2009, ketakwaan sangat diperlukan, terutama bagi para pencari kursi kekuasaan, agar mampu mengendalikan diri dengan menjauhi perilaku yang tidak bermoral. Jadikanlah Nabi Muhammad sebagai teladan dalam memperjuangkan keadilan melalui jalur politik yang bermoral. Nabi Muhammad pernah berpolitik dan menjadi kepala negara di Madinah. Jangan kalah dengan Gandhi yang berjuang untuk keadilan dan kepentingan kemanusiaan melalui jalur politik yang bermoral.[]

sunset

sunset
waktu selalu mengejar