Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Rabu, 14 Januari 2009

Asghar Ali Engineer;Alquran untuk Perempuan dan Kaum Tertindas

Oleh: Nurun Nisa’*
Anak benua India yang senantiasa bergejolak itu melahirkan seorang feminis laki-laki berpengaruh abad ini; Asghar Ali Engineer. Lahir di Rajashtan pada 1940 dari keluarga ulama terpandang, Ali memiliki pengalaman keagamaan yang unik dan menukik. Waktu itu, ayahnya menjadi pemimpin Buhra, salah satu aliran keagamaan yang berkembang pesat di India. Di saat itulah terjadi eksploitasi atas nama agama. Ia menyesalkan keadaan ini. Tapi ia tidak menemukan jalan lain.

Ali terus bergumul dengan ketidaknyamanan itu. Sampai pada satu titik, Ali menemukan kesimpulan yang memprihatinkan; bahwa institusi keagamaan dapat dijadikan sebagai pemuas ambisi penguasa. Sementara di sisi yang lain, Ali meyakini bahwa tujuan agama adalah memperkaya kehidupan batin dan mendekatkan diri kepada Allah—seperti yang didapatkannya ketika membaca Alquran. Ada kontradiksi, tetapi ia terus bergumul dengan keadaan itu.

Pergumulan ini akhirnya membentuk sebuah sintesa tiga besar sebagaimana termuat dalam artikelnya yang bertajuk What I Believe (1999). Pertama, mengenai hubungan antara akal dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, fanatisme dan sektarianisme keagamaan adalah merusak karena cenderung menggiring manusia untuk mengumandangkan truth claim—yang dengannya keyakinan tertentu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dan yang lain adalah salah. Ketiga, mengenai watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah.

Pemikiran-pemikiran ini kemudian dipadatkan menjadi tema Islam sebagai ideologi pembebasan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan keberagaman. Dua tema terdepan akan menjadi pembahasan tulisan ini.

****

Islam sebagai ideologi pembebasan ditunjukkan dalam bukunya yang bertajuk Islam and Liberation Theology (1990) yang di-Indonesia-kan menjadi Teologi Pembebasan. Teologi pembebasan ala Ali berlandaskan pada Alquran dan sejarah Nabi saw. Mungkin inilah yang membedakan dengan teologi pembebasan gaya Amerika Latin yang bersandar hanya kepada Kitab Injil semata. Teologi pembebasan yang dimaksud Ali bersifat konkret, kontekstual, dan praksis. Ia berada pada realitas kekinian dan bertolak dari kondisi sosial yang ada. Ia juga merupakan refleksi dan aksi iman dan amal—sebuah produk pemikiran yang diikuti dengan praksis pembebasan. Ia ditujukan kepada kaum mustadh’afin (kaum yang dilemahkan oleh sistem), termasuk perempuan.

Alquran dalam hal ini menekankan pada umatnya agar menyantuni anak yatim, menegakkan keadilan, dan menekankan agar kekayaan tidak hanya berputar di segelintir orang. Ini juga dipraktikkan Nabi saw. seperti termuat dalam sirah nabawiyyah. Sejarah Nabi, bagi Ali, adalah sejarah perubahan sosial untuk menentang sistem yang timpang. Penolakan masyarakat Quraisy bagi Ali, lebih dikarenakan faktor ekonomi daripada faktor agama. Mereka yang menentang takut jika hegemoni ekonomi yang ada di genggaman mereka terganggu. Dengan itu, tanpa ragu, Ali mengatakan bahwa Nabi adalah seorang revolusioner—tidak hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam tindakan. Lewat praksis ia berjuang untuk mengadakan perubahan sosial pada masanya.

Nabi, menurut Ali, adalah suara reformasi masa itu. Dalam hal ini, Nabi juga berkomitmen kepada perubahan nasib perempuan. Harkat dan martabat perempuan ditinggikan setahap demi setahap oleh Nabi; mulai dari hak mengakses ilmu dan informasi, pembatasan poligami hingga hak atas warisan yang selama kurun itu dinafikan oleh adat atau tradisi Arab.

****

Konsen Ali pada teologi pembebasan yang memihak perempuan makin kuat nuansanya, ketika lahir buku barunya dua tahun kemudian. Buku bertitel The Rights of Women in Islam (1992) itu mengkonstruksi tafsir Alquran yang pro kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Seperti diketahui, beberapa ayat Alquran merupakan ayat yang berwajah ganda. Misalnya saja ayat tentang poligami dan kepemimpinan perempuan. Poligami dianggap diperbolehkan, sementara yang lain mengatakan itu sebagai dalil monogami berdasarkan QS. al-Nisa’: 3. Demikian juga ayat tentang kepemimpinan perempuan.

Perwajahan ganda ini muncul akibat pembacaan yang tidak fair terhadap ayat-ayat Alquran. Yakni, mengambil pesan sebuah ayat sembari mengabaikan spirit yang mendasari ayat itu turun. Ali kemudian menyodorkan sebuah metodologi demi mengatasi hal ini. Ali mengajukan dua konsep: ayat normatif dan ayat kontekstual. Ayat normatif, bersifat das solen, “yang seharusnya”. Ia merupakan ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan normatif atau mengandung nilai universal sehingga berlaku sepanjang masa. Sementara ayat kontekstual adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan kontekstual atau berkait dengan keadaan masyarakat ketika itu. Ia bersifat das sein, ‘yang senyatanya’.

Tujuan pembedaan antara ayat normatif dan ayat kontekstual adalah untuk mengetahui perbedaan antara yang sebenarnya diinginkan oleh Allah dan yang dibentuk oleh realitas masyarakat pada waktu itu. Keduanya merupakan kekayaan Alquran. Sebab Kitab Suci ini tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris.

Ayat-ayat berwajah dua di atas dikategorikan oleh Ali sebagai ayat konstekstual. Ia berlaku sesuai konteks ketika ayat itu diturunkan. Poligami diperbolehkan pada zaman Nabi sebab ia diyakini jalan yang ampuh untuk mengangkat martabat perempuan yang terpuruk saat itu. Kini zaman sudah berubah. Perempuan sudah (lumayan) baik posisinya di masyarakat. Poligami menjadi sebuah anjuran atas nama memuliakan perempuan? Tidak, kata Ali. Ayat tentang penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan, dari esensi yang sama (QS. al-Nisa’: 1), pemuliaan semua anak Adam (QS. al-Isra’: 70), dan pemberian pahala yang sama bagi yang bertakwa, baik laki-laki ataupun perempuan (QS. al-Ahzab: 35) merupakan contoh ayat normatif.

Ali juga menegaskan bahwa sesungguhnya Alquran menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tapi konteks sosial ketika itu tidak dapat menerima hal demikian. Jika dipaksakan, maka dakwah Nabi akan mengalami kesulitan besar.

****

Ikhtiar Ali untuk mengentaskan perempuan dari penistaannya sebagai manusia yang bermartabat dan setara dengan laki-laki tentu patut disaluti. Tetapi, beberapa pihak tetap saja menaruh antipati kepada perjuangan lulusan teknik sipil Vikram University ini—baik secara pribadi maupun tidak.

Dalam makalah Western Feminism or Rights of Women in Islam (2003), Ali, misalnya menanggapi tuduhan bahwa feminis Islam—termasuk dirinya—telah menukil nilai-nilai Barat demi memperjuangkan kesetaraan gender. Bukan menjawab dengan emosional, tetapi ia malah balik bertanya; kalau ya, memangnya kenapa? Baginya, inspirasi untuk memperjuangkan perempuan dapat diambil dari manapun asalkan baik dan bermanfaat—termasuk dari Barat.

Ia juga mendapat tentangan dari komunitasnya, Dawood Bohra Community, bahkan ketika bakat kritisnya (baru) tumbuh. Waktu itu ia bertanya kepada kepala komunitasnya terkait prinsip keagamaan Bohra. Bukan dijawab, Ali malah diasingkan dan dieks-komunikasikan dari komunitas itu pada tahun 1977.

Toh begitu ia tetap tegar. Ia terus berjuang; menulis, berpidato, dan melakukan aksi-aksi nyata. Ali pun dianugerahi berbagai penghargaan dari bermacam kalangan berkat komitmen kuatnya atas kaum tertindas, utamanya kaum perempuan. Wallahu a’lam.]

*Warga komunitas SEROJA; Studi dan Aksi Perempuan, Ciputat. Kini bergiat di The WAHID Institute dan alumni pelatihan Tadarus Mahasiswa Rahima.

(diambil dari www.rahima.or.id, http://209.85.173.104/search?q=cache:AfG9TLSyKkAJ:www.rahima.or.id/SR/23-07/Fikrah.htm+%22Asghar+Ali%22&hl=id&ct=clnk&cd=9&gl=id)

Selamat Tahun Baru

Oleh: A. Mustofa Bisri

Kawan, Sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk
memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisabNya (A. Mustofa Bisri, Antologi Puisi Tadarus)

Tahun ini, tahun baru Hijriyah hampir bersamaan dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon.

Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak—lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak—dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.

Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”

Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin --yang merupakan mayoritas ini-- selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.
Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai..

Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.
(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).

Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan beaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.

Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program ’keagamaan’. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan ‘siraman ruhani’ dan dzikir bersama yang menghibur.

Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain.

Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan.

Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.

Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan ‘Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram.
Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak –atas nama amar ma’ruuf dan nahi ‘anil munkar-- mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.

Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini.

Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.

Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.

Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.
Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.

Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama.

Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana.

Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas.
Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak.

Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun.

Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap.

Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..

Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.

Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.

Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.

Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?

Selamat Tahun Baru !

Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis

Jakarta, wahidinstitute.org
Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa Indonesia.

Menurut KH Abdurrahman Wahid, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya bangsa Indonesia.

"Jadi menurut saya, kita juga mengalami krisis identitas," kata KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menggelar Orasi Catatan Akhir Tahun di Hotel Santika, Jakarta, Minggu (28/12/ 2008).

Di atas panggung, tampak sebagai penanggap yaitu, rohaniawan Romo Magnis Soeseno, mantan Menteri Sekretaris Negara Bondan Gunawan, mantan Juru Bicara Presiden Wimar Witoelar dan pakar komunikasi politik Effendy Ghazali. Acara yang berlangsung gayeng itu dimoderatori oleh wartawan Tempo, Wahyu Muryadi.

Salah satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, bangsa Indonesia harus membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-undang Dasar negara.

Gus Dur mengakui, batasan itu belum pernah dibicarakan bangsa. "Akibatnya terjadi pertentangan antara kelompok yang menganggap dirinya paling benar dan kelompok yang menganggap bahwa Indonesia ini merupakan kesatuan dari sejumlah pandangan-pandangan."

Namun perbedaan itu tetap harus didialogkan. "Jadi, satu sama lain kita haruslah sama-sama menenggang rasa," kata Gus Dur.

Tradisi menghargai perbedaan itu, kata Gus Dur, sudah terlihat sejak jaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya hingga ke Jawa sebelum bangsa Indonesia berdiri.

Bahkan pada masa Kerajaan Majapahit, tercetus semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Prinsip yang dicetuskan Mpu tantular ini digunakan sampai sekarang oleh bangsa Indonesia.

Menurut Gus Dur, jejak sejarah itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah lahan yang bagus untuk mengadakan perjumpaan-perjumpaan atau mengadakan toleransi yang tinggi.

"Ini adalah konsekuensi dari hidup serba plural tadi. Karenanya kalau ada yang menganggap dirinya lebih berkuasa dari lain-lain, maka namanya dia tidak mengerti kondisi Indonesia," tegas mantan Ketua Umum PBNU ini.

Romo Magnis, yang daulat sebagai penanggap pertama, menyetujui pendapat Gus Dur. "Pluralisme atau kemampuan menerima keanekaan, bukan sesuatu yang impor dari luar negri, melainkan sesuatu yang sudah lama ada di dalam masyarakat Indonesia. Sesuatu yang sudah biasa di masyarakat," kata Magnis.

Dia menjelaskan, peristiwa sejarah yang menyatukan bangsa Indonesia, seperti sumpah pemuda, proklamasi dan sebagainya terjadi karena tradisi pluralisme yang spontan.

"Saya tidak pesimistik dengan itu, karena kini parpol-parpol juga mengakui pluralisme itu. Tapi sekarang juga tumbuh tendensi-tendensi dalam masyarakat yang anti pluralis, yang memaksakan, dan tidak bisa menerima ada orang yang memiliki kepercayaan, keyakinan berbeda. Bahkan lalu diuber-uber. Itu berbahaya," tegas Magnis.

Menurut Magnis, bangsa Indonesia harus bisa belajar bahwa tidak ada kepercayaan yang sama. "Tapi ada nilai-nilai hidup bersama itu kita punyai bersama. Nilai itu penting untuk bersama-sama mengatasi masalah utama kita yaitu kemiskinan," jelasnya.
Perilaku pelaksana negara disoroti Bondan Gunawan. Menurut Bondan, mereka perlu memahami proto nasionalisme. "Darimana bangsa ini terbentuk, mengapa kita terbentuk, dan mengapa kita beraneka ragam," jelasnya.

Tanpa memahami proto nasionalisme dan metode perjuangan para founding fathers mustahil negeri ini akan bangkit kembali. "Karena hanya untuk berebut kekuasaan untuk individu bagi mereka yang maju," tegas Bondan.

Dalam catatannya, Wimar Witoelar menilai pada 2008 terjadi dua hal yang menggemparkan. "Jika di dunia Barat mempermasalahkan kapitalisme, di Indonesia mempersoalkan demokrasi," kata pria berambut keriting ini.

Namun Wimar menilai sampai kapanpun demokrasi adalah sistem yang terbaik. "Karena tidak ada sistem lain yang bisa mendatangkan hal-hal baik," katanya.

Demokrasi, kata Wimar, menjamin pluralisme, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lahir di Indonesia. "Konflik golongan, etnis, dan agama, muncul karena permainan politik dan kebodohan," jelasnya.

Pakar komunikasi politik Effendy Ghazali mengatakan issue pluralisme pada tahun 2008 ini tidak terlalu dihargai oleh media massa kita. Selain itu, kini agama sering ditunggangi kepentingan politik. Beberapa elit politik dengan mudahnya meminta fatwa kepada ulama agar golput diharamkan.

"Di sini Gus Dur memberitahu kita mana batas-batas dialog yang perlu selalu kita jaga untuk pluralisme di Indonesia," kata Effendy.[GF]

Etika Israel di Gaza

Oleh Hamid Basyaib

Serangan Israel merupakan penghukuman kolektif terhadap seluruh warga Gaza karena tindakan sejumlah serdadu Hamas. Gempuran itu juga merupakan reaksi yang jauh melampaui proporsi. Ini memang doktrin Israel sejak ia berdiri: menyerang besar-besaran dengan mendefinisikannya sebagai pembalasan; atau menyerang duluan dengan dalih mencegah ancaman potensial menjadi aktual; taktik pre-emptive strike temuan Israel ini kemudian ditiru AS di Irak.

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di http://www.inilah.com, 08/01/2009

Terlalu banyak hukum internasional dan etika perang yang dilanggar Israel dalam rangkaian gempurannya atas Gaza yang, menurut Amnesty International per 7 Januari, telah menewaskan lebih dari 700 dan melukai sekitar 3.000 orang.

Korban luka yang kelak selamat pun mungkin akan mengidap kanker, karena Israel menggunakan bom gas fosfor putih. Senjata kimia ilegal ini bisa menimbulkan kerusakan fisik hingga ke tulang – atau mengubah tubuh menjadi serpihan.

Dr Mads Gilbert, anggota tim relawan medis Norwegia yang bekerja di Gaza, masih mendokumentasikan penggunaan bom-bom ilegal itu, yang terkategori Dense Inert Metal Explosive (DIME). Dr Gilbert, yang telah berpengalaman di wilayah konflik, menyatakan situasi di Gaza merupakan yang terburuk yang pernah dia saksikan.

Dua sekolah PBB terkena bom, menewaskan 30 anak di dalamnya. New York Times, Senin lalu melaporkan, rumah sakit di Gaza penuh warga sipil, bukan serdadu Hamas.

Membidik sasaran sipil melanggar Konvensi Geneva ke-4. Lontaran roket-roket Hamas ke wilayah Israel, yang tidak membedakan kombatan dan nonkombatan, adalah ilegal, meski korban aktualnya sejauh ini hanya enam orang; dan sepanjang satu tahun sebelum serangan ini tidak menewaskan satu pun warga Israel.

Jadi gempuran Israel lebih terkait dengan persaingan politik di Tel Aviv menjelang pemilu Februari. Partai Kadima yang berkuasa ingin menunjukkan ia pun bisa sekeras Likud, yang menjadikan ketidaktegasan partai Tzipi Livni (calon favorit PM) itu terhadap Palestina sebagai kartu untuk mengalahkannya.

Tapi yang dilakukan Israel, dengan gempuran udara dan daratnya, melanggar Konvensi Geneva secara sangat serius. Korban sipil terlalu banyak, sampai 25 persen dari seluruh korban, seperti terlihat dari mereka yang dirawat. Dari segi ini dalih bahwa jatuhnya warga sipil hanya ekses sulit diterima. Yang lebih mungkin: Israel tidak membedakan militer dan sipil – atau setidaknya tak cukup sungguh-sungguh membidik eksklusif serdadu Hamas.

Boleh jadi ini bagian dari strategi Israel untuk mengucilkan atau menurunkan popularitas Hamas di mata warga Palestina, atau warga Gaza khususnya. Dengan banyaknya korban jiwa dan bangunan sipil, warga Gaza akan menyalahkan Hamas, yang memang suka memprovokasi Israel (yang juga merupakan strategi Hamas agar tampak kredibel di mata warga Palestina, untuk membedakannya dari Fatah-PLO yang terkesan lunak terhadap Israel).

Serangan Israel merupakan penghukuman kolektif terhadap seluruh warga Gaza karena tindakan sejumlah serdadu Hamas. Gempuran itu juga merupakan reaksi yang jauh melampaui proporsi. Ini memang doktrin Israel sejak ia berdiri: menyerang besar-besaran dengan mendefinisikannya sebagai pembalasan; atau menyerang duluan dengan dalih mencegah ancaman potensial menjadi aktual; taktik pre-emptive strike temuan Israel ini kemudian ditiru AS di Irak.

Alasan keempat yang membuat Israel melanggar Konvensi Geneva: ia memblokade Gaza dari bantuan pangan dan obat-obatan, sehingga menimbulkan krisis kemanusiaan di wilayah mini berpenduduk 1,5 juta jiwa itu. Gempuran Israel sejak dua pekan silam sesungguhnya puncak dari blokade yang dilakukannya selama dua tahun terakhir.

AS memberikan sumbangan besar, hampir secara langsung, terhadap gempuran Israel kali ini. Menurut Marjorie Cohn, Direktur Pusat Studi Timur Tengah Universitas San Francisco, Amerika melanggar hukumnya sendiri.

AS memberi bantuan US$3 miliar per tahun kepada Israel. Dana pajak rakyat AS inilah yang digunakan Israel untuk membeli jet F-16 dan helikopter tempur Apache yang dipakai untuk menggempur Gaza sekarang. UU Bantuan Keamanan dan HAM melarang AS membantu Israel, yang terlibat pelanggaran berat HAM sebagaimana diakui oleh masyarakat internasional, dalam pola yang konsisten.

UU Pengendalian Ekspor Senjata melarang persenjataan AS digunakan selain di dalam batas negara demi membela diri.

“Mengebom gedung-gedung sekolah, kantor polisi dan stasiun penyiaran bukanlah pembelaan diri,” kata Cohn, yang juga profesor hukum dan presiden Gilda Pengacara Nasional (marjoriecohn.com).

New York Times mengutip sejumlah pakar Timur Tengah yang yakin bahwa serangan Israel kali ini sebagai “aji mumpung” – mumpung Presiden Bush masih duduk di Gedung Putih. Karena itu harapan tinggal pada presiden terpilih Barack Obama, sebagai kepala negara satu-satunya yang mampu menghentikan kebuasan Israel yang melanggar semua hukum dan etika perang.

Maka kebungkaman Obama, selain sangat disayangkan, juga aneh, mengingat begitu banyak hal yang selama ini dikomentarinya dengan tegas, termasuk isu-isu luar negeri yang panas seperti Irak dan Afghanistan.

Dunia memang tidak mungkin berharap Obama bersikap keras terhadap Israel atau berpihak pada Palestina. Tapi dunia tentu pantas berharap agar Obama memahami bahwa yang sedang terjadi di Gaza bukanlah perang, melainkan krisis kemanusiaan.

sunset

sunset
waktu selalu mengejar