Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Selasa, 26 Agustus 2008

Irrelevansi dan Insignifikansi Agama

Oleh Trisno S. Sutanto

Tetapi justru fenomena keserba-hadiran agama itu punya matra patologisnya. Sebab, saya menengarai, feneomena keberagamaan yang ada tidak melewati pertimbangan sosiologis, melainkan sekadar dicomot dari khasanah puluhan abad lampau; juga tidak melewati proses kritik-dakhil teologis, melainkan sekadar mengulang-ulang rumusan yang baku. Karena itu agama-agama terancam untuk menjadi irrelevan dan insignifikan. Dan dalam pertarungan politik yang riuh rendah sekarang, tradisi keberagamaan seperti itu sangat rentan menjadi sekadar alat bagi kepentingan kekuasaan.

PADA akhir 1999, Eka—begitu saya biasa memanggil alm. Pdt. Eka Darmaputera—menerima anugerah prestisius penghargaan Abraham Kuyper Award dari Princeton Theological Seminary. Pidato yang diucapkan Eka waktu itu, tentang pencarian tak kunjung lelah bagi tempat dan peran agama-agama di Indonesia pasca-Soeharto, menurut saya, merupakan salah satu teks paling memukau di antara perkaryaan yang ditinggalkannya.

Saya ingin membaca kembali teks itu sekarang, sembari mengagumi betapa tajam tilikan profetisnya. Sebab, setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, persoalan fundamental yang diajukan Eka justru makin menemukan kegayutannya di dalam proses transisi demokratis(asi) yang tak kunjung jelas, atau malah makin kabur. Di tengah pertarungan riuh rendah politik, yang dewasa ini memperoleh ruang terbukanya setelah keruntuhan rezim Soeharto, agama-agama ditantang untuk memainkan peran transformatifnya—kalau tidak mau menjadi sekadar alat bagi kepentingan sempit demi kekuasaan suatu kelompok.

Dan tantangan itu, pada gilirannya, akan sangat menentukan sejauh mana proses transisi demokratis(asi) berhasil dilaksanakan. Bahkan ‘nasib’ agama itu sendiri. Memang, pada satu sisi, transisi itu sudah membuka ranah-ranah kebebasan ekspresi politik yang menggairahkan. Sulit untuk membayangkan betapa diskursus politik menjadi sangat hidup dan bebas seperti sekarang. Namun, pada sisi lain, keterbukaan yang ada juga membawa ancaman bagi sendi-sendi paling dasar tatanan hidup bersama. Bukankah acap kali keterbukaan dan mekanisme demokratis justru menjadi sekadar topeng bagi dominasi mayoritas, yang berprinsip bahwa the winner takes all, sekaligus menafikan hak-hak kelompok minoritas?

Apalagi, seperti banyak diamati dalam banyak peristiwa akhir-akhir ini, negara telah gagal memberi jaminan dan perlindungan hak-hak serta kebebasan sipil warganya—hak-hak yang paling fundamental bagi suatu tatanan demokratis yang beradab. Persis pada titik itulah apa yang dikemukakan Eka lebih dari satu dekade lalu menemukan kegayutannya.

Irrelevansi dan Insignifikansi

PIDATO Eka yang memukau bagaikan mau meringkaskan pergumulan sepanjang hidupnya untuk mencari tempat dan peran agama-agama di Indonesia. Bagi siapapun yang cukup mengenal dia, tema itu mirip obsesi panjang yang, bersama alm. T.B. Simatupang, berulang kali muncul dan mewarnai kiprah mereka.

Pasca Mei 1998, dan rentetan kekerasan antar-kelompok yang skalanya makin luas, membuat Eka harus bergumul lagi dengan pencarian itu. Dalam pidatonya, Eka mencatat dengan getir penutupan, perusakan, dan bahkan pembakaran gedung-gedung gereja yang massif, yang menandai bukan hanya keseriusan konflik-konflik pasca lengsernya Soeharto, tetapi juga makin dominannya warna agama dalam konflik-konflik itu. Pada saat bersamaan, fenomena kebangkitan agama yang makin marak membuka ruang bagi masuknya pandangan keagamaan militan, dan tuntutan agar agama menempati posisi yang lebih penting dalam tatanan kehidupan bersama.

Bagi Eka, persoalannya bukan hanya pada perubahan konfigurasi sosial politik, yang memaksa kita untuk mencari titik keseimbangan baru, tetapi menyangkut masalah yang lebih fundamental—apa yang disebut Eka sebagai ancaman “irrrelevansi dan insignifikansi”. Memang Eka berbicara khususnya pada kiprah gereja-gereja di tanah air, yang makin hari makin irrrelevan dan insignifikan bagi masyarakat. Namun analisanya, menurut saya, dapat juga diterapkan pada fenomena keberagamaan kita pada umumnya. Kita harus menelisiknya lebih jauh.

Setiap tradisi keagamaan terancam untuk menjadi irrelevan dan insignifikan, khususnya ketika berhadapan dengan perkembangan masyarakat. Ini, sudah tentu, bukan soal kuantitas atau jumlah umat, tetapi lebih pada kualitas keberagamaan yang ada. Untuk mengutip Eka, persoalannya “tidak karena mereka (baca: agama-agama) sedang sekarat atau tenggelam. Sebaliknya, mereka terlihat hidup dan bersemangat, bertumbuh dan makin besar, setidaknya dari jumlah dan fisiknya. Namun kehadiran mereka, terutama selama 10 – 15 tahun terakhir ini, telah makin irrelevan dan insignifikan vis-à-vis kehidupan masyarakat pada umumnya.” Mengapa?

Dalam kasus gereja, itu terjadi jika seluruh kesibukan gerejawi bersifat a-politis, dan karena itu menjadi irrelevan bagi masyarakat; sementara, pada sisi lain, kesibukan sosial yang dilakukan oleh gereja bersifat a-teologis, dan karena itu insignifikan. Artinya, suatu tradisi keagamaan terancam menjadi irrelevan jika menarik diri sepenuhnya dari pergumulan masyarakat, atau terancam menjadi insignifikan jika tidak lagi dapat dibedakan dari aktivitas masyarakat. Setiap lembaga agama seyogianya memainkan peran di tengah masyarakat, namun pada saat bersamaan tidak melebur sepenuhnya sehingga tidak lagi dapat dibedakan, misalnya, dengan partai politik.

Ruang Kritis

SINYAL peringatan yang dilontarkan Eka lebih dari sepuluh tahun lalu menjadi makin gayut sekarang, justru ketika agama-agama begitu hadir hampir dalam seluruh aspek kehidupan. Kita menemukan wajah agama di mana-mana, mulai dari ruang paling intim sampai pada pengaturan publik yang begitu luas.

Tetapi justru fenomena keserba-hadiran agama itu punya matra patologisnya. Sebab, saya menengarai, feneomena keberagamaan yang ada tidak melewati pertimbangan sosiologis, melainkan sekadar dicomot dari khasanah puluhan abad lampau; juga tidak melewati proses kritik-dakhil teologis, melainkan sekadar mengulang-ulang rumusan yang baku. Karena itu agama-agama terancam untuk menjadi irrelevan dan insignifikan. Dan dalam pertarungan politik yang riuh rendah sekarang, tradisi keberagamaan seperti itu sangat rentan menjadi sekadar alat bagi kepentingan kekuasaan.

Itulah krisis fundamental yang sudah dilihat Eka. Dan menurut saya, situasi patologis itu hanya dapat dihadapi dengan menciptakan ruang-ruang kritis yang melaluinya tradisi keagamaan dapat dituntut pertanggungan jawabnya. Ini, pada gilirannya, menghendaki proses distansiasi agar kritik-dakhil teologis dapat dilakukan.

Saya melihat bahwa kebutuhan untuk itu sudah sangat urgen sekarang. Yang dipertaruhkan bukan saja transisi demokratis(asi) yang sedang kita jalani, tetapi bahkan nasib agama itu sendiri. Karena tradisi keberagamaan yang sudah irrelevan dan insignifikan hanya akan jadi artifak di museum. Percayalah!

Jakarta, menyambut 63 tahun Proklamasi

*Penulis adalah mahasiswa STF “Driyarkara”, bekerja di MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama)

Tidak ada komentar:

sunset

sunset
waktu selalu mengejar