Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Selasa, 02 September 2008

Malam Pengantin Sang Maulana Jalaluddin Rumi

Ia menyebut hari kematiannya malam pengantin atau Seb-i Arus. Saat itulah, tak ada lagi yang dapat menghalanginya bertemu sang Kekasih. Tidak juga sang badan yang tak berdaya dan telah memenjarakan jiwanya begitu lama. Pada hari Sabtu 17 Desember 1273, Maulana Jalaluddin Rumi pergi untuk selamanya dengan sebuah pesan: jangan ratapi kepergianku. Itulah sebuah reuni dengan sang Pencipta.

Delapan ratus tahun setelah kematian itu, orang tak dapat melepaskan perhatiannya dari sang maulana. Tiap-tiap hari, apalagi 17 Desember ini, orang berduyun-duyun menziarahi makamnya di Konya. Berikut adalah catatan tentang hidup dan karya seorang sufi yang tak pernah lelah mengajak setiap orang untuk menyingkap sebuah dunia kekal: dunia spiritual.

Tiba-tiba, sesosok lelaki dalam usia enam puluhan tahun, jubahnya lusuh dan gelap, bergegas menembus iring-iringan itu. Tubuhnya tipis, tapi gerakannya begitu ligat. Pada November 1244 yang tiris, persis di depan deretan toko penjual manisan, ia menghentikan rombongan para akademisi dari madrasah di pinggir kota lama.

Lebih gila lagi, tanpa salam-tanpa memperkenalkan diri, ia berani merebut kendali keledai dari tangan sang guru–sosok yang tengah duduk anteng di atas hewan itu. Dan ia tidak buang-buang waktu lagi untuk menembakkan pelurunya ke sasarannya: sang guru. ”Siapa hamba Allah yang paling agung, Muhammad Sang Rasul atau Bayazid al-Bistami,” katanya lantang. Berteriak, matanya tajam ke arah sang guru. Di jalanan pasar itu, dalam sepintas orang bisa menangkap wataknya yang kasar.

Sang guru, tak lain dari Jalaludin Rumi, seorang ustad terkenal di Konya saat itu. Sosok yang sangat berwibawa itu hanya menghadapi serangan mendadak tersebut dengan kalem. Ia memilih yang pertama. ”Muhammad adalah yang terbesar dan tak tertandingi, nabi yang paling agung,” tuturnya.

Tapi lelaki itu cepat menukas. ”Jika demikian,” katanya, ”bagaimana mungkin Muhammad pernah berkata, ’Kami tidak mengetahui-Mu, ya Allah, padahal Engkau adalah sosok yang mestinya dikenali’.” Lelaki itu membandingkannya dengan Bayazid al-Bistami, sufi yang memiliki kedekatan istimewa dengan Sang Pencipta, pernah menyebut Subhani–Terpujilah Aku! Alangkah besar kejayaanku.

Menurut riwayat, Rumi jatuh pingsan setelah dialog singkat dengan lelaki tua itu. Lelaki yang kemudian dikenal sebagai Syamsi Tabriz. Sejak kejadian di pasar itu, Rumi dan Syamsi Tabriz menjadi dua yang tidak terpisahkan: mereka bersama menggali kedalaman spiritual, mendaki puncak-puncak pencapaian batin manusia tertinggi.

”Dua samudra bertemu, tentu di bawah kekuasaan Tuhan.” Begitu Syekh Jelalaudin Loras, tokoh tarekat Maulawiyah di Amerika, manggambarkan pertemuan dua tokoh, masing-masing dengan kedalaman batin luar biasa. Yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain. Pendapat Prof Dr Mahmud Erol Kilic, pengajar sufisme di Universitas Marmara, di Istanbul, Turki, tak jauh berbeda. ”Syamsi adalah mentor khusus untuk Rumi seorang, langsung dikirim Tuhan,” katanya kepada Tempo bulan lalu. Di mata Prof Mahmud Erol Kilic, Syamsi Tabriz tak lebih dari seorang ”agen” dengan tugas istimewa.

Di antara para toko yang menjual oleh-oleh di Mevlana Cardessi, Konya, di seberang Kubah Hijau, kompleks makam Muhamad Jalaludin Rumi, sufi itu adalah lukisan seorang lelaki tua, janggut dan rambutnya putih, dengan sikke, topi cokelat-abu-abu yang memang dibikin menyerupai bentuk batu nisan. Agak menunduk, matanya redup, ia duduk bersila, tenggelam di atas sajadah dengan seutas tasbih di tangan.

Di deretan toko yang sama, masih di Mevlana Cardessi, Rumi adalah seorang tua, dengan rambut dan janggut yang putih. Kemungkinan besar masih dalam usia yang sama, tapi telah bangkit dari tafakurnya. Ia tengah berputar, menari, jubahnya yang putih mengembang, membentuk lingkaran kecil. Rumi yang satu ini terbuat dari patung keramik yang dicat putih, memperlihatkan dirinya sebagai seorang darwis, the whirling dervish. Rumi melakukan sama. Kedua tangannya terentang. Tangan kanannya menengadah, menerima yang kudus dari langit; tangan kirinya menelungkup menebar berkah ke muka bumi.

Sekitar tahun 1247, dua-tiga tahun setelah pertemuannya dengan Syams, Jalaludin Rumi telah jatuh cinta, terbakar dalam cintanya kepada Sang Kekasih, Rabb. Dalam sebuah tulisannya, ia sendiri menggambarkan perjalanan spiritualnya yang dramatis: dari ”mentah, masak”, kemudian ”gosong-terbakar” oleh cinta ilahiah. Semenjak pertemuannya yang singkat—disusul perpisahannya—dengan Syamsi Tabriz, Rumi tidak lagi berusaha menutup-nutupi bahwa ia mengalami kejadian-kejadian ekstatis. Ia berubah, dari seorang ustad terhormat yang menguasai yurisprudensi Islam di sebuah madrasah ternama menjadi penyair ”sinting” yang tak lagi melihat perbedaan di antara hal-hal dunia ini.

Seumur-umur Muhamad Jalaludin Rumi berusaha menyidik apa yang tersembunyi di balik semua, mencoba menangkap hakikat segala sesuatu. Dan sekarang Rumi telah sampai di ujung jalan, dan ia menyaksikan semua itu satu. Ia telah mencapai puncak yang tinggi itu: di balik keragaman bentuk yang bertebaran di depan matanya, terdapat prinsip transendental yang mutlak. Dan itulah Kebenaran Tertinggi, the ultimate reality, menurut istilah para ahli metafisika.

Ya, mungkin tak ada lagi yang tahu di mana pertemuan bersejarah Rumi-Syams itu berlangsung. Di bawah matahari musim semi Kota Konya, kepada Tempo, Mehmet, seorang pemuda warga setempat berusia 20-an tahun, mencoba menjelaskan situs istimewa itu. Tentu saja, sebisanya—dari pengetahuan turun-temurun yang diwariskan dari ayah, juga dari kakeknya. Dengan telapak tangannya yang mengembang, ia menunjuk ke arah selatan: ke belakang sebuah pemakaman umum yang sudah ratusan tahun usianya. Mehmet minta maaf, tidak sanggup menjawab pertanyaan lebih jauh.

Tahun lalu, di Balkh, kini di kawasan Mazar-i-Sharif, Afganistan, tempat Rumi dilahirkan dan menjalani masa kecilnya, Tempo mendapati gambaran yang lebih jelas mengenai keluarga Rumi. Di satu pelosok yang terpencil dan cokelat berdebu, berdiri pilar-pilar, potongan-potongan kubah madrasah, yang tak lagi utuh. Konon di tempat itulah Jalaludin Rumi belajar agama pertama kalinya langsung dari tangan ayahandanya sendiri, Bahaudin Walad, seorang ustad yang diberi gelar ”sultan para ulama”.

Delapan ratus tahun silam, tepatnya 30 September 1207, Muhamad Jalaludin Rumi lahir di Balkh, tapi tak banyak yang tersisa dari kehidupan Rumi di sana saat ini. Rumi, sebagaimana diketahui, selalu diklaim oleh tiga negara yang bertetangga di kawasan itu sebagai putra daerahnya—Iran, Afganistan, dan Turki. Afganistan menyebutnya Jalaludin al-Balkhi, Jalaludin Putra Balkh. Tapi sejauh ini mungkin hanya Konya yang menyimpan banyak kenang-kenangan mengenai tokoh yang menggetarkan dunia dengan syair-syair cinta ilahiah melalui karya-karya masterpiece-nya: Matsnawi, Diwan-i Kabir, dan Diwan Syamsi Tabriz, dan beberapa lainnya.

Di pusat Konya, jenazah Rumi disemayamkan, persis di bawah Kubah Hijau atau Yesil Turbe. Tapi inilah Konya, tempat yang telah menyedot begitu banyak turis.

Di mausoleum yang sambung-menyambung dengan museum, tampak makam Maulana Rumi yang megah. Ada 65 jenazah orang terpandang di zamannya yang dikebumikan di tempat itu, termasuk jenazah Bahaudin Walad, ayah Rumi. Tapi makam Maulana Rumi lain sendiri, berselimut kain hijau, dengan sikke dan serban putih di atasnya—titik yang paling terang, dengan penerangan lampu kristal yang tergantung di sekelilingnya. Itulah titik yang paling dikerumuni pengunjung di kompleks itu.

Jauh sebelum mausoleum itu berdiri, pada abad ke-13, di sana terbentang sebuah kebun mawar yang luas. Satu-satunya makam di atasnya waktu itu milik Bahaudin Walad, ayahanda Rumi. Pernah ada tawaran supaya jasad Rumi di kemudian hari dimakamkan di sana, di sisi ayahnya. Tapi Rumi lalu cepat-cepat menolak. ”Apakah masih ada mausoleum yang lebih baik daripada yang beratap langit.” Tapi waktu bergulir, dan akhirnya, pada hari kematiannya 17 Desember 1273, putra Rumi setuju menguburkan jasad sang ayah berdampingan dengan kakeknya di sana. Seorang arsitek Persia kemudian mendirikan empat buah pilar di empat penjuru makamnya.

Kini pengunjung harus melewati sebuah pintu masuk, Gerbang Darwis. Sebuah pengumuman menyuruh pengunjung melepas alas kaki, mengenakan kerudung bagi pengunjung perempaun, dan tidak berisik. Tapi tak ada yang bisa membendung begitu banyak orang yang berbisik. Bisikan-bisikan, ditambah kilatan blitz dari kamera para wisatawan Jepang dan Cina yang bergerak berkelompok, lalu-lalang para pengunjung, dan sekali-sekali terdengar orang membaca al-fatihah bagi si mati–semua yang akhirnya menimbulkan bunyi yang tak seirama dengan suasana ziarah. Agak hiruk-pikuk, meski semua kelihatan megah, tertata baik, dan sangat terawat.

Di halaman dalam mausoleum ada sebuah kolam jernih, dengan air mancur berhias kepala singa tepat di tengah-tengah dan empat sisinya. Semuanya sempurna, seolah-olah tak ada yang suram dan lusuh di kompleks itu—kecuali bunyi ney, seruling bambu muda yang perlahan dan menyayat. Bunyinya mengalir dari pengeras suara kemudian bergabung dengan gemericik air kolam. Ney bukan instrumen tiup biasa, melainkan bagian dari tradisi maulawiyah, tarekat yang sangat banyak berutang pada pikiran Jalaludin Rumi.

Ada komposisi ney sederhana yang tak pernah jelas siapa penulisnya. Basta-i Qadim atau komposisi kuno bercerita tentang cinta, pengalaman mistis menakjubkan, juga seruling yang istimewa. Ney seruling yang musiknya hanya bisa menyanyikan perpisahan, mengutarakan kerinduan untuk kembali ke asal. Kerinduan akan rumah, pulang ke habitat semula ke tepian sungai—suatu metafor Sang Pencipta.

Dengarlah seruling itu,

Bagaimana ia meratapi perpisahannya,

”Aku terkoyak

Ingin berbagi penderitaan ini

Dan siapa pun yang terpisah dari asalnya

Akan merindukan pertemuan itu.” (Nyanyian Seruling – Matsnawi)

Rumi mengambil contoh seruling ney untuk melukiskan kondisi dan perjalanan mistis para sufi. Yaitu, mereka yang mengharapkan pertemuannya dengan Sang Kekasih.

-------------------------------------------
Keterasingan, penderitaan, dan keterperpisahan adalah tema sentral dalam pemikiran-pemikiran dan hidup Rumi. Mohamad Iqbal, pemikir Islam Pakistan, mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat. ”Ada kepedihan yang tak asing bagi kita,” komentarnya tentang Rumi.

Hidup adalah penderitaan, tapi semua itu tentu tidak berangkat dari penderitaan, melainkan dari persatuan: seperti bersatunya bambu muda dengan habitatnya sebelum menjadi seruling ney. Pada diri manusia, persatuan dengan Yang Absolut merupakan awal dari semua. Dan penderitaan, keterpisahan merupakan keadaan yang harus dilalui sebelum akhirnya bersatu kembali dengan Sang Pencipta. Rumi membandingkan penderitaan dan kepedihan dengan seorang tamu yang mengetuk pintu. ”Kepedihan ini membimbing kita,” katanya.

Ia berbagi dengan pembacanya betapa ia ”terluka, terluka karena perpisahan itu.” Dan ratapan seruling ney, kita tahu, merupakan sesuatu yang nostalgis.

Cinta Tuhan yang mendorong semua ini bergerak dengan tujuan seperti itu. Sebagaimana juga beredarnya atom pada orbitnya mengelilingi nukleus, juga bergeraknya planet-planet mengelilingi matahari pada garis orbitnya. ”Tapi pantulan cinta Tuhan yang paling penuh berada di dalam diri manusia yang memiliki cinta ’imitasi’ dan suatu saat bisa menjadi ’cinta sejati’,” kata William Chittick, pakar sufisme Rumi yang paling mencorong–setelah Sayyed Hussein Nasr—saat ini (lihat Mereka Salah Paham).

Dalam segenap pikirannya, Rumi terus mencari sesuatu di balik penampakannya. Begitu juga pandangannya tentang agama-agama itu. Jalaludin Rumi melukiskan dirinya sebutir debu di alas kaki Rasulullah Muhammad. Ia juga menyebut dirinya tak pernah meninggalkan garis syariah Islam. Tapi ia tak beringsut dari pendekatannya membedakan ”kulit” dengan ”isi.” Termasuk dalam memandang agama-agama di dunia ini. Di antara agama yang berbeda di muka bumi, ia melihat suatu kesatuan transendental. Dan keberagaman yang tampak itu tak lain dari bentuk luar dan bukan isi agama-agama itu. Dari pandangan ini Rumi mengembangkan toleransi yang begitu besar terhadap agama di luar Islam.

---------------------------------------------

Dengan pemikiran seperti itu, Rumi memang bisa meraih siapa saja tanpa peduli asal-muasalnya. Ia menjangkau pemusik (musik mendapat tempat khusus dalam pikiran Rumi dan tarekat maulawiyah), pencinta, dan akademisi—bahkan tanpa harus meninggalkan syariah, ia menjangkau orang-orang dengan agama yang berbeda. ”Dan ia mengatakannya dengan kelembutan di Anatolia pada abad ke-13, ketika Perang Salib masih berkecamuk,” kata Coleman Barks, penyair yang paling banyak memperkenalkan karya Rumi kepada khalayak Barat melalui penerjemahan puisi-puisinya.

Di Indonesia sendiri, karya Rumi sudah mulai dikenal pada abad ke-16. Dr Abdul Hadi W.M., penyair juga dosen tasawuf di Universitas Paramadina, menilai bahwa pemikiran Rumi banyak dicerap Sunan Bonang, sosok yang menggunakan seni sebagai media transendensi. Abdul Hadi juga mencatat: ”Rumi bisa menaklukkan bangsa Mongol melalui tasawuf. Dan kekalahan dalam Perang Salib dan melawan invasi Mongol ini bisa dibalas lewat tasawuf.”

Pada abad ke-16 muncul Suluk Syamsi Tabriz, yang bercerita tentang pengembaraan Syamsi di masa penaklukan oleh tentara Mongol. Dalam suasana politik yang kacau-balau ini, Syamsi dikisahkan berjalan jauh sampai ke Yerusalem. Bahkan dalam buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen menyebut keberadaan tokoh satu ini dalam suasana sangat lokal. Syamsi atau Samsu disebut sebagai putra Seh Jumadil Kubra. Ia menikahi seorang putri Campa dan memperoleh dua anak, salah satunya adalah Sunan Ampel. Wallahu’alam.

Rumi memang mempunyai jangkauan yang melampaui ruang dan waktu. Delapan ratus tahun setelah kematiannya, orang tak dapat melepaskan perhatiannya dari sang maulana.

Tiap-tiap hari, orang berduyun-duyun menziarahi makamnya di Konya. Dan khususnya tanggal 17 Desember ini, orang merayakan seb-i arus atau syabi arus–perkawinan spiritual, pertemuan kembali dengan Yang Absolut. Dan kita mendengar ia kembali menyeru setiap orang untuk menyingkap sebuah dunia kekal: dunia spiritual, dunia cinta ilahiah.

Tidak ada komentar:

sunset

sunset
waktu selalu mengejar