Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Rabu, 14 Januari 2009

Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis

Jakarta, wahidinstitute.org
Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa Indonesia.

Menurut KH Abdurrahman Wahid, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya bangsa Indonesia.

"Jadi menurut saya, kita juga mengalami krisis identitas," kata KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menggelar Orasi Catatan Akhir Tahun di Hotel Santika, Jakarta, Minggu (28/12/ 2008).

Di atas panggung, tampak sebagai penanggap yaitu, rohaniawan Romo Magnis Soeseno, mantan Menteri Sekretaris Negara Bondan Gunawan, mantan Juru Bicara Presiden Wimar Witoelar dan pakar komunikasi politik Effendy Ghazali. Acara yang berlangsung gayeng itu dimoderatori oleh wartawan Tempo, Wahyu Muryadi.

Salah satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, bangsa Indonesia harus membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-undang Dasar negara.

Gus Dur mengakui, batasan itu belum pernah dibicarakan bangsa. "Akibatnya terjadi pertentangan antara kelompok yang menganggap dirinya paling benar dan kelompok yang menganggap bahwa Indonesia ini merupakan kesatuan dari sejumlah pandangan-pandangan."

Namun perbedaan itu tetap harus didialogkan. "Jadi, satu sama lain kita haruslah sama-sama menenggang rasa," kata Gus Dur.

Tradisi menghargai perbedaan itu, kata Gus Dur, sudah terlihat sejak jaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya hingga ke Jawa sebelum bangsa Indonesia berdiri.

Bahkan pada masa Kerajaan Majapahit, tercetus semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Prinsip yang dicetuskan Mpu tantular ini digunakan sampai sekarang oleh bangsa Indonesia.

Menurut Gus Dur, jejak sejarah itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah lahan yang bagus untuk mengadakan perjumpaan-perjumpaan atau mengadakan toleransi yang tinggi.

"Ini adalah konsekuensi dari hidup serba plural tadi. Karenanya kalau ada yang menganggap dirinya lebih berkuasa dari lain-lain, maka namanya dia tidak mengerti kondisi Indonesia," tegas mantan Ketua Umum PBNU ini.

Romo Magnis, yang daulat sebagai penanggap pertama, menyetujui pendapat Gus Dur. "Pluralisme atau kemampuan menerima keanekaan, bukan sesuatu yang impor dari luar negri, melainkan sesuatu yang sudah lama ada di dalam masyarakat Indonesia. Sesuatu yang sudah biasa di masyarakat," kata Magnis.

Dia menjelaskan, peristiwa sejarah yang menyatukan bangsa Indonesia, seperti sumpah pemuda, proklamasi dan sebagainya terjadi karena tradisi pluralisme yang spontan.

"Saya tidak pesimistik dengan itu, karena kini parpol-parpol juga mengakui pluralisme itu. Tapi sekarang juga tumbuh tendensi-tendensi dalam masyarakat yang anti pluralis, yang memaksakan, dan tidak bisa menerima ada orang yang memiliki kepercayaan, keyakinan berbeda. Bahkan lalu diuber-uber. Itu berbahaya," tegas Magnis.

Menurut Magnis, bangsa Indonesia harus bisa belajar bahwa tidak ada kepercayaan yang sama. "Tapi ada nilai-nilai hidup bersama itu kita punyai bersama. Nilai itu penting untuk bersama-sama mengatasi masalah utama kita yaitu kemiskinan," jelasnya.
Perilaku pelaksana negara disoroti Bondan Gunawan. Menurut Bondan, mereka perlu memahami proto nasionalisme. "Darimana bangsa ini terbentuk, mengapa kita terbentuk, dan mengapa kita beraneka ragam," jelasnya.

Tanpa memahami proto nasionalisme dan metode perjuangan para founding fathers mustahil negeri ini akan bangkit kembali. "Karena hanya untuk berebut kekuasaan untuk individu bagi mereka yang maju," tegas Bondan.

Dalam catatannya, Wimar Witoelar menilai pada 2008 terjadi dua hal yang menggemparkan. "Jika di dunia Barat mempermasalahkan kapitalisme, di Indonesia mempersoalkan demokrasi," kata pria berambut keriting ini.

Namun Wimar menilai sampai kapanpun demokrasi adalah sistem yang terbaik. "Karena tidak ada sistem lain yang bisa mendatangkan hal-hal baik," katanya.

Demokrasi, kata Wimar, menjamin pluralisme, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lahir di Indonesia. "Konflik golongan, etnis, dan agama, muncul karena permainan politik dan kebodohan," jelasnya.

Pakar komunikasi politik Effendy Ghazali mengatakan issue pluralisme pada tahun 2008 ini tidak terlalu dihargai oleh media massa kita. Selain itu, kini agama sering ditunggangi kepentingan politik. Beberapa elit politik dengan mudahnya meminta fatwa kepada ulama agar golput diharamkan.

"Di sini Gus Dur memberitahu kita mana batas-batas dialog yang perlu selalu kita jaga untuk pluralisme di Indonesia," kata Effendy.[GF]

Tidak ada komentar:

sunset

sunset
waktu selalu mengejar