Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Kamis, 11 September 2008

Romo Magnis: Tolak RUU APP!

Oleh Diah Utami

Menurut Magnis, porno adalah sesuatu yang bisa membangkitkan birahi. Meski definisi porno tampak jelas, tetapi pembatasannya tidak mungkin bisa didefinisikan secara tegas. Karena sesuatu yang bisa membangkitkan birahi bagi seseorang berbeda dengan yang lainnya.

“Pencampuran makna kata porno, sensual, dan terangsang dalam Undang-Undang yang akan dirancang membuat sebagian kalangan menolak RUU APP tersebut” Ungkap Romo Magnis Suseno.

Budayawan dan guru besar STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara itu dalam acara Dialog Publik “Kupas Tuntas RUU APP” 5/4 lalu menjelaskan bahwa dalam draft RUU APP terdapat kata-kata yang dicampuradukkan maknanya. Ia menyontohkan pengguanaan kata porno, sensual, dan terangsang yang sangat tumpang tindih. Menurut Magnis, porno adalah sesuatu yang bisa membangkitkan birahi. Meski definisi porno tampak jelas, tetapi pembatasannya tidak mungkin bisa didefinisikan secara tegas. Karena sesuatu yang bisa membangkitkan birahi bagi seseorang berbeda dengan yang lainnya. “Perbedaan itu tentunya dipengaruhi oleh cara pandang, budaya, agama, waktu dan tempat di mana seseorang berada”, tambahnya. Pemikiran, budaya, dan agama di Indonesia sangat beragam. Sehingga munculnya RUU APP ini menurutnya sangat problematis. Karena RUU tersebut berpotensi membatasi salah-satu pemikiran dan budaya Indonesia yang beragam.

Diskusi yang berlangsung di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia itu juga menghadirkan Dr. Luthfi Assyaukanie, aktivis Jaringan Islam Liberal, dan Ust. Abu Zaid, Kordinator HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) wilayah Depok. Luthfi Assyaukanie, pembicara dari Jaringan Islam Liberal (JIL) ini mengungkapkan bahwa dalam RUU APP yang sedang digodok itu hanya ada pelarangan, tapi tidak memberikan solusi konkret. ”RUU APP ini seperti penyakit yang salah cara mengatasinya atau salah obatnya”, ujarnya. “Pembuatan RUU seharusnya dilihat dari berbagai sisi, jangan sampai masalah pribadi rakyat dijadikan masalah negara,” lanjut dosen Fakultas Filsafat dan Agama di Universitas Paramadina tersebut.

Alumni Melbourne University ini juga menilai bahwa RUU yang ada sekarang hanya mengcover kementingan beberapa kelompok yang memiliki pemahaman sempit. Di negara-negara maju, pemerintah tidak banyak mengurus detail permasalahan pribadi rakyatnya”, ucapnya. “Negara harus memisahkan masalah pribadi rakyat dengan masalah Negara.”

Namun menurut Abu Zaid, Koordinator HIzbut Tahrir Indonesia (HTI) wilayah Depok, yang harus dilakukan terhadap RUU APP ini bukanlah mendukung atau menolak. Tapi yang diinginkan HTI sebagai institusi Islam adalah pemberantasan pornoaksi dan pornografi yang sangat meresahkan. “Oleh karenanya penggodokan RUU APP ini perlu dikawal agar sesuai dengan keinginan rakyat yang di wakili oleh ormas-ormas dan DPR”, tandasnya. Permasalahan makna pornoaksi dan pornografi baginya sudah jelas dalam Islam. “Apabila RUU tersebut belum jelas, ya definisi di RUU itu yang harus diperjelas”, tegasnya dengan nada enteng.

Diskusi yang diselenggarakan oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) komisariat Politeknik Negeri Jakarta dan UKM LOGIKA PNJ bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) ini sedianya dihadiri pula oleh Prof. Dr. Jalaludin Rahmat, cendekiawan muslim dari Bandung, serta perwakilan dari PB HMI. Namun hingga acara berlangsung, keduanya tidak tampak hadir. Meski demikian antusiasme peserta yang hadir tidak berkurang. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan yang bersifat menolak maupun mendukung RUU APP banyak dilontarkan oleh para mahasiswa dan dosen yang memenuhi Gedung Pusat Studi Jepang UI siang itu.

Menurut Ruhun Siahaan, mahasiswa Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, RUU APP ini membuktikan ketidakdewasaan Negara. Menurutnya kalau Negara ini (Indonesia-red) sudah dewasa, maka negara tidak perlu lagi mengawasi secara detail apa yang dilakukan oleh rakyat atau bangsanya. ”Ini adalah bukti negara tidak percaya lagi terhadap rakyatnya. Seperti seorang Ibu yang tidak percaya terhadap anaknya.Semua harus diatur dan dibuat peraturannya”, ujarnya.

Seorang peserta dari jurusan Ilmu Komunikasi UI, menegaskan bahwa permasalahan RUU APP ini adalah masalah moralitas dan masa depan generasi penerus bangsa. Karena menurutnya tanpa undang-undang yang mengatur media pornografi seperti sekarang ini, sudah banyak kejahatan dan tindakan pelecehan seksual akibat bebasnya pornoaksi dan pornografi. ”Saya berharap peserta dan pembicara di sini serta seluruh bangsa Indonesia lebih bijak dalam berpendapat dan memutuskan sesuatu”, ujarnya.

Meski ketiga pembicara berbeda pendapat dalam menilai RUU APP, tapi ketiganya sepakat bahwa regulasi untuk mengatur peredaran dan distribusi media serta barang pornografi mutlak dibutuhkan. RUU APP awalnya punya semangat mengatur masalah pornografi, tetapi dalam kenyataanya draft RUU ini menurut Magnis malah lari pada persoalan pengaturan individu. “Oleh karenanya harus kita tolak, tandas Profesor kelahiran Jerman ini mengakhiri pembicaraannya.[]

Tidak ada komentar:

sunset

sunset
waktu selalu mengejar