Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Jumat, 02 Januari 2009

Ancaman Obama untuk Indonesia

Oleh Saidiman

Latar belakang Obama sebagai minoritas akan membuatnya lebih bisa menyadari akan adanya keragaman. Masing-masing orang memiliki nalar dan kebajikannya sendiri. Nilai kebenaran tidak pernah tunggal, melainkan beragam. Obama akan lebih mudah merayakan keberagaman, ketimbang mencurigainya. Inilah keistimewaan kalangan minoritas yang berhasil menjadi pemimpin.

Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya di Sinar Harapan, 1 Desember 2008

Pemerintah Indonesia patut mewaspadai Barack Obama yang berhasil unggul dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, 4 November 2008. Kewaspadaan itu perlu mengingat perbedaan yang mungkin muncul antara cita-cita politik Obama dan haluan kebijakan pemerintah Republik Indonesia.

Kemenangan Semua Golongan

Memang banyak warga negara Indonesia yang menginginkan senator ini memenangkan pemilihan. Para pendukungnya menganggap Obama akan menjadi presiden yang memperhatikan kepentingan Indonesia dalam politik internasional. Pengalaman pernah tinggal di Indonesia diyakini akan membuka mata Obama tentang realitas masyarakat dunia yang beragam.

Dengan pemahaman seperti itu, Obama tampil sebagai kandidat yang mengusung nilai-nilai liberalisme dan pluralisme. Dalam pidato kemenangannya, Obama tigak segan menyapa semua warga Amerika: yang berkulit putih maupun hitam, yang perempuan maupun laki-laki, para agamawan, kaum gay maupun lesbian, para difable, dan seterusnya. “Kita semua adalah warga Amerika Serikat,” tegas Obama.

Dengan cara pandang semacam ini, tampak bahwa Obama tidak akan memberi toleransi terhadap praktik-pratik diskriminasi dalam bentuk dan dengan latar belakang apapun. Dia tidak akan mudah melakukan praktik yang sebetulnya selalu menjadi ancaman bagi eksistensinya sebagai kelompok minoritas kulit hitam Amerika. Latar belakang semacam ini penting untuk membangun kesadaran mengenai pluralitas.

Yang membedalan pemerintahan Bush dan Obama adalah bahwa Bush menerapkan cara pandang dualisme: di mana dunia di luar Amerika dianggap sebagai objek yang harus diubah sesuai dengan cara pandang masyarakat Amerika. Dunia ini, bagi Bush, harus di”adab”kan, apapun caranya, dan itu adalah sesuatu yang baik.

Latar belakang Obama sebagai minoritas akan membuatnya lebih bisa menyadari akan adanya keragaman. Masing-masing orang memiliki nalar dan kebajikannya sendiri. Nilai kebenaran tidak pernah tunggal, melainkan beragam. Obama akan lebih mudah merayakan keberagaman, ketimbang mencurigainya. Inilah keistimewaan kalangan minoritas yang berhasil menjadi pemimpin.

Paradigma Diskriminatif Pemerintah Indonesia

Terlalu dini jika kemudian kita simpulkan bahwa dengan bekal pengetahuan mengenai realitas Indonesia, Obama kemudian akan mengeluarkan kebijakan yang mendukung kebijakan pemerintah negeri ini. Pemerintah Indonesia justru seharusnya waspada kepada Obama mengingat beberapa kebijakan dalam negeri yang belum sesuai dengan garis haluan cita-cita Obama untuk menghapus diskriminasi.

Dalam banyak kasus, Indonesia terlihat belum cukup memuaskan dalam penanganan isu-isu penghapusan diskriminasi. Beberapa kasus besar pelanggaran hak azasi manusia yang melibatkan rezim pemerintah masih terlalu jauh dari penyelesaian: kasus pembantaian anggota PKI 1960-an, represi Orde Baru terhadap kelompok Islam, kekerasan Timor Timur, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, penculikan dan pembunuhan aktivis di akhir 1990-an, pembunuhan aktivis HAM Munir, kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah, pemenjaraan dan kekerasan terhadap tokoh-tokoh agama minoritas seperti Lia Eden, Yusman Roy, Madi, dan sebagainya.

Pemerintah Indonesia tidak hanya lalai dalam menjamin hak warga negara minoritas untuk hidup dan berekspresi sebagaimana warga negara pada umumnya, pemerintah bahkan tidak mampu membendung semangat untuk memberlakukan pelbagai aturan diskriminatif. Pelbagai peraturan daerah silih berganti muncul untuk membatasi aktivitas warga. Tiga pembantu presiden bahkan menandatangani larangan terhadap penganut ajaran Ahmadiyah untuk menyebarkan keyakinannya. Pemerintah tampak masih sangat tunduk kepada aspirasi kelompok mayoritas tetapi mengabaikan hak-hak minoritas. Dewan Perwakilan Rakyat bahkan mensahkan Rancangan Undang-undang Pornografi yang mendeskreditkan budaya beberapa kelompok masyarakat.

Pemerintah Indonesia tidak hanya melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik diskriminasi, melainkan juga acapkali terlibat sebagai pelaku diskriminasi itu sendiri. Menangkap orang-orang yang dianggap menyimpang dalam hal keyakinan agama benar-benar adalah bentuk diskriminasi. Sebab paradigma menyimpang hanya berdasar kepada pendapat kelompok mayoritas. Sementara argumentasi dan aspirasi kelompok minoritas tidak mendapat perhatian sama sekali. Dari kacamata minoritas, yang menyimpang justru adalah kelompok mayoritas.

Pada aspek pembangunan, pemerintah Indonesia jelas melakukan diskriminasi pembangunan. Pemerintah seolah tertutup pintu hatinya untuk memfokuskan pembangunan pada masyarakat Indonesia bagian Timur yang sejak lama tidak bisa menikmati akses pembangunan. Masyarakat Indonesia bagian Timur dibiarkan tenggelam dalam keterbelakangan dan kebodohan. Akibatnya, seluruh paradigma berpikir pemerintah selalu terpaku pada cara pandang masyarakat Indonesia bagian Barat.

Pelbagai kasus diskriminasi ini terjadi karena tidak adanya kesadaran mengenai keragaman. Seolah-olah dunia ini adalah satu dan seragam. Keragaman adalah sesuatu yang benar-benar nyata dan tak mungkin dipungkiri. Adonis, pemikir besar Libanon, mengemukakan bahwa asal muasal keragaman itu ada pada penciptaan awal. Tidak benar, menurut Adonis, penciptaan ini berasal dari sesuatu yang tunggal. Fakta keragaman membuktikan bahwa semuanya berasal dari yang beragam. Keragaman adalah esensi kehidupan. Oleh karenanya, menghargai dan merayakan keragaman adalah sesuatu yang semestinya. Mereka yang ingin memberangus keragaman justru adalah mereka yang ingin keluar dari logika alamiah itu sendiri.

Paradigma diskriminatif itu pasti bertolak belakang dengan paradigma yang terus menerus dijadikan bahan utama bagi kampanye Obama. Dengan demikian, jika pemerintah Indonesia tidak mau mengubah paradigma diskriminatifnya, maka bukan simpati Obama yang akan datang, melainkan ancaman.

Selamat datang, Obama!

Menyikapi Konflik Hamas-Israel

Oleh Mohamad Guntur Romli

Kita juga menjumpai adanya kemunduran pada posisi Hamas yang menguasai Jalur Gaza saat ini, yang beberapa tahun sebelum ini menjanjikan harapan dan perubahan bagi dunia internasional dengan mengikuti pemilu dan meninggalkan pendekatan senjata dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Namun, karena perpecahan internal di Palestina, khususnya Hamas dengan kelompok Fatah, Hamas seolah-olah kembali ke habitatnya yang semula. Ke depan, Hamas perlu kembali pada jalur: jihad diplomatik dan perundingan untuk meraih kembali dukungan dunia internasional.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Kompas, Rabu, 31 Desember 2008

Sampai tiga hari serangan militer Israel ke jalur Gaza telah tewas 350 orang lebih dan 1.000 orang luka-luka. Tak hanya penduduk Palestina yang banyak mati syahid, serangan militer Israel yang membabi buta itu juga menghancurkan fasilitas-fasilitas publik: universitas, masjid, rumah sakit, dan lain-lain. Dunia internasional mengecam dan mengutuk tindakan brutal militer Israel itu.

Konflik antara Hamas dan Israel ini lahir akibat dari kebuntuan politik dalam mencari solusi ke depan. Gagalnya perpanjangan gencatan senjata dua pekan sebelum ini antara Israel dan Hamas menjadi pemantik konflik ini. Kedua belah pihak saling tuding pihak mana yang mengawali konflik ini. Bagi Israel, Hamas-lah yang telah mengirimkan roket-roket yang menyerang permukiman sipil Israel. Namun, bagi Hamas, Israel-lah yang telah melanggar kesepakatan genjatan senjata sehingga Hamas tidak ingin memperpanjang kesepakatan itu.

Apa pun persoalannya, tindakan Israel yang menyerang Gaza kali ini tidak bisa dibenarkan sama sekali. Apa yang disebut sebagai ”tindakan membela diri” hanyalah dalih bagi pihak militer Israel untuk menyerang Palestina yang tujuannya meruntuhkan rezim Hamas di Gaza. Cara ini hanya didukung oleh kelompok elite konservatif dan militer di Israel yang masih percaya bahwa dengan pencaplokan dan serangan militer, keamanan bagi rakyatnya bisa dijaga.

Masih segar dalam ingatan kita, pada medio 2006, ketika ditengarai ada delapan serdadu Israel terbunuh dan dua serdadu ditawan di perbatasan Lebanon selatan oleh tentara Hizbullah, Israel malah melancarkan se- rangan membabi buta, meng- hancurkan kota-kota di Lebanon, khususnya Beirut, dan mene- waskan 1.000 orang lebih.

Pihak militer Israel dalam posisi sewenang-wenang merasa di atas hukum nurani kemanusiaan dan hukum-hukum internasional. Setiap kali Israel terdesak oleh kesepakatan damai, salah satu strategi yang ia lancarkan adalah melakukan penyerangan dan kekerasan sehingga pihak Palestina lupa akan tuntutan-tuntutan terhadap Israel tersebut dan terpaksa berhenti pada genjatan senjata saja.

Semakin lemah

Menyikapi hal ini, rakyat Palestina membutuhkan hukum internasional yang terbaru untuk menekan pihak Israel. Hukum tersebut harus berbeda dari hukum-hukum internasional sebelum ini yang tidak bisa efektif dan koersif terhadap Israel. Tentu saja hukum internasional ini belum tentu langsung berhasil, tetapi kalau tidak dilakukan, itu hanya akan terus memperkuat apatisme. Kegagalan sebelum ini tak bisa dijadikan alasan untuk terus apatis, tetapi dijadikan sebagai pelajaran agar tidak kembali gagal.

Pada konteks yang lain, rakyat Palestina saat ini, baik yang ada di Jalur Gaza maupun Tepi Barat, seperti dalam tawanan pihak-pihak yang berkuasa, baik Fatah maupun Hamas. Adanya perpecahan antara Fatah dan Hamas sejak tahun 2007 membuat posisi Palestina semakin lemah di hadapan Israel.

Menyikapi serangan Israel terhadap Gaza kali ini pun, pihak PLO dan Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Mahmoud Abbas hanya berpangku tangan dan menyalahkan Hamas. PLO dan Otoritas Palestina tidak bisa bekerja dengan efektif karena dikuasai kelompok Fatah yang korup sehingga tidak bisa mengontrol perkembangan yang ada di Gaza yang dikuasai kelompok Hamas.

Adanya persaingan Ismail Haniyah, perdana menteri versi Hamas, dengan Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, yang berujung pada penggusuran posisi Ismail Haniyah dan meng- gantinya dengan Salam Fayyad—meskipun dari pihak independen dan profesional—tetap tidak bisa mengendalikan situasi di Palestina.

Hal yang mendesak dilakukan adalah kelompok-kelompok yang bertikai di Palestina, mulai dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami, segera berkumpul dan berunding. Perpecahan di antara mereka hanya memperlemah posisi Palestina dan menguatkan posisi lawan. Lembaga Otoritas Palestina dan PLO juga perlu di- kembalikan pada fungsinya dan dihormati keberadaannya. Fatah tidak bisa secara otoriter ingin menguasai dua lembaga ini yang bisa berkomunikasi dengan dunia internasional. Menutup akses ini pada Hamas—yang telah lama diboikot dunia internasional—akan membuat Hamas bertindak sendiri dan merugikan pihak Palestina.

Jihad diplomatik

Kita juga menjumpai adanya kemunduran pada posisi Hamas yang menguasai Jalur Gaza saat ini, yang beberapa tahun sebelum ini menjanjikan harapan dan perubahan bagi dunia internasional dengan mengikuti pemilu dan meninggalkan pendekatan senjata dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Namun, karena perpecahan internal di Palestina, khususnya Hamas dengan kelompok Fatah, Hamas seolah-olah kembali ke habitatnya yang semula. Ke depan, Hamas perlu kembali pada jalur: jihad diplomatik dan perundingan untuk meraih kembali dukungan dunia internasional.

Sikap Hamas yang semakin keras justru akan membuat posisinya semakin terkucil meskipun mengucilkan Hamas adalah tindakan pengecut karena tidak memiliki keberanian untuk menekan Israel yang lebih kuat dan brutal. Sikap pengucilan ini akan semakin membuat pendukung Hamas kehilangan diri dan harapan sehingga konflik di sana akan semakin berkepanjangan. Jika hal ini terus terjadi, berarti kita telah membiarkan kekuatan rasional dan diplomatik kalah di hadapan kekuatan emosional yang destruktif.

Oleh karena itu, menyikapi konflik yang ada di Jalur Gaza sekarang ini, rakyat Palestina memerlukan selain bantuan-bantuan kemanusiaan, yang lebih penting adalah dukungan publik dunia internasional untuk menekan Israel. Bukan bantuan ”relawan jihad” karena para pejuang Palestina sangat tangguh, berani, dan berpengalaman. Sembari memberikan dukungan itu, kita perlu membantu dan mendorong agar pihak-pihak yang pecah di Palestina—dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami—berkumpul, berunding, dan mencari kesepakatan agar barisan rakyat Palestina kukuh dan tidak mudah tercerai-berai menghadapi serangan kaum konservatif Israel.

Lia Aminuddin dan Problem Penghapusan Agama

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Dengan demikian, agama baru tak boleh bersikap angkuh dengan menganulir ajaran agama sebelumnya yang telah menjadi keyakinan para pengikutnya sejak lama. Seperti halnya Lia yang tak boleh sewenang-wenang menghapus agama Islam, maka begitu juga ulama Islam tak boleh memvonis secara sepihak terhadap agama yang tumbuh sebelumnya. Injil tak bisa diadili dengan menggunakan Alquran, misalnya, karena konteks yang melatari kehadiran dua kitab suci itu jelas berbeda.

Lia Aminuddin mendirikan agama baru. Ia tak memulainya dari nol. Lia meracik agamanya dengan sejumlah ajaran dari agama lain. Sebagiannya diambilkan dari Alquran, dan sebagian yang lain dari Injil dan Taurat. Ia mengkompilasi Islam, Kristen, dan Yahudi dalam satu chapter. Ia pun menggunakan nama-nama mitis yang lazim dipakai agama-agama Timur Tengah tersebut seperti Jibril, Ruhul Kudus, Bunda Maria, Yesus Kristus, dan sebagainya. Ia bertutur, sejumlah ayat Alquran turun kembali ke haribaannya. Ia menyerap dan meratifikasi ayat-ayat dalam Injil. Dengan merujuk pada Alkitab surat Wahyu 12: 1 misalnya, Lia mengaku sebagai reinkarnasi Bunda Maria. Ia pun mengutip ayat dalam Veda dan dalam Dhammapada untuk mengukuhkan eksistensinya. Dalam periode ini, ia seakan hendak menegaskan bahwa apa yang dibawanya bukan sesuatu yang baru. Ia dan ajarannya merupakan kelanjutan logis dari ajaran para nabi dan pendiri agama sebelumnya.

Sampai di situ, Lia tak terlampau kontroversial. Karena hampir semua nabi terutama pada saat awal kehadirannya memiliki klaim sama. Yesus pernah berkata, “janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya”. (Perjanjian Baru, Matius 5: 17). Nabi Muhammad pernah diperintah mengikuti agama Ibrahim. Allah berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu: ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dia tak termasuk orang-orang Musyrik”. (QS, al-Nahl [16]: 123). Itu sebabnya Muhammad SAW tak menganggap dirinya sebagai yang pertama. Allah berfirman, “katakanlah, “aku bukanlah yang pertama di antara rasul-rasul” (qul ma kuntu bid`an min al-rusul). (QS, al-Ahqaf [46]: 9). Ungkapan serupa juga dikemukakan Lia Aminuddin ketika pertama kali memperkenalkan kenabian dirinya ke publik.

Namun, dalam perkembangan berikutnya Lia mengajukan klaim lain. Ia tak mendaku sebagai nabi dan reinkarnasi Bunda Maria lagi. Lia menyebut dirinya Jibril Ruhul Kudus, malaikat yang dikenal karena kesabarannya bolak-balik mengantar wahyu Allah kepada para nabi dan rasul. Ia berkata, “aku, Ruhul Kudus pun telah sampai pula pada saatnya dapat menjelma menjadi manusia sempurna di tengah masyarakat. Aku selalu ada sebagaimana Lia Eden yang tak pernah berpisah denganku sesaatpun. ….Sebagaimana Lia Eden itu terfungsikan sebagai jasadku, karena pada dirinyalah berada ruhku yang mapan. ..Aku menjelma secara fisik dengan sempurna demi menyatakan Kerajaan Tuhan”. (Surat Ruhul Kudus 7-8). Bagi saya, pengakuan Lia ini bukan hanya tak biasa, melainkan juga tak punya preseden. Tak pernah ada orang yang mengaku sebagai (jelmaan) Jibril. Paling jauh orang-orang dalam rumpun agama semitik seperti Islam menganggap diri sebagai sufi, wali, nabi, dan imam mahdi. Tak lebih dari itu. Mengaku wali saja cukup kontroversial apalagi mengaku nabi dan penubuhan Jibril.

Sebagai Jibril Ruhul Kudus, telah dua tahun lalu Lia memaklumatkan penghapusan agama-agama. Ia berkata, “Aku bersumpah dengan terpaksa menghapuskan semua agama-agama demi mengadili dan demi membakukan Keadilan-Ku. Dan kuhapuskan semua agama-agama demi perdamaian dan kemudahan jalan menuju surga-Ku”. (Sumpah Tuhan Yang Maha Kuasa, 18). Ia juga berkata, “Dan apabila Aku sudah menghapus agama Islam setahun yang lalu, walau tak bergaung karena tak diberitakan sehingga tak menjadi perhatian umum, tapi itu telah terlaksana sebagai Ketetapan Hukum-Ku. Demikianlah Kuperlihatkan kenaasan nasib umat Islam sedunia setelahnya”. (Sumpah Tuhan Yang Maha Kuasa, 18). Pernyataannya tentang penghapusan Islam ini telah memantik pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sejumlah ulama mengajukan keberatan. Mereka menganggap Lia dan jemaatnya telah melakukan penodaan agama sehingga pantas diadili.

Bagaimana penghapusan agama lama oleh agama baru ini? Apakah itu unik pada agama rintisan Lia? Pertama, agama baru biasanya menghapuskan sebagian ajaran agama lama dan menerima sebagian yang lain. Islam mengabrogasi sebagian syari`at agama Yahudi yang dipandang tak relevan. Tapi, juga menerima sebagian yang lain yang dinilai cocok dengan konteks zaman. Islam pernah menetapkan hukum rajam dan qishash sebagaimana Yahudi mengundangkannya. Karena itu, dalam ushul fikih disebutkan bahwa syari`at sebelum Islam (syar`u man qablana) merupakan salah satu sumber hukum Islam. Lia pun mengenal istilah pengakuan dan penebusan dosa sebagaimana kerap dilakukan umat Kristiani. Model penghapusan dan akomodasi parsial seperti ini telah banyak terjadi dan orang mudah memaklumi.

Kedua, agama baru selalu membawa semangat penyegaran dan peremajaan. Islam misalnya dianggap sebagai edisi revisi dari agama Tuhan yang diselewengkan (tahrif) dan dipalsukan oleh umat Kristiani dan Yahudi. Sebagian mufasir mengartikan orang-orang termurka (al-maghdlub `alaihim) dan tersesat (al-zhallin) dalam Alquran surat al-Fatihah sebagai orang Yahudi dan Nashrani. Kehadiran Islam diharapkan bisa memulihkan integritas agama yang hancur di tangan para pemeluk agama Yahudi dan Nashrani. Lia juga sama. Ia memandang umat Islam dan Kristiani Indonesia telah melanggar kodrat agama sebagai tangga menuju Tuhan. Islam telah menjadi tujuan padahal ia hanya sarana untuk mencapai Tuhan. Agama telah menjadi ajang konflik dan perebutan kekuasaan. Dengan argumen itu, Lia membakar “lumbung” dan bukan menjerat “tikus”.

Tindakan Lia ini mengejutkan. Tapi orang yang belajar teologi dan sejarah agama-agama tahu; sikap Lia terhadap agama sebelumnya ini agak mirip dengan sikap Kristen terhadap Yahudi serta sikap Islam terhadap Kristen dan Yahudi. Jika dahulu sebagian umat Yahudi dan Kristiani tersinggung dengan pandangan Islam yang hendak menaskh sebagian ajaran Yahudi dan Kristen, maka hal yang sama sekarang dialami sebagian ulama Islam. Mereka marah atas arogansi Lia Aminuddin yang tidak hanya menghapuskan sebagian ajaran Islam, melainkan justeru membubarkan agama Islam sendiri. Seperti otoritas Yahudi juga Romawi yang terguncang dengan kehadiran Yesus hingga ia disalibkan, maka ulama Islam Indonesia mulai geram dengan kehadiran Lia. Kemarahan orang Yahudi tak terkendalikan hingga menuduh Bunda Maria sebagai penzina dan Yesus adalah anak haram jadah. Kini kemarahan orang Islam tak tertahan hingga Lia Aminuddin nyaris dihakimi massa.

Melalui penjelasan itu, ingin saya katakan; Pertama, agama tidak melulu soal ajaran tapi juga soal keyakinan. Dengan demikian, agama baru tak boleh bersikap angkuh dengan menganulir ajaran agama sebelumnya yang telah menjadi keyakinan para pengikutnya sejak lama. Seperti halnya Lia yang tak boleh sewenang-wenang menghapus agama Islam, maka begitu juga ulama Islam tak boleh memvonis secara sepihak terhadap agama yang tumbuh sebelumnya. Injil tak bisa diadili dengan menggunakan Alquran, misalnya, karena konteks yang melatari kehadiran dua kitab suci itu jelas berbeda. Kedua, penghapusan agama lama oleh agama baru tak produktif bagi terciptanya tata kehidupan damai. Sikap seperti ini hanya akan memercikkan api perseteruan. Umat yang satu tak akan rela sekiranya agama yang diyakininya dengan sepenuh hati dievaluasi dan direndahkan begitu rupa oleh umat lain yang datang belakangan. Kolonialisasi agama seperti ini perlu segera diakhiri agar tak menimbulkan ketegangan antar-umat beragama.

Ketiga, khusus bagi umat Islam yang kini agamanya telah dihapuskan oleh Lia Aminuddin, kita tak perlu bertindak emosional. Umat Islam mesti menunjukkan bukan hanya kepada komunitas Lia Aminuddin di Jalan Mahoni No. 30 Jakarta Pusat, tapi juga kepada dunia perihal ajaran-ajaran dasar Islam yang masih relevan dan berguna buat sebesar-besarnya kemaslahatan manusia. Sebab, ketinggian dan martabat sebuah agama bukan hanya ditentukan oleh asal-usulnya yang diklaim dari langit, melainkan juga dari dampak kemalahatan yang ditimbulkannya ketika di bumi. Tak banyak gunanya ajaran agama yang dianggap dari Jibril ketika hanya berisi ancaman dan caci maki kepada yang lain.[]

ISLAM: AGAMA TERTUA SEKAIGUS TERMUDA

Agama islam sebagai agama yang turun atau muncul paling akhir yang ditandai dengan munculnya nabi Muhamad sebagai rosul terakhir yang diutus oleh Allah untuk menyebarkan agama islam sekaligus bertugas sebagai penyempurna akhlak. Kerasulan nabi muhamad sebagai rasul terakhir ini sesuai dengan yang termaktub dalam alqur’an yaitu QS………, dan juga agama islam adalah agama yang telah mencapai penyempurnaan seperti yang disebutkan didalam Alqur’an QS. Almaidah ayat 3 yang berbunyi: “….pada hari ini, telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan padamu nikmatku, dan telah ku ridhai islam itu jadi agama bagimu…..”.
Walaupun agama islam muncul paling akhir tetapi agama islam bukanlah dimaksudkan untuk mengganti atau menggugurkan kebenaran dari agama-agama yang muncul sebelum islam, hal dikuatkan oleh ayat yang sangat populer yang berbunyi “Tidak boleh ada paksaan dalam agama…” – Qs. Albaqarah ayat 256, turun kepada nabi Muhammad setelah datang kepada beliau sepasang ayah-ibu muslim bekas yahudi yang melaporkan bahwa anak mereka tidak mengikuti jejak mereka masuk islam dan mereka berniat untuk memaksanya. Dan firman Allah untuk tidak memaksakan agamanya kepada orang lain adalah firman suci yang artinya,”Jika sekarang tuhanmu menghendaki, maka pastilah beriman semua orang yang ada di bumi ini tanpa kecuali. Apakah engkau akan memaksa umat manusia sehingga mereka jadi beriman semua?!”- Q.s. Yunus ayat 99.
Karena agama islam adalah agama penyempurna bagi agama-agama yang datang sebelumnya. Hal ini berarti agama islam juga adalah agama yang tertua karena memiliki sisi-sisi yang sama dengan agama-agama tersebut sebagai implikasi dari fungsi penyempurnaannya. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa semua nabi beragama islam karena menyembah tuhan yang sama yaitu Allah, dan mereka pun melakukan ritual-ritual yang dilakukan oleh muslim sekarang, seperti puasa, sholat, haji dan bahkan sunat yang di contoh dari perbuatan nabi Ibrahim.
Disamping itu agama islam dianggap sebagai agama yang teertua karena terdapat juga beberapa ritual yang memang ada sejak agama tertua muncul walaupun ritual-ritual ini mengalami perubahan dalam segi bentuk dan cara-cara pengerjaannya tetapi essensinya tetaplah sama. Hal ini seperti puasa, zakat, penyembelihan hewan, mendoakan orang yang beresin. Hal ini lebih diperkuat oleh pendapat karen armstrong bahwa perlindungan terhadap yang lemah telah sejak lama menjadi kebijakan lazim di seluruh timur dekat purba. Sudah sejak mileniium ketiga sebelum masehi, para raja mesopotamia menekankan bahwa keadilan untuk orang miskin, anak yatim, dan janda merupakan tugas suci, dicanangkan oleh dewa shamash, yang mendengar jerit minta tolong mereka. Prolog codex Hammurabi (1728-1686 SM) menetapkan bahwa matahari akan bersinar untuk manusia diatas bumi hanya jika raja dan orang-orang yang berkuasa tidak menindas rakyat yang lemah. Raja-raja mesir juga diperintahkan untuk memerhatikan kaum yang malang , karena Re, dewa matahari, merupakan ”menteri orang miskin”. Di Ugarit, kekeringan dan kelaparan bisa dihindarkan hanya jika keadilan dan persamaan tegak di negeri itu. Di seluruh timur tengah, keadilan merupakan pilar penting agama. Keadilan juga merupakan kebijakan pragmatis yang baik. Tidak ada gunanya menaklukan negeri asing dan musuh-musuh kosmik jika kebijakan sosialmu yang bengis menciptakan musuh-musuh dirumah sendiri.
Hal ini berarti islam bukanlah agama yang benar-benar baru, sehingga bisa dikatakan jika islam memiliki dua sifat sekaligus yaitu sebagai agama yang termuda sekaligus agama yang tertua. Karena itulah seharusnya sebagai umat yang beragama, kita tidak boleh saling curiga apalagi bermusuhan secara terang-terangan. Karena bagaimanapun juga didalam semua agama terdapat benang merah yang mengharuskan kita untuk saling menghormati dan menghargai.

IJTIHAD: SEBAGAI BENTUK PEMAHAMAN DIRI TERHADAP AGAMA

Menurut sebagian kalangan pintu ijtihad telah tertutup sejak abad ke empat Hijriyah, dengan munculnya Al-asy’ari dari mazhab mu’tazilah. Apakah pintu ijtihad sudah benar-benar ditutup? Pertanyaan ini masih perlu kita kaji lebih jauh lagi. Hal ini dikarenakan bahkan rasulullah sebenarnya menganjurkan untuk selalu belajar, dari kita lahir hingga masuk liang lahat. Hal ini menunjukan bahwa pengkajian terhadap ilmu-ilmu agama adalah sebuah keniscayaan. Terutama dalam bidang fikih, karena dalam bidang inilah pertentangan-pertentangan dalam islam tumbuh, sehingga menyebabkan peradaban kita sebagai muslim tertinggal jauh dari peradaban barat.
Menurut cak Nur dalam penafsirannya terhadap Q.s. Lukman ayat 27, menyataakan bahwa cakupan ilmu tuhan (agama), itu sangatlah luas, sehingga percobaan untuk memahaminya akan tidak pernah sempurna. Namun justru usaha memahami itu adalah salah satu perintah Allah, dan kita di beri kewenangan untuk bertindak sesuai dengan pemahaman kita betapapun tidak sempurnanya pemahaman kita itu. Dan inilah hakikat dari ijtihad yang sangat dianjurkan oleh Rosulullah.
Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya Allah dan Rosulullah, menganjurkan kita untuk selalu berijtihad, sehingga secara langsung akan mematahkan pendapat bahwa pintu ijtihad tidak pernah ditutup. Dan hal ini di perkuat oleh Allah yang memerintahkan kita untuk selalu berfikir untuk mengungkap rahasia-rahasia tuhan yang berhubungan dengan agama atau sosial, yang fisik maupun metafisik.
Sehingga ketika dalam berijtihad tidak ada istilah ijtihad yang benar maupun yang salah, karena ijtihad menunjukan sejauh mana kita mengungkap rasia-rahasia atau hukum-hukum tuhan berdasarkan kedalaman pemahaman agama kita masing-masing. Tinggal disini kemauan kita untuk menyadari apakah hasil dari ijtihad kita pantas untuk disebarkan kepada orang lain ataukah cukup untuk diri kita sendiri saja. Tergantung dari kompetensi kita dalam melakukan ijtihad itu sendiri, sehingga dalam berijtihad memiliki dasar-dasar yang kuat.
Dan apabila ada orang yang kurang setuju atau menolak, sebaiknya di ungkapkan melalui tulisan artikel atau buku atau media lainnya, bukannya langsung menindak dengan kekerasan fisik, seperti yang selalu terjadi selam ini di lingkungan sekitar kita. Karena tindakan tersebut hanya akan semakin mematikan kreatifitas dalam berpikir seseoarang. Apabila kita mengaca pada sejarah, yang membuat islam mencapai punak kejayaannya adalah adanya kebebasan dalam berfikir, seperti yang terdapat pada masa-masa abad ke dua hijriyah. Dimana masyarakat memberikan kebebasan berfikir bagi setiap individu, sehingga muncullah nama-nama seperti Ibnu Sina, Al farabi,Ibnu Rusyd, dll.
Akhirnya, masih menurut Cak Nur, karena kenisbian manusia dan kemampuan-kemampuannya, termasuk intelektua maka hasil dari suatu ijtihad tidak pernah mengikat secara umum. Dan kita harus selalu ingat bahwa tidak semua kebenaran berlaku untuk selamanya, karena yang kekal adalah Allah dan perubahan itu sendiri.

sunset

sunset
waktu selalu mengejar