Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Rabu, 16 Desember 2009

NU Harus Dipimpin Anak Muda

oleh : Saidiman

ULIL Abshar Abdala tentu bukan nama baru dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia yang penuh kontroversi. Karena itu menantu KH A Mustofa Bisri yang pernah difatwa mati oleh umat Islam lain ini bukanlah tanda seru. Namun namanya mencuat dan menjadi tanda tanya besar lagi ketika ia mencalonkan diri sebagai sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU).

Ada agenda besar apa yang hendak ia lakukan? Ia ingin mengobrak-abrik lembaga sakral ini atau justru membangun dengan sepenuh hati? Berikut perbincangan dengan Koordinator Jaringan Islam Liberal yang juga Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Jakarta) itu, belum lama ini.

Banyak yang bilang Anda mencari sensasi saat mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PB NU. Apa komentar Anda?
Terus terang beberapa saat lalu setelah empat tahun belajar di Amerika, saya tidak punya keinginan menjadi pimpinan NU. Jujur saja setelah mendengar kabar Yuddy Chrisnandi yang masih muda juga berjuang menjadi Ketua Umum Partai Golkar, saya terinspirasi mencoba hal sama di NU. Meskipun demikian, di NU sudah ada teladan yang bisa dicontoh. Dulu Gus Dur pada saat menjadi Ketua Umum PB NU berusia 44 tahun dan KH Wahid Hasyim juga masih sangat muda.
Sejak kecil saya juga hidup, tumbuh, dan berkiprah di lingkungan NU sehingga saya merasa tidak salah jika mencalonkan diri menjadi pimpinan NU.
Yang jelas setelah bertemu dan berem­buk dengan teman-teman muda, memang ada kerinduan sebagian besar dari mereka untuk kembali kepada era Gus Dur. Era Gus Dur ini ditandai oleh kepemimpinan ide. Tentu saja Gus Dur tidak bekerja dan berpikir sendiri. Ia didukung oleh para pinisepuh.
Pada waktu NU dipimpin oleh Gus Dur, ia memang menjadi organisasi massa (ormas) yang semula dianggap se­bagai kaum sarungan yang tertinggal di pe­desaan menjadi ormas yang memiliki power di pentas nasional. Nah harga diri se­macam itu sekarang ini dirasakan hi­lang karena NU terlalu terlibat dalam di­namika politik.
Tentu saja saya tidak antipartai atau po­litik kepartaian. Boleh saja NU terjun da­lam dunia politik. Akan tetapi harus ada keseimbangan dengan wataknya yang sebagai ormas yang mengurus umat, yakni mengurus pendidikan dan ke­maslahatan umat.
Keinginan saya menjadi Ketua Umum PB NU juga didorong oleh hasrat saya mengkritik teman-teman yang telah mencitrakan lembaga ini sebagai ormas pedesaan. Ini cara memandang NU yang keliru atau tidak sepenuhnya benar. Anak-anak keluarga NU yang menempuh pendidikan di kota atau keluarga NU yang urbanisasi makin banyak. Sayang, mereka ini tidak pernah diperhitungkan. Karena itu ketika mendesain program-program apa pun yang disasar adalah warga NU yang berada di pedesaan. Warga-warga NU yang berada di perkotaan tidak pernah disapa. Akhirnya, me­reka diambil alih, direkrut, atau ”dibajak” oleh kelompok lain. Ini yang sekarang menjadi keluhan. Prinsipnya saya dan kawan-kawan muda rindu NU kembali menjadi civil society organization. Karena itu, NU harus menjadi ormas mo­derat yang membawa pemikiran segar.
Mengapa harus kembali ke era Gus Dur? Saya sendiri mendefinisikan diri sebagai orang yang lahir karena Gus Dur. Waktu NU kembali ke kittah pada 1984, saya adalah santri di Kajen yang mengikuti peristiwa itu dengan penuh perhatian. Komentar-komentar, ucapan-ucapan, dan apa pun tindakan Gus Dur saya perhatikan. Karena itu figur Gus Dur benar-benar membentuk segala tindak-tanduk saya.
Apa reaksi awal kalangan NU saat Anda mencalonkan diri?
Ada yang menyambut positif. Saya memang belum terjun di kalangan bawah tapi saya telah keliling sowan ke kiai-kiai. Selama dua bulan saya menjumpai tokoh-tokoh dan PB NU di Jawa dan luar Jawa. Saya akan silaturahim, kula nuwun kepada mereka. Saya kira saya tidak perlu mengotot menerangkan keinginan-keinginan saya. Yang penting silaturahim dulu. Nanti pada saatnya saya baru mengutarakan gagasan-gagasan atau apa yang saya pikirkan mengenai NU.
Ada juga yang keras sekali merespons tindakan saya. Namun jumlahnya sangat sedikit. Saya kaget. Saya membayangkan yang mengkritik gagasan saya akan banyak. Selama ini kan saya dianggap sebagai momok bagi pemikiran-pemikiran Islam konvensional.
Apakah keliberalisan Anda tidak menjadi persoalan?
Sudah pasti hal itu menjadi persoalan. Akan tetapi ini akan mudah dijelaskan. Selama ini pemikiran-pemikiran Islam liberal saya telah disalahpahami. Jika dicermati, seluruh pemikiran saya se­sungguhnya merupakan kritik saya terha­dap Islam radikal. Tradisi pemikiran dan tindakan mereka jauh dari segala hal yang saya kenal di NU. Perdebatan pun terjadi. Mereka memelintir ayat-ayat Allah untuk memberhalakan keradikalan dan meng­anggap salah segala yang saya pikirkan. Parahnya setelah itu mereka memprovo­kasi dan melaporkan saya kepada para kiai mana pun betapa saya telah menyimpang dari Islam dan NU. Situasi ini menajam karena saya dan anak-anak muda lain yang liberal kurang sowan dan menjelas­kan persoalan-persoalan itu kepada para kiai.
Saya yakin persoalan ini bisa terselesaikan karena saya memang sama sekali tidak mengkritik doktrin aswaja, tradisi atau ritual NU. Kritik saya, sekali lagi, tertuju pada kelompok-kelompok yang memperjuangan negara Islam atau syariat Islam di Indonesia. NU, kita tahu, secara organisatoris, tidak pernah mendukung pemberlakuan syariat Islam yang formalistik. Semangat saya dan NU sama. Pemikiran saya selama ini justru menerjemahkan semangat NU kembali ke kittah. Indonesia, kata para sesepuh NU, bukanlah negara yang harus dipertentangkan dengan Islam. Pancasila, ungkap Gus Dur, tidak harus dipersaing­kan dengan Islam. Islam dan Pancasila itu komplementer. Pemikiran-pemikiran para pinisepuh NU semacam itu sangat men­darah daging dalam diri saya. Jadi, saat saya mengkritik ide-ide pendirian ne­gara Islam, sesungguhnya merupakan ke­lanjutan dari pemikiran-pemikiran NU.
Karena itu tidak ada alasan para kiai mengkritik keliberalisan pemikiran-pemikiran saya. Kemarahan kiai terjadi karena mereka mendapatkan informasi sepihak mengenai diri saya. Saya difitnah menghalalkan minum, percaya pada Syeh Siti Jenar, dan menganjurkan tidak memberikan salam kepada umat Islam. Wah, fokus perhatian saya tidak ke hal-hal semacam itu.
Apakah tradisi NU yang meletakkan kiai sepuh sebagai segala-galanya juga tak menghambat keinginan Anda? Ba­gai­mana jika Anda tidak direstui para kiai?
Tentu saja restu kiai masih sangat perlu. Dulu Gus Dur selain memiliki ke­kuatan ide, di belakang dia ada kiai-kiai besar yang mendukung. Antara lain ada Kiai Ali Maksum dan Kiai Ahmad Syamsul Arifin. Inilah dua naga dalam NU yang mendukung mereka.
Kini memang tidak ada kiai yang memiliki reputasi semacam itu. Sekarang harus diakui ada kemerosotan kualitas kiai karena selain mereka banyak yang terjun ke politik, kualitas pendidikan di pesantren juga merosot. Waktu pendidikan di pesantren makin pendek. Tidak ada yang sampai setingkat perguruan tinggi. Generasi Kiai Ali Maksum atau Kiai Bisri Mustofa, misalnya, adalah sosok yang mondok hingga level strata tiga (S3). Sekarang segalanya sangat pragmatis.
Bukan berarti saat saya sowan ke para kiai, lantas kami tidak memiliki pandang­an yang berbeda. Akan tetapi dengan memberikan penjelasan yang detail mengenai gagasan-gagasan saya, mereka tidak akan mempermasalahkan pen­calon­an diri saya sebagai Ketua PB NU.
Bagaimana Anda ”mengatasi” atau ”berhadapan” dengan calon lain?
Saya merasa akan bisa berkompetisi dengan mereka. Saya merasa bisa fas­tabiqul khairat dengan mereka. Masing-masing punya keunggulan dan kelemah­an. Saya akan bertarung all out. An­dalannya: saya ingin meremajakan NU dari mulai PB NU. Realitasnya yang bekerja itu anak muda, tetapi mereka tidak dianggap. Kaderisasi di NU nol. Ka­de­risasinya murni alamiah. Ini harus di­ubah. Ini berbeda dari Partai Keadilan Se­jahtera (PKS) yang kaderisasinya sistematik menggunakan cara-cara metode yang canggih dan modern. Modernisasi organisasi di NU, dengan demikian tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hanya dengan begitu NU bisa ber-fastabiqul khairat dengan ormas-ormas yang lain. Dan yang bisa merasakan sense of crisis semacam ini anak-anak muda. Bukan berarti orang tua tidak diperlukan. Akan tetapi anak-anak mudalah yang bisa bergerak me­ngatasi persoalan ini.
Gus Mus tertawa saat saya bertanya mengenai pencalonan Anda. Apa makna tawa mertua Anda ini?
Ya…memang mustahil…saya menjadi Ketua Umum PB NU karena selama ini saya lebih banyak di luar negeri. Selain itu saya tidak punya modal, tak punya duit banyak. Saya juga tidak punya jaringan sebagai mana teman-teman yang kini duduk di PB NU. Semua orang akan skeptis pada saya sebagaimana Susilo Bambang Yudhoyono dulu dianggap tak mungkin mengalahkan Megawati.
Apa komentar Gus Mus pada pen­calonan Anda?
Beliau senang. Gus Mus mengatakan, ”Memang yang harus memimpin NU anak-anak muda.” Mungkin saja yang dianggap anak muda itu bukan anak muda seperti saya. Mungkin ada anak muda lain yang lebih ideal. Hanya sejauh ini tidak ada anak muda yang berani maju. Jika ada anak muda yang maju, saya tak perlu maju.
Mengapa tak ada?
Memang berat menjadi Ketua Umum PB NU. Jalan untuk menjadi pemimpin NU itu memang panjang. Itu sama dengan Anda ingin menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Anda harus punya modal dan jaringan besar dan anak-anak muda tak punya keduanya. Jadi pencalonan saya ini memang gelap dari segi apa pun. Ini seperti sebuah mimpi. Saya sangat sadar saya tengah bermimpi. Saya seperti menabrak tembok tebal. Jadi memang susah menjadi Ketua PB NU. Saya ingin mencoba sampai sejauh mana saya bisa menembus tembok. Jika Gus Dur bisa memimpin NU pada usia 44 tahun, mengapa anak muda NU sekarang tak bisa?
Tentu Gus Dur tidak bisa dibanding­kan dengan siapa pun. Namun bukankah segala sesuatu akan menjadi kenyataan yang jika dicoba.
Ada variabel lain yang membuat Anda yakin mencalonkan diri?
Kepemimpinan yang sekarang ini tidak memuaskan karena telah membawa NU ke ceruk politik terlalu jauh. Ke­tidakpuasan ini bisa menjadi jalan masuk saya untuk mengubah pola kepemim­pinan di NU. Suasana reformasi juga mem­bawa tren peremajaan yang luma­yan bergelora.
Ini membuat anak muda punya kesempatan memimpin. Yang jelas saya punya modal pendidikan (Is­lam, Barat, dan Timur) yang akan berguna untuk membawa NU menghadapi tantangan ke depan yang beranjak berperan di ranah global. Ini modal yang tak dimiliki kandidat lain. Ini modal yang harus dikapi­talisasi. (35)

Profil:

Ulil Abshar Abdala: Pati, 11 Januari 1967.

Pendidikan: Pondok Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen (Pati), Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang (Rembang), Sarjana Fakultas Syari’ah Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab (Jakarta, 1993), Master Perbandingan Agama (Boston, 2007), Kandidat Doktor Near Eastern Languages and Civilations Harvard University (AS).

Pekerjaan: Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Jakarta), Direktur Program Indonesian Conference of Religion and Peace, dan Koordinator Jaringan Islam Liberal, serta Direktur Freedom Institute (Jakarta). (35)

(Triyanto Triwikromo/)

sunset

sunset
waktu selalu mengejar