Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Kamis, 11 September 2008

Pembaruan Islam di Indonesia: Pandangan Kristen

Oleh Martin Lukito Sinaga

Pembaruan a la liberal ini juga memberi titik harapan bagi Kekristenan, terutama di tataran sosial-kemasyarakatan. Sebab dengannya ihwal agama dan masyarakat tidak lagi dilihat dalam kerangka agama yang dominan akan pula menciptakan kerangka agama (syariat) untuk seluruh aspek kehidupan, tetapi agama akan dilihat sebagai aspek inspiratif bagi kehidupan bersama.

Dalam buku suntingannya, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (LP3ES,1979), Taufik Abdullah memperkenalkan debat Weberian ke dalam kancah Islam Indonesia. Dan untuk itu, ia membawa penantang Weber ternama yaitu Bryan S. Turner, demi memperlihatkan bahwa tesis Max Weber itu sebagian besar meleset dalam menganalisis ketiadaan kapitalisme dan kemajuan di dalam Islam. Dan tampaknya, Weber tidak jitu menjelaskan Islam, sebab menurut Turner, bukan soal etos-kerjalah penyebab ketertinggalan Islam, tetapi terutama soal kontradiksi-kontradiksi militer-ekonomis.

Namun, lanjut Turner, dan di sini terasa ironis, menurut kalangan pembaru muslim, ketertinggalan ekonomi Islam tadi malah dilihat sebagai sebuah persoalan teodisi atau ihwal keadilan Tuhan: jika Islam adalah agama yang sebenarnya, mengapa justru orang-orang kafir yang kini justru berhasil di dunia ini. Jawaban kaum pembaru atas situasi ketertinggalan Islam tersebut sebagaimana dikutip Turner dari tulisan Albert Hourani ialah: Orang-orang Kristen kuat, karena mereka bukan Kristen sejati, sementara orang-orang muslimin lemah karena mereka bukan Muslim sejati.

Penggalan ini menunjukkan bahwa Pembaruan Islam seakan-akan mengandung unsur Kristen di dalamnya dan orang Kristen mau tak mau sudah terlibat dalam isu pembaruan Islam. Malah boleh dikatakan, Pembaruan Islam lahir dari suasana rivalitas dengan kekristenan Barat. Namun yang juga penting ialah, ternyata secara genealogis, pembaruan Islam mengandung unsur “memurnikan” (purifikasi) agama, yang dibayangkan akan membawa kemajuan ekonomis; sebuah proses yang juga masuk ke Indonesia –sampai ke Jawa.

Kecemasan Kristen

Dan sekitar tahun 1850-1900 (menurut buku Th. Sumartana, Mission at the Crossroads, 1993), di Jawalah pertama kali pandangan Kristen Indonesia mengemuka menghadapi Pembaruan Islam, sebab baru saat itu terjadi perjumpaan yang mendalam antara Kristen dan Islam. Semula Kristen dan Islam bertemu dengan wajar, sebab keduanya tengah mencari relasi dengan ngelmu dan menghayati levenshouding (attitude to life atau sikap hidup) orang Jawa. Seorang pendeta Kristen-Jawa semisal Kiai Sadrach adalah jembatan Kristen menuju dunia mistik Jawa saat itu, setara dengan Sunan Kalijaga di dalam kasus Islam.

Namun datanglah Pembaruan Islam itu, pertama-tama lewat jalur Hadramaut dan perjalanan haji. Tanggapan Kristen (terutama para misionaris Belanda yang saat itu memimpin gereja) justru yang menarik. Mereka melarang gereja kejawen a la Kiai Sadrach, dan melihat bahwa Kristen harus berkejaran dengan efek pembaruan Islam. Dengan kata lain: mesti dicari pola unggul pem-baru-an (baca: strategi baru) dalam karya zending (lembaga misi gereja) agar lebih meyakinkan dan menarik hati orang Jawa.

Dan cara Kristen tidak lagi ngelmu (terlalu bertele-tele dan kurang efisien (menurut mereka), tetapi memilih pola pelayanan sosial modern (pendidikan dan kesehatan) sebagai jalurnya. Jadi, tanggapan Kristen saat itu atas pembaruan Islam ialah dengan memecut diri, berlari lebih cepat, demi memenangkan jiwa orang Jawa. Pembaruan Islam ditanggapi dengan rasa cemas, namun juga dengan gairah misiologis (berlomba-lomba menyebarkan Injil).

Kecemasan atas Pembaruan Islam selanjutnya makin meningkat khususnya di era pasca-Revolusi Iran. Di situ Jenderal TB Simatupang (tokoh utama Kristen tahun 1980-an, juga Ketua PGI) melihat bahwa kebangkitan atau pun revivalisme Islam mau tak mau akan mempengaruhi Indonesia. Dalam pandangannya di pertemuan gereje-gereja se-Asia (1985) ia masih melihat—sebagai obat penawar—bagaimana pun kerangka kesamaan hak warganegara akan tetap dijamin di dalam negara Pancasila. Sebab, kata Simatupang, “...Undang-undang Dasar dalam negara Pancasila bukanlah suatu hukum agama”.

Di sini, berbeda sedikit dengan pendahulunya (baca: misionaris Barat), Simatupang melihat bahwa pembaruan Islam model revivalisme haruslah dihadapi sebagai sebentuk tantangan politis, yang tak mungkin dihadapi secara konfrontatif. Dan Simatupang berkeyakinan, Pancasila sebagai kerangka bersama, menjadikan isu pembaruan Islam yang politis tadi akan ditepikan, dan sebagai gantinya dicanangkanlah usaha mencapai kesejahteraan bersama melalui pembangunan nasional (sebagai pengamalan Pancasila).
Harapan Kristen

Selanjutnya, seorang pendeta yang dikenal sebagai “ahli” Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bernama Viktor Tanja, melihat ufuk baru Pembaruan Islam. Setelah mengamati sepak terjang Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid (khususnya dengan ide sekularisasi—yang ternyata juga menggemakan pemikiran Kristen semisal Harvey Cox) ia berkesimpulan bahwa era Pembaruan Islam saat ini ialah liberal (sic!, lihat bukunya, Tiada Hidup tanpa Agama, 1988, hl. 8). Menurut Tanja: “ini berarti bahwa Islam dibebaskan dari kungkungan penafsiran hukum kaum ortodoks, dan melihat Islam sebagai sebuah nilai… Islamisasi di sini berarti suatu usaha untuk memperdalam dan menghayati secara internal ajaran-ajaran Islam, untuk memperkokoh hubungan pribadi antara Allah dan manusia.”

Pembaruan yang dipandang sebagai gerakan liberal Islam ini jelas-jelas telah mengubah persepsi Kristen atas tujuan Pembaruan Islam tersebut. Saat seperti ini jugalah untuk pertama kali orang seperti Gus Dur bisa berpidato (menjadi keynote speaker) di hadapan ribuan peserta Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Mulai saat itu, kekristenan secara antusias melakukan studi yang mendalam atas Islam, dan di sekolah-sekolah teologi Kristen, subjek Islam dipelajari sebagai pelajaran wajib; dan Islam dipelajari tidak dalam kerangka misiologi, tetapi dalam kerangka fenomenologi. Malah berkembang subjek teologi yang bernama “teologi agama-agama”, yang intinya adalah upaya mencari dalam kazanah iman Kristen dasar untuk menerima kehadiran dan kebenaran agama Islam. Pendek kata, Islam kini dihadapi dalam bentuk harapan dan dialog.

Pembaruan a la liberal ini juga memberi titik harapan bagi Kekristenan, terutama di tataran sosial-kemasyarakatan. Sebab dengannya ihwal agama dan masyarakat tidak lagi dilihat dalam kerangka agama yang dominan akan pula menciptakan kerangka agama (syariat) untuk seluruh aspek kehidupan, tetapi agama akan dilihat sebagai aspek inspiratif bagi kehidupan bersama.

Pendek kata, pergumulan agama menjadi pergumulan faith and society. Artinya, agama hadir tidak sebagai alternatif politis atas tatanan majemuk bersama, tetapi mencoba memberi insight imaniah bagi individu dan komunitasnya dalam memperkaya penyelenggaraan hidup bersama. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, pengorganisasian agama tidak lagi mengarah kepada penggumpalan politik yang sektarian, tetapi pada kerjasama inter-faith di mana kemaslahatan dan kualitas hidup bersama menjadi obsesi gerakan agama-agama tersebut.

Pada titik ini, Pembaruan a la liberal dalam Islam akan menghilangkan rasa cemas umat Kristen, dan bahkan daya-daya kreatif akibat relasi Islam-Kristen akan bermunculan. Itulah yang tampaknya sungguh kita perlukan di saat-saat sulit sekarang ini. Semoga.

* Martin Lukito Sinaga, pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan pendeta pada Gereja Kristen Protestan Simalungun.

Tidak ada komentar:

sunset

sunset
waktu selalu mengejar