Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Jumat, 18 Juli 2008

Urgensi Islam Mazhab Indonesia

Oleh: Abd A’la
Islam dapat berkembang terus di bumi Nusantara karena yang dikedepankan sejak awal adalah coral Islam yang sejuk, ramah, dan mampu berdialog dengan tradisi dan budaya lokal. Beberapa studi menunjukkan, Islam yang datang pertama kali di Nusantara adalah Islam sufistik yang mampu menyapa dominasi mistik yang banyak dianut masyarakat Nusantara melalui strategi dan pola penyampaian yang juga akrab di kalangan mereka. Sejarawan Merle Ricklefs menyebutnya sebagai agama sintesis mistik (mistic syntetism). Dengan demikian, masyarakat Nusantara dapat menerimanya tanpa suatu resistensi berarti.
Dilihat dari sisi manapun, kekerasan dan kekuatan otot yang sering ditunjukkan sebagian kelompok Muslim radikal bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip Islam. Sebermula sekali, agama ini meletakkan kerahmatan sebagai fondasi keberagamaan, dan seutuhnya sangat menghargai nilai-nilai spiritualitas dan intelektualitas, serta suasana dialogis.
Kekerasan dan sejenisnya hanya akan menjadikan Islam tereduksi sebagai bayang-bayang menakutkan yang kehilangan aspek kemanusiaannya. Kesyahduan beragama lalu berbias menjadi keberingasan, dan pencerahan tersungkur menjadi keangkuhan. Keberagamaan yang sejatinya dikembangkan di atas kecerdasan emosi dan nalar argumentatif berkembang menjadi kekuatan destruktif, berwujud pentungan dan sejenisnya yang tak akan memberi dampak penyadaran dan transformasi nilai-nilai moral luhur Islam.
Model keberagamaan seperti itu bisa saja menjadikan Islam sebagai kekuatan tunggal di negeri ini, tapi kekuatan yang akan berkembang adalah kekuatan yang sangat rapuh. Di atas permukaan simbol Islam terpampang di mana-mana, tapi senyatanya tidak disangga tiang-tiang moral dan nalar agama yang kuat. Keislaman ini mudah ambruk ketika berhadapan dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa. Welfare discourse atau keinginan untuk menciptakan negara gemah ripah loh jinawi sulit tercapai dan tidak mampu tawaran-tawaran penyelesaian yang holistik dan aplikatif terhadap persoalan bangsa yang rumit dan kait mengkait.
Justru yang akan berkembang adalah jatuhnya lebih banyak korban, termasuk di kalangan umat Islam sendiri. Orang-orang Islam yang selama ini dianggap marginal akan kian terpinggirkan. Sementara itu, persolan besar terus menganga karena solusi yang dipaksakan lebih berwujud doktrin-doktrin rigid, bahkan utopis, argumen apologis, dan bayang-bayang masa lalu yang sulit untuk dilabuhkan dalam kekinian. Fenomena semacam itu merupakan realitas yang membelenggu sebagian kelompok Muslim Indonesia saat ini.
Islam Mazhab Indonesia
Keberlangsungan fenomena tersebut tentu sangat mengkhawatirkan eksistensi bangsa, dan umat Islam Indonesia secara khusus. Keberlanjutan hal itu akan membuat Islam tidak mampu mengakar kuat dalam masyarakat luas, tidak mampu menyentuh lokalitas budaya, serta tidak memberikan ruang dialog yang cukup luas bagi pengembangan tradisi luhur bangsa. Umat Islam akan menjadi asing di negeri sendiri.
Padahal, sejarah Islam Indonesia telah memberikan pelajaran berharga untuk pembumian dan pengembangan nilai-nilai Islam yang lebih mengakar. Islam dapat berkembang terus di bumi Nusantara karena yang dikedepankan sejak awal adalah coral Islam yang sejuk, ramah, dan mampu berdialog dengan tradisi dan budaya lokal. Beberapa studi menunjukkan, Islam yang datang pertama kali di Nusantara adalah Islam sufistik yang mampu menyapa dominasi mistik yang banyak dianut masyarakat Nusantara melalui strategi dan pola penyampaian yang juga akrab di kalangan mereka. Sejarawan Merle Ricklefs menyebutnya sebagai agama sintesis mistik (mistic syntetism). Dengan demikian, masyarakat Nusantara dapat menerimanya tanpa suatu resistensi berarti.
Ketika Walisongo menjadi penyebar Islam di tanah Jawa, keislaman semacam itu merupakan strategi dan pola yang terus dikembangkan. Sunan Kalijaga, misalnya, menyebarkan Islam melalui wayang kulit dan cerita wayang yang telah mengalami islamisasi sedemikian rupa. Sunan Muria berdakwah melalui gamelan. Bahkan Raden Paku merupakan pencipta gending Asmaradana dan Pucung, dan Sunan Kudus sebagai pencipta gending Maskumambang dan Mijil (Saridjo et. al, 1982: 23-24).
Selanjutnya, kearifan semacam itu menjadi dasar pengembangan Islam di dunia pesantren. Islam lalu menjadi sesuatu yang akrab dan bagian yang intrinsik dari masyarakat Nusantara. Pada saat yang sama, melalui Islam mazhab Indonesia itu masyarakat menghadapi dan menyelesaikan persoalan mereka secara arif dan self-motivated, baik dalam melawan penjajahan hingga terlibat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengisinya secara mencerahkan.
Dalam konteks kekinian, Islam mazhab Indonesia tersebut sangat signifikan untuk ditumbuh-kembangkan. Berpijak pada Islam semacam itu, umat Islam Indonesia dapat menjadi Muslim sekaligus menjadi eleman inheren bangsa Indonesia, serta memiliki potensi besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa tanpa harus mengalami keterasingan dari kehidupan konkret mereka.
Islam tidak dianggap berhubungan secara antagonistis dengan paham kebangsaan maupun khazanah budaya bangsa. Mosaik budaya bangsa Indonesia yang beraneka dan majemuk tidak menjadi penghalang bagi Islam untuk berdialog dengan sehat. Mekanisme saling meminjam dan mengisi di antara keduanya pun terjadi dengan cara-cara yang beradab. Untuk itu, hubungan antara keislaman dan kebangsaan Indonesia menjadi bersifat komplementer, saling melengkapi, bukan saling menaklukkan.
Itulah misalnya yang pernah dikemukakan pemikir-pemikir Islam terkemuka Tanah Air seperti KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lewat gagasan Pribumisasi Islam-nya. Juga gagasan-gagasan tentang kontekstualisasi yang diperjuangkan oleh banyak tokoh seperti Almarhum Nurcholish Madjid, Munawir Sadzali, dan lainnya. Islam diupayakan menjadi agama yang fleksibel, mampu berdialog secara sehat dengan kenyataan.
Menjauhi Formalisme
Untuk pengembangannya, umat Islam Indonesia saat ini tentunya perlu menghindari bentuk-bentuk formalisme telanjang sebagaimana dikembangkan generasi awal Muslim Indonesia. Demikian pula mereka jangan sampai terjebak kepada pemaknaan literalistik atas bentuk formal tersebut. Umat Islam perlu menangkap makna dasar dari Islam dan memaknainya secara transformatif ke dalam konteks kekinian.
Demi menggapainya, pengembangan komunikasi kritis adalah niscaya untuk dijadikan dasar rekonstruksi. Memodifikasi komunikasi kritis Habermas (dikutip Sindunata, Basis, November-Desember 2004: 51), umat Islam perlu menjadikan nilai kebenaran sebagai realitas konkret yang dapat diterima bangsa secara keseluruhan. Di situlah diperlukan proses objektivikasi sebagaimana dikemukakan oleh Almarhum Kuntowijoyo. Proses objektivikasi ini berguna untuk menyaring dan menapis unsur-unsur yang dianggap benar secara eksklusif oleh suatu agama guna diangkat menjadi kebenaran bersama tanpa dirasakan lagi sebagai suatu kebenaran yang eksklusif.
Dari kebenaran yang sudah diobjektivikasi itu, keadilan sejati bagi seluruh elemen bangsa perlu dilabuhkokohkan. Pada saat yang sama, umat Islam niscaya harus membangun relasi dan dialog dengan segenap unsur bangsa dan masyarakat dunia secara intens. Konkretnya, dengan nilai-nilai universal Islam dan agama-agama lainnya yang berwujud kebenaran, keadilan, keramahan, dan sejenisnya, umat Islam –bersama umat yang lain –berpeluang besar untuk membangun Indonesia yang sejahtera dan sejuk bagi semua.

Tidak ada komentar:

sunset

sunset
waktu selalu mengejar