Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Rabu, 24 September 2008

Tanda Kemenangan atau Kekalahan

Oleh Abdurrahman Wahid*
Gus Dur Beberapa waktu yang lalu penulis artikel ini ditanya seorang wartawan dari sebuah harian besar di negeri kita. Mengapa penulis menjadi begitu nekat dan berani menyatakan keterlibatan seorang pejabat negeri dalam pertikaian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)?

Penulis artikel ini menjawab, ia telah dua kali menghadapi sang menteri tersebut karena berbuat kesalahan terus-menerus dalam urusan PKB itu. Pertama, ketika sang menteri mengeluarkan surat bahwa Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) ”yang benar” adalah yang dipimpin Muhaimin Iskandar. Ini jelas salah karena dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKB sendiri dinyatakan dengan jelas bahwa hal-hal prinsipil harus ditandatangani empat orang sebagai sebuah kesatuan.

Seperti Surat Keputusan Kepengurusan, harus ditandatangani bersama oleh Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, pihak Sekretaris Dewan Syura, Ketua Umum Dewan Tanfidz (pelaksana), dan sekretaris jenderal hasil Muktamar II di Semarang. Dengan cara pandang ini, Yenny Zannuba Arifah Chafsoh bukanlah sekjen hasil Muktamar II di Semarang itu. Karena itu, tidak diperkenankan menandatangani surat- surat seperti itu.

Sebab, menteri tersebut tidak boleh mencampuri urusan Partai Kebangkitan Bangsa, tetapi keputusannya itu dijalankan juga walaupun salah. Ini untuk menghilangkan keragu-raguan kita karena keputusan sang menteri itu tidak mengindahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai. Ternyata sikap sang menteri yang penuh kesalahan itu diulang.

Secara tertulis, ia telah membuat keputusan pada 2005 yang menyatakan bahwa Kantor DPP PKB di kawasan Kalibata Timur. Namun, ia kemudian mengeluarkan pemberitahuan secara lisan kepada KPU di tingkat pusat bahwa kantor DPP PKB ”yang benar” adalah di kawasan Jalan Sukabumi. Ia bahkan menambahkan secara lisan bahwa ia berani dibawa ke pengadilan negeri atas keputusannya itu.

Padahal, lurah daerah Jalan Sukabumi telah memutuskan sebelumnya bahwa karena kawasan tersebut diputuskan Gubernur DKI Jakarta sebagai daerah tempat tinggal, maka tidak boleh ada perkantoran di dalamnya. Pelanggaran demi pelanggaran hukum yang dilakukan sang menteri itu sudah sepatutnya ditangani Pemda DKI Jaya. Wartawan tadi bertanya lagi, adakah penulis artikel ini memiliki ”bukti”? Penulis artikel ini memang tidak memberikannya kepada sang wartawan itu.

Sekaranglah saatnya penulis mereproduksi bukti-bukti tersebut. Ini karena sudah diketahui banyak wartawan koran-koran lain, seperti sejumlah wartawan yang mengikuti pertemuan dengan KPU Jawa Timur pada 15 September 2008 pagi hari. Jelaslah dari apa yang diuraikan penulis artikel ini pada bagian-bagian terdahulu, yakni letak kesalahan tindakan sang menteri, termasuk sikapnya yang tidak menghiraukan keputusan sela PTUN Jakarta beberapa waktu lalu yang menetapkan tindakan-tindakan kedua belah pihak ditunda hingga berlangsungnya sidang kedua PTUN tersebut.

Tindakan nekat ini bukan sekadar sesuatu yang bersifat administratif, melainkan menunjukkan bahwa dalam pandangan sang menteri, keputusannya jauh lebih besar daripada keputusan hukum manapun. Apakah ini mendukung sikap pemerintah yang sedang bersedia menciptakan demokrasi? Padahal, penulis artikel ini mengajukan kritik bahwa pemerintah sedang berusaha menciptakan demokrasi tanpa kedaulatan hukum.

Ini karena sikap yang selalu memenangkan birokrasi pemerintahan tanpa ada kontrol yang jelas. Bisakah hal itu dilakukan? Dari apa yang diuraikan di atas, tampak nyata bahwa pada saat ini terjadi pergulatan saling menolak antara kedaulatan hukum dengan ”kekuatan” para birokrat dalam mengambil keputusan. Ini tentu bukan masalah yang mudah, melainkan juga menentukan nasib bangsa dan negara kita di masa depan. Sangat mengherankan, persoalan ini tak kunjung selesai sejak 17 Agustus 1945.

Waktu itu kita mengambil keputusan untuk ”menerima”orientasi atau arah pembangunan nasional negara dan bangsa, yang tidak menghiraukan kemampuan rakyat biasa (rakyat kecil). Mengapa? Karena para pemimpin kita dari masa itu sampai sekarang adalah dari kalangan bangsawan, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Mr As’ad, Mr Sartono, Dr Radjiman, Dr Tjipto Mangunkusumo, Prof Widjoyo Nitisatro dan Prof Dr Emil Salim. Bagaimana dengan kita? Tentunya tidak boleh kita ulangi, bukan?[]

*Ketua Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa
(Seputar Indonesia, Senin, 15 September 2008)

Tidak ada komentar:

sunset

sunset
waktu selalu mengejar