Powered By Blogger

welcome to aziz's blog

Enjoy The Mosaic of Thought


Hit Counter
Free Counter



Sabtu, 05 November 2011

Menyortir Aspek Lokalitas, Mengambil Aspek Universalitas Islam

Oleh Muzayyin Ahyar*



“Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya yang sangat kontroversial beberapa tahun lalu di harian Kompas, menyatakan bahwa umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan, tegas Ulil, adalah nilai yang sejalan dengan Islam, bukan berlawanan dengan Islam.
Islam dengan pandangannya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin mendskripsikan keuniversalan Islam tersebut. Allah bukan hanya Tuhan yang diperuntukkan bagi etnis Arab saja, tetapi semua etnis dan suku yang mengakui dzat-Nya dan menjalankan nilai universal yang merupakan the greatest goal dari sebuah praktek yang telah di buat oleh-Nya.”

Dewasa ini cukup banyak orang yang memandang bahwa Islam harus dikembangkan dan dijalankan sesuai dengan apa yang telah rasulullah terapkan semasa hidup beliau di Makah maupun Madinah. Pandangan semacam ini bisa membuat kita lupa akan nilai dan aspek universal dari Islam. Aspek universal Islam inilah yang membuatnya relevan dengan bentuk-bentuk perubahan waktu dan tempat.

Untuk dapat menangkap aspek universal Islam, diperlukan pemaknaan dan penafsiran atas doktrin-doktrin Islam. Dari pemaknaan ini diharapkan kita dapat memisahkan mana yang di dalamnya terdapat unsur produk budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai doktriner- fundamental Islam. Kita harus bisa membedakan antara ajaran Islam yang merupakan pengaruh budaya Arab dan mana yang tidak.

Ada beberapa aspek ajaran Islam yang sebenarnya merupakan pengaruh dari letak geografis maupun budaya bangsa Arab. Aspek demikian ini tidak harus sepenuhnya kita anggap sebagai kewajiban yang mesti kita ikuti. Contoh: memelihara jenggot, mengenakan jilbab panjang, menaikkan celana di atas mata kaki, dan sebagainya. Ini semua hanya merupakan ekpresi lokal dari situasi dan kondisi budaya Arab. Yang harus kita anggap sebagai kewajiban dan patut kita ikuti adalah nilai-nilai yang melandasi praktek-praktek tersebut. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian penutup yang memiliki public decency atau kepantasan umum. Situasi Makah dan Madinah pada saat itulah yang membuat rasulullah menyatakan pantasnya mengenkan jilbab atau jubah panjang. Aspek historis dari Islam seperti itu bisa saja berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia.

Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya yang sangat kontroversial beberapa tahun lalu di harian Kompas, menyatakan bahwa umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan, tegas Ulil, adalah nilai yang sejalan dengan Islam, bukan berlawanan dengan Islam.
Islam dengan pandangannya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin mendskripsikan keuniversalan Islam tersebut. Allah bukan hanya Tuhan yang diperuntukkan bagi etnis Arab saja, tetapi semua etnis dan suku yang mengakui dzat-Nya dan menjalankan nilai universal yang merupakan the greatest goal dari sebuah praktek yang telah di buat oleh-Nya.

Sebagai umat Islam yang bijak, tidak seharusnya meyakini bahwa Islam oleh golongan tertentu adalah Islam yang paling benar dan mutlak. Kita harus bisa menerima kebenaran dari mana saja, meskipun itu datangnya dari luar Islam. Dan sebaliknya kita harus menerima kritikan apa saja yang masuk ke dalam ranah ritualisasi keagamaan yang kita pegang. Setiap golongan seharusnya menghargai hak golongan lainnya dalam penafsiran Islam, selama tidak mengganggu dan memaksa umat yang lain untuk mengikuti penafsirannya. Jangan sampai kita menjadi golongan Islam yang tidak islamiy. Dari sinilah, jika kita berfikir lebih mendalam lagi, kita menjadi sadar fakta mengapa terdapat kebenaran ajaran Islam pada negara kafir dan hilangnya kebenaran ajaran Islam pada negara muslim.

Lalu apakah Islam yang universal ini diterapkan pula oleh rasulullah? Kita bisa melihat dari perilaku rasul terhadap umatnya. Sejak diutusnya Muhammad melalui bangsa Arab, di sana terlihat jelas nilai universalitas yang ditanamkan Muhammad kepada umatnya. Beliau tidak pernah membedakan mana yang dari bangsa Arab, Persia, Eropa, Afrika, dan sebagainya. Sikap toleransi yang pernah dicontohkan oleh rasul menjadi bukti bahwa Islam seharusnya di kembangkan dengan sikap perilaku yang islamiy, bukan hanya sekedar dengan membacakan ayat- ayat keimanan kepada mereka yang belum beriman.

Dengan demikian dapat dikatakan, al-Qur’an belum tentu menjadi pijakan yang pas dan mutlak untuk sebuah penyebaran Islam secara universal. Kita tidak harus selalu membawa segi normativitas dalam al-Quran, tetapi juga membawa segi historis serta nilai universalitas yang terkandung dalam al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh rasul.

Penting diingat olah kita semua, banyak sejarah yang membuktikan bahwa penduduk Makah masuk ke dalam agama Islam karena melihat perilaku Muhammad yang “berbeda” dengan perilaku bangsa Arab masa jahiliyah pada umumnya. Perilaku beliau yang sopan, sangat toleran terhadap sesama bahkan kepada orang yang berbeda keyakinan dengan beliau sekalipun, membuat orang lain merasa terluluhkan hatinya. Beliau merupakan figur yang disegani, bukan ditakuti.

Nilai universal juga dicontohkan Muhammad dengan tindakan beliau yang tidak mengambil keputusan sepihak. Banyak tradisi-tradisi jahiliyah yang berkembang dalam Islam dan tidak mendapat tentangan dari beliau. Dalam hal ini Muhammad juga melihat kondisi sosial bangsa Arab pada masa itu. Tidak serta-merta langsung memvonis mereka dan memerintahkan memerangi mereka.

Mari kita kembangkan Islam yang shalihun likulli zaman wa makan, yang kongruen dengan perubahan waktu dan tempat; dan menyingkirkan Islam yang ghairu qabilin li al-taghyir, yang beku tidak dapat berubah. Pembekuan Islam hanya akan menindas kemaslahatan umat itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab.



*Mahasiswa Jurusan Ushuluddin IAIN Surakarta

1 komentar:

Ahyar mengatakan...

terima kasih sudah baca tulisan saya.. salam kenal... hehe

sunset

sunset
waktu selalu mengejar